Silent Rose (tamat)

 

Bab 32








Kediaman Silent Rose, dua hari pasca kunjungannya ke kediaman Cautious Hawk.




Eva sedang menyirami bunga di kebun kecil milik Ian kala dia melihat Ian keluar dari ruangannya dengan membawa seekor burung dalam sangkar kayu. Burung itu jenis gagak yang baru dibeli Ian kemarin. Ian meletakkan sangkar burung tersebut di atas meja taman, memperhatikan gerak-gerik gagak itu sebelum ia beranjak mendekati Eva.




“Aku belum pernah melihat orang memelihara gagak.” Komentar Eva. “Itu… sedikit mengerikan, bukankah gagak sangat erat hubungannya dengan mitos-mitos buruk?”




“Justru karena itu aku memilihnya.” Jawab Ian sambil tersenyum, “Akan sangat sayang kalau harus menggunakan burung-burung jenis lain untuk percobaan.”




“Percobaan?” Eva berjalan ke arah kran untuk mematikan air yang mengalir ke selang.




Ian merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah botol kaca merah berukuran kecil. Ada cairan bening yang mengisi separuh dari botol tersebut. “Serum baru.” Ian terlihat bangga saat memamerkannya ke Eva.”Serum terakhir buatan Ayahku, namanya Silent Rose.”




Eva memperhatikan botol kecil tersebut dengan seksama. “Apa fungsinya?”




“Membunuh dalam waktu dua puluh empat jam, tidak kurang, tidak lebih.”




Eva mengernyitkan alisnya, “dua puluh empat jam? Kenapa lama sekali? Apa istimewanya racun yang membunuh dalam waktu lama?. Bukankah semakin cepat semakin baik.”




Ian tertawa mendengar pertanyaan Eva. “Kau tidak mengerti, Eva.” Ian mengelus kepala Eva lembut. “Efek serum itu tidak selalu sama, daya tahan dan kondisi tubuh korban juga mempengaruhi cepat-tidaknya serum itu bereaksi. Jika ingin membunuh dengan cepat malah lebih mudah, gunakan saja Sianida. Sampai sekarang, serum yang membunuh dengan waktu yang tepat belum ditemukan. Tapi inilah Silent Rose, membunuh dengan akurat setelah dua puluh empat jam dikonsumsi, tidak kurang-tidak lebih.”




“Wow…” Eva terlihat kagum. “bukankah dosis yang diberikan juga mempengaruhi?”




“Itulah kehebatan yang lain dari serum ini.” Ian menjetikkan jarinya. “Jika mengacu pada catatan Ayahku, tidak peduli berapapun dosis yang kau berikan, efek yang diberikan tetap sama. Mati setelah dua puluh empat jam, tanpa rasa sakit dan tanpa gejala. Murni tidak terdeteksi.” Kali ini Ian terlihat sombong, seolah itu adalah serum temuannya sendiri.




“Tapi aku baru sekali ini mencobanya. Karena itu aku berusaha memastikan efeknya.” Ian memperhatikan burung gagak yang ditandainya dengan pita merah di kaki burung tersebut. “Kita lihat saja setelah dua puluh empat jam. Sekarang, kau jaga rumah ya? Ada sesuatu yang harus aku beli.” Ian mengecup kening Eva sebelum pergi meninggalkan rumahnya.




*_*_*​




Kediaman Cautious Hawk, hari yang sama.




Sisca memarkirkan Karimun birunya di garasi kediaman Dimas Mainaki, majikannya. Setelah diberikan waktu untuk libur sehari, gadis itu kini siap untuk bekerja kembali. Gadis itu tampak gelisah, sedari tadi sejak dia masuk ke areal rumah majikannya ia sudah merasa khawatir. Tidak biasanya majikan tuanya ceroboh dengan membiarkan pagar terbuka, kekhawatirannya semakin besar kala ia menemukan pintu depan rumah itu terbuka.




Gadis manis itu meletakkan belanjaannya di atas meja tamu dan bergegas naik ke lantai dua, mencoba mencari keberadaan majikannya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, biasanya pada pukul sebelas majikannya berada di ruang baca, asyik dengan buku-bukunya. Namun kali ini ruang baca terlihat benar-benar kosong. Sisca lantas naik ke lantai tiga, menuju ke kamar tidur majikannya.




Kegelisahan semakin menghinggapi benak gadis manis itu kala ia melihat pintu kamar sang majikan tidak tertutup rapat. Dengan perlahan dan sedikit ragu Sisca mendekat ke kamar tidur Dimas Mainaki, seolah langkah demi langkah membawanya semakin dekat dalam pelukan kegelisahan. Gadis itu mengetuk pintu kamar beberapa kali sebelum mendorong pintu berbahan kayu mahoni tersebut.




Detik kemudian, jeritan histeris terlontar nyaring dari bibir gadis manis itu.




*_*_*​




Kediaman Ian. Keesokan harinya.




Cuaca hari itu cukup cerah, Ian duduk di kursi taman rumahnya, menghisap rokok sambil sesekali melirik ke arlojinya. Di hadapannya, seekor gagak dalam sangkar tampak menatap balik tatapan mata Ian. Ian menunggu, menunggu hingga waktu benar-benar sampai dua puluh empat jam. Aroma masakan Eva tercium hingga ke taman, tercium sedap dan menimbulkan rasa lapar di perut Ian.




Gagak hitam dalam sangkar itu masih bertingkah normal, sesekali mengeluarkan bunyi yang memekakkan telinga. Ian memperhatikan gagak itu dengan seksama. Hingga saat yang ditunggu tiba, saat gagak itu secara tiba-tiba terjatuh ke dasar sangkar, terkulai tanpa tanda-tanda kehidupan.




Ian segera melirik ke jam tangannya, seketika senyum terkembang di wajahnya. “Berhasil!!” serunya sambil mengeluarkan bangkai gagak itu dari sangkarnya. Ian memastikan bahwa gagak percobaannya benar-benar telah mati.




“Aku berhasil!” Ian berseru ke arah Eva yang muncul di ambang pintu.




“Baguslah, sekarang kau bisa makan.” Ujar Eva kemudian.




Ian yang memang sudah merasa lapar bergegas ke ruang makan, mengambil semangkuk soto ayam dan memakannya dengan lahap. Eva memperhatikannya sambil tersenyum.




“Kwamu twidak mwakan??” ujar Ian sambil mengunyah.




Eva menggeleng sambil tersenyum. “Aku sedang diet, tadi aku sudah makan roti.” Jawab Eva kalem.




Dering ponsel Ian memaksa Ian untuk menghentikan santap siangnya untuk sementara. Ia melirik ke nama yang tertulis di layar ponselnya.




“Lazy Franginpani…” ujarnya sebelum memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. “Halo.”




“Rose, kau belum menonton berita di TV?” suara Lazy Franginpani terdengar.




“Ada apa?”




“Lihatlah sendiri, mereka sedang menayangkannya di televisi.” Ujar Franginpani sebelum memutuskan panggilannya.




Ian meletakkan ponselnya dan beranjak ke ruang tengah. Meninggalkan santap siangnya yang belum selesai. Dengan heran, Eva mengikuti langkah Ian. Pria bercodename Silent Rose itu lalu meraih remote televisi dan menyalakannya.




“Perumahan elite Bintaro dibuat geger dengan pembunuhan yang terjadi di salah satu rumah megah disana. Dimas Mainaki, mantan direktur Bank Emerald ditemukan terbunuh kemarin pagi oleh pembantunya. Saat ini pembantunya tengah dipanggil sebagai saksi kunci pembunuhan sadis tersebut. Tubuh pria berusia delapan puluh dua tahun itu ditemukan tewas terpotong-potong menjadi beberapa bagian di kamar tidurnya. Darah melumuri sebagian besar dinding kamar tersebut. Saat ini polisi sedang melakukan investigasi insentif…”




Ian tidak menyimak kelanjutan dari berita itu, ia bergegas menuju ke ruang makan dan meraih ponselnya untuk menghubungi Lazy Franginpani.




“Halo, Rose. Kau sudah melihat berita itu? Mungkin kau tidak mengenal Dimas Mainaki tapi dia dulu adalah…”




“Aku tahu siapa dia, Franginpani. Cautious Hawk. Tiga hari yang lalu aku menemuinya.” Ian memotong ucapan Lazy Franginpani dengan tidak sabaran.




“Kau? Bertemu dengannya? Ada urusan apa?”




“Kode rahasia yang diberi oleh Noisy Cannary menuntunku padanya. Juga pada kebenaran-kebenaran yang lain. Katakan, Franginpani. Apa kau tahu soal ini?”




“Rose, aku tidak tahu apa-apa. Ayahmu… jelas dia lebih dekat dengan Hawk dan Wise ketimbang denganku.”




“Menurutmu siapa yang membunuh Cautious Hawk?” Ian bertanya.




“Hanya ada satu nama dalam pikiranku jika melihat bagaimana brutalnya Hawk terbunuh…”




“Hard Bougenville.” Ujar keduanya nyaris bersamaan. Punuk Ian merinding jika membayangkan cara kerja Hard Bougenville yang kasar dan tidak mengenal ampun. Seorang psikopat yang tidak mengenal belas kasihan.




“Franginpani, temui aku di Green File Café sore ini.” Ujar Silent Rose sebelum menutup ponselnya.




Ian menuju ke ruang kerja rahasianya, membereskan map yang di dapatnya dari sang Ayah. Dia memasukkan dua lembar terakhir dan meninggalkan lembar berisi surat tulisan tangan dari sang Ayah dan formula komposisi serum Silent Rose. Ian memasukkan map tersebut ke dalam tas dan bergegas meninggalkan rumah. Kali ini ia bergerak dengan terburu-buru, bahkan ia tidak sempat berpamitan dengan Eva.




*_*_*​




Green File Café terlihat lengang seperti biasa, lantunan musik klasik mengisi sudut ruangan yang diterangi cahaya remang-remang. Juna, mahasiswa yang sudah dua tahunan bekerja pada Wise Crow tampak larut dalam pekerjaannya. Pemuda itu sedang sibuk membersihkan gelas-gelas kaca dengan kain saat lonceng di atas pintu berdenting cukup keras. Juna melihat Ian yang tampak terburu-buru masuk ke dalam kafe. Dua buah pistol Ballers 90s tampak jelas terselip di pinggangnya.




“Dimana Pak tua itu?” tanya Ian pada Juna. Nada suara Ian terdengar cukup tinggi, membuat pemuda itu sedikit tersentak kaget.




“M..Mr. Wise ada di ruang basement dari pagi tadi… sepertinya beliau sedang memeriksa wine.” Jawab Juna terbata-bata.




Mendengar jawaban Juna, Ian bergegas menuju ke ruang basement, tempat Wise Crow menyimpan wine-wine nya.




“Err… biasanya Mr. Wise tidak ingin diganggu jika sedang memeriksa wine…” Kalimat Juna terhenti saat Ian dengan cepat mencabut salah satu Ballersnya dan menempelkan pucuk Ballers tersebut ke kepala Juna.




“Aku tidak peduli bahkan jika ia sedang buang air besar sekalipun!!” bisik Ian dengan geram. Juna tersentak kaku, terkejut. Bahkan ia dapat merasa seluruh bagian tubuhnya bergetar hebat melihat tatapan mata Ian yang layaknya binatang buas.




Juna bernafas lega saat Ian menyelipkan kembali pistolnya ke pinggang. Tanpa banyak bicara Ian meninggalkan Juna yang masih mematung. Juna hanya bisa memandang punggung Ian, kala pemuda yang menyandang codename Silent Rose itu membuka pintu yang menuju ke ruang bawah tanah.




Ada sebuah tangga terbuat dari batu di balik pintu menuju ke ruang penyimpanan wine. Ian melangkah dengan hati-hati mengingat tangga tersebut cukup licin, di ujung tangga, Ian menemukan lorong kecil dengan sebuah pintu di ujung lorong tersebut. Lampu gantung berwarna kuning menjadi satu-satunya penerangan di lorong tersebut.




Ian tidak ingin menurunkan kesiagaannya. Ada kemungkinan Wise Crow mengetahui perangai kasarnya saat menodongkan pistol ke kepala Juna melalui CCTV. Meski dia tidak melihat keberadaan kamera di ruangan kafe, dia tetap harus waspada. Ian mencabut dua buah pistol kebanggaan keluarga Rose dan melepaskan pengamannya. Dengan langkah pelan, mewaspadai adanya sesuatu yang bisa memicu semacam perangkap atau jebakan, Ian melangkah ke arah pintu.




Langkahnya berhenti tepat di depan pintu, Ian diam sejenak, mengatur nafasnya. Saat ini, Ian merasa bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Tanpa suara, Ian menyentuh kenop pintu berbahan kayu tersebut, memutar dan lalu mendorong pintu tersebut.




Setelah pintu itu terbuka, Ian dapat dengan jelas melihat Mr. Wise. Pria tua itu duduk di balik meja, dengan santai sedang menikmati segelas wine. Mr. Wise memejamkan matanya, mencoba menajamkan titik-titik penggecap pada lidahnya, meresapi rasa manis dari wine di gelasnya. Mata tua itu bergerak menatap sosok Ian setelah selesai dengan wine-nya.




“Kau lama sekali, Rose.” Suara berat Wise Crow terdengar. Ekspresi wajah pria tua itu tidak terbaca, tetap datar dan terlihat tenang. Setenang permukaan air yang sangat dalam. “Aku sudah menghabiskan wine istimewaku.” Tambah pria tua itu.




“Aku tidak peduli dengan wine-mu itu, Pak Tua.” Ian mengarahkan ujung dua pistolnya ke arah Wise Crow. Tadinya ia berharap Wise Crow akan bereaksi karena merasa terancam, namun ternyata hasilnya nihil. Wise Crow tua itu tetap bergeming, dengan ekspresi yang tak terbaca. Seolah apa yang terjadi di depan matanya ini telah diketahui sebelumnya.




“Ayahku… Airul Hutomo… apa yang kau lakukan padanya?”. Ian bergerak maju, masuk ke dalam ruangan tersebut, memperkecil jaraknya dengan Wise Crow tanpa menurunkan senjatanya.




Wise Crow tua tidak segera menjawab, hanya menggerakkan bola matanya sedikit. Wajah keriput pria itu seolah menjadi topeng yang sempurna untuk menutupi apa yang ada di benaknya. Sikap Wise Crow itu benar-benar membuat Ian harus menahan diri, tidak ada gunanya terpancing oleh sikap diam yang penuh provokasi tersebut.




“Aku hanya mengejar impianku…” jawab Wise Crow kemudian. “Dan menyelesaikan persaingan kecil antara dua sahabat kental.”




“Jelaskan padaku lebih rinci. APA YANG KAU LAKUKAN?!!” Ian membentak Wise Crow dengan satu hardikan keras. Berhasil, raut wajah Wise Crow berubah akibat hardikan tersebut. Bukan ekspresi wajah yang terkejut atau takut, namun ekspresi wajah yang tersinggung dan marah.




“Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu, Rose kecil.” Wise Crow mengambil rokok di mejanya dan membakarnya. “namun aku akan menjawabnya. Semua yang ingin kau ketahui.” Kepulan asap putih keluar dari bibir tua Wise Crow. Pria tua itu tak lagi menggunakan pipa hisap, seperti yang biasa ia gunakan sebelumnya.




Ian menatap gerak-gerik Wise Crow dengan seksama, dia diam, menunggu jawaban dari Wise Crow dengan tangan yang siap menarik pelatuk.




“Itu hanya persaingan antara dua sahabat. Ayahmu bermain dengan membuat serum terhebat yang sampai sekarang aku tidak tahu apakah ia sudah menyelesaikan serum itu atau tidak. Dan aku membuat trik terhebat yang ada. Dan itulah yang aku lakukan.”




“Dengan mengorbankan sahabatmu sendiri dalam trik tersebut? Itu yang kau sebut persaingan antar sahabat?!. Dengan memporak-porandakan sistem dan mengorbankan keluargamu? Orang-orang yang seharusnya memperdulikan dan menyayangimu?”.




“KARENA ITULAH YANG DILAKUKAN ASSOCIATION PADAKU!!” nada suara Wise Crow meninggi. “Itulah yang mereka lakukan saat membuat trik untuk menghabisi Adorable Starfruit! Hanya agar mereka bisa menjadikan Wise Crow dan Silent Rose sebagai pair-up abadi!!”




Nafas Wise Crow tua memburu, baru kali ini Ian melihat orang tua itu kehilangan kendali. Cukup mengejutkan bagi Ian melihat bagaimana Wise Crow bisa menunjukkan kemarahan yang begitu dalam.




…” nada suara Wise Crow melemah. Pria tua itu mengatur kembali nafasnya, mencoba kembali ke pikiran sehatnya.




Ian menatap perubahan ekspresi yang cukup cepat di sela-sela wajah keriput Wise Crow.




“Wise Crow… codename itu sudah aku tinggalkan di Centre, bertahun-tahun yang lalu. Aku telah lahir kembali sebagai wayang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai dalang. Dan Ayahmu memiliki peran penting. Sayang… Blood of Roses yang ada dalam dirinya membuat ia terlalu jenius untuk menjadi seorang wayang. Dia mengetahui permainanku, trik yang aku mainkan padanya. Jelas dia akan melawan dan menghancurkanku, dan jelas aku tidak akan membiarkan dia menghalangi permainanku. Trik ini harus jadi trik terhebat, dan harus berakhir dengan sempurna.”




“Karena itulah kau membunuhnya…” Ian menggeram saat mengucapkan kalimat tersebut.




“Oh, aku membunuh banyak orang, Rose. Airul Hutomo dan istrinya, Istriku sendiri, Komang Mahendra, dan banyak sekali orang. Mereka semua memang harus mati, sesuai apa yang tertulis dalam trik-ku.”




“Komang Mahendra? Aku yang membunuh Komang Mahendra!”. Ian mengingat dengan jelas bagaimana ia melaksanakan case pertamanya sebagai bukti bahwa ia layak menyandang codename Silent Rose dengan membunuh Komang Mahendra. Menyelesaikan apa yang ditinggalkan oleh Silent Rose sebelumnya.




“Ya… atas keinginanku.” Wise Crow tersenyum. “Komang telah membantuku menghabisi Silent Rose sebelumnya. Tapi sayang, ia juga harus mati, sesuai skenario.”




“Dan bagaimana akhir dari trik busukmu itu, Pak Tua?”. Ian menampakkan pandangan dingin penuh rasa muak ke arah Wise Crow. Wise Crow hanya tersenyum tanpa membalas tatapan mata Ian.




“Trik ini berakhir dengan kau yang telah menemukan kebenaran. Kupikir Cautious Hawk telah memberitahumu sesuatu? Dia adalah satu-satunya agen yang membantu tiga generasi dari keluarga Rose.”




“Aku telah mendapatkan kebenaran itu.” nada suara Ian terdengar datar dan dingin.




“Maka waktunya menurunkan tirai panggung.”




Wise melempar rokoknya ke samping kanannya, beberapa meter dari tempatnya berdiri. Ian terlambat bereaksi, rokok itu jatuh di cairan yang segera terbakar, sepertinya Wise Crow telah menyiramkan bensin ke sepanjang lorong dan basement ini. Api menjalar dengan cepat, membakar dinding-dinding ruangan dan sebagian lantai. Ian tidak peduli, ia tidak akan membiarkan fokusnya terpecah.




“Kini terserah padamu, Rose kecil…” Wise menumpukan kedua siku tangannya ke atas meja sebelum menumpukan dagunya ke atas jari-jarinya yang terjalin rapat. “Kau akan meninggalkan tempat ini, atau mati terbakar bersamaku.” Wise tersenyum sambil menatap tajam ke arah Ian.




Ian terdiam, dia bisa saja meledakkan kepala pria tua di hadapannya. Pria ini telah menyiapkan panggung pertunjukan yang sangat apik, lebih dari yang bisa dicapai akal sehatnya. Bahkan, pria tua itu telah memperhitungkan bagaimana ia akan mati. Basement ini adalah panggung besar yang sengaja disiapkan oleh Wise Crow sebagai tempatnya menjemput ajal. Ian menurunkan senjatanya lalu berbalik memunggungi Wise Crow.




“Jadi begitu?” kata-kata Wise Crow menahan langkah Ian. “Kau selalu mudah ditebak, Rose kecil. Hatimu terlalu lembut untuk disejajarkan dengan kehebatan Silent Rose atau diriku. Dari awal, kau hanya menggertakku dengan pistol-pistol mainan itu. Kau bahkan tidak punya keberanian atau nyali untuk meledakkan kepala orang yang telah mempermainkan hidupmu sejak kau lahir.”




Jari-jemari Ian menggenggam erat dua pistol Ballers 90s kebanggaan Silent Rose sebelumnya. Gigi-giginya bergemeretak menahan kesal yang seakan hendak meledak. Terjadi kemelut dalam benaknya, kemelut antara keinginan untuk meledakkan kepala Wise Crow dan membiarkan pria tua itu mati.




“Kau bahkan tidak bisa memastikan kematianku nantinya. Lemah…” Wise Crow tua terus memprovokasi Ian. “Tidak heran sih… kau bahkan tidak pantas menyandang codename Silent Rose. Tidak untuk seseorang yang tidak memiliki




Kalimat terakhir yang meluncur dari bibir Wise Crow mengakhiri kemelut dalam benak Ian. Dengan geram Ian membalikkan badannya ke arah pria tua yang menanti ajalnya itu, mengarahkan pucuk-pucuk pistolnya ke arah Wise Crow.




“Pelajaran terakhirmu kuterima dengan baik Wise Crow…” Mata Ian tampak berkaca-kaca, perasaannya berbaur dengan kemarahan yang memporak-porandakan benaknya. “Tidak… rasanya ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk memanggilmu… Ayah.”




Dua tembakan beruntun memenuhi ruang bawah tanah itu, terdengar beberapa detik sebelum Wise Crow tua jatuh terjengkang ke belakang akibat dorongan peluru-peluru yang melubangi dahi keriputnya. Nafas Ian tersengal-sengal, seolah ia baru saja menyelesaikan dua putaran lari marathon. Ian berbalik dan memandang api yang kini telah menutup jalurnya untuk meninggalkan ruangan. Ian tertunduk, otot-otot tubuhnya kini terasa sangat kaku, terlalu kaku untuk bergerak sedikitpun dari tempatnya kini berdiri.




Ian dapat mendengar seseorang menuruni tangga masuk ke ruang bawah tanah, diikuti semprotan busa putih dari fire extinguisher yang dibawa orang itu. Ian berbalik dan menemukan Pria tua berbadan kekar, Lazy Franginpani tengah berusaha memadamkan api yang memenuhi lorong.




“Rose!! Cepat kemari!!” teriak Lazy Franginpani. Ian tidak bereaksi maka dengan tidak sabaran Franginpani bergegas menarik tubuh Ian keluar dari ruang bawah tanah.




*_*_*​




Malam itu sungguh hening, Eva menoleh saat Ian membuka pintu rumah, kelelahan tergambar jelas di wajah Ian. Gadis itu beranjak untuk menanyakan apa yang terjadi, namun Ian memberi isyarat untuk tidak mendekatinya dengan satu ayunan tangannya.




“Biarkan aku sendiri.” Ujar Ian sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya.




Eva memandangi pintu kamar Ian yang tertutup, gadis itu merasa ada sesuatu yang terjadi. Tidak mungkin Ian terlihat seletih itu jika tidak ada yang terjadi di Green File Café. Untuk sejenak Eva menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan, sebelum akhirnya gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Ian.




Gadis itu menemukan Ian duduk di tepi ranjang bertelanjang dada, kepalanya tertunduk menatap ubin lantai di bawah kakinya. Dengan lembut Eva duduk di samping Ian.




“Kau terlihat lelah.” Ujar Eva sambil mengusap bahu Ian. “Apa yang terjadi?”.




“Aku membunuh Wise Crow…” nada suara Ian terdengar lemah dan lirih.




Eva terkejut, dan baru saja hendak bertanya namun Ian lebih cepat menjelaskan apa yang terjadi antara dia dan Wise Crow di ruang bawah tanah Green File Café.




“Dan aku membunuhnya seperti ia membunuh Ibu dan Ayahku, dan aku membunuh Pak tua itu… orang yang ternyata adalah Ayah kandungku sendiri.” Ada getaran nanar yang terdengar saat Ian mengucapkan kata ‘Ayah kandung’.




Eva memeluk tubuh Ian. Seolah menenangkan Ian dengan kehangatan tubuhnya.




“Istirahatlah… semua sudah selesai.” Ujar gadis itu kemudian.




Entah bagaimana semua itu dimulai, namun Ian dan Eva berciuman, bibir keduanya berpagutan dalam satu ritme yang senada. Mata keduanya terpejam, seakan saling menikmati sentuhan bibir lembut mereka yang kini beradu. Ian menarik kaos yang dikenakan Eva keatas, menarik lepas penutup tubuh bagian atas gadis cantik itu, menampakkan dua payudara indah yang membusung indah tanpa terlindung bra. Eva membiarkan Ian membaringkan tubuhnya, gadis cantik itu merintih pelan saat Ian memainkan puting payudaranya dengan lidah. Mata indah gadis itu terpejam, seolah menikmati sapuan dan pijatan lidah Ian pada titik-titik sensitifnya.




“Enggh…” Erangan halus terlepas dari bibir indah Eva, gadis cantik itu sedikit mengejang kala jari jemari Ian membelai kewanitaannya dari luar celana panjang. Belaian itu dengan cepat berubah menjadi remasan yang kuat, diimbangi dengan hisapan kuat pada putting payudaranya. Eva memekik, menikmati rasa yang luar biasa dalam dirinya, menikmati rangsangan yang kini menjalari seluruh permukaan tubuhnya.




Tubuh Ian setengah menindih gadis itu, hisapan dan remasannya tidak juga kendur, membuat gadis cantik itu merintih semakin kuat. Tubuh kencang gadis itu menggeliat-geliat semakin liar.




“Ahhhh!!!” Eva membuka matanya, tubuhnya melenting hebat, sehebat orgasme yang meledak dalam dirinya. Mengetahui Eva telah mencapai orgasme, Ian memperhalus remasannya, mata keduanya beradu untuk sesaat. Gadis cantik itu memandang Ian sayu, dengan pandangan yang mengharapkan sesuatu.




“Masuki aku…” bisik gadis cantik itu lirih.




Tangan Ian bergerak terampil untuk melucuti celana panjang yang dikenakan Eva. Eva membantunya dengan sedikit mengangkat pantatnya. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk telanjang, polos seperti bayi yang baru lahir.




Ian membenarkan posisi Eva, memeluk dan mengangkat punggung telanjang gadis itu, membawanya ke tengah ranjang. Eva menuruti kemauan Ian dengan pasrah, mata cantiknya menatap saat Ian menaiki tubuh telanjangnya, menggigil saat batang kejantanan Ian yang sudah mengeras menggesek liang senggamanya.




“Ngh…” Eva melenguh, memejamkan matanya menahan kenikmatan yang berbaur dengan sedikit rasa perih kala penis Ian mulai merangsek masuk ke dalam liang kewanitaannya. Ian juga melenguh, sebuah lenguhan kenikmatan kala ia mendorong masuk penisnya, kenikmatan yang didapatkan dari sempitnya lubang kenikmatan milik Eva.




Ian diam sejenak setelah ia berhasil menyetubuhi Eva dengan sempurna. Tidak ada kalimat yang terucap saat mata keduanya bertemu, hanya tarikan nafas yang bicara, keduanya tampak haus… haus akan sebuah kenikmatan dari sebuah persetubuhan.




Dan itulah yang terjadi berikutnya kala Ian menggerakkan penisnya keluar-masuk, memompa vagina sempit sang gadis. Lenguhan dan desahan berbaur menjadi satu saat tubuh keduanya saling berpacu dalam kenikmatan yang tak terlukiskan.




Hanya dalam satu posisi mereka memacu, seolah tidak ada keinginan untuk berpindah gaya atau posisi, desahan, erangan dan lenguhan keduanya semakin kencang memenuhi seisi ruangan. Pompaan dan gerakan tubuh mereka layaknya sebuah tarian yang semakin lama semakin cepat. Ian menindihkan seluruh tubuhnya ke Eva, memeluk dan menggenjot tubuh gadis cantik itu semakin kencang. Bibir keduanya berpagutan liar sebelum Ian menggeram, menekan seluruh penisnya dalam-dalam dan menumpahkan seluruh benihnya ke dalam rahim Eva.




“Ahhh….”, Keduanya melenguh puas. Tubuh keduanya masih menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Eva memeluk Ian erat-erat.




“Terima kasih, sayang…” bisik Ian lembut, untuk pertama kalinya Ian memanggil Eva dengan ucapan ‘sayang’.




Eva mengencangkan pelukannya, dan tanpa Ian tahu sebulir air mata menetes dari sudut mata gadis cantik itu.




*_*_*​




Siang hari, keesokan harinya.




Matahari sudah cukup tinggi kala Eva membuka matanya, terbaring tepat disebelahnya, Christian D Ambaraksa, pemuda yang juga dikenal sebagai Silent Rose. Ian tampak tidur tanpa ekspresi, tubuhnya telanjang, tidak ada gerakan sedikitpun dari Ian saat Eva beranjak dari ranjang. Bahkan tidak terlihat adanya tarikan nafas dari dada Ian, Eva tahu… gadis cantik itu tahu benar, Ian sudah tidak bernafas lagi. Silent Rose, nama serum terbaru yang telah dicampurkan ian pada hidangan soto yang sempat disantap Ian telah menunjukkan reaksinya. Membunuh dengan waktu tertentu, tanpa reaksi, dan tanpa rasa sakit sedikitpun.




Eva menatap tubuh tanpa nyawa lelaki yang kini terbaring kaku di sampingnya. Menatap Ian, Sang Silent Rose yang ditakdirkan sebagai targetnya. Untuk inilah dia disiapkan sedari kecil, untuk memikat dan menghantarkan ajal pada Silent Rose. Ingatan tentang masa kecilnya hanyalah sugesti yang dimasukkan Wise Crow melalui hipnotis padanya, jauh sebelum ia bertemu dengan Ian. Dan satu jentikan jari dari Pak tua itu kala ia menumpang di Green File Café telah mengangkat hipnotisnya. Mengembalikan gadis itu ke tugas awalnya, alasan kenapa ia ada di dunia ini dan menyandang codename Deadly Orchid.




Hipnotis itu telah diangkat, Eva telah menggunakan serum Silent Rose dengan mencampurkan serum tersebut ke soto ayam yang dimakan oleh Ian siang kemarin. Dan kini, setelah dua puluh empat jam, serum itu menunjukkan khasiatnya. Menghantarkan Ian pada ajalnya. Eva telah berhasil menyelesaikan tugasnya, namun entah mengapa gadis itu tak kuasa menahan air matanya.




“Kau melakukannya dengan baik, Deadly Orchid.” Suara seorang pria terdengar dari ambang pintu kamar. Eva berbalik dan menemukan Juna, pegawai Green File Café tersenyum melihatnya. “Wise Crow telah memenuhi janjinya, ini adalah pertunjukan terhebat yang pernah ada.” Juna bertepuk tangan.




Eva menyeka air matanya, mencoba menyembunyikan rasa kehilangan yang ada di dalam hatinya.




“Kenakan pakaianmu, Deadly Orchid. Mulai sekarang kau akan ikut denganku.” Juna memberikan perintah.




“Baik Tuan Juna…” jawab Eva sambil beranjak dari ranjang untuk mengenakan kembali pakaiannya.




.” Seringai licik muncul di wajah pemuda itu. “Sekarang kita harus pergi dari sini, informan kita di kepolisian baru saja menginformasikan bahwa Dean dan Rio sedang menuju kemari dengan beberapa anggota lain dan mereka membawa surat penangkapan. Sepertinya Silent Rose berniat menyerahkan diri setelah membunuh Ayah kandungnya sendiri.”




Eva mengenakan kaos dan celana pendeknya lalu bergegas mengikuti Juna yang telah memarkirkan mobilnya di depan rumah Ian. Mobil itu melaju pelan meninggalkan kompleks perumahan tempat Ian tinggal. Raut sedih tampak di wajah Eva saat mobil yang ditumpanginya melewati gerbang kompleks. Meninggalkan tempat yang telah menaunginya selama beberapa waktu. Beberapa persimpangan kemudian mereka berpapasan dengan iring-iringan mobil polisi yang dipimpin oleh Inspektor Dean dan Detektif Rio.




*_*_*​




Beberapa jam yang lalu, Mabespolri.




Dean terkejut kala membaca isi dari lembaran-lembaran kertas yang ada di tangannya. Lembaran yang dikirim dalam bingkisan bermotif mawar itu berisi catatan medis hasil test darah dari empat nama. Dua diantaranya adalah hasil test DNA dari pria bernama Weishy Van Bont, pria berdarah Belanda dan Airul Hutomo. Satu lainnya adalah hasil test DNA dari pria bernama Christian D Ambaraksa dan lembar keempat adalah hasil test DNA dari Detektif muda Rio.




Lembar terakhir dari paket tersebut berisi sebuah surat, isi surat tersebutlah yang paling mengejutkan. Dean telah membaca surat tersebut dan kini ia memutuskan untuk mengulangnya kembali, mencoba memperhatikan huruf demi huruf yang tertulis dalam surat itu dengan seksama.




Halo Detektif Rio




Tahukah kau tentang kepahitan? Kepahitan hanya akan melahirkan kepahitan yang lain, seperti rangkaian dendam dan karma yang sahut-menyahut. Kau mungkin mengingatku, aku adalah Christian D Ambaraksa… Ya, kita pernah bertemu, bahkan sempat tinggal dalam satu ruangan untuk beberapa hari. Ya, Akulah Silent Rose yang kau kejar selama ini. Yang telah melahirkan kepahitan padamu dengan mencabut nyawa Komang Mahendra, Ayah angkatmu.




Tapi jika kau pikir itu adalah kepahitan yang terbesar… percayalah, kau salah. Karena inilah kepahitan yang sebenarnya, bukan hanya kepahitan bagimu tapi juga kepahitan bagiku. Bagaimana tidak pahit jika ternyata Airul Hutomo, orang pertama yang menyandang gelar Silent Rose, orang yang menjadi panutanku, orang yang mengasihiku, orang yang kukenal sebagai Ayah kandungku ternyata tidak memiliki ikatan darah denganku. Dan sangat mengejutkan bagiku, dan juga baginya saat ia mengetahui fakta bahwa kaulah putra kandungnya.




Jangan salahkan dia, dia adalah Ayah yang baik. Dan apa yang terjadi dengan kita bukanlah sebuah permainan yang diciptakannya. Dalam kasus ini, kita semua sama-sama berdiri sebagai ‘wayang’ dengan Weishy Van Bont sebagai ‘dalang’-nya. Dan celakanya, orang itu adalah Ayah kandungku.




Maka kukirimkan surat ini. Bukan untuk memprovokasimu, bukan untuk mencelamu atau mempermainkanmu, namun untuk memberikan kebenaran yang sudah menjadi hak-mu. Tahukah kau kenapa aku membunuh Komang Mahendra, Ayah angkatmu? Karena ia yang membunuh Airul Hutomo, Ayah kandungmu. Dan itu semua hanya bagian dari pertunjukan yang diciptakan oleh Ayah kandungku.




Aku tidak mengerti detailnya, jangan tanyakan itu padaku. Aku juga tidak peduli dengan detail apa-kenapa-mengapa-bagaimana yang jelas muncul di benakku saat mengetahui kepahitan ini. Biarlah! Biar kutelan kepahitan ini sebagai obat yang harus kutelan mentah-mentah. Saat ini aku akan menyelesaikan tugas terakhirku, yaitu membunuh sang Dalang – Ayah Kandungku.




Saat kau membaca surat ini, mungkin aku telah selesai membunuhnya, atau aku terbunuh olehnya. Namun… jika kau ingin bertemu denganku, kau tahu dimana aku tinggal.




Salam.




Saudara Tirimu




Silent Rose.




Dean mengalihkan pandangannya ke arah Rio, detektif muda yang kini tampak terkejut. Bibir Rio bergetar samar, seolah menahan apapun yang ingin dikatakan namun tak dapat dikatakan olehnya.




“Ini mustahil Rio…” Dean berusaha menenangkan Rio. “Bisa saja ini adalah permainan Silent Rose seperti dulu, kala dia membuat kita menangkap pemuda itu.”




Rio tidak menjawab, pandangannya masih melayang kosong ke hamparan dinding di hadapannya. Untuk sejenak kepala detektif muda itu penuh dengan probabilitas, ingatan-ingatan tentang masa lalu, seolah mencoba menemukan benang merah dari sesuatu yang tidak mungkin ini. Rio terdiam beberapa saat sebelum memejamkan matanya, menarik nafas panjang dan berujar :




“Hanya ada satu cara menemukan kebenarannya, Dean…” Rio mendongakkan kepalanya, tatapan matanya berubah jadi semakin tajam, sebuah seringai samar muncul di raut mukanya. “Mari kita jemput Silent Rose…”.




*_*_*​




Sirene mobil polisi masih terdengar saat mobil yang dikendarai Eva dan Juna meninggalkan kompleks perumahan. Eva memandang kosong ke langit biru di atas mereka, seolah mencoba melepas semua kenangan yang telah ia miliki selama ini. Sedikit miris rasanya saat kau mengetahui bahwa tujuan hidupmu adalah untuk menghabisi nyawa orang yang menyayangimu, namun begitulah permainan ini dimainkan, dengan trik, cerita, dan tanpa belas kasihan.




Pandangan Eva teralih saat melihat sesuatu terbang tidak jauh dari mereka, seekor gagak hitam, burung yang selalu dikait-kaitkan dengan peruntungan buruk, bahkan dengan sebuah kematian.




*_*_*​




Beberapa jam kemudian




Laboratorium Forensik, Kantor Polisi.




Rio menatap tubuh tak bernyawa yang terbaring di meja operasi. Tubuh itu tak lain dan tak bukan adalah milik Christian D Ambaraksa yang saat ini dipercaya sebagai Silent Rose. Rio menggeram dalam hati, mengingat bagaimana ia merasa sangat dipermainkan kala mereka menangkap Ian di hotel beberapa waktu yang lalu. Dia lebih terkejut atas dokumen yang dikirimkan Ian padanya, dokumen yang menjadi bukti nyata bahwa Rio adalah putra kandung Airul Hutomo, Silent Rose sebelumnya. Rio dan Dean bergerak untuk menangkap Ian hidup-hidup, untuk menemukan jawaban dari kebenaran yang hak. Namun apa yang mereka temukan tidak lain dan tidak bukan hanya seonggok tubuh tanpa nyawa yang tidak diduga penyebab kematiannya.




Perhatian Rio teralih saat seseorang membuka pintu ruangan, Inspektor Dean tampak memasuki ruangan operasi.




“Tim medis tidak satupun yang bisa dihubungi, ini aneh”. Ujar Dean sambil meletakkan tas kopernya.




“Kau sudah memeriksa tempat itu?”. tanya Rio.




“Green File Café itu tampak baik-baik saja dari luar, mereka terlihat tutup. Namun ketika aku memaksa mendobrak pintunya…” Dean terdiam sejenak.




“Ada apa?”.Rio terlihat penasaran.




“Bagian dalam kafe itu terbakar sebagian, terutama di ruangan bawah tanah. Seseorang menyalakan api disana, dan seseorang memadamkan api itu hingga tidak sampai membakar keluar”.




Rio menatap Dean dalam-dalam, “ada lagi yang kau temukan?”.




“Ya… mayat seorang pria, aku tidak tahu siapa. Kami belum bisa mengenalinya.”




“Wise Crow… jika mengacu pada kalimat yang ada, pemuda ini akan membunuh sang dalang yang ia sebut sebagai Wise Crow, Ayah kandungnya sendiri”. Rio mencoba menarik hipotesa.




Dean memandang Rio, detektif muda itu kini tampak lebih tenang sebelum beberapa jam yang lalu ia tampak frustasi dan setengah mengamuk hingga mengacak-acak kediaman Ian hanya untuk mencari sebuah petunjuk. Dalam hati Dean harus mengakui bahwa Rio kini tampak lebih matang, dan seperti biasa, otaknya selalu tajam.




Dean beranjak dari kursinya dan bergerak ke dispenser di sudut ruangan, sedikit kecewa saat ia menemukan bahwa dispenser tersebut kosong.




“Kurasa aku akan ke dapur sebentar untuk membuat kopi, kau mau?”. Tawarnya pada Rio.




“Thanks, Dean. Tolong buatkan aku satu”. Jawab Rio sambil tersenyum saat melihat Dean meninggalkan ruangan.




Rio kembali menatap ke arah tubuh yang tak bergerak milik Ian. Menatapnya dalam-dalam, seolah ia bisa membals tatapan mata detektif muda tersebut.




“Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan? Silent Rose?” gumam Rio tanpa melepaskan pandangannya ke arah Ian.




SREK…




Sebuah gerakan mengejutkan Rio, detektif muda itu beranjak dari kursinya, memandang ke sekeliling namun tak ada apa-apa di seisi ruangan itu.




SREKK…SREKK…




Kali ini bunyi gesekan itu terdengar semakin kencang. Rio terkejut saat ia menyadari sumber suara, lebih terkejut lagi saat menemukan selimut yang menutupi tubuh Ian bergerak, seolah ada sesuatu di dalamnya. Tidak… jelas bukan sesuatu, beberapa gerakan berikutnya membuat Rio sadar apa yang tengah terjadi, dengan tangkas detektif muda itu mencabut pistolnya dan tanpa ragu mengarahkannya ke kepala Ian.




“Jangan bergerak atau kau akan mati”. Ada getaran berat yang berbaur dengan keterkejutan dalam nada bicara detektif muda Rio.




“Aku sudah pernah mati, Saudaraku…” jawab Ian sambil perlahan membuka kedua matanya.




Sebenarnya ada sesuatu yang saat ini berputar tak menentu di kepala Rio, bagaimana seorang pria yang sudah dinyatakan mati, yang jantungnya tak lagi berdetak dapat hidup kembali.




“Bagaimana kau bisa hidup kembali?” akhirnya Rio tidak tahan untuk tidak mempertanyakan hal tersebut.




“Silent Rose adalah serum hebat yang dibuat Ayahku… atau Ayah kandungmu tepatnya. Dan petunjuk yang ditinggalkannya tentang cara kerja serum tersebut sangat jelas”. Senyum terurai di raut wajah Ian yang masih tampak pucat. “‘




. Adalah petunjuk utamanya, angka-angka itu adalah jam. 24 jam menuju ketiadaan atau angka nol. Dan jika ditambah delapan jam akan kembali ke posisi sebelumnya. Artinya, serum itu membunuh dalam dua puluh empat jam, dan menghidupkan kembali dalam delapan jam. Serum yang luar biasa.”




“Kau bisa menceritakan lebih detail nanti, sekarang, kau ditangkap Silent Rose”.




Ian tersenyum sekali lagi, “kau pikir semudah itu? meski kau memiliki Blood of Roses sekalipun, takkan kubiarkan semudah itu!”.




Ian menyibakkan selimutnya, menendang wadah berbahan logam ke arah pergelangan tangan Rio dengan cepat. Rio melepaskan satu tembakan, namun tidak mengenai sasaran karena cawan yang menghantam pergelangan tangannya membuat pistol itu terlepas dari genggamannya.




Dengan gerakan cepat, Ian meraih ujung selimutnya dan melemparkannya ke arah Rio. Sebuah keputusan yang bagus, kalau saja tubuhnya tidak terlalu lemah karena baru saja mendapatkan kesadarannya kembali. Dengan mudah Rio menghindari serangan Ian dan satu tendangan ke perut membungkam serangan-serangan sang Silent Rose.




Rio mengambil kembali senjatanya dan untuk kedua kalinya mengarahkan ke kepala Ian.




“Kali ini aku tidak akan ragu, meski kau mungkin saudara tiriku, aku tidak akan memberimu kesempatan lagi!!” ujar Rio sambil bersiap menarik pelatuk.




DORR!!




Sebuah peluru menggesek pergelangan tangan Rio, membuat senjata itu sekali lagi lepas dari genggamannya. Rio berpaling ke arah tembakan dan makin terkejut saat melihat Inspektor Dean menodongkan pistol ke arahnya.




” ujar Dean. “Dunia masih membutuhkannya, sama seperti mereka membutuhkanmu, Rio”. Ujar Dean sambil menutup pintu di belakangnya.




“Apa maksudmu Dean?!”.




“Association… itulah musuh kita yang sebenarnya. Dan kita tidak bisa melawan mereka hanya dengan dua orang detektif. Kita membutuhkan mereka, kita membutuhkan Silent Rose”.




“Kau… berpihak pada Silent Rose!!”




Dean tersenyum, “tidak… Rio. Aku tidak berpihak pada Silent Rose atau pada Association. Kau tahu, saat Ayahku, Inspektor Iyus berhadapan dengan Ayah kandungmu, Silent Rose generasi pertama. Mereka mengatakan Silent Rose menyekap Ayahku, tidak… bukan itu yang terjadi, yang terjadi sebenarnya adalah saat itu Ayahku dan Ayah kandungmu tengah menjalin kekuatan, kekuatan untuk menghancurkan Association yang sudah mulai keluar dari jalurnya.”




Ian dan Rio sama-sama terkejut mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Inspektor Dean.




“Kau tahu, Rio... Ayah kandungmu menyadari permainan yang dimainkan Wise Crow, namun ia terlambat, semua sudah terjadi, melawan secara frontal hanya akan mengakibatkan kekalahan. Karena itulah ia menggalang kekuatan, menyusun strategi yang melibatkan Ayahku, dan juga aku. Kau pikir kenapa selama ini kita selalu berada satu langkah di belakang Silent Rose??!”




“Kau yang memperlambat langkah kita”.




“Ya! Karena jika kita selangkah lebih maju dari Silent Rose, sedang pemuda itu belum bisa memecahkan kebenaran yang ditinggalkan Silent Rose sebelumnya, maka semua akan sia-sia. Kali ini, Wise Crow telah tiada, artinya satu ancaman sudah hilang, inilah saat yang tepat untuk mengadakan gerakan untuk melawan Association!. Kita akan hancurkan mereka dan mengembalikan keseimbangan yang sebenarnya”.




Ian tersenyum, senyum yang mengejek. Mengejek dirinya sendiri yang tidak sadar bahwa selama ini sang Ayah telah menyiapkan pasukan untuk mengadakan serangan balik ke Association. Senyum Ian makin lebar saat menyadari bahwa ternyata ia-lah yang berperan sebagai pemicu dari gerakan tersebut.




“Airul Hutomo, Ayah kandungmu adalah orang baik. Itu yang dikatakan Ayahku, selama ini Silent Rose dan Association hanya menjaga keseimbangan, sebelum beberapa orang merusak Association. Jadi…. Detektif Rio, semua terserah padamu, apakah kau akan bergabung dengan kami untuk mengembalikan keseimbangan yang sesungguhnya… atau tidak?”. Kalimat Dean terdengar cukup lamban dan jelas.




Rio memejamkan matanya sekali lagi, menarik nafas panjang sebelum kembali membuka matanya. Pandangannya tajam dan penuh semangat, seringai muncul di raut wajahnya.




“Kau berhutang banyak padaku, Dean… mari kita hancurkan organisasi sialan itu!”




Dean tersenyum mendengar jawaban Rio. Kini ia berpaling pada Ian. “Bagaimana denganmu, Silent Rose?”.




“Jika itu adalah tujuan sebenarnya dari Silent Rose sebelumnya… jelas aku tidak akan mundur”. Jawab Ian tegas.




Dean menurunkan senjatanya dan tersenyum lebar. “Hari-hari sibuk kita akan dimulai rekan-rekan… dan hari-hari Association akan semakin menipis. Welcome to the catapult






*_*_*​








Silent Rose The Series : END



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar