Bab 31
Mabespolri Jakarta, 2 minggu setelah liburan Ian usai.
Rio mengunyah coklatnya dengan santai di atas kursi kerjanya yang nyaman sembari memilah-milah beberapa berkas lama yang diambilnya dari lemari berkas di ruang kerjanya. Detektif muda itu telah membaca berkas itu berkali-kali namun tetap saja ia merasa telah melewatkan sesuatu. Kasus yang melibatkan Silent Rose bukanlah kasus yang baru terjadi satu atau dua tahun terakhir. Kasus tentang pembunuhan berencana yang dilakukan Silent Rose dengan ciri khas meninggalkan sebuah puntung rokok bergambar mawar sudah terjadi lebih dari puluhan tahun yang lalu. Jauh sebelum ia bergabung dengan kepolisian. Bahkan sebelum ia lahir. Rio mencoba memutar kembali ingatannya tentang kasus pembunuhan Ashandi Mangkunindih, seorang konglomerat yang ternyata mengendalikan para kriminal di seluruh pulau Jawa. Mulai dari kelas kecil seperti copet hingga pembunuhan-pembunuhan bagi mereka yang membahayakan pemerintahan. Mangkunindih tidak tersentuh oleh kepolisian, mungkin karena banyak pejabat besar yang menggunakan jasanya demi kepentingan golongan. Mangkunindih ditemukan tewas di sebuah sumur di halaman belakang rumahnya, menurut kesaksian pembantu rumahnya yang menjadi saksi kunci, sang majikan tampak seperti orang gila, meracau sendiri sebelum menceburkan dirinya ke dalam sumur. Kasus itu nyaris diputuskan sebagai kasus bunuh diri jika tidak ditemukan sebuah puntung rokok bergambar mawar di saku kemeja yang dikenakan Mangkunindih. Hal itu juga diikuti sebuah surat ke salah satu media televisi yang berisi bukti-bukti kejahatan Mangkunindih. Surat itu diatasnamakan Silent Rose.
Pertanyaan mengenai bagaimana seorang Silent Rose dapat membuat Mangkunindih secara sukarela terjun ke dalam sumur masih menjadi misteri. Kasus itu telah ditutup, namun Rio telah membuat beberapa analisa mengenai kemungkinan yang terjadi. Apalagi setelah ditemukan kandungan LSD yang cukup tinggi di dalam darah Mangkunindih. LSD adalah zat yang dapat menyebabkan rasa depresi dan mendorong untuk bunuh diri. Kandungan LSD juga ditemukan dalam puntung rokok yang ditemukan di saku Ashandi Mangkunindih.
Kasus-kasus berikutnya tampak lebih bervariasi, dengan satu petunjuk yang sama ; puntung rokok di TKP diikuti surat berisi bukti kejahatan yang kadang dikirimkan ke media massa, kadang ke kepolisian. Hal itu membuat kewaspadaan polisi terhadap sosok Silent Rose meningkat hingga mereka membentuk divisi khusus untuk menangani Silent Rose. Setelah terbentuk divisi khusus, surat dari Silent Rose hanya dikirim ke kepolisian, tidak lagi ke media massa.
Inspektor Darius Raksa Putra adalah orang pertama yang memimpin divisi khusus tersebut. Pria yang kerap dipanggil Bang Iyus itu punya tingkat disiplinitas dan ketajaman analisa yang cukup tinggi. Namun tetap saja ia kelimpungan menghadapi Silent Rose yang seolah satu langkah di depan mereka. Ada sebuah catatan dimana Bang Iyus sempat berhadapan face to face dengan Silent Rose. Saat itu secara mengejutkan Silent Rose berhasil menyekap Bang Iyus. Meski bertemu secara langsung dengan Silent Rose, tidak banyak yang bisa diceritakan oleh pria yang selama penyekapan matanya tertutup. Tidak ada petunjuk yang bisa didapatkan dari insiden itu, kecuali kepastian bahwa Silent Rose adalah laki-laki. Bang Iyus memimpin divisi khusus itu selama bertahun-tahun, sampai akhirnya kepolisian memperkecil jumlah anggota yang bergabung dalam divisi tersebut. Puncaknya adalah delapan tahun yang lalu saat divisi tersebut dibubarkan.
Divisi khusus untuk menangani Silent Rose memang telah dibubarkan, namun pekerjaan menangani Silent Rose tetap menjadi pekerjaan utama Bang Iyus. Delapan tahun yang lalu, saat divisinya dibubarkan, Bang Iyus berkolaborasi dengan putra semata wayangnya yang baru bergabung dengan kepolisian. Sayang setahun kemudian Bang Iyus meninggal karena penyakit dalamnya. Sejak saat itu usaha pengejaran Silent Rose hanya dilakukan oleh putra semata wayang Bang Iyus yang sekarang dikenal sebagai Inspektor Dean. Lima tahun yang lalu, barulah Dean meminta Rio untuk bergabung bersamanya.
Pintu ruang kerja mereka terbuka saat Inspektor Dean masuk ke dalam ruangan, pria meletakkan tas kerjanya di atas meja dan membuka laptopnya.
Dean, setiap aku melihat berkas-berkas lama mengenai sepak terjang Silent Rose ini, selalu muncul dalam benakku bahwa saat ini Silent Rose adalah seorang pria yang berusia di atas lima puluh tahun. Dan sangat tidak masuk akal rasanya kalau kita gagal menangkap kakek-kakek seperti dia. Ujar Rio serampangan.
Bukankah kita sepakat bahwa kemungkinan besar Silent Rose tidak bergerak sendirian? Bahkan ada kemungkinan Silent Rose adalah semacam organisasi pembunuh professional.
Tapi kalau melihat pola yang digunakan dalam pembunuhan pola itu serupa, kecuali sejak terbunuhnya Ayah angkatku, Komang Mahendra Rio terdiam sejenak, menyebut nama orang yang dihormatinya dan merawatnya sejak kecil sama saja dengan menghantarkan kembali ingatannya pada insiden terbunuhnya Komang Mahendra. Sebuah pengalaman yang menimbulkan rasa sedih yang amat sangat dalam benak detektif muda itu.
Aku juga berpikir begitu, Rio. Dean berkomentar, setidaknya dengan mengajak Rio bicara bisa mengalihkannya dari trauma dan dendam masa lalu yang menghantui benak Rio. Silent Rose sempat vakum selama setahun, tidak ada pergerakan sedikitpun. Namun setelah vakum, Silent Rose kembali bergerak dengan lebih banyak melibatkan senjata api.
itu yang kumaksud! Rio menjentikkan jarinya. Silent Rose lama lebih menggunakan racun, dan Silent Rose yang sekarang lebih menggunakan senjata dan alat. Triknya juga lebih muda dibaca.
Kau berpikir Silent Rose yang sekarang hanya seorang Copycat? Seperti halnya Ahmadi Fahsa? Dean merujuk ke kasus ancaman yang ternyata ulah Ahmadi Fahsa.
Menurutku ini adalah generasi yang selanjutnya. Rio menyampaikan buah pikirannya. Silent Rose menurunkan tugasnya pada penerusnya. Dan aku berpikir Ahmadi Fahsa hanyalah alat meski jelas semua bukti mengarah padanya dan aku tidak bisa membuktikan bahwa Silent Rose ada di balik kasus tersebut.
Jangan mengambil kesimpulan tanpa bukti Rio itu bukan cara yang baik untuk menangkap Silent Rose. Dean terdiam sejenak. Tapi kemungkinan Silent Rose yang sekarang adalah generasi penerus Silent Rose sebelumnya aku juga punya pikiran seperti itu.
Seperti halnya Ayahmu, Inspektor Bang Iyus yang menurunkan tugasnya padamu. Mungkin Silent Rose menurunkan tugasnya pada anaknya.
Itu pemikiran yang bagus sekali, Rio. Tapi kita tidak akan tahu kebenaran akan itu selama kita tidak menangkap Silent Rose.
Ada satu lagi yang mengganjal Rio meraih sebuah bungkusan plastik yang biasa digunakan untuk membungkus barang bukti. Plastik tersebut berisi sebuah puntung rokok bergambar mawar. Puntung rokok ini telah digunakan oleh Silent Rose selama bertahun-tahun, aku masih penasaran kenapa tidak ada petunjuk mengenai dimana rokok ini diproduksi. Maksudku. Rokok itu memiliki lintingan yang rapi jeli, juga menggunakan filter, produksinya pasti menggunakan mesin yang memproduksi massal.
Rokok itu dibuat khusus, entah dimana. Jawab Dean.
Ada informasi terkait rokok itu?. Rio bertanya lebih dalam setelah menangkap bahwa Dean tahu sesuatu mengenai rokok yang menjadi ciri khas Silent Rose.
Silent Rose mengatakannya secara langsung pada Ayahku, ketika Silent Rose menyekapnya. Dean menjawab sembari beranjak untuk mengambil segelas air dari dispenser. Tidak banyak informasi berarti yang bisa didapat dari kejadian itu, kecuali bahwa Silent Rose menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah keadilan yang sesungguhnya.
Kadang aku juga berpikir seperti itu. Rio menimpali ucapan Dean. Entah berapa waktu yang akan terbuang percuma jika menyelesaikan kasus-kasus tersebut melalui persidangan. Mungkin beberapa akan hilang bahkan sebelum sampai ke persidangan.
Hati-hati dengan ucapanmu Detektif. Dean mengingatkan bawahannya. Kata-katamu barusan sama dengan merendahkan Tri Brata. Dean melanjutkan sambil menunjuk tiga bintang yang ada di lambang kepolisian.
TOK TOK TOK
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua untuk sejenak. Dean yang posisinya saat ini lebih dekat dengan pintu bergegas untuk membuka pintu. Rio hanya memperhatikan Bripda Eri, salah seorang polwan yang dikenal karena kecantikannya masuk dan menyerahkan sebuah bingkisan kepada Inspektor Dean.
Sejak kapan kau jadi penakluk wanita?, sindir Rio sambil setengah bercanda.
Bripda Eri hanya mengantarkan kiriman paket untukmu. Dean meletakkan bingkisan paket ke hadapan Rio. Detektif muda itu dapat melihat namanya tertulis sebagai tujuan paket tersebut. Rio mengambil dan melihat ke belakang bingkisan.
Tidak ada nama pengirim dan ekspedisi pengirimnya ujar Rio.
Dikirim menggunakan jasa kurir, menurutku. Jawab Dean.
Rio mengambil sebilah cutter dari lacinya dan membuka bingkisan tersebut. Dalam bingkisan itu terdapat sebuah map coklat dengan logo mawar di sudut kiri bawah. Rio merasakan ada sesuatu yang ganjil dengan isi paket tersebut. Gambar mawar itu mirip dengan yang biasa mereka dapati di puntung rokok Silent Rose. Rio bergegas membuka map tersebut, untuk sesaat detektif muda itu tampak membaca kertas-kertas yang ada di dalam map. Dan seketika raut wajahnya berubah.
Tidak mungkin! Ini mustahil! ujar Rio kemudian. Raut wajah detektif muda itu tampak terkejut, panik, dan ada mosi tidak percaya dalam gurat-gurat ekspresinya.
Ada apa Rio? melihat sesuatu yang aneh dalam diri bawahannya, Dean beranjak dari kursinya dan bergegas mengambil lembaran-lembaran yang ada di tangan Rio. Dan detik berikutnya, Inspektor Dean tampak tak kalah terkejut dengan Rio.
*_*_*
Ruang kerja Silent Rose, satu minggu sebelumnya.
Lampu di ruang kerja Ian sebagai Silent Rose terang menyala, lembar-lembar kertas tampak berserakan di atas lantai. Ian sendiri terlihat sibuk dengan penanya, kacamata yang dikenakannya menunjukkan betapa seriusnya dia kali ini. Ian hanya mengenakan kacamata itu di saat dia sedang mengerjakan sesuatu dengan serius. Seperti membuat sebuah rencana dan trik untuk melaksanakan Case, atau mempelajari target. Mata Ian normal, tidak minus maupun plus tapi entah mengapa dia merasa akan lebih fokus jika mengenakan kacamata. Sebuah sugesti yang tertanam dalam dirinya saat ia memperhatikan Ayahnya yang mengenakan kacamata ketika mengerjakan sesuatu.
Ian mengarahkan ujung spidol warnanya hingga menyentuh dahi, salah satu kebiasaan lainnya saat merencanakan sesuatu yang sedikit rumit. Lembaran kertas di atas mejanya penuh dengan huruf dan angka, sebuah draft pemecahan sandi rahasia yang ditinggalkan Ayahnya melalui Noisy Cannary. Dia mencoba mengkonversi huruf demi huruf dari pesan itu menjadi sebuah angka yang memiliki makna tertentu. Baru saja Ian hendak melanjutkan pekerjaannya, Eva tampak di ambang pintu ruangan. Gadis cantik itu membawa nampan berisi beberapa potong sandwich dan segelas teh.
Kau belum makan apa-apa dari tadi pagi, aku menunggumu untuk sarapan dan makan siang tapi kau tidak muncul. Jadi maaf kalau aku menyusulmu kemari. Ujar gadis cantik itu sambil menunggu reaksi dari Ian.
Ian tersenyum lembut saat melihat paras cantik Eva yang menenangkan. Entah sejak kapan, kini Ian mengakui bahwa Eva adalah bagian berharga dalam hidupnya. Bersama Eva, dia seolah menemukan sosok yang memperhatikannya, mengkhawatirkannya, dan memberinya kehangatan keluarga yang tak didapatkannya lagi sejak sang Ayah, Airul Hutomo meninggal dunia.
Letakkan saja di meja, akan kumakan nanti setelah aku selesai.
Oh tidak, makanlah sekarang. Aku harus memastikan ada sesuatu yang bisa dikonversi menjadi energi untuk tubuhmu. Ujar Eva sambil meletakkan nampan tepat di hadapan Ian.
Ian diam sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil sepotong sandwich dan mengunyahnya. Tidak ada salahnya untuk berhenti sejenak dan beristirahat, hanya untuk sekedar mengisi perut. Bukankah kadang kala otak manusia butuh sedikit pengalihan sebelum mendapatkan inspirasi untuk memecahkan sesuatu yang rumit.
Sedang mengerjakan apa sih? Case lagi? Eva memunguti lembaran-lembaran kertas yang berserakan di atas lantai dan merapikannya. Sekilas Eva melihat angka dan huruf yang dijejer tidak beraturan.
Ya semacam itulah jawab Ian sambil mengunyah makanannya. Masih ingat kejadian di Pulau Iyu kecil? Saat kau membantuku?. Tanya Ian kemudian, Eva mengangguk.
Fondo bukan target satu-satunya dari Case tersebut. Aku juga membantu Lazy Franginpani, orang tua yang kekar itu?.
Ya. Aku ingat Lazy Franginpani.
Kami menghabisi Noisy Cannary, agen tipe B seperti si tua Wise Crow yang berkhianat pada Association. Dia tahu sesuatu tentang Ayahku, dan dia memberiku sandi rahasia ini sebelum dia mati.
Ian meraih selembar kertas bertuliskan bank emerald BANDUNG ke Eva. Eva membaca isi pesan tersebut.
Bank Emerald menunjukkan lokasi, aku cukup yakin soal itu. yang menjadi kode dari petunjuk itu adalah BANDUNG, karena tidak ada Bank Emerald di Bandung. Aku mengkonversinya ke angka, B = 2, A =1, N = 14, D = 4, U = 21, N = 14 dan G = 7. Lalu mencoba mengkombinasikan angka-angka tersebut. Ian meraih kembali spidolnya dan memberi penjelasan singkat.
Awalnya kujumlahkan semua deret angka, 2+1+14+4+21+14+7 = 63. Lalu kujumlahkan dua digit hasilnya 6+3 = 9. Sembilan tidak menunjukkan apa-apa, jadi aku konversi balik ke huruf. 9 = i
Lalu? Eva bertanya.
Tidak ada lalu. Jawab Ian. Aku berhenti di sana dan tidak menemukan petunjuk untuk meneruskan analisaku. Jadi aku merubah proses perhitunganku. Aku mengurangi angka-angka yang didapatkan, 2-1-14-4-21-14-7 = -59, 5-9 = -4 = D. Dan buntu di sana.
Eva menyimak apa yang disampaikan Ian dengan seksama, meskipun ia jadi harus ikut memutar otak mendengar penjelasan yang disampaikan agen tipe A tersebut.
Aku lalu merubah dengan membagi, mengkali dan hasilnya tetap blank. Aku belum bisa memecahkan sandi tersebut. Kali ini Ian mengacak-acak rambutnya sendiri.
Mungkin kau harus istirahat dulu, sejak pulang dari Australia, sudah hampir dua hari kau mengurung dirimu di tempat ini. Bahkan kau belum memasukkan mobilmu. Di luar hujan terus-terusan, jangan sampai plat nomor mobilmu berkarat. Ujar Eva sambil tersenyum, tangan lembutnya merapikan kembali rambut Ian yang acak-acakan.
Plat nomor mobil itu tidak mudah berka Ian menghentikan kalimatnya, seolah menyadari sesuatu. itu dia! Eva! Kau jenius! tiba-tiba Ian berdiri dan memeluk Eva sambil kegirangan. Eva yang terkejut hanya bisa mematung kebingungan saat Ian mengecup pipinya.
Plat nomor biasanya terdiri dari delapan karakter!. Bank Emerald hanya ada di Jakarta dan itu artinya depan plat nomor itu pastilah huruf B! Ian kembali duduk dan meraih spidolnya.
Coba kita lihat jika aku konversikan kata BANDUNG menjadi plat nomor dengan 4 digit. Ian menulis sesuatu di lembaran kertas dengan penuh semangat, beberapa menit kemudian ia menyerahkan kertas tersebut pada Eva.
Plat nomor biasa ditulis dengan format <KODE WILAYAH> <1-4 digit angka> <KODE DAERAH PENDAFTARAN KENDARAAN> <GOLONGAN KENDARAAN> <PEMBEDA>. Kita hanya punya tujug digit, maka aku abaikan pembeda. Sesuai petunjuk Bank Emerald, maka kode wilayah dipastikan B kode untuk Jakarta, selanjutnya aku tambahkan empat digit ; 1543. Huruf berikutnya N adalah kode untuk daerah Tangerang, dan G adalah golongan kendaraan untuk kendaraan Off Road yang dimodifikasi sesuai dengan ketentuan.
Kenapa berasumsi menggunakan empat digit nagka? Bukankah kalau tiga digit angka maka kita bisa mendapatkan plat nomor utuh tanpa harus satu huruf terakhir?. Tanya Eva.
Aku akan mencoba menggunakan tiga digit nantinya. Ini hanya analisa awalku saja. Jawab Ian sambil tersenyum. Bisa tinggalkan aku dulu? Nanti akan aku kabari hasilnya? Ian meminta Eva meninggalkan ruangan, meski sebenarnya untuk apa nanti dia mengabari Eva? Toh gadis itu tidak ada hubungannya dengan semua ini.
Aku akan menunggu. Jawab Eva sambil mengecup ubun-ubun kepala Ian sebelum bergegas meninggalkan ruangan.
Ian beranjak untuk mengambil laptopnya, meletakkan laptop tersebut di atas meja. Sebuah senyum tersungging di bibirnya, wajahnya tampak segar dan penuh semangat, dia yakin bahwa dia semakin dekat dengan pemecahan kode tersebut.
*_*_*
Beberapa jam kemudian.
Eva menyendoki sup ayam buatannya dengan malas, ogah-ogahan menyantap makan malam sendirian. Pikirannya tampak bercabang, entah apa yang sedang dipikirkan oleh gadis cantik yang kini menemani Silent Rose.
Lamunan Eva buyar ketika seseorang menepuk pundaknya, gadis itu menoleh dan mendapatkan Ian tengah tersenyum padanya.
Kok seperti tidak bersemangat begitu? tanya Ian sambil duduk di kursi meja makan, tepat didepan Eva. Ian mengambil semangkuk sup dan mulai melahapnya.
Sudah selesai dengan sandi itu? tanya Eva di sela-sela makannya.
Yups! Terima kasih atas pencerahanmu, kode itu merujuk ke plat nomor B 1543 NGK, tercatat atas nama Dimas Mainaki. Aku sudah mendapatkan tempat tinggal orang tersebut.
Bagaimana bisa yakin kalau itu merujuk padanya?, Eva bertanya lebih dalam.
Bank Emerald itu kuncinya, aku melakukan cross-check terhadap plat nomor B 1543 NG dengan variasi huruf pembeda dari A hingga Z, dan kamu tahu? Hanya Dimas Mainaki pemilik plat B 1154 NG yang pernah menjadi direktur Bank Emerald. Ian menyendok sup dalam mangkuknya.
Kau akan menemuinya?.
Secepatnya. Aku rasa tidak akan begitu sulit menemui pria yang berusia lebih dari delapan puluh tahun.
Wow? Dia setua itu? dan masih hidup? Eva sedikit terkejut.
Sepertinya pria itu benar-benar menjaga kondisi badannya dengan baik. Jelas sekali kalau ia melakukannya dengan baik. Ian menggumam sendiri. Tidak akan sulit bagiku untuk menemukan informasi tentang pria itu, aku berkali-kali melihat namanya di berkas milik Ayahku.
Dia Eva mencoba menebak hubungan antara pria bernama Dimas Mainaki dengan Ayah Ian.
Cautious Hawk. Senyum mengembang di wajah Ian. itu codename yang disandangnya sebelum pensiun. Ujar Ian sambil tersenyum.
*_*_*
Rumah megah itu berada di kawasan perumahan elit di Bintaro. Tampak mencolok diantara rumah-rumah elit lainnya. Jelas saja, tidak mungkin tidak terlihat mencolok jika empat kapling rumah digabungkan hanya untuk mendirikan sebuah rumah. Sebuah pagar tinggi melindungi rumah tersebut. Tidak perlu repot untuk menebak kegunaan dari pagar tersebut karena sebuah stiker peringatan bertuliskan AWAS! PAGAR BERTEGANGAN TINGGI tertempel di papan sepanjang pagar tersebut.
Dimas Mainaki tinggal seorang diri di rumah tersebut, hanya Sisca, pembantunya yang bisa leluasa keluar-masuk rumah megah itu. Pria berusia delapan puluh satu tahun itu masih tampak kuat untuk mengurus dirinya sendiri, tapi tidak rumahnya. Dia memperkerjakan Sisca, gadis berusia dua puluh tujuh tahun untuk mengurus rumah dan keperluannya. Di masa kejayaannya dulu, ketika masih menyandang codename Cautious Hawk, dia benar-benar menjaga asupan makanan dan juga kebugaran tubuhnya melalui fitness rutin yang dilakukan di rumahnya sendiri. Pria itu tidak lagi bekerja, namun kekayaannya seakan tidak habis meski dia sudah bertahun-tahun menganggur.
Pria tua itu tengah membaca sebuah buku di ruang bacanya kala Sisca pembantunya masuk membawakan sepoci teh hangat dan meletakkan minuman tersebut di atas meja. Sekilas Hawk melirik ke sachet-sachet berisi gula berkalori rendah yang ada di tepi poci the berbahan keramiknya.
Gula itu baru dikirim dari pabrik sore ini, tuan Dimas. Seolah membaca pikiran majikannya, Sisca menjelaskan perihal gula berkalori rendah tersebut. Tanggal produksinya baru dua hari yang lalu. Tambah pembantu berparas manis itu.
Terima kasih, Sisca. Kau melakukan pekerjaanmu dengan sempurna, seperti biasanya. Ucap Hawk lembut, senyum tergambar di sela-sela wajah keriputnya. tolong tuangkan secangkir untukku.
Baik tuan Dimas. Ujar Sisca seraya menuangkan segelas teh.
. Dia memperhatikan hal-hal detail seperti tanggal produksi, tanggal kadaluarsa bahkan komposisi dari produk-produk makanan yang akan dikonsumsinya. Pada waktu awal-awal bekerjanya Sisca di rumah ini, gadis itu sempat dibuat stress karena Cautious Hawk memintanya membuang sebagian besar dari belanjaan yang dibeli oleh gadis itu. Gadis itu dibuat untuk mengulang belanjanya hingga sembilan belas kali sebelum akhirnya Cautious Hawk mau menerima belanjaannya tersebut. Awalnya Sisca beranggapan majikannya adalah orang yang freak. Lama-lama Sisca terbiasa juga, bahkan kini ia berpikir itulah salah satu resep umur panjang Cautious Hawk, dengan menjaga apa-apa yang masuk ke dalam tubuhnya.
Sisca baru saja meletakkan poci ke nampan ketika secara mendadak listrik di rumah itu padam. Gadis itu sempat terpekik karena terkejut, listrik di rumah itu memang jarang sekali padam. Sisca menunggu beberapa menit karena biasanya tenaga genset cadangan yang ada di basement rumah tersebut akan menyalakan kembali listrik, namun kali ini tampaknya genset tersebut tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Ada pekerjaan yang belum kau selesaikan, Sisca? suara berat Cautious Hawk terdengar di sela-sela kegelapan yang menyelimuti mereka berdua.
Eh saya belum mencuci piring, Tuan Dimas. Jawab Sisca.
Hawk membuka laci di sampingnya dan meraih sebuah senter lalu menyalakannya. Dia menyorotkan senter tersebut ke jendela lalu ke arah Sisca.
Lupakan dulu pekerjaanmu, bawalah senter ini, kemasi barang-barangmu dan kau boleh pulang sekarang.
Tapi tuan saya bisa memanggil orang untuk membetulkan genset. Sisca tampak ragu untuk meninggalkan majikannya sendirian di tengah kegelapan seperti ini.
Tidak perlu. Ujar Hawk sambil menyerahkan senter tersebut ke tangan Sisca. Begitu selesai mengemas barangmu, segera pulanglah lewat pintu depan. Jangan berpikir untuk kembali menemuiku atau mampir ke ruangan manapun. Toh ruangan ini juga akan terang kembali setelah matahari terbit. Tidak perlu mengkhawatirkanku.
B..baik tuan. Sisca tahu betul nada suara majikannya kali ini bukanlah himbauan melainkan nada perintah. Sisca mengambil senter yang diberikan oleh Hawk dan bergegas keluar ruangan.
Ehm Sisca. Cautious Hawk memanggil Sisca kala gadis itu sudah sampai di ambang pintu.
Ya Tuan Dimas?. Gadis itu berbalik untuk mendengar apa yang akan disampaikan majikannya.
Kau boleh libur besok, bukankah sudah berbulan-bulan kau tidak berlibur bersama keluargamu?
Sisca dapat menangkap bahwa ada sesuatu yang aneh pada majikannya kali ini. Namun senyum di wajah tua majikan itu tampak sangat murni, seolah tidak ada hal yang harus dikhawatirkan. Gadis itu akhirnya mengangguk sambil tersenyum. Baik Tuan Dimas. Jawabnya kalem sebelum meninggalkan ruangan.
Keheningan dan kegelapan dalam ruangan itu membaur selama beberapa saat. Hawk diam seribu bahasa, seolah sedang menunggu sesuatu. Setelah beberapa menit berdiam barulah pria tua itu menyalakan lampu meja bertenaga baterai dan melanjutkan aktifitasnya membaca. Suara mobil dan pagar terbuka terdengar dari luar. Cautious Hawk mendekat ke arah jendela dan menyaksikan Sisca mengemudikan mobilnya meninggalkan rumahnya.
Senyum samar kembali terkembang di wajah tua Hawk kala dia menyadari seseorang membuka pintu di belakangnya, tanpa suara, namun kehati-hatian Hawk telah membuatnya mampu merasakan adanya gerakan sekecil apapun. Pria tua itu tahu, dia tak lagi sendiri di dalam ruangan tersebut.
Lima meter, Rose suara berat Cautious Hawk memecah keheningan. Pria itu berbalik dan menemukan Ian sang Silent Rose tengah duduk di kursi yang tadi digunakannya saat membaca.
Masih sangat tajam, Dimas Mainaki atau harus kupanggil Cautious Hawk?, Ian berusaha untuk tetap terlihat tenang meski dia cukup terkejut Hawk menyadari keberadaannya, bahkan tahu bahwa ia akan datang malam ini. Ian dapat merasakan tengkuknya merinding saat Hawk menatapnya dari kegelapan, sebuah tatapan tajam yang berat, bahkan jauh lebih berat dari tatapan Wise Crow yang selama ini dianggapnya sebagai tatapan paling berbahaya. Pelan tanpa suara, Ian menyentuhkan jarinya ke pistol Ballers 90s yang terselip di pinggangnya.
Tidak perlu menarik senjatamu atau takut, aku tidak berbahaya. Bahkan aku telah menunggu cukup lama untuk kedatanganmu, putra dari Airul Hutomo, sang Silent Rose. Nada berat Hawk masih penuh dengan ketenangan yang benar-benar terkontrol, sepertinya agen-agen tipe B dapat memiliki kharisma yang berbeda seiring pengalaman yang menempa mereka.
Jadi kau tahu akan kedatanganku?
Aku tahu suatu saat nanti Lazy Franginpani akan menyelesaikan Casenya dan membunuh Noisy Cannary. Aku tahu Noisy Cannary akan menyampaikan pesan yang dititipkan Ayahmu padamu. Dan aku tahu itu akan membawamu kepadaku, namun aku tidak tahu kapan. Cautious Hawk bicara tanpa berpindah dari posisinya yang membelakangi jendela. Dan aku sudah menunggumu cukup lama, Silent Rose generasi kedua.
Kenapa menunggu? Ian memicingkan matanya, mencoba memperhatikan raut wajah Cautious Hawk yang tersembunyi rapi dalam kegelapan. Kenapa tidak datang padaku?.
Karena bukan itu yang diminta Ayahmu. Hawk menjawabnya dengan tegas. Dia hanya memintaku untuk menunggumu, karena saat kau datang, saat itulah waktu yang tepat telah datang.
Waktu? Waktu untuk apa?
Waktu untuk memberitahumu kebenaran. Hawk kini bergerak, melangkahkan kakinya ke sebuah kabinet di sudut ruangan. Ian segera beranjak dari kursinya dan mencabut senjatanya.
Jangan bergerak, atau kuledakkan kepalamu!! Percayalah, aku belum pernah sekalipun meleset! ancam Ian dengan senjata terarah tepat ke Hawk.
Oh aku percaya Association telah mendidikmu dengan sangat baik, Rose Hawk menghentikan langkahnya. Sudah kubilang aku tidak berbahaya, Rose. Kebenaran yang ingin disampaikan padamu ada di dalam kabinet tersebut. Jika kau tidak mempercayaiku, bukalah dengan tanganmu sendiri.
Ian melangkah mendekati kabinet yang dimaksud dengan hati-hati, tanpa mengalihkan pandangan atau ujung senjatanya dari Cautious Hawk. Dengan tangkas Ian membuka kabinet tersebut dan melihat sebuah map bergambar mawar di dalam kabinet tersebut.
Lihat dan ambillah, jangan membuatku menunggu lebih lama lagi, Rose. Biarkan aku menyelesaikan tugas terakhir dari Ayahmu.
Ian bergerak meraih map di dalam kabinet dan membawanya ke atas meja. Tanpa menurunkan senjatanya ia membuka dan membaca lembar pertama di dalam map tersebut. Saat melihat tanda tangan Ayahnya, saat itulah Ian memutuskan untuk mempercayai Cautious Hawk dan menurunkan senjatanya.
Ruangan mendadak menjadi terang kala lampu kembali menyala. Ian menoleh ke arah Cautious Hawk dan menemukan pria itu tersenyum padanya. Tangan Hawk menggenggam sebuah benda semacam remote.
Kau mungkin telah memutus aliran listrik dan juga mematikan genset di basement. Tapi kau tidak akan berpikir bahwa aku punya tujuh genset cadangan di tujuh lokasi yang berbeda kan? ujar pria tua itu santai.
Ian mengernyitkan dahinya, tidak habis pikir seberapa paranoid-nya orang ini sehingga harus menyiapkan tujuh genset cadangan hanya untuk sebuah rumah. Meski begitu, Ian memuji kehati-hatian Cautious Hawk. Mungkin itulah yang membuat pria tersebut dapat berumur panjang.
Kau teruskan saja membacamu, aku akan duduk dan membaca disini. Cautious Hawk mengambil sebuah buku dan sebuah kursi di dekatnya. Lalu duduk manis di dekat jendela.
Ian kembali pada berkas-berkas di hadapannya, dia dapat mengenali tulisan tangan Ayahnya. Dengan seksama dia mulai membaca surat tersebut.
Dear Ian, Putraku tercinta.
Sebelum kau melihat lembar demi lembar yang ada di map ini, aku memintamu untuk tidak membunuh atau menyakiti Cautious Hawk, dia orang yang telah banyak membantuku dan kakekmu. Dan akulah yang memaksanya terlibat dengan semua ini.
Ian, putraku
Kadang hidup memang tidak adil, menjebak kita dalam sebuah lingkaran tanpa jalan keluar, dan keluarga kita terjebak di dalamnya sejak kakek buyutmu memutuskan untuk mendirikan Association. Jika kau membaca surat ini, itu artinya aku tidak dapat memberitahumu secara langsung mengenai kebenaran yang pahit ini. Ya, mungkin aku telah menemui ajalku dan kaulah yang kini menanggung codename Silent Rose.
Seperti yang kutulis sebelumnya, keluarga kita terjebak dalam lingkaran, bukan hanya kita, namun seluruh Association terjebak dalam lingkaran yang saling berhubungan. Satu kepahitan hanya akan melahirkan kepahitan yang lain. Untuk itu anakku, putra tercintaku, kuminta kau tetap tegar dan menemukan jalanmu bersama mereka-mereka yang membutuhkan dan memperdulikanmu. Association telah dirancang dengan sistem yang sedemikian rupa, namun sebaik apapun sistem, selalu ada bug yang bisa mengganggu. Keluarga kita telah memutuskan untuk mengambil peran sebagai wayang dalam mendirikan keadilan di dunia ini. Dikendalikan oleh para dalang sama seperti agen-agen lainnya. Dan tahukah kamu, anakku? Tidak peduli seberapa cermatnya sebuah sistem dibuat, tidak peduli seberapa jeli skenario yang ditulis, segalanya akan mulai berantakan kala seorang wayang bertindak layaknya seorang dalang.
Kau akan menemukan kepahitan disini, kepahitan yang sebenarnya ingin kuucapkan langsung dari bibirku sepulang kau dari karantinamu. Namun aku menyadari bahaya yang ada saat aku mencoba membaca skenario yang dimainkan dengan kita sebagai wayang di dalamnya.
Tetaplah tegar Anakku, dan bawalah keluarga kita ke keadilan yang hak. Peran dan pertunjukanku telah berakhir kala aku menghembuskan nafas terakhirku. Kini giliranmu telah tiba untuk menyelesaikan semua ini.
Ian, putraku mungkin kau tak sekuat karang, namun pasti tak selemah gelembung. Apapun yang kau temukan di dalam map ini, ketahuilah dan ingatlah. Ayah selalu mencintaimu, Ayah selalu menyayangimu, karena kaulah kebangganku.
Dengan penuh cinta
Ayahmu, Airul Hutomo.
Pikiran Ian melayang jauh ke belakang seusai membaca surat dari Ayahnya, bayangan dan kenangan mengenai Ayah yang dikaguminya, kelembutan dan kehangatan orang tua yang dulu pernah dirasakannya. Sosok tangguh penuh wibawa dan kecerdasan yang mampu memikat siapapun yang mengenalnya. Sesak rasanya saat semua ingatan itu melandanya, saat menyadari bahwa kehangatan itu tidak lagi dapat ia rasakan, Ayah yang begitu menyayanginya, begitu memperhatikannya, yang telah mengajari banyak hal padanya. Rasa sesak itu kini semakin terasa, seolah ada sebuah lubang yang dalam dan gelap pekat di lubuk hati Ian. Lubang rindu yang kini melahirkan kesedihan yang dalam. Sebuah kesedihan yang terwakilkan jelas melalui bulir air mata yang menetes tanpa dapat ditahan.
Hawk tidak lagi membaca, pria tua itu membiarkan bukunya terbuka begitu saja, matanya memandang ke raut wajah Ian. Kesedihan jelas tergambar di wajah pemuda tersebut. Pria tua itu pernah melihat ekspresi serupa, ekspresi saat Airul Hutomo, sang Silent Rose sebelumnya datang padanya dan menceritakan kebenaran yang pahit.
Jari jemari Ian bergetar saat ia menyeka air matanya. Ian meletakkan surat dari Ayahnya tepat di sebelah map, lalu membaca lembar berikutnya. Sebuah diagram molekul tergambar di atas kertas tersebut. Itu adalah komposisi kimiawi untuk racun terhebat yang pernah dibuat Ayahnya, ada catatan kecil di sudut kiri bawah kertas tersebut : Silent Rose membunuh tanpa rasa sakit dan gejala dalam 24 jam. Tidak kurang tidak lebih. Itu adalah karya terakhir Ayahnya, serum terhebat yang sebelumnya hanya diketahui oleh Ayahnya. Ian mempelajari komposisi serum tersebut untuk beberapa saat, timbul rasa kagum dalam dirinya, memuji kejeniusan yang dimiliki Ayah tercintanya. Ian mengesampingkan lembar berisi komposisi serum tersebut, saat ia membalik kertas tersebut ia menemukan sebuah tulisan di balik kertas tersebut. Ditulis dengan spidol berwarna merah; 24=>0+8=>0. Entah apa maksud dari kode tersebut, Ian tidak memikirkannya sekarang, ia melanjutkan ke lembar berikutnya.
Ekspresi wajah Ian berubah seketika saat ia membaca dua lembar terakhir dari map tersebut. Pria yang kini menyandang codename Silent Rose itu membelalakkan matanya, seakan tidak percaya atas apa yang kini ia temukan. Ayahnya telah menyebutkan sesuatu tentang kepahitan yang akan ditemukannya. Dan kini ia terperanjat atas kepahitan yang sama sekali tidak diduganya itu.
Tidak mungkin bisik Ian lirih. Ia menoleh ke arah Cautious Hawk yang tengah memperhatikannya. Kau tahu tentang ini? ujarnya sambil menunjukkan dua lembar terakhir yang disebut Ayahnya sebagai kepahitan.
When the Rose bleeding jawab Hawk penuh makna. Aku tidak pernah melihat isi map tersebut, tapi Ayahmu telah memberitahuku secara langsung. Namun dia tidak mengatakan apa yang harus kau atau aku lakukan setelah kau mengetahui tentang kebenaran itu.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Ian memasukkan kembali lembaran-lembaran kertas ke dalam map. Aku harus mengakhiri lingkaran ini, dan meneruskan kebenaran ini pada orang yang terkait. Ujar Ian sambil beranjak dari kursinya.
Ian menghentikan langkahnya ketika berada di ambang pintu.
Paman Hawk Ian memanggil Cautious Hawk dengan sebutan paman. Terima kasih untuk malam ini. Aku akan menyelesaikan urusan ini dengan Ayahku, segera setelah serum ini sempurna.
Hawk tidak menjawab, hanya diam melihat Ian yang pergi tanpa menunggu tanggapan darinya. Sepeninggal Ian, Hawk menatap kembali ke jendela. Memandang langit gelap yang kini tanpa bintang. Pria tua itu memejamkan mata tuanya sembari tersenyum.
Pesanmu telah tersampaikan Rose kini waktuku telah tiba. Aku telah menunggu terlalu lama. Ujarnya kemudian.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar