BAB 34
Bu Callista membawaku ke sebuah restoran yang terletak di dalam sebuah kompleks perumahan, tak jauh dari pinggir tol Padalarang-Baros. Lokasinya malah harus melewati gang tempat kostanku. Mungkin tidak sampai sepuluh menit kalau jalan kaki dari kostan ke tempat ini.
Setelah mematikan mesin mobil, Bu Callista tidak langsung turun, tapi membalikkan badan dan menatapku. Ia kembali memperhatikan luka memar pada wajahku, lalu entah sadar atau tidak, ia kembali meraih pipi bawahku dan mengusapnya lembut.
“Masih sakit?” tanyanya.
Bagai terhipnotis, aku menggeleng sambil balik memperhatikan wajahnya. Kalau diperhatikan lekat seperti ini, kecantikannya nampak semakin alami karena tanpa pulasan make up yang berlebihan.
[POV Bu Callista: “Kamu ganteng, Wa, aku sepertinya mulai suka kamu. Aaah.. seandainya tidak ada Maya… Hiks…”]
“Sudah gak terlalu biru sih, kamu juga sih.. aku gak suka kamu berantem.” gumamnya pelan.
Mendengar ucapannya, juga kata ‘aku’ ketika menyebut dirinya, refleks aku meraih punggung tangannya. Kugenggam dan kuturunkan tanpa penolakan.
“Tadi itu gak sengaja, bu.” jawabku sambil enggan melepaskan tangannya yang lembut.
Ada desah halus antara kami berdua ketika tangan ini benar-benar terlepas. Sentuhan ini menimbulkan desiran-desiran harus yang enggan untuk dilewatkan, tapi biar bagaimana pun aku tidak mau dianggap kurang ajar oleh gadis ini, cukup di cap ‘mesum’ saja.
“Pokoknya aku gak mau denger lagi kamu berantem. Cukup kamu berantem melawan aku aja. Hihi…” Bu Callista terkekeh sambil membuka pintu mobil. Aku pun melakukan hal yang sama dan keluar dari mobil bersamaan. Ucapannya barusan membuatku tidak enak hati, karena aku adalah satu-satunya mahasiswa yang berani melawannya.
Kami disambut oleh pelayan dan langsung diantar pada sebuah meja saat Bu Callista menyebut namanya. Rupanya diam-diam ia sudah order tempat. Restoran ini memang cukup ramai dan hanya menyisakan satu meja untuk kami.
“Kamu mau makan apa, Wa?”
"Euuh.. bu…”
“Sudah.. aku tahu kok, mahasiswa sepertimu gak bisa bayar makan di tempat seperti ini. Aku yang bayar.” ledek Bu Callista sambil memeletkan lidah disertai kuluman senyum sang pelayan.
Aku berpikir sebentar sambil garuk-garuk kepala.
“Saya ikut ibu aja deh.” aku memberi keputusan.
“Yasudah…”
Bu Callista pun langsung memesan beberapa makanan dan dua gelas minum, nampaknya ia sudah cukup familiar dengan menu di tempat ini. Sementara aku memilih mengirim pesan kepada Nur agar ia tidak khawatir, dan juga kepada Rayxy karena takut ia menungguku. Kusuruh sahabatku untuk mencari makan sendiri.
Tak harus menunggu, Nur langsung membalas dengan teramat singkat: OK. Entah karena sedang di jalan atau karena marah ia menjawabku sesingkat itu. Ah… sudahlah nanti saja kujelaskan. Tak lama kemudian muncul juga balasan dari Rayxy kalau ia sedang bersama Rad, Lia, dan Syamida. Aku mengernyit membaca nama terakhir, tapi kuurung bertanya saat pelayan meninggalkan kami. Kukantongi kembali hapeku sambil menatap Bu Callista.
“Sini hapemu.” ucap Bu Callista.
“Siniin iih.. malah bengong. Jelek tahu..!” lanjutnya lagi.
Aku begitu heran pada sikapnya, tanganku memang merogoh kembali hapeku dan menyerahkan pada gadis di depanku ini, tapi di dalam pikiranku masih terngiang ucapannya barusan yang terdengar manja; mirip Maya
Jemari lentiknya menekan sejumlah nomor pada keyboard hapeku, dan tak lama kemudian smartphone-nya bergetar. Aku langsung tahu apa yang sedang ia lakukan, karena nomorku muncul pada layar smartphone-nya.
“Makasiih.” ucapnya sambil tersenyum dan mengembalikan hapeku.
Lalu jemarinya lincah, sepertinya sedang memasukkan nomorku pada daftar kontaknya. Aku malah terkagum memperhatikannya, daripada nge-save nomor dia pada hapeku.
Bu Callista kembali meletakkan smartphone -nya dan menatapku, kali ini ia nampak serius.
“Wa, sengaja aku mengajakmu makan karena.. karena ada yang mau aku sampaikan.” ia mengawali percakapan.
“…”
“Pertama, aku harap kamu benar-benar mau melanjutkan mata kuliahku. Aku mohon maaf kalau sikapku selama ini telah membuat kamu mengambil keputusan seperti itu.”
“Bu…” aku tidak enak hati saat mendengar Bu Callista yang minta maaf, padahal seharusnya aku yang meminta maaf padanya.
“Ibu tidak salah apa-apa. Saya yang seharusnya minta maaf.”
“Jadi.. intinya kita saling memaafkan?”
Aku mengangguk dan disambut senyum dan binar sorot matanya. Senyumnya sudah tak lagi disembunyikan, terlihat natural dan tulus, manis dan tak membuat bosan.
“Kedua…” sambungnya.
“Aku.. aku..” Bu Callista menarik nafas sebentar, sorot matanya kembali berubah sendu, “Aku minta maaf yang kemarin. Aku seharusnya tidak ngomong seperti itu ke kamu.”
Perubahan drastis pun terjadi pada matanya, kalau tadi berbinar indah kini buram dengan air mata yang menggenang. Bu Callista menunduk sambil meremas kedua tangannya sendiri, dan menarik nafas seakan hendak menahan agar air matanya urung keluar.
“Maaf.. hiks…” lirihnya.
“Bu.. sudah bu.. jangan menangis.” ucapku. Aku begitu terenyuh pada perubahan sikapnya, aku sangat yakin kalau gadis di hadapanku ini adalah seorang Callista yang asli; bukan yang pura-pura galak seperti saat di kampus.
“Saya tidak apa-apa kok, bu. Saya yang seharusnya minta maaf karena menggebrak meja di depan ibu.” ucapku. Terbersit tangisanku dalam pelukan Nur kala itu, tapi gengsi kalau aku harus menyampaikannya pada Bu Callista.
“Hiks.. hiks… jadi kamu mau maafin aku?” Bu Callista mendongak dan air matanya sudah tak terbendung.
“Iya bu. Saya sudah memaafkan ibu. Udah yah.. ibu jangan nangis lagi.”
Kuulurkan tanganku dengan maksud hendak mengambil bungkus tissue miliknya dan memberikan kepadanya, tapi Bu Callista malah menyambut tanganku dengan genggaman erat.
“Makasih, Wa. Kamu sangat baik.” ucapnya tanpa memedulikan air matanya yang meleleh.
“Bu..” aku mencoba menarik tanganku tapi ia malah semakin mengeratkan genggamannya.
Aku seakan kembali terhipnotis pada efek sentuhan ini. Telapak tangannya memang terasa dingin, tapi memberi efek hangat pada hati dan perasaanku. Hal yang sama sepertinya ia rasakan. Isaknya terhenti, meski masih ada sisa air mata yang menetes.
Aku mencoba meyakinkannya dengan tersenyum. Kutunjukkan bahwa aku sudah tidak marah lagi dan sudah memaafkannya. “Bu, sudah yah.. kita lupakan yang kemarin. Malu dilihatin orang tuh.” kataku.
Ucapanku sukses membuat Bu Callista tersenyum di balik linang air matanya. Tangan ini pun terlepas dan ia pun mengambil tissue serta mengelap ujung mata dan pipinya.
Tak lama kemudian, menu yang dipesan pun datang. Pelayan menyajikannya tanpa banyak kata saat menyadari Bu Callista sedang membersihkan air matanya.
“Makasih, mbak.” ucapku pada pelayan.
“Sama-sama, mas, mbak.. selamat makan.” jawabnya sambil mengangguk sopan.
Bu callista rupannya memesan seafood, yang porsinya menurutku terlalu banyak, padahal tubuhnya langsing pertanda tidak suka makan banyak.
Ia seakan bisa membaca pikiranku, ucapnya, “Kalau kamu bener maafin aku, berarti kamu harus habisin semuanya.”
“Buuuu…!!!”
Bu Callista tertawa kecil di balik sembab matanya. Ia sudah kembali tidak bersedih lagi. Rasa sesalnya berganti “nakal” dan iseng.
Dan aku hanya bisa menarik nafas, ketika ia benar-benar hanya menumpangkan secuil ikan dan dua sendok sayur pada piring nasinya. Ia melakukan itu sambil melirikku dan tersenyum. Begitu manis dan menggemaskan.
Akhirnya kami pun makan sambil ngobrol. Bu Callista berubah ceriwis dan bercerita tentang kejadian kemarin yang penuh dengan salah paham. Pertama, ia terlalu terbawa emosi dengan sengaja menemui Ariya karena dipikirnya pemuda itu telah mengkhianati dan menyakiti hati adiknya. Dan ia belum siap mendengar kenyataan yang ada, ketika ia tahu duduk permasalahan yang sebenarnya, yang ternyata ada hubungannya dengan aku, orang yang selama ini membuatnya kesal saat di kampus.
Bu Callista juga menjelaskan bahwa Ariya telah bersikap dewasa dan bijaksana, sehingga membuat Bu Callista menyesal atas kata-kata tidak pantas yang ia ucapkan. Dan malamnya, ia berbicara dengan Maya dari hati ke hati.
“Kenapa, Wa?” tanyanya di akhir cerita.
“Maksud ibu?” aku balik bertanya.
[POV Bu Callista: Kenapa kamu lebih dulu ketemu adikku, daripada denganku. Hiks..!!]
“Kenapa kamu memutuskan Maya, padahal kalian masih saling menyayangi?”
“Ibu sudah tahu jawabannya. Maya milik Ariya.”
“Tapi kan kalau kamu benar-benar menyayangi adikku, kamu bisa mempertahankan adikku, walaupun memang dengan cara merebutnya dari Ariya. Maya sangat sayang kamu, Wa. Dan ia begitu terpukul sejak kalian putus.”
Aku cukup sedih mendengar pengakuan Bu Callista tentang adiknya, tapi mungkin Bu Callista tidak tahu ada alasan lain yang membuat adiknya seperti itu.
“Tidak semudah itu, bu. Saya sangat menghormati Ariya dan keluarganya. Di samping…”
“Ada gadis lain?”
Aku langsung tersentak mendengarnya, segera kuseruput teh hangat untuk melancarkan makanan yang kutelan meski belum selesai kukunyah.
“Nurmala?”
Aku menggeleng.
“Lalu? Kemarin, aku melihat kalian bergandengan tangan di trotoar, bahkan keberadaanku pun tidak kalian sadari.”
Kuseruput kembali tehku, lalu kutatap Bu Callista yang sudah menyelesaikan makannya. “Nur itu adalah teman baik saya, bu. Saya sudah mengenalnya sebelum saya mengenal Maya, tapi di antara kami tidak ada hubungan apa-apa.”
“Lalu siapa gadis itu kalau bukan Nurmala?”
“Memangnya Maya bilang apa, bu?”
“Maya sangat kecewa ke kamu karena bukan hanya Ariya yang menjadi alasan kalian putus, tapi juga karena ada gadis lain. Selebihnya, Maya tidak mau cerita apapun.”
Aku menghela nafas mendengarnya. Maya masih melindungiku di depan kakaknya, ia tidak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Anggap saja seperti itu, bu.” aku merasa frustasi. Mungkin akan lebih baik kalau anggapan Bu Callista aku amini saja. Kini bukan hanya Ceu Ningrum yang sudah kutiduri, tapi juga Bu Ratih, tante sahabatku sendiri.
“Jadi benar kamu sudah punya pacar?”
“Maaf bu. Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang, masalahnya terlalu rumit. Yang jelas, saya minta maaf kalau saya telah melukai perasaan Maya, dan melukai perasaan ibu sendiri sebagai kakaknya.” Aku kebingungan sendiri, maka kujawab secara diplomatis.
Aku sadar bahwa Bu Callista adalah seorang dosen dan telah mengenyam pendidikan di luar negeri, akan sulit baginya untuk mencerna seandainya aku menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
"Aku tidak mengerti, Wa. Tapi oke.. fine.. aku tidak punya hak untuk ikut campur dengan urusan pribadimu. Tapi tolong jawab pertanyaanku satu lagi: kamu masih menyayangi Maya?”
Aku hanya bisa menggigit bibir mendengar pertanyaannya, sebuah pertanyaan yang jawabannya sangat mudah, tapi sulit untuk diucapkan.
“Wa?”
Fiuuuuh!!!
“Baik, bu. Akan saya jawab, tapi aku mohon ibu jangan pernah bilang lagi ke Maya.”
“Oke. Aku janji. Jadi?”
“Aku.. aku masih sayang Maya, bu. Aku mencintainya, tapi aku juga tidak mau melanjutkan hubungan kami.”
Bu Callista terbelalak mendengar jawabanku. Kaget, heran, kecewa, sedih, tidak percaya.. semuanya ada.
“Maaf.” ucapku sambil membenamkan diri pada sandaran kursi. Aku sendiri merasa tersakiti saat menyayangi orang yang sudah tidak bisa kumiliki lagi. Mungkin benar kata Cintung, aku harus menyelesaikan semua urusanku terlebih dahulu, sebelum memikirkan jodohku sendiri. Satu yang pasti, aku tidak ingin membuat Maya semakin terluka atas apa yang telah kulakukan di belakangnya. Sakit sekarang akan lebih baik daripada nanti, setidaknya kami masih sama-sama mempunyai waktu yang lebih panjang untuk menyembuhkan luka di hati masing-masing.
“Aku benar-benar tidak mengerti, Wa. Kamu sayang adikku, dan Maya -aku tahu sendiri- ia masih sangat menyayangimu. Ada apa sebenarnya?”
“Maafkan saya, bu.” sesalku.
Bu Callista menarik nafas panjang tanpa melanjutkan pertanyaan. Sekejap aku menangkap tatapan kosong pada matanya. Sebuah kesedihan yang tersembunyi.
“Aku menyayanginya, Wa. Aku sangat sayang adikku, makanya aku akan marah kalau ia disakiti. Tapi…”
“Tapi apa, bu?”
“Ehhh…?? Ngg… nggak, Wa. Mak… maksudku, aku juga tidak bisa memaksa keputusanmu.” Bu Callista terlihat gugup seakan sedang menyembunyikan sesuatu.
“Yasudah, kamu lanjutkan makanmu.” ucap Bu Callista dengan masih salah tingkah. Lanjutnya, “Ingat harus habis, aku mau ke toilet dulu.”
Aku hanya mengangguk sambil menyapu isi meja yang masih banyak. Belum juga aku melanjutkan makan, hapeku bergetar.
“Assalamualaikum, Bu Alya. Apa kabar?”
“Wualaikumsalam, Wa. Kamu kemana aja sudah lama gak berkirim kabar?”
“Hehehe.. baik, bu. Lagi sibuk aja dengan kuliah dan jualan.”
“Gini, Wa. Minggu depan kamu ada waktu, gak? Hari minggu sore.”
“Ssaya jualan, bu. Kalau dagang kan gak mengenal hari libur, hehehe…”
“Kamu bisa gak kalau hari minggu tidak membantu jualan dulu? Minta digantiin yang lain atau gimana..”
“Bisa sih, bu. Emangnya ada apa, ya?”
“Gini.. Hari minggu nanti, si bibi, pembantu kami, ulang tahun. Nah, ibu dan anak-anak mau membuat kejutan untuknya. Kamu datang yah. Kamu juga kan belum pernah ke rumah.”
“…”
Aku tercenung mendengarnya. Baru kali ini aku mendengar ada majikan merayakan ulang tahun pembantunya, betapa baiknya keluarga ini.
“Wa? Kok diam?”
“Eh.. iya, bu. Ssayaaa.. akan datang nanti.”
“Alhamdulillaaah. Ibu senang mendengarnya. Tapi ingat, kamu jangan kabur lagi nanti!”
“Hehee.. nggak atuh, bu. Nanti saya akan datang.”
“Baguslah kalau gitu, nak. Nanti ibu kasih tahu Callista dan Maya kalau kamu akan datang.”
“Ehh… Jjjaa.. jangan, bu.”
“Loh emangnya kenapa?”
“Biar surprise, bu.”
“Hahaha.. kamu itu. Yaudah… tapi kamu beneran datang ya.”
“Siap, bu. Saya pasti datang.”
“Yaudah atuh. Makasih, Wa. Assalamuallaikum.”
“Wualaikumsallam.”
Klik!
Aku melanjutkan makan dengan pikiran kosong. Rasanya menyesal juga telah menyanggupi untuk memenuhi undangan Bu Alya, secara aku pasti harus bertemu Maya dan kakaknya sekaligus. Aku takut kalau tiba-tiba ia marah, atau tidak suka, sehingga membuat acara yang Bu Alya siapkan menjadi berantakan.
“Kok makannya sambil bengong, Wa?”
“Eh… hehehe… nggak kok, bu.”
“Wa!!”
Kali ini suara Bu Callista sedikit tegas sambil kembali duduk dan menatapku.
“Iya, bu?”
“Bisa gak kalau di luar kampus begini gak usah manggil ‘ibu’? Gak enak kedengerannya. Lagian gak usah ‘saya-sayaan’ lah. Kaku jadinya.”
“Eh.. bu. Tapi…”
“Bisa, gak??” ia sedikit galak.
“Bbbisa.. tapi manggil apa ya?”
“Ya manggil say.. eeeh… Callista saja kek, apa kek…”
“Aduh… saya eh.. aku.. gak berani atuh bu kalau hanya manggil nama mah. Secara…”
“Apa? Kamu mau bilang aku tua? Kurang ajar kamu! Emang umur kamu berapa?”
“Hampir dua puluh tahun, dulu telat masuk SD hehehe...” kali ini jawabanku tanpa embel-embel ‘bu’ atau yang lain karena masih bingung harus memanggil apa.
“Nah kaan… bedanya juga cuma empat tahun kurang dikit. Kamu baru lulus SMA tahun ini?”
“Hehe.. nggak, bu. Saya lulus tahun lalu tapi baru tahun ini bisa melanjutkan kuliah karena…”
“Karena?”
“Ehh.. nggak. Enggak kenapa-napa.”
“Oh yasudah. Tapi ingat kamu manggil
aku ‘ibu’ hanya kalau di kampus saja.”
“Manggil apa atuh ya?”
“Ya terserah kamu, yang penting bukan ‘ibu’. Paham?”
“Kalau kakak?”
“Nggak suka. Lagian kamu kan bukan pacarnya Maya lagi.”
"Tétéh atau ceuceu?”
“Yeee.. sama aja atuh itu mah
“Cici?”
“Huuuh!!! Emangnya aku sipit?”
“Tante?”
“Sirnaaa!!!!”
“Hehee.. maaf.”
Aku berpikir sebentar sambil garuk-garuk kepala.
“Non?”
“Emangnya aku noni-noni Belanda apa?”
“Adek?”
“Itu mah melawan takdir.”
“Kalau… kalau… Calls atau Callista?”
“Sukaaaaa!!!!!”
Bu Callista langsung berdiri dan menghambur mau memelukku. Tapi segera kutahan karena malu banyak orang. Bu Callista seakan sadar akan lingkungan sekitar, maka ia urung memelukku. Tapi..
Cuuuuup!!!
Dengan sumringah ia mencium pipiku dengan cepat, lalu menggenggam tanganku erat. Pancaran senang dan bahagia tak bisa lagi ia sembunyikan. Aku membalas senyumnya sambil meremas pergelangan tangannya, yang dibalasnya lembut. Callista pun pindah duduk, tidak lagi berhadapan, dengan tangan tetap bertautan.
Kini ia bukan hanya menggenggam, tapi menarik tanganku dan menempelkan punggung tanganku pada pipinya. Matanya selalu lekat menatap. Sialnya… aku malah mengelus pipi halusnya dengan ibu jari, membuat ia merona.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar