Siang itu aku masih di kampung halamannya Luki. Rencananya malam ini kami pulang ke kota setelah memastikan keadaan Om-nya Luki yang sedang sakit. Hari ini untungnya ada teman sekantor yang bisa menggantikan tugasku untuk sementara waktu jadi aku bisa santai mengatur jam pulang kami nanti.
Pukul 9 pagi keluarga Luki kembali datang setelah semalaman berada di rumah saudaranya yang sakit itu. Namun begitu ayahnya langsung pergi lagi dari rumah, katanya sudah ada janji dengan petani yang menggarap ladangnya. Jadilah aku hanya bertemu dengan ayah Luki sebentar saja, bahkan kami tak sempat ngobrol lama.
Setelah selesai sarapan, aku dan Luki kembali duduk-duduk di ruang tamu. Aku sudah rapi dengan kemeja dan celana panjang, sedangkan Luki masih santai memakai dasternya. Pikiranku jadi sedikit tenang karena kulihat ada tali Bh yang tercetak di balik kain dasternya. Kupikir jangan sampai orang lain tahu apa yang telah kami perbuat pagi tadi. Apalagi keluarganya Luki terutama.
“Mas.. ntar kita kerumah Om Budi agak sorean yah.. biar sekalian kita jalan pulang” ucapnya.
“Iya oke.. tapi apa gak terlalu singkat? Padahal katanya kamu diminta pulang sama keluarganya Om kamu...”
“Iya sih mas.. tapi aku malas banget mau ketemu sama istrinya Om Budi” ucapnya bete banget.
“Loh, kenapa emang?”
“ya gitu deh.. dia itu kan istri mudanya Om Budi.. ahhh.. kerjaannya cuma ngabisin duit Om ku aja”
“Hehhhh.. ngarang aja.. aku enggak lahh..” balasnya tak setuju.
“Hahaha.. mana ada, buktinya suami kamu kerja ke luar pulau.. kamunya malah enak di rumah nerima uangnya”
“Hihihi.. iya sihh.. tapi itu lain kasusnya..”
Beberapa lama kami ngobrol, tiba-tiba ibunya Luki datang dari dalam rumah lalu ikut nimbrung bicara dengan kami berdua. Rupanya benar apa yang dikatakan Luki, ternyata ibunya juga sangat cuek sekali dengan penampilannya. Tubuh atasnya hanya tertutup Bh saja, sedangkan bawahnya memakai celana pendek motif bunga-bunga. Karena Luki sudah cerita, aku akhirnya tak begitu kaget melihat penampilan ibunya.
“Eh, ya enggak dong buu.. mas Aan besok udah kerja lagi.. kasian kalo ijin terus” balas Luki.
“Iya bu.. lain kali saja kalau ada waktu longgar..” imbuhku.
“Ohh, iya sudah.. “
Sepanjang kami ngobrol, ibunya Luki sama sekali tak membahas keberadaan Rizal yang merupakan menantunya itu. Agak aneh rasanya menurutku. Harusnya sebagai mertua kan menanyakan kabar menantunya, atau setidaknya membahas sedikit saja sebagai basa-basi belaka. Aku jadi berpikiran buruk tentang keadaan rumah tangga Luki yang sebenarnya.
“Maaf ya bu, dek Rizal ga bisa mengantar Luki pulang.. masih belum cuti kayaknya” kali ini aku coba masuk membahas suaminya Luki.
“Ohh, gapapa.. ibu tau dia lagi sibuk.. hhh.. lagipula dia jarang banget telfon, kalau gak Luki yang minta, dia gak bakalan telfon kesini..” balas ibunya Luki, dari wajahnya ada kesan kekecewaan yang tersirat jelas.
“Emm.. aku mikir juga gitu bu.. yang ganteng dan lebih setia, hihihi..” balas Luki pada omongan ibunya, tapi lirikan matanya menuju ke arahku.
Aku diam, karena aku tahu saat ini yang aku bisa lakukan hanya diam sambil tersenyum. Meskipun senyuamanku kecut tapi aku tetap memaksakannya. Aku tahu arah pembicaraan mereka sebenarnya. Hanya saja aku tak mengerti apa yang jadi sebab sampai ibunya Luki bisa ngomong seperti itu. Habis ini mungkin aku akan lebih dalam menyelidikinya.
“Eh iya.. nanti kalau pulang bawa aja kue yang ada di atas lemari itu Luk.. buat oleh-oleh di kota”
“Ohh, kotaknya besar banget.. isinya apaan sih bu?”
“Kue sama makanan buat lauk.. ada olahan ikan juga.. pasti di kota gak ada yang kayak itu Luk”
“Iya deh.. nanti Luki bawa”
“Eh iya.. nak Aan kalau mau istirahat silahkan lhoo.. nanti kan bawa kendaraan.. takutnya ngantuk” ujar ibunya Luki padaku. Mungkin mataku yang masih terasa mengantuk ini terlihat olehnya.
“Iya bu, iya.. saya ke atas aja dulu.. nyiapin mata buat nanti malam, hehehe..” pamitku kemudian.
“Kalau nak Aan mau biar Luki yang temenin.. gapapa kok”
“Eh, ga usah.. hehehe.. ga usah buu..”
Omongan macam apa itu? bisa-bisanya nawarin anaknya buat menemaniku tidur. Tapi aku tak mau berpikiran buruk, mungkin maksudnya menemani aku pergi ke kamar, biar gak tersesat mungkin. Hehe.
“Lahh.. ayo mas, aku anterin ke atas aja..” Luki kemudian mengikuti langkahku. Terpaksa aku membiarkannya ikut bersamaku naik ke lantai dua.
Sesampainya kami di atas, terdengar suara musik dari dalam kamar adiknya Luki. Musiknya yang jedag-jedug itu lagi. Aku tak peduli, langsung saja aku masuk ke dalam kamar sementara Luki masuk ke kamar adiknya. Mungkin dia mau menyuruh adiknya mematikan musik itu.
Karena pakaianku sudah rapi, kalau dibuat baring-baring pasti jadi acak-acakan lagi. Kuputuskan saja melepas kemeja dan celana jeans yang aku pakai dan menggantungnya di balik pintu. Kembali aku dengan santai tiduran hanya memakai celana dalam saja. Kali ini aku sudah benar-benar cuek kalau sampai ada orang yang melihatku.
Suara musik di kamar sebelah memang berhenti. Rupanya Luki berhasil menyuruh adiknya mematikan musik yang mengganggu pendengaran itu. Suasana jadi hening, itulah kenapa aku kemudian bisa mendengar suara Luki sedang ngobrol dengan adiknya. Meski apa yang mereka bicarakan tak terdengar jelas tapi aku tetap bisa membedakan mana suara Luki dan mana suara adik laki-lakinya.
Awalnya suara obrolan antara Luki dengan adiknya terdengar biasa saja, namun apa yang tedengar kemudian sedikit mengganggu pikiranku. Mulai muncul suara desahan dan lenguh tertahan. Seperti ada yang memutar film bokep di kamar sebelah. Lama-lama aku semakin sadar, suara desahan itu khas banget suaranya Luki. Kejadian pagi tadi saat di kamar mandi memberiku ingatan suara desahan Luki dengan baik.
Aku benar-benar capek memikirkan apa yang Luki perbuat. Mataku sudah lengket dan ingin terpejam. Selain karena tubuhku masih lelah, kejadian tadi pagi juga menguras tenagaku. Akhirnya aku pun tertidur dengan sendirinya.
***
Pukul 2 siang aku dan Luki sudah bersiap jalan pulang. Sesuai rencana awal, sebelum pulang kita singgah dulu ke rumah Om-nya Luki yang sedang sakit. Dari rumah Luki perjalanan kami tempuh sekitar 30 menit untuk sampai ke rumah Om Budi itu. Kalau di kota waktu segitu jaraknya tak akan jauh, tapi kalau di pedesaan waktu perjalanan 30 menit pasti jaraknya jauh. Kuperkirakan sekitar 15 sampai 20 kilometer jaraknya.
Begitu kami sampai di rumah saudaranya Luki, suasananya cenderung sepi. Hanya ada dua wanita setengah baya yang ada di depan rumah. Ketika aku dan Luki keluar dari mobil, kedua wanita itu nampak sumringah menyambut kedatangan kami.
“Lohh.. kesini juga kamu..” ucap seorang wanita pada Luki.
“Ditunggu dari kemarin lho..” sambung wanita satunya.
“Iya mak.. tadi malam aku menginap di rumah dulu.. melepas kangen sama ibu” balas Luki sambil memeluk kedua wanita itu.
“Ini siapa? Suami kamu ya Luk?”
“Eh, ini... emm.. iya mak.. ini suamiku” jawab Luki sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Drama apalagi ini?
“Hehehe.. i-iiya..” dengan gugup aku menyalami kedua wanita itu.
Ternyata kedua wanita setengah baya itu adalah tetangga Om Budi. Keduanya kenal baik dengan keluarganya Luki, bahkan salah satunya dulu pernah ikut merawat Luki ketika masih kecil. Itulah kenapa Luki memanggilnya dengan sebutan’Mak’ yang artinya juga ibu.
Selepas sedikit bercengkerama dengan kedua wanita itu, aku dan Luki kemudian masuk ke dalam rumah. Kamipun disambut oleh seorang wanita lainnya. Luki memberitahuku kalau perempuan itu istri muda dari Om Budi. Pantas saja Luki tak suka padanya. Wajahnya memang cantik, tapi ada kesan wanita penggoda di raut mukanya. Saat kami bicara pun terkadang istri mudanya Om Budi itu melirik-lirik ke arahku.
Kami singgah di rumah Om Budi lumayan lama. Selepas maghrib kami baru pamit pulang. Om Budi yang terkena stroke itu hanya bisa berbaring di atas tempat tidur ketika kami berdua pamit. Kulihat raut wajahnya begitu tersiksa dengan kepergian kami.
“Jaga.. Luki.. baik.. baik..” ucap Om Budi terbata-bata. Penyakit Stroke yang dideritanya membuat lelaki itu susah bicara.
“Iya Om.. saya pamit dulu.. lain kali kita kesini” balasku.
Luki kemudian mencium kening Om Budi, air matanya langsung menetes seketika. Aku tak menyangkal, rasanya kami tak akan lama lagi melihat Om Budi ada bersama keluarganya. Kucium tangannya dan kudoakan supaya dia mendapat yang terbaik dalam sakit yang dideritanya. Selepas itu kamipun jalan pulang menuju kota lagi.
Sepanjang perjalanan pulang kulihat Luki hanya bisa diam di sampingku. Kadang-kadang dia membuka Hpnya tapi sebentar kemudian ditaruh lagi. Setelah dari rumah Om-nya tadi ada perbedaan yang kurasakan dari Luki. Sepertinya dia tengah galau dan banyak pikiran. Matanya juga sering kulihat menerawang keluar jendela mobil seakan pikirannya tidak menyatu dengan badannya.
“Luk.. kalo mau tidur di belakang aja.. bisa selonjoran kalo di belakang” tawarku, daripada diam saja pikirku.
“Gak mas, gini aja.. ntar ga ada yang temenin mas Aan ngobrol” balasnya pelan.
“Temenin ngobrol gimana, kamu aja diem terus dari tadi..”
“Hihihi.. iya sih.. aahh.. ga tau mas.. lagi banyak pikiran nihh” ucapnya melihat keluar jendela lagi.
Luki saat itu yang memakai jilbab hitam terlihat cantik sekaligus anggun. Sweater putih yang menutupi badan bagian atas nampak kontras dengan warna jilbabnya, namun malah memberi kesan modis pada penampilannya. Memang kalau dasarnya sudah cantik, mau pakai apa saja juga tetap cantik, apalagi kalu gak pakai apa-apa, ya kan?
“tadi siang pas kamu masuk ke kamar adikmu ngapain aja? Kok aku dengerinnya lagi mutar film bokep yah Luk?”
“Heh? Bokep? Enggak lah mas.. ada-ada aja”
“Trus, kenapa aku dengar suara ngedesah gitu, jangan-jangan kalian ada maen nih?”
“Maen apaan? Ngentot maksudnya? Sembarangan aja mas Aan kalo nuduh”
“Hehehe, ya siapa tau.. emang kalian gi ngapain sih?”
Luki diam sebentar, entah apa yang dia pikirkan sampai tiba-tiba tersenyum sendiri. Aku jadi semakin penasaran pada jawabannya yang belum juga kudengar.
“Mas Aan mau tau?”
“Mm.. iya dong”
“Aku coliin adikku mas”
“Apa??” tolehku kaget. Hampir saja aku mengerem mendadak.
“mas tau sendiri kan dia lagi nyalain musik keras banget, dia aku suruh matiin, adikku mau asal ada imbalannya”
“Trus imbalannya?”
“Beneran? Cuma itu aja? Kok sampe ngedesah heboh gitu?” cecarku masih penasaran.
“Mana ga heboh, putingku dia pelintir-pelintir juga”
“Ohh, aku kira kamu kena sodok batangnya”
“Gakk! Senakal-nakalnya aku mas, gak sampe sebejat dan semenjijikkan itu deh”
“Hahahaa.. iya, aku percaya kok”
Pembicaraan yang sedikit ngawur tadi membuat kami tak terasa sudah akan melewati gerbang Tol. Saat kami sudah sampai di jalan Tol, kecepatan mobil kujaga konstan di angka 100 km/jam. Suasana lalu-lintas cenderung sepi, namun tetap didominasi oleh truk-truk besar dan bus malam yang mengejar jam sampai di tujuan tepat waktu. Aku tak banyak melakukan manuver kendaraan, karena kami santai saja dan tak peduli sampai di rumah pukul berapa.
Luki kemudian mengangkat kedua kakinya lalu diletakkan di atas dashboard mobil. Kubiarkan dia melakukan itu supanya membuatnya nyaman. Mataku sekilas melihat perutnya yang rata itu ketika ujung sweater yang dipakainya tersingkap ke atas.
“Selain sweater, kamu ga pake baju lagi yah? perutmu keliatan tuhh..”
“Iihhh.. mas Aan perhatian banget deh.. hihihi.. iya bener, gerah kalo pake baju rangkap” balasnya centil.
“Ohh, ya gapapa.. penting kamu nyaman aja”
“Mas ga nanyain aku pake Bh apa enggak?”
Luki mengangkat lagi ujung sweaternya agak ke atas sampai dadanya ikut terbuka. Karena masih menyetir mobil, aku hanya sekilas saja melirik ke arahnya. Aku terhenyak begitu mataku melihat Luki memamerkan bulatan susunya.
“Anjj.. ehhh... aduhh.. bahaya..” buru-buru kubetulkan lagi arah kendaraanku yang sempat oleng gara-gara melihat buah dada Luki yang terbuka.
“Hihihihi.. makanya, jagain tuh mata.. mesum banget sih mas Aan, awas ntar aku laporin sama kak Sari..” ancamnya.
“Hahaha.. gapapa, laporin aja.. paling ntar malah kamu yang kena omel istriku”
“Hhh... iya sih, ga usah deh yah..”
“Udahh.. tutup lagi.. masuk angin ntar..”
“Bentar ahh.. jadi mikir nih mas, gimana yah rasanya di dalam mobil ga pake baju?”
“Ehh.. ehh.. jangan macem-macem kamu, bahaya” larangku pada Luki atas ide gilanya itu.
Bukan Luki namanya kalau dia menurut saja apa yang aku katakan. Dengan santainya dia kemudian mengangkat sweater yang dipakainya ke atas lalu terus melewati kepalanya. Karena dia tak memakai baju lagi dan tak memakai Bh juga, tubuh bagian atasnya langsung terbuka bebas tanpa penutup apa-apa.
“Hihi.. seru juga ternyata.. untung kita di jalan Tol yah mas..”
“Hhh.. udah dibilangin jangan, masih ngeyel juga.. dasar cewe bandel “ balasku kesal. Mataku tetap tertuju ke depan tanpa berani melihat ke arah Luki.
Kubiarkan Luki berbuat semaunya. Aku tak berkomentar lagi setelahnya karena aku fokus pada jalan yang akan kami lalui. Kupikir ada yang mulai berubah pada sikapnya padaku. Memang sebelum-sebelumnya Luki seakan cuek pada penampilannya di depanku, namun setelah kami tidur bareng dan mandi bareng tadi pagi dia malah semakin cuek. Apa dia gak mengerti kalau aku sekuat tenaga menahan syahwatku? Atau jangan-jangan dia sengaja melakukannya untuk memancing kemesumanku? Bisa gila aku kalau begini terus keadaannya.
“Luk...”
“......”
Tak ada jawaban darinya. Saat kutoleh ternyata dia sudah tidur. Dengan santainya dia membaringkan tubuhnya di atas jok mobil yang direbahkan hampir rata. Dia benar-benar membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka, sedangkan di bawahnya dia masih memakai celana jeans biru muda. Toketnya yang bulat ranum, perutnya yang rata dan kulit putih cerahnya jadi terumbar bebas di sampingku.
“Sial! Jadi horny banget nih” gumamku dalam hati.
Pelan namun pasti batang penisku ikut bereaksi. Semakin lama semakin tegak dan mengeras di balik celanaku. Untung saat itu aku sedang membawa mobil dan bukan jalan kaki. Pikiranku jadi ingin segera sampai di rumah dan ketemu istriku. Kunaikkan kecepatan mobilku supaya waktu tempuhnya jadi lebih cepat.
Ketidak beruntungan kami ternyata benar-benar terjadi. Tinggal beberapa kilometer dari gerbang tol, ternyata terjadi kemacetan yang parah. Semua kendaraan yang melaju di depanku berhenti total. Kupikir karena antrian kendaraan saat mau keluar dari jalan Tol, tapi ternyata bukan. Hampir setengah jam kami berhenti dan belum ada tanda-tanda kemacetan itu terurai.
“Hoaaahhhmmm... kok berenti sih mas? Udah nyampe mana nih?” tanya Luki yang terbangun dari tidurnya.
“Masih di Tol, macet parah nihh..” balasku mulai tak tenang.
“yahhh.. kok bisa sih?”
“Mana aku tau.. eh, kamu tutupi dulu dadamu itu.. ntar keliatan orang”
“Biarin, enak kok gini.. “ balas Luki cuek. Di tetap terbaring di atas jok mobil tanpa berusaha menutupi buah dadanya yang terbuka itu.
“Hhh.. yaudah, terserah kamu aja, awas ntar ada yang nawar tuh”
“Nawar? Mmm.. gapapa asal harganya cocok, hihihi..”
Setengah jam kemudian mobil yang kami tumpangi belum juga bergeser dari tempatnya. Aku sudah tak sabar, kubuka pintu mobilku dan keluar. Setelah tengok sana tengok sini akhirnya aku menemukan beberapa sopir truk yang turun dari kendaraan mereka. Dari mereka aku dapat informasi kalau satu kilo di depan ada truk yang terguling dan menutup jalan. Sial, macetnya satu kilo lebih ternyata. Tapi dari mereka aku juga dapat info kalau sudah ada team penolong yang berusaha memindahkan truk yang terguling itu ke pinggir jalan. Jadi lebih tenang aku mendengarnya.
“Yahh.. lama dong..”
“Mas, matiin aja mesinnya.. biar irit bahan bakar” usulnya kemudian.
“Lahh.. jadi mati dong AC-nya?”
“Iya gapapa.. bukain aja kacanya sedikit..”
Mesin mobil kumatikan. Suasana yang tadinya dingin dan tenang berubah jadi agak gerah dan berisik akibat suara kendaraan lainnya menerobos kedalam. Namun begitu kulihat Luki kembali tidur, dia seakan tak terganggu dengan kondisi sekitarnya. Sepuluh menit, dua puluh menit, sampai setengah jam kemudian kami masih belum kemana-mana.
"Mas" Luki terbangun dari tidurnya.
"Euhhh.. bentar" jawabku sambil celingukan melihat kondisi sekitar.
"Aduuuh, aku gak tahan nih mas.." ucap Luki sambil meringis menahan perutnya.
“Ga ada toilet dong Luk.. kalo kamu mau.. mm.. tuhh.. di pinggir jalan aja”
“Apa? Gak ahh.. takut.. ntar ada ular gimana? Belum lagi kalo ada yang ngeliat.. mana tempatnya kebuka banget gitu” tolaknya.
“Iya sih.. gimana yah? emm.. pake botol aja gihh” usulku kemudian.
"Aduuuh.. mas pikir aku cowok apa?" protes Luki.
"Aaaaaaah! Aduh.. aduh!" teriak Luki sambil berdiri, kemudian loncat ke jok belakang. Dia terlihat diam untuk beberapa saat setelah duduk di belakang.
“Ada kok.. tadi aku taruh di bagian pinggir.. eh, kamu ngompol yah Luk?” aku yang ikut menghadap ke belakang langsung menyadari jeans yang dipakainya itu berbayang basah pada bagian bawahnya.
“Lahh.. jadi bau dong mobilnya”
“Bukan.. bau memek.. hahahahahaha...” tawaku pecah mendengar balasannya yang polos itu.
"Aku mau buka celana, awas kalo mas Aan nengok.."
“Ehh, yaudah cepetan”
Aku menepati kata-kataku. Kudengar suara krasak-krusuk di belakang tapi aku tak terpancing melihatnya. Membayangkan tubuh Luki bugil di dalam mobil membuatku jadi horny lagi. Batang penisku yang tadinya lemas kini mendadak bangun lagi dan tegak sempurna.
“Mana yang bau? Nihh.. bau memekku mas..”
Tiba-tiba Luki menyentuhkan jari tangannya di hidungku. Aku langsung kaget seketika karena mengenali bau itu dengan baik.
“Isshhh.. apaan nih?”
“Itu namanya bau memek mas..”
Spontan aku langsung menghadap ke belakang. Mataku terbelalak dan jantungku semakin berdegub kencang. Kusadari Luki sudah polos tanpa busana sedang duduk di kursi tengah tepat di belakangku. Kini bukan saja teteknya yang kelihatan, memeknya juga ikut terpampang di depanku.
"Lahh.. kenapa jadi ngelamun!!" teriak Luki.
“Eh, itu.. emm.. anu.. emm.. gapapa” balasku bingung mau ngomong apa.
“Hayoo.. mas Aan lagi horny kan?”
Aku tak membalas ucapannya. Mataku terus memandang tubuh Luki yang telanjang itu dengan tatapan penuh syahwat. Benar-benar jadi gila aku dibuatnya. Pelan aku ulurkan tanganku mengelus belahan vaginanya.
“Iiihh.. mas Aan cabul dehh..” teriaknya lagi.
“Aduh, sory Luk.. sory.. reflek tadi..”
Belum sempat Luki membalas ucapanku, terdengar suara klakson dari kendaraan di belakang kami. Aku langsung melihat ke depan, ternyata kendaraan yang ada di depan sudah jalan. Buru-buru aku jalankan juga mobilku.
“Luk.. maaf ya.. aku khilaf tadi” ucapku sambil mulai menyetir lagi.
“Hihihi.. gapapa kok mas.. aku juga yang godain mas Aan”
“Beres mas..”
Aku sungguh merasa bersalah telah berbuat jauh dan kurang ajar pada Luki. Selain khawatir ketahuan istriku, tindakanku tadi juga bisa memancing kekurangajaranku lain setelahnya. Mending untuk sekarang ini aku jaga jarak saja sama Luki.
Satu jam kemudian kami sudah sampai kembali ke rumah. Ketika mobil yang kami tumpangi sudah mulai melewati gerbang security, kulihat Luki buru-buru memakai lagi pakaiannya. Celana jeans yang basah oleh air kencingnya tadi dia ganti dengan celana lainnya. Sweater dan jilbab yang tadi dilepasnya juga sudah dipakai lagi olehnya. Penampilan Luki kembali santun dan anggun seperti sedia kala.
“Mas, turunin aja barang-barangnya.. biar aku bersihin dulu mobilnya” ucapnya pelan, seakan tak mau orang lain ikut mendengarnya.
“Ga usah Luk.. besok aja, pasti kamu udah capek juga kan”
“Udah gapapa mas.. biar bersih sekalian.. ntar ada yang bilang bau memek lagi” kali ini dia berbisik padaku.
“Hahaha.. yaudah, tapi yang dalem aja.. yang luar ga usah dicuci...”
“Iyaa.. aku tau kok..”
Aku masuk ke dalam rumah sekitar jam 2 pagi. Istriku sengaja bangun karena sejak sore tadi sudah menunggu kedatanganku. Mulanya dia agak marah karena aku datang larut malam, tapi ketika dia kuberi alasan macet di jalan Tol akhirnya dia bisa menerima keadaanku.
Kondisi di lingkungan sekitar rumah tempat tinggal kami sudah sepi. Tinggal suara gonggongan anjing dan suara kucing kawin saja yang terdengar mengisi kesunyian. Setelah menemui istriku, akupun kembali ke depan untuk memasukkan mobilku ke dalam garasi. Namun begitu aku keluar kulihat Luki sedang menyirami mobil sambil menarik-narik selang air dari arah taman.
“Lahh.. kan sudah aku bilang jangan dicuci mobilnya.. udah mau pagi nihh..”
“Gapapa mas.. sekalian biar bersih..”
Luki masih terus menyiram mobil dengan air yang keluar dari dalam selang. Setelah itu dia mengambil sabun dalam ember dan juga kain lap. Untuk seorang cewe cantik bertangan halus, dia tahu apa yang harus dilakukan untuk mencuci mobil.
“Kak Sari bangun gak mas?”
“Bangun, tapi aku suruh tidur lagi.. sepertinya dia ngantuk berat tuh” balasku.
Luki terus mencuci mobil sesuai dengan apa yang dia tahu. Sebenarnya apa yang dilakukannya juga gak terlalu bener menurutku, tapi bukan itunya yang aku hargai, kemauannya untuk balas budi itulah yang mengharuskanku memberi apresiasi padanya. Lagipula langka banget kan cewe cantik dan bening kayak Luki mencuci mobil larut malam? Gayanya mengusapkan lap dan memerasnya sudah terlihat seksi buatku. Ini kalau siang apa sore gitu pasti sudah banyak tetangga yang ikut melihat pastinya.
“Duhhh!!!” jeritnya.
“Kenapa Luk?” buru-buru aku mendekatinya.
“Bajuku basah mas..”
“Emang kenapa tadi? Muncrat yah? Kamu sih megang selangnya gak bener…”
Dia cuek saja meneruskan mencuci mobilku. Kupikir dia sudah mengantuk atau kurang konsentrasi. Masalahnya bukan sekali itu saja air selang muncrat-muncrat ke tubuhnya, tapi sering banget. Jadilah pakaiannya makin basah dan mencetak ke tubuhnya. Bener-bener pemandangan ini akan menarik perhatian orang kalau dia melakukannya siang hari. Yah, walaupun dia nggak bugil, tapi melihat dia basah-basahan gini aja udah cukup bikin libido laki-laki naik.
“Mas...”
“Apa Luk?”
“Tolong tutup pagarya mas..” pintanya kemudian. Mau apa dia? Bukannya mobilku masih belepotan sabun. Kuturuti saja permintaannya.
“Udah Luk.. udah aku kunci sekalian tuh” balasku kembali masuk ke teras.
“Sipp.. makasih mas..”
Luki kemudian berhenti sebentar. Dia taruh kain lap di dalam ember kemudian menarik kaos yang dipakainya sampai lepas. Jadilah dia sekarang bertelanjang dada di depanku, di teras depan rumah mertuaku.
“Ehh.. jangan ngawur kamu Luk..” hardikku kemudian.
“Duh… bajuku jadi basah gini mas.. aku lepas aja yah, daripada masuk angin” ucapnya manja.
“yang ini juga ikutan basah mas..” sambungnya.
Tanpa ragu-ragu dia lepas juga celana jeans yang dipakainya dalam perjalanan pulang tadi. Aku pikir dalam perjalanan tadi dia memakai celana dalam di balik jeans yang dipakainya, tapi ternyata dugaanku salah. Dia kini berdiri bugil di teras depan rumah. Aku jadi panas dingin dibuatnya. Campur aduk antara takut, bingung dan horny jadi satu.
“gapapa kan mas aku lepas semuanya?” tanya Luki sambil tersenyum ke arahku.
“Eh, eng.. enggak.. gapapa...” sial, penisku jadi tegang lagi dibalik celanaku.
“Oke deh mas.. aku lanjutin cuci mobilnya..”
Aku terbengong-bengong melihat keberaniannya. Dia benar-benar cuek, bahkan tak merasa takut kalau sampai mertuaku melihatnya. Luki pun lanjut membilas mobilku sambil sesekali menebar senyuman manisnya ke arahku. Beberapa saat kemudian dia menunduk membelakangiku untuk mengambil kain lap dari dalam ember di bawahnya. Pada posisi itu tentu saja belahan pantat sekaligus belahan memeknya terlihat jelas olehku. Duh, gregetan banget jadinya.
Sudahlah nyuci sambil telanjang bulat di luar rumah, gaya dan ekspresinya itu juga bikin aku gemas, apalagi sambil sesekali melirik dan tersenyum padaku, ditambah dia juga sudah mulai sering menunduk seperti sengaja memperlihatkan memeknya padaku. Gimana gak jadi tambah horny kalau dapat pemandangan indah begini terus?
“Mas... mas Aan..” panggilnya.
“Eh, apa... emm.. apa Luk?” balasku gelagapan. Pikiranku masih melayang-layang tak karuan saat dia memanggilku tadi.
“Udah selesai nih mas.. aku masuk yah?”
“Iya.. iya... buruan.. ntar kamu masuk angin lagi”
Luki kemudian memasukkan pakaiannya ke dalam ember lalu masuk ke dalam rumah dengan kondisi masih telanjang bulat. Aku jadi keheranan sekaligus terpesona dengan keberaniannya. Namun begitu aku jadi bisa bernafas lega. Kekhawatiranku padanya jadi hilang seketika. Syukurlah dia langsung masuk ke dalam rumah, kalau sampai dia jalan keluar pagar aku yang jadi tambah repot dan malu pastinya.
0 Komentar