BAB 31
Setelah mengeringkan wajah dengan handuk yang sengaja kugantung di depan kamar mandi, aku pun kembali menuju kamar, maksudku adalah untuk berganti baju. Tapi setibanya di depan kamar Rad, aku mendengar lenguhan-lenguhan halus di tengah kegelapan. “Siaaal!! Belum subuh sudah kukuruyuk!” batinku.
Aku terpaku sebentar sambil menajamkan pendengaran, dan bayangan tubuh seksi Lia yang sedang menggeliat dengan peluh di tubuh pun memenuhi pikiranku. Terbayang pula bibir tipisnya yang mendesis, juga goyangan pinggulnya yang menggoda. Khayalanku semakin menjadi saat suara erang dan lenguh semakin kerap kudengar.
“Maya!!” aku mengerjap sambil menyebut sebuah nama.
Lagian yang ada di dalam adalah sahabatku sendiri, sangatlah tidak elok membayangkan mereka.
Maka kuurungkan untuk masuk ke dalam kamar, dan langkahku langsung menuju rumah induk. Pikirku, kalau aku sudah menyelesaikan urusanku dengan Bu Ratih, aku bisa langsung tidur dan membuang pikiran-pikiran mesum yang tiba-tiba menggelayut.
Aku langsung menyelinap melalui pintu samping yang memang tidak dikunci. Kulewati dapur dalam keremangan menuju ke ruang tengah. Setibanya di depan kamar Nur aku berhenti sebentar. Siaaal!! Bayangan tubuh polosnya saat kulihat tanpa sengaja malah kembali teringat.
“Ingat, Wa, ia adalah sahabatmu yang telah menopang segala rapuhmu siang tadi.” akal sehatku memberi warning.
Maka aku pun melangkah menuju sebuah kamar yang memancarkan sinar dari dalam karena pintunya sedikit terbuka. Dengan ragu aku mendekatinya, lalu kuangkat tanganku untuk mengetuk. Tapi urung… mataku lebih cepat melihat apa yang ada di dalam daripada sentuhan tangan ini pada pintu
Kulihat Bu Ratih sedang menyusui Lintang dengan satu payudara menjuntai. Posisinya tertidur miring dengan satu kaki duluruskan di atas kasur, dan satu lagi ditekuk di atasnya. Posisi seperti itu bukan hanya memamerkan payudara, tapi juga memajang kedua paha gempalnya. Celana hitamnya melar membungkus pinggulnya yang besar dan lebar.
Aku begitu terpana mendapat tontonan yang tak disangka ini, bahkan untuk mengingat orang-orang yang akan membuatku sadar pun sudah tak mampu, kalah oleh degup jantungku. Nafasku terasa pendek, sementara si jalu malah keras memanjang di balik celanaku.
Bagai ada getaran magnet di antara kami berdua. Bu Ratih melirik ke arahku, sorot mata kami langsung saling bercumbu. Senyumnya mengembang, lebih tepatnya binal. Matanya menyipit sayu, walaupun sinarnya terasa menusuk kalbu kelelakianku.
Bagai terhipnotis, aku mendorong pintu kamar saat kulihat ia mengangguk. Aku pun masuk sambil menutupnya kembali, dan bahkan menguncinya. Semuanya serba otomatis seakan ada yang mengontrol kesadaranku dan memberi perintah untuk kulakukan.
Aku sudah tak tertarik mengamati seisi kamar, fokusku hanyalah tubuh sintalnya. Anehnya, tak sedikit pun aku merasa canggung, tiada pula takut. Aku seakan sedang bersama seseorang yang sudah biasa kutemui berdua seperti ini. Pun pula Bu Ratih. Ia menatapku dengan sayu tanpa menolak apalagi mengusirku.
Kini tahuku hanya satu, aku harus menggumuli wanitaku. Inginku hanya satu, merengkuh kepuasan bersama Bu Ratih. Rasa panas sudah menjalari seluruh tubuhku, kulitku terasa menjadi sensitif, dan hasratku bangkit, meminta dituntaskan. Kesadaranku pula hanya satu, aku harus membuahinya. Duniaku hanya Bu Ratih semata.
Aku duduk di tepi ranjang, kuusap kepala Lintang yang tertidur pulas dengan mulut mungil mengemuti puting ibunya. Lalu kutatap ibunya yang tak lepas memperhatikanku. Aku pun merunduk. Bukan bayi ini yang kucium, tapi bibir ibunya.
Ciuman ini teramat tipis namun sudah cukup menggetarkan seluruh tubuh kami masing-masing. Terdorong oleh getar birahi yang mulai menjalari seluruh tubuhku, kuraih si mungil Lintang.
Ploooop!!
Mulutnya terlepas dari puting sang ibu, membuat payudara Bu Ratih terpampang utuh dengan tetesan putih air susu membintik. Aku mendengus karena gairah, lalu melangkah memindahkan Lintang ke dalam box bayi di pinggir tempat tidur.
Sejenak aku menatap si mungil yang sudah kuletakkan di atas tempat tidurnya. Kupasangkan selimut lalu kuelus pipinya dengan punggung jariku. Perlahan aku membalik.. masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dengan ibunya. Waktunya tidak banyak, karena waktu sudah tengah malam.
Dan… aku tercekat saat kulihat Bu Ratih sudah duduk di tepi tempat tidur dengan daster sudah ia loloskan seutuhnya. Kedua payudaranya pun sudah utuh tanpa pembungkus, menggantung indah. Aku hanya bisa menelan air liur menyaksikannya, sementara ia memutar beha yang melingkar, memindahkan kaitannya ke bagian depan.
Klik!!!
Beha itu pun terlepas. Tubuh atasnya sudah utuh… warna kulitnya nampak mengkilap diterpa lampu kamar. Perpaduan antara putih dan kuning langsat.. membuat si bangsat semakin menggeliat dari balik kolorku.
Seperti sengaja, Bu Ratih mencium behanya sendiri lalu memutar-mutarkannya sambil tersenyum nakal.
Pluuuk!!!
Putaran itu terlepas, dan beha hitamnya terbuang ke atas lantai. Kini aku melihat seorang Bu Ratih yang lain. Sorot matanya adalah perpaduan antara sorot matang seorang wanita setengah baya dan binar manja; sedangkan bahasa tubuhnya sendiri hanya binal semata.
Aku terbelalak saat Bu Ratih berdiri dan menunduk untuk melepaskan celana dalamnya. Kedua payudaranya menggantung dan terayun tepat di hadapanku. Mataku semakin nanar saat ia kembali berdiri tegak memamerkan tubuhnya yang sudah sepenuhnya polos. Bulu kemaluan tipis nampak memahkotai lubang nikmat yang masih tersembunyi di antara kedua pangkal pahanya.
Aku mendekatinya dengan nafas tersengal dan jantung berdebar kencang. Namun sebelum aku menyentuhnya, ia menahan dadaku dengan telunjuknya. Matanya berbinar nakal, dan senyumnya binal menggemaskan.
Tanpa diperbolehkan menyentuhnya, ia melepaskan jaketku dan memereteli kancing kemejaku. Ia menggigit bibir bawahnya saat dadaku terpampang. Nafasnya nampak mulai tersengal. Kuselesaikan tugasnya dengan meloloskan kemejaku, sementara ia berjongkok melepas ikat pinggangku.
Ia melakukannya sambil mendongak seakan sengaja menggodaku. Kuulurkan tangan untuk memegang dagunya, tapi ia tepis sambil mendesis. Aku mengalah.. kuikuti maunya, kulayani permainannya.
Celana panjangku pun luruh bersamaan dengan celana dalam yang ia pelorotkan. Seketika penisku mendongak tepat di depan wajahnya. Ia sedikit terbelalak. Dengan nakal ia mendekatkan bibirnya ke ujung si jalu, sementara kakiku terangkat untuk melepaskan celana dari pergelangan kakiku.
Penisku seakan mau meledak saat dengan sengaja ia mendenguskan nafasnya pada kepala penisku, juga tanpa menyentuhnya. Aku hanya bisa menunduk gemas tanpa bisa berbuat apa-apa.
Bu Ratih pun berdiri dan meloloskan kalung cincin dari leherku, hanya menyisakan kalung siung harimau. Payudaranya nampak turun-naik seiring nafasnya yang tersedak gairah. Sementara tangannya melepaskan cincin dari rantainya. Diraihnya telapak tanganku dan meletakkan cincin itu pada telapak tanganku.
Bagai tersirep, aku menerimanya dan memasangkan pada jari manisnya. Tubuh kami bergetar hebat saat jemari kami bersentuhan, dan cincin pun kini sudah terpasang.
Bu Ratih menuntun tanganku ke atas pembaringan tanpa mau kusentuh sama sekali, padahal gairahku sudah menggelegak. Ia mendorongku supaya berbaring, sementara ia mengangangkang di atasku dengan kedua lutut sebagai tumpuan. Kedua payudaranya menjuntai dengan kedua puting menggelitik dadaku. Kami sama-sama mendesis.
Plaaak!!!
Tanganku ditepis saat mau meremasnya. Dengan sedikit kasar dan dengusan keras ia mengembalikan tanganku menyamping di atas kasur.
Dengan sengaja pula, ia menyodorkan putingnya tepat di depan mukaku dan menggelitik setiap lekuk wajahku, mulai dari ujung dan batang hidung, kedua mata, dahi, pipi, dagu... Puting itu terasa keras pada kulitku. Kusiap untuk mencaploknya saat ia menempelkannya dan menyusuri lembah bibirku, tapi ia lebih sigap menjauhkannya. Aku hanya mendesah kesal, sementara ia mendesis nakal.
Kali ini aku benar-benar mengalah. Tubuhku terbujur kaku, dan bintik keringat mulai merembes karena menahan gairah yang tak tersalurkan. Di bawah sana, penisku terasa begitu ngilu karena mengacung tegang.
Aku hanya bisa meremas seprei ketika kedua putingnya ia turunkan, kembali menggelitik dadaku, turun ke perut dan pusarku, dan…
Batang penisku bergetar-getar saat berjumpa dengan puting tegangnya. Desisannya semakin kerap kudengar membuatku merasa marah karena gairah. Tapi sebisa mungkin aku menahan diri, ingin tahu sampai sejauh mana permainannya.
Bu Ratih mendongak nakal. Wajahnya sudah mulai basah oleh keringatnya sendiri. Bintik-bintik basah pada tepian rambutnya yang digulung ke belakang, juga kilatan keringat pada leher dan belahan dadanya membuatnya terlihat amat seksi. Sambil menggigit bibirnya, ia mencucukkan payudaranya pada kepala penisku berulang. Penisku bergetar dan terasa panas menyambut gantungan kenyal dan empuk.
Tiba-tiba Bu Ratih mendudukiku lututku sambil meremas dadanya sendiri. Air susu pun menetes, putih dan kental. Ia menunduk sambil meremas dadanya lebih keras. Cairan putih pun menyemprot tepat pada kepala dan batang penisku. Bagai tersengat listrik, penisku bergetar tanpa henti, karena geli dan nikmat menerima semprotan air susunya.
Permainan Bu Ratih belum selesai. Ia kembali memosisikan dirinya. Putingnya kembali menyentuh penisku sambil mengoleskan air susu yang masih menetes. Penisku sudah benar-benar basah, terasa lengket; ngilu bercampur geli semakin kurasakan.
Bu Ratih menggenggam ujung kedua payudaranya sendiri lalu di jepitkan pada penisku. Sensasinya membuatku menggelinjang, tanpa sadar mulutku menggeram pelan. Mataku terpejam.
Cukup lama Bu Ratih memperlakukanku seperti ini membuat penisku benar-benar terasa mau meledak. Aku baru membuka mata ketika sentuhannya terlepas-hilang, dengan nanar aku melihat ke bawah. Siaaal!!! Permainan belum selesai. Bu Ratih meniupi kepala penisku membuatku kegelian dan menggelinjang. Lidahnya terjulur dan mencucuki kepala penisku yang mengkilap lembab. Lalu diemutinya kepala penisku membuat mulut seksinya membulat bundar. Lidahnya masih menggelitiki kepala penisku.
Aku benar-benar basah oleh keringat menerima kenikmatan tiada tara ini. Ia benar-benar menyervisku, tepatnya menyiksa birahiku. Kalau biasanya laki-laki yang memanjakan perempuannya dan membuatnya orgasme berkali-kali, yang terjadi kali ini justru sebaliknya. Nafasku kian tersengal ketika ia mulai mengecupi batang penisku sambil sekali-kali menyisir dengan lidahnya. Geli! Basah!
Aku menarik nafas panjang antara lega dan tanggung ketika Bu Ratih mengakhiri permainannya dan bangkit berdiri. Nafasnya tersengal, dan wajahnya sudah basah oleh keringat, sama sepertiku.
la menunjuk wajahku sambil berdiri mengangkangi selangkanganku. Kulihat jembutnya juga sudah basah, di bawahnya dua sisi kemaluannya tebal dan tembem; juga nambak lembab dan ada cairan putih yang menggumpal kecil. Seksi..!!!
Bu Ratih berjongkok di atas penisku. Kemaluannya terbuka menampakan bagian dalam vaginanya yang merah-pucat dan basah. Aku benar-benar terpana sambil menahan nafas. Aku hanya bisa mengernyit saat ia menggenggam batangku dan mencucukkan kepalanya pada pintu lubang nikmatnya.
Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka tanpa suara. Nafasnya seakan terhenti saat pertemuan pertama kemaluan kami. Dua detik mungkin kami seperti ini, sebelum akhirnya ia mulai menekan tubuhnya ke bawah.
Sleeeep!!!
Ngilu kurasakan.
Sleeeeep!!!
Perih pada kulit penisku memasuki lubang sempitnya.
Sleeeeeppp!!!
Pijatan halus dinding lembut vaginanya membuatku meringis
Blesssss!!!!
Hanya erang yang saling kami bagikan.
Tubuhnya tersentak dan bergetar hebat. Rintihannya terdengar seperti seorang anak kecil yang merengek.
Penisku sudah benar-benar terbenam utuh, disambut kedutan selaput halus pintu rahimnya.
Aku yang sudah tidak tahan, segera mengangkat pinggulku, mengaduk isi vaginanya. Hal ini membuatnya menjerit kecil, tubuhnya limbung dan menunduk mencari tumpuan pada dadaku. Aku segera memanfaatkan kesempatan dengan meraih kedua payudaranya yang sejak tadi ingin kuremas.
Segera kuremas dengan keras dan gemas.
Mendapat serangan mendadak, Bu Ratih memekik sambil semakin mendoyongkan tubuhnya.
Matanya terbelalak. Kini aku sudah tidak bisa meremasi payudaranya lagi karena tubuhnya ambruk di atas dadaku. Kesempatan ini kupakai untuk melumat bibirnya yang tebal dan basah.
Saling lumat pun kami lakukan seiring gerakan pinggulnya yang mulai bergoyang. Bibir dan lidah kami saling mencumbu, sementara kemaluan berkecipak saling menyambut.
Tak perlu waktu lama, nafsu yang sudah ditahan sampai ubun-ubun akhirnya meledak juga. Permainannya sebelum penetrasi membuatku tidak bisa bertahan lama. Kantong kemihku terasa menciut, sedangkan batang penisku malah terasa semakin membengkak. Remasan dinding vagina Bu Ratih pun semakin berkedut kuat dan mengalirkan cairan basah kenikmatannya.
Pada satu titik... mulut kami terpisah disertai rintihan dan erangan. Gerakan cepat pompaan serentak berhenti seiring puncak orgasme yang kami rasakan bersamaan. Tubuhnya mengejang hebat, tubuhku bergetar kuat. Ledakan spermaku menembak keras, disambut semburan orgasmenya yang deras.
Duniaku hilang, tubuh dan anganku serasa melayang, menyambut kenikmatan yang tak terkatakan. Pun pula Bu Ratih, ia benar-benar ambruk di akhir lolongan nikmatnya.
Dua... tiga... lima menit... kami larut dan hanyut dana orgasme hebat yang sama-sama dirasakan. Anehnya, penisku tidak layu pasca menyemburkan spermaku yang telah meruntuhkan semua kekuatanku. la tetap tertancap dan bahkan terasa semakin keras, dan energi hangat pun menjalari tubuhku membuatku bertenaga kembali. Aku tidak sempat berpikir kenapa dan ada apa, karena nafsu dan birahiku menggelegak kembali.
Kubalikan tubuh Bu Ratih dengan kemaluan tetap tertancap. Bu Ratih masih terkulai bagai orang yang baru terbangun dari tidur. Tubuhnya tersentak.. tapi tidak berlangsung lama. Rintihnya terdengar kembali saat aku mulai memompa pelan. Saat matanya terbuka kupercepat pompaanku.
Maka terjadilah.. malam ini kami kami saling meraih nikmat seakan tiada lelah dan seolah tak akan ada lagi kesempatan. Tempat tidur sudah acak-acakan dan basah oleh peluh juga cairan kenikmatan. Berbagai gaya kami lakukan, tak terhitung jumlah orgasme yang kami dapatkan, tapi nafsu ini seakan tak ada habisnya.
Pada satu titik... Bu Ratih benar-benar kewalahan dan ia merintih meminta ampun. Tapi aku seperti bukan aku. Ada kekuatan lain yang menguasaiku, tenagaku selalu pulih dan pulih lagi. Kupompa kemaluan Bu Ratih yang terasa semakin basah dan longgar dengan keras dan garang. Dengan posisi konvensional Bu Ratih hanya bisa kelenjotan di bawahku sambil menjabak dan mencakar apapun yang bisa ia raih. Kecipak bunyi peraduan kemaluan kami berirama dengan geramku, dengan rintih dan seruan minta ampunnya, juga dengan derit ranjang yang bergoyang.
Kulihat Bu Ratih sudah benar-benar kewalahan, dengan cepat ia meloloskan cincinku pada jarinya dan melempar sembarangan, berdenting berkali- kali pada ubin.
Suara bedug subuh terdengar, ayam berkokok, aku mengerang, Bu Ratih menjerit, Lintang menangis..
Kemaluan kami sama-sama menyemburkan lahar panas. la squirt pada orgasme terakhirnya, tanpa bisa memancur karena aku sudah tak punya tenaga untuk mencabut penisku.
Aku ambruk tak bertenaga. Sementara pada sisa kesadaranku, kulihat seekor harimau putih meloncat keluar dari jendela. Sebuah pemandangan ganjil dan aneh karena jendela tertutup dan terkunci rapat. Selebihnya aku tidak ingat apa-apa lagi.
Aku menggeliat ketika ada seseorang yang mengguncang tubuhku. Kubuka mataku dengan enggan, dan aku terhenyak saat kulihat Bu Ratih membangunkanku. Ia sudah mengenakan kembali dasternya sambil menyusui Lintang. Aku mengerjap sambil mengingat apa yang terjadi.
Aku pun segera meloncat dan meraih pakaian yang Bu Ratih sodorkan. Keadaan tubuhku yang telanjang bulat membuatku sadar; kenikmatan yang kami lalui semenjak tengah malam bukanlah mimpi. Takut, sedih, bingung, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu.
Dengan tergesa kukenakan pakaianku di bawah tatapan lelah Bu Ratih. Kuraih kalung yang Bu Ratih sodorkan dan kumasukkan ke dalam kantong celana. Semuanya kulakukan dalam diam. Kenikmatan yang telah dilewati masih terbayang, tapi rasa sesal dan perasaan bersalah lebih kuat menguasai.
“Bbbu…” aku akhirnya berkata gugup.
“Sudah.. sekarang kamu pulang dulu, mumpung Mala sedang di kamar mandi.” ujar Bu Ratih. Ia seakan tidak menyesali perbuatan kami, kata-katanya terucap dengan bahasa bahagia penuh kepuasan.
Ada begitu banyak tanya dan sesal yang mau kusampaikan, tapi ia mengingatkanku sekali lagi untuk segera pergi, sebelum Nur selesai mandi. Maka dengan tergesa aku meninggalkan kamar Bu Ratih dan mengendap keluar melalui pintu samping.
Keadaan masih gelap dan sepi pertanda para penghuni masih enggan keluar dari alam mimpi. Tapi tidak denganku. Pikiranku kalut, perasaanku kalang kabut, dadaku bergemuruh gaduh, tak sesunyi suasana pagi ini.
Aku membuka kunci pintu kamar dengan pelan-pelan dan menyalakan lampu dari saklar di sebelahnya. Kamarku benderang, tapi pikiranku masih kalut. Kuputuskan untuk langsung mandi saja sekedar menyegarkan badan dan menjernihkan pikiran. Namun sebelumnya ku- charge dulu hapeku dan kukembalikan cincin pada kotaknya.
Aku memasuki kamar mandi sambil bertelanjang dada. Dinginnya pagi tak membuatku menggigil, karena prosesor otakku seakan sedang berputar keras.
Kunyalakan keran dan kuloloskan celanaku.
Byuuuurrrr!!
Kusiram kepala dan tubuhku dengan air gayung berkali-kali. Bukannya mengambil sabun, aku malah menutup wajah basahku dengan menangkupkan kedua telapak tangan. Tubuhku bergetar dan luruh, merosot pada dinding kamar mandi sampai akhirnya terduduk di lantai.
Aku menangis dalam ketidakberdayaan dan ketidak mengertianku. Kenapa…?? Di saat aku mau memperbaiki hubunganku dengan Maya, aku malah kembali melakukan perbuatan terlarang di belakangnya. Aku telah mengkhianati Maya untuk kedua kalinya, meskipun kini statusnya bukan lagi pacarku. Belum lagi rasa bersalahku pada Nur, padahal dulu ia begitu membenci pamannya karena menyelingkuhi Bu Ratih. Malam ini aku telah melakukan yang lebih dari itu, dengan meniduri bibinya sendiri.
Semua permenunganku di taman Kartini kemarin malam, kini seakan tak berjejak dan tak berguna atas apa yang aku dan Bu Ratih lakukan. Sialnya… pergumulan itu kembali terbayang dan aku menikmatinya.
https://t.me/cerita_dewasaa
Aku mengerjap saat ada yang menepuki pipiku pelan. Kubuka mataku perlahan karena masih merasakan kantuk yang amat sangat. Kulihat Nur sedang duduk membangunkanku. Mataku langsung disuguhi senyum manisnya, sedangkan penciumanku disambut aroma kopi hitam.
“Bangun, Wa. Abis mandi kamu tidur lagi ya?” tanyanya.
Aku langsung sadar akan keadaan. Kini aku hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Seusai mandi, tubuh dan pikiranku teramat lelah sehingga langsung berbaring sampai tertidur.
“Jam berapa ini?” tanyaku tanpa mengabaikan pertanyaannya.
“Udah jam tujuh. Ayo bangun, kita kan ada kuliah jam delapan.” Nur menjawab sambil memalingkan muka, menghindariku yang bertelanjang dada.
“Hmmmm.” gumamku sambil berdiri.
Nur melangkah ke arah pintu untuk memberi kesempatan padaku berganti pakaian. Hari ini kuputuskan untuk memakai celana dan kaos berkerah agar kelihatan lebih sopan karena aku harus menghadap Bu Callista. Padahal biasanya aku hanya memakai kaos tanpa kerah.
“Udah.” ucapku.
Nur pun berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar. “Kamu sarapan dulu, tuh aku udah beliin bubur dan bikinin kopi.” ucapnya sambil tersenyum.
“Terima kasih.” jawabku singkat sambil menyeruput kopi. Bukan apa-apa, hanya itu yang bisa kuucapkan karena aku begitu terharu pada perhatiannya, padahal aku telah bermain curang pada bibinya.
“Kamu kok keliatan lemes banget sih? Sakit yah?”
“Ng.. nggak kok. Kecapean aja.”
“Semalam pulang jam berapa?” tanyanya, kali ini sambil memegang dahi dan leherku.
“Jam dua belasan kali ya.” jawabku.
“Yaudah kamu makan dulu biar seger, tubuhmu gak panas kok.”
Kuraih mangkok bubur dan kembali duduk bersisian di atas kasur. Kuaduk semua sambal pada sendok, sementara Nur membukakan plastik yang berisi kerupuk.
“Kamu udah sarapan?” tanyaku.
Nur mengangguk sambil menaruh kerupuk pada mangkokku dan sebagian langsung kuaduk.
Melihat sikap Nur, aku langsung menatapnya. Sinar mata kami pun beradu beberapa saat, dan berakhir saat ia tersipu dan pura-pura menuangkan bubuk kerupuk yang tersisa.
“Beneran udah sarapan?”
“Udah. Tadi aku beli bubur dua kok.”
“Nih..”
“Eh..??”
Nur kaget saat aku menyodorkan sendok untuk menyuapinya.
“Kamu ini apa-apain sih? Orang aku udah sarapan. Gak percaya pisan.” omelnya tapi dengan pipi sedikit memerah.
“Aaa dulu.” paksaku.
“Iiih.. kerupuknya aja.”
Kusuapkan isi sendok pada mulutku, setelahnya aku mengambil kerupuk yang belum diaduk dan menyuapinya. Sikapnya yang salah tingkah dan kehilangan kebawelannya begitu lucu, dan aku sendiri melakukan ini secara spontan, seakan menjadi dorongan bawah sadar atas ucapan terima kasih sekaligus penyesalanku.
Nur hanya mau kusuapi dua kali, selebihnya aku sarapan ditemani lirikan-lirikan diamnya.
“Sinih.” ucapnya di akhir suapan terakhirku.
Ia meraih mangkok kosong dari tanganku dan beranjak menuju keluar kamar. “Sepuluh menit lagi aku tunggu di bawah.” jawabnya sambil membalikan badan.
“Eh Nur… kita ke rumah Kang Narto dulu, ya. Mau nganterin motor.”
“Yaudah.. buruan.”
“Siap nona cantik.”
Nur memeletkan lidah lalu meninggalkanku. Wajahnya riang dan langkahnya ringan.
Sekepergiannya aku memeriksa hape yang ternyata banyak pesan di dalamnya. Kubaca satu per satu sambil menghisap sebatang rokok dan menghabiskan kopi. Dari semua pesan yang ada.. tak satupun yang masuk dari orang yang sangat kuharapkan.
Aku pun hanya membatin menyebut namanya. Kuhabiskan kopiku, kuraih tas gendongku, dan beranjak meninggalkan kamar. Saat mengunci pintu...
“Dasar penjahat kelamin!!!”
Duaaaar!!!!
Aku tersentak mendengar suara yang tiba-tiba menghardikku. Seorang gadis berdiri dengan sangat marah. Mukanya merah padam dengan mata tajam seakan menusuk jantungku. Melumpuhkan segala dayaku.
Aku hanya bisa mematung dengan tangan bergetar, keringat dingin pun langsung membasahi telapak tangan dan dahiku. Rokok pada bibirku pun terjatuh. Aku langsung lemas melihat kehadirannya yang langsung menghardik dan memberi penghakiman. Aku sudah tidak bisa menghindar.. tak ada alasan yang bisa kuberikan… meskipun aku tidak tahu dari mana ia mengetahuinya.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar