Cincin dari masa lalu part 30

 

BAB 30


RUNTUHNYA TEKAD DAN KEYAKINAN?








“Aku permisi, kang.” pamitku kepada Kang Narto setelah selesai menurunkan sisa dagangan dari gerobak dan memasukkannya ke dalam rumah.


"Ceu , aku pulang dulu.”




Aku pun menyalami kang narto dan ceu Ningrum. Bahkan wanita ini mencium keningku di depan suaminya, sebuah kebiasaan baru yang selalu ia lakukan semenjak beberapa hari terakhir ini. Tidak ada protes tentu saja, aku sudah mereka anggap sebagai adik sendiri.




“Hati-hati.” seru mereka bersamaan.




Aku pun mengangguk dan menyalakan mesin motor, malam ini aku pulang membawa motor Kang Narto karena pasti sudah tidak akan ada lagi angkot. Jalanan memang cukup sepi dan cuaca terasa dingin, sementara di atas sana purnama sudah mendekati titik vertikalnya. Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang karena tak ingin rokok yang menempel di bibir terbuang.




Begitu menyeberangi rel dan melewati taman Kartini yang gelap dan sepi, aku membelokkan motorku, kuputuskan untuk duduk dan menyendiri sebentar. Selalu ada dorongan untuk kembali, duduk di bangku yang sama, dan merenung seorang diri. Sebuah kebiasaan baru yang aku sendiri tidak tahu mengapa dan untuk apa, tapi aku cukup menikmatinya, khususnya di saat sedang banyak pikiran, atau sekedar untuk melepas penat. Seperti malam ini, tubuhku memang terasa lelah, tapi pikiran ini kembali berputar memikirkan semua hal yang telah terjadi hari ini.




Kududuk di tengah kegelapan karena lampu taman mati, atau mungkin sengaja dimatikan. Pikiranku melayang.. terutama menyimak kembali semua yang Ariya katakan. Ia masih muda tapi pribadinya cukup berkharisma, dan pemikirannya sangatlah bijaksana. Kadang aku berpikir, kenapa seorang Maya tidak bisa mencintainya, dan malah memilihku yang bukan siapa-siapa.






“Apa yang sudah dimulai dengan baik, jangan kamu akhiri dengan perselisihan… Cinta boleh putus, tapi semangat jangan patah. Cinta boleh kandas, tapi jangan diakhiri dengan permusuhan.”


“Cintamu mungkin patah, tapi jangan mengering dan hanya menjadi kayu bakar yang akan mampir menjadi arang, lalu menghilang.”






Kata-kata itu terus terngiang, bahkan selama aku jualan dan mengantarkan pesanan. Aku mengerti maksudnya.. bahwa aku harus memulihkan hubunganku dengan Maya, setidaknya kalaupun cinta kami tidak kembali menyatu, tapi hubungan persahabatan jangan dihilangkan.




Dari lubuk hatiku yang paling dalam, tentu saja aku ingin agar cinta kami menyatu kembali. Aku masih menyayanginya.. sangat…!!!




Kini aku telah bisa menyelesaikan masalah dengan Ariya, bisa membersihkan kebohongan dan kesalahpahaman, tapi aku tidak bisa membersihkan apa yang sudah kulakukan di belakang Maya. Kalau masalahnya hanya Ariya, maka tidak ada lagi penghalang untuk cinta kami, tapi sekarang, apakah Maya bisa memaafkan perselingkuhanku dan menerimaku kembali?




Nur sudah tahu tentang perselingkuhanku, dan ia bisa menerimaku apa adanya, tapi Maya? Nur hadir sebagai sahabat sehingga bisa menerima baik dan burukku, tapi Maya lebih dari sekedar sahabat. Kekasih manapun akan kecewa dan terluka ketika tahu pasangannya main api dengan perempuan lain.






“Kita sudah cukup dewasa untuk bisa berpikir, juga sudah cukup dewasa untuk bisa memaafkan.”






Kuingat ucapan Ariya yang lain. Memang ia berbicara dalam konteks supaya aku mau memaafkan Bu Callista, tapi akhirnya berlaku untuk semuanya. Kini semua persoalan ada padaku, dan hal terpenting adalah aku harus bisa memaafkan diri sendiri, baru bisa memulihkan semua hubunganku, baik dengan Maya maupun dengan Bu Callista. "Yang sudah lewat biarkan berlalu; yang penting jangan saling membenci, termasuk membenci diri sendiri." Njndemikian kata sahabat baruku.




Kunyalakan kembali rokokku sambil membaringkan diri di atas kursi panjang. Mataku memandang ke atas dedahanan pohon yang meranggas, dengan sinar purnama yang menyusup di antara sela dedaunannya.




Sebulan telah berlalu sejak aku dan Ceu Ningrum meraup nikmat di Ciwidey kala itu. Aku menikmatinya, aku menginginkannya kembali. Pun pula Ceu Ningrum. Tapi nurani ini masih bisa memenangkan pertarungan.




Hubungan kami tetap baik, dan kami sama-sama bisa menutupi perbuatan kami dari Kang Narto. Kami sudah sepakat untuk tidak mengulanginya, walaupun ia tetap tak menyembunyikan sikap manjanya di depanku; bahkan ketika sedang ada suaminya. Kalau sudah begitu, Kang Narto hanya tertawa. Hatinya sangat tulus, dan sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. Ini yang membuatku semakin merasa bersalah.




Beberapa kali aku memang hampir tergoda untuk kembali menggaulinya, tapi Ceu Ningrum bisa mengontrol diri dan menyadarkanku. Di lain kesempatan, justru Ceu Ningrumlah yang nafsu menggebu, tapi aku yang bisa menguasai diri. Jadilah… peristiwa purnama itu tidak pernah terulang lagi. Kelamin kami seakan sudah tidak mempunyai chemistry lagi untuk saling mengunjungi.




Seiring selesainya masalah dengan Ceu Ningrum, satu per satu masalahku juga teratasi dengan -boleh dibilang- mudah. Persahabatanku dengan Nur sempat renggang, tapi semuanya selesai begitu saja karena perubahan sikapnya yang kembali baik… Ketakutanku akan kemarahan Ariya karena telah “merebut” Maya tidak menjadi kenyataan… Bu Alya tetap baik dan sering berbagi kabar, meski malam itu aku tidak menemuinya…




Kini masih ada sedikit yang mengganjal, tapi aku malah takut menghadapinya. Pertama adalah menemui Bu Callista besok siang, dan yang kedua memulihkan relasi dengan adiknya yang masih kucintai.




“Ayo, Wa, jangan lembek.” aku menyemangati diri sendiri sambil mengingat ledekan Nur.




Fiuuuhh... kuhembuskan nafas panjang seiring dengan asap terakhir hisapan rokokku. Kubulatkan tekadku untuk tetap menemui Bu Callista besok siang dan meminta bantuan Lia agar aku bisa bertemu dengan Maya. Aku harus mencoba, apapun resikonya. "Ketakutan terbesarmu bukan menghadapi mereka. Tapi menghadapi diri sendiri." kata Ariya tadi siang. Dan aku tidak boleh takut, aku harus menghadapi semuanya ini.




Kini perasaanku lebih lega, dan pikiranku tidak seruwet sebelumnya. Aku sudah bisa melawan apa yang kurasakan dan kupikirkan, saatnya menjalani apa yang sudah kuputuskan.




Aku pun berdiri sambil merogoh hapeku sekedar untuk melihat petunjuk waktu, ternyata hapeku mati, pantesin dari tadi tidak bergetar. Kumasukkan kembali ke dalam saku celanaku dan merogoh kunci motor di dalam saku yang satunya. Tanpa sengaja jariku menyentuh rantai kalung yang sejak tadi memang kukantongi.




Kukeluarkan dan kucium bandul cincinnya, kini aku melakukannya tanpa rasa luka, melainkan syukur karena pernah memilikinya. Sebait doa pun terucap dalam hati. Tanpa berpikir panjang, aku pun mengalungkan talinya pada leherku, lalu melangkah ke parkiran.




Setibanya di kostan aku langsung memarkirkan motor di garasi yang memang diperuntukan untuk roda dua para penghuni. Langkahku panjang menuju tangga ke kamarku…




“Eeehhh…!!” aku kaget saat tiba-tiba melihat sosok Bu Ratih keluar dari ruang TV anak-anak kost.


“Mmalam, bu.”


“Malam, Wa. Kok hapemu gak aktif?”


“Ii..ya, bu. Maaf habis batere.”


“Oooh.. yaudah…”




Bu Ratih nampak kecewa, wajahnya cemberut. Namun bukan itu yang membuatku terkesiap, melainkan daster pendek yang ia kenakan. Memang tidak tipis, tapi modelnya yang pendek membuat setengah pahanya nampak putih-kekuningan tersorot lampu pijar, belum lagi belahan dadanya yang mengundang setiap wajah untuk membenam di sana.




Rambut belakangnya digelung membuat leher dan bagian atas tubuhnya terkesan seksi menggiurkan, dan memberi kesan kontras pada bibirnya yang digincu merah.




Tubuhnya memang sudah tidak sekencang dan selangsing gadis-gadis muda, tapi juga tidak gemuk dengan banyak gelambir lemak. Mungkin ini yang disebut oleh Nurdin dan Karma dengan semok.




“Heeeh.. itu mata.” desis Bu Ratih menyadarkan keterpanaanku. Meski begitu ia tidak terlihat marah sama sekali, senyumnya malah mengembang dan menggoda.


“Bu Ratih kok belum tidur?” tanyaku sekedar menutupi kegugupan.


“Kan nungguin kamu.”




Fiuuuuh… aku lupa kalau aku sudah janji untuk membantunya sebelum berangkat jualan tadi.




“Eh.. iyah.. maaf.. ibu mau minta tolong apa, ya?”




Belum juga ia menjawab, tiba-tiba terdengar suara Lintang yang menangis.




“Nanti ibu tunggu di rumah, lewat pintu samping aja biar tidak dilihat orang.” ucapnya sambil terburu menuju rumahnya.




Aku hanya memandangnya dari belakang dengan perasaan berdebar, mataku terpaku pada pinggulnya yang lebar, membuat tepi dasternya terangkat, lebih tinggi dari pada bagian depan.




Dengan desah panjang aku melanjutkan langkahku menaiki tangga, tanganku masuk ke dalam celana untuk membetulkan si jalu yang tak tahu malu menggeliat. Terasa sakit karena terjepit, dan menyundul karet celana dalamku.




Aku pun langsung menuju kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi, kulewati kamar sahabatku nampak sudah gelap. Sambil membersihkan diri aku mencoba menepis bayangan seksi Bu Ratih dengan mengingat sosok Maya yang tetap kusayangi. Aku harus bisa menghentikan stigma mesum yang sudah cukup melekat diberikan oleh para sahabat dan teman-temanku. Dan terutama.. demi Maya…!!




[POV Cintung “Sebelum waktunya tiba, kamu gak akan bisa.”]








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar