Setelah kejadian demi kejadian membingungkan kualami dengan Luki, kehidupanku kembali normal lagi. Rutinitas di keseharianku kembali seperti semula tanpa ada perubahan. Setelah aku pulang dari rumah Luki, istriku tak pernah bertanya apapun padaku tentang apa yang terjadi di sana. Aku juga hanya cerita sedikit dan sekilas saja tentang keluarganya yang sakit.
Perlakuan Luki padaku juga kembali seperti semula, hanya saja dia jadi lebih sering manja padaku ketika tak ada orang lain disekitar kita. Kadang aku menanggapinya tapi sering juga aku dingin saja menyikapinya. Sebenarnya aku tak mau memberi harapan palsu pada Luki. Kasihan juga kalau dia harus selingkuh denganku yang tinggal satu atap dengannya. Apalagi kalau sampai istriku atau mertuaku tahu, bisa-bisa langsung jadi berantakan rumah tanggaku.
Belakangan ini kurasakan ada sesuatu yang beda dari sikap istriku. Beberapa kali saat melihat aku duduk bersama Luki dia malah senyum-senyum saja dan tak sekalipun berusaha mengganggu kami. Buatku itu bukan pertanda yang baik, karena seperti aku sedang diulur-ulur untuk berbuat lebih jauh hingga dia menemukan bukti yang tak bisa kubantah lagi. Aku membalasnya dengan sikap biasa saja, baik pada Luki maupun pada istriku. Memang tak ada apa-apa antara aku dan Luki, tak lebih dari keluarga dekat yang akrab dalam kesehariannya.
Malam itu sekitar jam 21:30 aku sedang baring-baring santai di kamar. Anakku sudah tidur sedangkan istriku ada di kamar mertuaku. Luki sedari tadi kulihat sudah duduk manis di depan Tv, apalagi kalau bukan menonton drama Korea favoitnya. Sepertinya dia baru dapat file video yang baru lagi. Entah dapat darimana aku tak tahu dan tak pernah ingin bertanya padanya.
Bosan di kamar akupun memutuskan untuk keluar dan duduk di ruang tengah tempat Luki menonton Tv. Santai saja aku hanya memakai celana kolor di tubuhku, karena setiap harinya aku selalu begitu. Kutemui Luki sedang duduk dengan mata menatap layar Tv yang masih menampilkan adegan drama. Malam itu dia memakai daster terusan tanpa lengan warna hitam. Kontras banget dengan kulitnya yang putih cerah itu. Dari celah lengannya aku lihat tak ada Bh yang dipakainya. Kurasa memang seperti itu yang dia lakukan selama ini.
“Sini dulu.. mama minta tolong bentar..” ucapnya masih berdiri di depan pintu kamar mertua.
“Ohh, oke..”
Aku langsung jalan mendekati pintu kamar mertuaku. Istriku langsung membuka pintunya dan memintaku ikut masuk ke dalam. Begitu aku masuk, langsung saja kutemui mertuaku sudah ada di atas tempat tidur dengan posisi telungkup.
Akupun mulai memijit pinggang mertuaku. Istriku masih berada sekamar dengan kami sambil ngobrol dengan mamanya. Dari apa yang mereka bicarakan, aku baru tahu kalau dua hari lagi Rizal mau pulang. Selama ini Luki tak pernah cerita padaku, padahal dia itu kan istrinya Rizal. Dari pembicaraan mereka juga, aku mendapat informasi kalau besok mertuaku mau pergi ke rumah saudaranya lagi. Berangkatnya besok pagi setelah sarapan katanya.
“Nginap gak mam?” tanyaku kemudian.
“Iya dong.. capek banget kalau pagi datang trus sorenya udah balik lagi” balas mertuaku. Dia masih telungkup seperti semula.
“Ohh.. iya, bener itu mam..” ujarku menimpali.
Tanganku terus bergerak ke punggung mertuaku. Aku tak berani menyingkap kaos yang dipakainya karena aku tahu mertuaku tak memakai Bh. Akan terasa tidak sopan bila aku melakukannya.
“Eh, mam.. lepasin aja kaosnya.. biar sekalian rata dipijitnya” celetuk istriku, dia seakan tahu kalau aku tak mau bertindak lebih jauh.
“Ga usah.. gini aja cukup kok maa” kataku, memang aku maunya cepat selesai saja. kalau sampai dilepas beneran jadi tambah lama mijitnya. Hehe.
“Oke.. bentar.. bentar..” kali ini mertuaku beneran menghentikan gerakan tanganku. Setelah tanganku kuangkat, mertuaku langsung menarik kaos yang dipakainya sampai lepas dari tubuhnya.
Mataku mulai memperhatikan lekuk tubuh mertuaku dari belakang. Warna kulitnya kuning langsat, tak jauh beda dengan warna kulit istriku. Hanya saja warna kulit istriku lebih cerah dan bersih. Kalau masalah kehalusan kulit, kurasakan keduanya hampir sama. Maklum saja, mertuaku memang rajin melakukan perawatan untuk kulit tubuhnya. Uang warisan dari mendiang papa mertua lebih dari cukup jumlahnya kalau hanya untuk membiayai perawatan tubuh mama mertuaku.
“Permisi yah mam.. aku pjitin lagi bagian atas pinggangnya” ijinku pada mertua. Biar dibilang menantu baik dan sopan pastinya.
“Iya gapapa.. tangan kamu enak An, pas banget tekanannya..” puji mertuaku. Dia kembali tidur telungkup setelah melepas kaosnya.
Sambil aku terus memijit, mertuaku kembali ngobrol dengan istriku. Kali ini mereka membahas Rizal yang mulai berubah perilakunya. Baik istriku maupun mertua tak sekalipun curiga kalau Rizal telah selingkuh di tempat kerjanya. Mereka hanya merasa aneh dengan perubahan sikap sepupu istriku itu.
“Menurutmu gimana An? Apa Rizal punya wanita lain disana?” tanya mertuaku.
“Mm.. mungkin iya mungkin tidak mam.. kita kan ga tau kondisinya disana.. tapi baiknya jangan curiga dulu.. kasian Luki, dia pasti mikir ga karuan nantinya” balasku bijak.
“Iya mam.. bener apa yang dibilang sama papanya Nadia.. ntar aja kalau Rizal pulang baru kita korek keterangan darinya” imbuh istriku.
“Hhh.. iya bener.. ya sudah, besok kalau dia pulang kita kumpul bareng.. bicarakan masalah itu”
Kuteruskan pijatanku pada tubuh belakang mertua. Kali ini tanganku bergerak di bawah ketiaknya. Mertuaku melebarkan kedua tangannya supaya gerakan tanganku tak terhalang. Kuurut dari belakang terus ke depan sampai bagian sebelum payudaranya. Meski sudah kutahan-tahan, tapi tanpa sengaja beberapa kali tanganku sempat menyenggol bulatan payudaranya. Masih terasa kenyal dan lembut menurutku.
“Hhhmm.. enak banget An.. pinter kamu pijitnya” puji mertuaku lagi.
“Hehe.. gak seberapa kok mam, biasa aja.. asal-asalan juga kok mijitnya” balasku merendah.
“Yaudah.. sekalian paha mama juga kamu pijitin yah” ujarnya kemudian.
“Iya paa.. biar besok mama bisa berangkat, gak kecapekan terus” imbuh istriku mendukung perkataan mamanya.
“Mmm... iya mam.. baik” aku tak punya pilihan lain. Istriku hanya tersenyum melihatku, dia tahu aku ingin menghindar dari pekerjaan ini.
Karena mertuaku memakai celana pendek, tanganku langsung bisa memijit pahanya dengan leluasa. Kujalankan pijitan tanganku dari atas lutut sampai di bawah pangkal pahanya. Ukuran paha mertuaku itu tak terlalu besar, karena tubuhnya masih langsing dan terjaga bentuknya. Tak seperti wanita setengah baya pada umumnya yang sudah terlalu ‘over weight’ tubuhnya. Mertua memang rajin olah raga, meskipun hanya olah raga ringan tapi dilakukannya rutin tiap hari. Kupikir itulah yang menahan tubuhnya tak kelebihan berat badan.
“Celananya perlu dilepas juga ya An? Kayaknya kamu susah mijit paha mama yang bagian dalam” tanya mertuaku tiba-tiba.
“Lepas aja mam.. gapapa kok.. biar sekalian mijitnya” celetuk istriku. Aku melotot padanya setelah dia mengucapkan kalimat itu. Dianya malah senyum-senyum gak jelas gitu.
“Iya deh.. mama lepasin aja.. gapapa kan yah?”
“I-iiya mam.. gapapa.. gapapa..” duhh, gimana sih ini? lagi-lagi aku tak punya pilihan lain.
Mertuaku begitu cuek melepas celana pendeknya. Dia duduk di depanku dan langsung saja memelorotkan celananya sampai terlepas dari tubuhnya. Diapun kembali telungkup di atas tempat tidur, namun dalam kondisi sudah telanjang bulat. Sungguh, aku tak berani berpikiran macam-macam. Meskipun tubuh telanjang mertuaku tersaji di depanku tapi aku tetap menjaga kesopanan. Apalagi istriku masih ada di dekatku.
“Aahh.. pelan An.. sakit..” rintih mertua ketika kupijit paha dalamnya.
“Iya mam, maaf..”
Kembali mertuaku dan istriku terlibat obrolan. Meski mertuaku sedang telanjang bulat tapi mereka biasa saja ngobrolnya. Mereka tak menyadari kalau mataku sering menatap ke arah belahan vagina mertuaku yang sering kelihatan mengintip saat aku pijit paha dalamnya. Aku pura-pura cuek dan biasa saja, meskipun mataku semakin sering melihat ke arah lipatan daging berwarna merah kecoklatan itu. Bibir vaginanya sudah agak dower dan menonjol keluar. Dari yang aku lihat, rambut kemaluannya tak ada sama sekali. Bersih dan licin.
“Sudah semuanya ya mam.. kalau masih terasa gak enak besok pagi biar saya pijit lagi..” ujarku pada mertua.
“Eh, iya.. makasih lho An.. enak banget pijitanya... jadi enteng rasanya” balasnya.
“Aku mau nerusin ngobrol sama mama dulu ya pah..” pinta istriku kemudian
“Yaudah.. aku keluar aja dulu ya ma..”
Langsung saja aku keluar dari dalam kamar mertuaku. Kututup pintu kamarnya lalu aku jalan menuju sebuah kursi di ruang tengah. Kembali aku duduk di dekat Luki yang masih setia menonton drama kegemarannya itu.
“Ngapain sih mas di dalam kamar mama?” tanya Luki penasaran.
“Hihihi.. boleh tuh kapan-kapan gantian aku yang dipijit”
“Ohh.. bisa.. asal ada imbalannya dong”
“Apa imbalannya? Mas Aan minta tarif berapa?” balasnya serius.
“Hehehe.. gak lah.. canda aja Luk”
Luki duduk dengan mengangkat kedua kakinya dalam posisi bersila. Ujung dasternya yang bagian bawah tentu saja jadi naik sampai batas pantatnya. Kuperhatikan Luki masih cuek-cuek saja meski celana dalam warna cream yang dipakainya kelihatan. Entahlah, kupikir memang dari sononya sih dia tak pernah mengurus cara berpakaiannya. Aku ingat dia pernah cerita kalau sedari kecil Luki terbiasa hanya memakai dalaman saat di rumah.
“Eh iya, katanya suami kamu dua hari lagi mau pulang yah Luk.. kok kamu ga cerita sih?”
“Iya mas.. ahh.. ngapain sih diceritain.. biasa aja mas” ucapnya datar.
“Loh.. ya harusnya kamu gembira dong, penantianmu akan terobati, hehehe...”
“Hihihi.. iya sih mas..”
Kulihat wajah Luki datar-datar saja saat menceritakan suaminya yang akan pulang beberapa hari lagi. Ada rasa yang coba dipendamnya dalam-dalam, tapi usahanya itu tak bisa membohongiku. Aku bisa melihat sesuatu yang janggal pada dirinya. Disitulah harusnya aku berperan memberi dukungan moral kepadanya. Namun tentu saja aku harus bisa mengatur agar tidak sampai menimbulkan fitnah dan isyu yang tak benar. Untuk sekarang ini biarlah semuanya berjalan seperti apa adanya.
***
Sore itu aku duduk berdua dengan istriku di teras belakang rumah. Tidak adanya mertua di rumah membuat kebebasan yang lain kembali hadir diantara kami. Aku dan istriku ngobrol berdua sambil melihat anak perempuan kami bermain. Belum lama kami bicara berdua, kulihat Luki datang dari arah dapur kemudian ikut duduk bersama kami.
“Nah, karena udah lengkap bertiga.. sekarang aku mau tanya sesuatu..” ujar istriku kemudian.
“Iya kak.. apa sih?” imbuh Luki.
“Lah, kan papa udah cerita.. biasa aja menurutku” jawabku.
“Gak.. aku tau kalian menyimpan sesuatu.. ayo ceritain aja.. aku lihat kalian jadi tambah dekat beberapa waktu ini.. ya kan?” tegas istriku.
Aku mulai berpikir serius. Ternyata selama ini istriku sudah melihat gelagat lain dariku dan juga Luki. Memang insting wanita akan sangat tajam kalau menyangkut pasangannya. Kini saatnya aku harus mengambil keputusan, jujur atau bohong.
“Luki, ayo cerita.. sebelum aku marah beneran lhoo..” ancam istriku.
“I-iiya kak.. tapi jangan marah kalau aku cerita yah”
“Gakk.. kalo kamu bohong malah aku jadi emosi nih Luk”
“Oke.. jadi begini kak”
Luki kemudian menceritakan semuanya dengan detail. Dari keberangkatan kami, saat di rumanya, sampai kejadian saat macet di jalan Tol. Aku yang mendengarnya hanya bisa diam sambil melongo. Tak bisa membayangkan hal ini akan terjadi dalam kenyataan. Kusiapkan hatiku dan pikiranku kalau istriku benar-benar marah nantinya.
“Apa ma? Papa akan lakuin deh buat mama..”
“Beneran nih paa?”
“Iya maa.. apa saja” kataku mengharap.
“I-iiya kak.. aku siap, asal kak Sari memberiku maaf”
“Okey.. sekarang kalian berdua berdiri.. ayo paa.. kamu juga Luk”
Dengan cepat aku dan Luki segera berdiri mengikuti permintaan istriku. Kami tak punya pilihan lain supaya istriku tak jadi marah dan rumah tanggaku tetap selamat.
“Lepas baju kalian.. ayoo..” perintah istriku yakin.
“Eh, i-iiya..”
Karena aku masih memakai kaos, langsung saja kulepas kaosku dan menyisakan celana kolor di bawahnya. Luki yang memakai daster terusan ikut melepas dasternya dan langsung terlihatlah tubuhnya yang hanya memakai sebuah celana dalam saja.
“Loh, semuanya dong..”
“Apa? Ga salah maa? Se.. semuanya?” ucapku kaget, semula aku kira dia hanya bercanda saja.
“Iyaa.. mau apa enggak sih?” kali ini ucapan istriku jadi galak. Kalau sudah begitu lebih baik tak usah melawannya.
Pelan-pelan kupelorotkan celana kolorku dan kulepaskan dari tubuhku. Begitu juga dengan Luki, dalam waktu singkat saja celana dalamnnya sudah tergeletak di atas lantai. Baik aku maupun Luki sudah sama-sama bugil di depan istriku. Sebenarnya apa maunya istriku sampai membuat keadaan kami jadi begini?
“Hihihihi.. aku suka banget.. kalian udah kayak maling ketangkep warga” celetuknya mengolok-olok kami.
“Ihhh.. mama sama tante Luki kok ga pake baju sih?” tiba-tiba anak perempuanku mendekat. Dia tentu saja keheranan melihatku dan Luki telanjang di teras belakang rumah.
“Gapapa sayang, papa sama tante Luki gerah.. hawanya panas, jadi mereka ga pake baju..” ucap istriku memberi alasan.
“Ohh.. iya mah...”
“Aseekkkkk...” soraknya girang, anakku kemudian jalan masuk ke dalam rumah lagi. Suasana kembali tenang, namun dingin terasa.
“Okey lanjut.. jadi papa cuma gesekin penis papa ke memeknya Luki? Ga sampe masuk kan?” tanya istriku lagi.
“Gak lah maa.. aku masih ingat Luki itu siapa.. ga sampe segitunya aku” jawabku yakin, karena memang itulah yang terjadi.
“Baiklah paa.. aku percaya kok sama papa, tapi tetap saja mama mau kasih papa sama Luki sebuah hukuman”
“Ishh, dibilang jangan melawan kok.. mau mama maafin gak nih?”
“Eh, iya.. iya.. mau.. mau..” balasku cepat.
Isrtiku diam sebentar, sepertinya dia memikirkan sesuatu cara untuk menghukum kami berdua. Setelah beberapa saat kemudian dia terlihat tersenyum. Entah kenapa pikiranku jadi semakin tak tenang melihat senyumannya itu.
“Luki.. kamu nungging di situ, cepat!” perintah istriku tegas.
“I-iya kak.. iyaa...”
Luki pun langsung mengukuti perintah istriku. Dia menungging di depanku. Dengan tubuh telanjangnya, kedua bulatan susu Luki jadi menggantung bebas di atas lantai. Belahan pantatnya juga terpampang bebas di depanku dan juga istriku. Sebuah pemandangan yang menarik dan membuat libido naik. Sudah barang tentu batang penisku mulai bangun dari tidurnya.
“Lahh.. papa ngaceng yah? suka banget yah ngeliat Luki telanjang kek gitu?” tanya istriku bernada mengejek.
“Ohh begitu.. yaudah, sekarang papa ke belakangnya Luki aja.. mumpung punya papa lagi ngaceng.. gesekin aja memeknya Luki” ujar istriku, sungguh aku tak percaya mendengarnya.
“Ayo, tunggu apalagi? Nunggu Nadia balik kesini?”
“Eh, iya maa.. aduhh..”
Aku ikuti saja kemauan istriku meski perintahnya aneh kurasakan. Aku berlutut di belakang Luki kemudian kutelusupkan batang penisku di celah pangkal pahanya. Suasana mendadak canggung banget. Bagaimana mungkin aku bisa berbuat cabul seperti ini dengan perintah dari istriku. Sungguh sesuatu yang tak pernah aku bayangkan.
“Tenang aja Luk.. ga sampe masuk kok” ucapku pelan, berusaha menenangkan Luki.
“I-iya mas..”
“Nah gitu dong, sekarang papa gerakin penisnya maju mundur.. ayo paa.. biar Luki merasa enak, hihihi..” suruh istriku lagi.
0 Komentar