Bab 23
Tiga bulan sebelumnya, Jakarta.
Ahmadi Fahsa berjalan keluar dari hotel dengan tangan terborgol, dua aparat berseragam mengawalnya masuk ke dalam sebuah van hitam milik kepolisian. Beberapa menit yang lalu pria tua itu tertangkap basah sedang berasyik-masyuk dengan seorang wanita muda yang disinyalir sebagai bonus tindakan sindikat korupsi daging impor yang dilakukannya. Entah darimana pihak kepolisian mendapatkan informasi, namun kini pria tua itu harus rela terjebak dan menjadi tumbal bagi sindikat korupsi yang melibatkan kaum-kaum tinggi.
Ahmadi duduk di kursi belakang van hitam tersebut, seorang polisi berseragam dengan senjata lengkap duduk di hadapannya.
"Apa Bapak otak dari kasus korupsi ini?", tanya polisi itu di sela-sela perjalanan mereka ke kantor polisi.
"Jelas bukan" Ahmadi menjawab dingin, tampak jelas bahwa dia sedang sangat kesal. "Aku hanya alat, salah satu alat yang sekarang menjadi tumbal bajingan-bajingan itu"
Polisi itu tersenyum mendengar apa yang diucapkan oleh Ahmadi Fahsa. "Tapi anda terlibat? Dan anda bersalah?"
"Ya, dan status bersalahku akan jadi pengaman bagi mereka, kaum-kaum tinggi"
"Maksud Bapak?"
Ahmadi menyebutkan beberapa nama. Beberapa diantaranya adalah orang-orang penting yang memiliki kewenangan serta kekuasaan untuk mengatur apa yang terjadi pada negara ini. Hampir semua aspek, ekonomi, sosial, kurs mata uang, kesehatan, hampir semua aspek berada dalam kewenangan nama-nama yang disebut oleh Ahmadi Fahsa.
"Anda akan mengungkap itu pada khayalak ramai?" tanya polisi itu sekali lagi.
Pria tua itu menatap polisi di depannya, wajah polisi itu terhalang oleh topi polisinya.
"Percuma, meskipun aku mengungkap, itu tidak akan pernah sampai pada mereka" jawab Ahmadi Fahsa tanpa ekspresi.
Senyum simpul terkembang samar di wajah polisi itu. Pria itu mengajukan sebuah pertanyaan lagi.
"Jika diberi kesempatan untuk menghukum orang-orang yang hendak cuci tangan dari kasus ini. Meski mungkin tidak semuanya, apakah anda akan melakukan itu dengan tangan anda sendiri?"
Alis-alis tua Ahmadi Fahsa berkerut, matanya memandang tajam pada polisi di depannya. Pertanyaan yang baru saja terlontar, apakah itu serius? Atau hanya pertanyaan pancingan belaka?.
"Tentu aku akan melakukannya" jawab Ahmadi Fahsa.
"Kalau begitu kita sepakat" ujar polisi itu sambil menepuk bahu kiri Ahmadi Fahsa. "Anda akan melakukannya atas nama keadilan, atas nama Silent Rose" tambah polisi itu.
"Si-siapa kamu? Dan bagaimana aku melakukannya?" Ahmadi Fahsa kini yakin bahwa polisi di depannya hanya polisi gadungan.
*AkuSilent Rose, dan anda akan menebus dosa-dosa anda. Ikuti saja instruksi yang sudah kukirimkan ke kantor anda" jawabnya sambil tersenyum.
Ahmadi menatap polisi di depannya dengan pandangan tak percaya. Dia pernah mendengar tentang Silent Rose, bahkan sempat ada rasa takut bahwa suatu saat nanti dia akan dihabisi oleh Silent Rose. Namun, sampai detik ini dia beranggapan Silent Rose hanyalah alat dan rekayasa permainan kaum-kaum tinggi. Apa yang dihadapinya kali ini, menepis semua prasangkanya mengenai Silent Rose.
Satu hal yang tidak diketahui oleh Ahmadi Fahsa. Saat Ian menepuk bahunya, saat itulah dia telah jatuh ke dalam sugesti yang telah ditanamkan oleh Silent Rose.
*_*_*
Dua minggu setelah pertemuan Silent Rose dan Ahmadi Fahsa.
Bandung.
Udara malam kota Bandung tak lagi sedingin beberapa tahun lalu, namun tetap saja lebih dingin dari udara malam ibukota Jakarta. Di sebuah bangku, di stasiun Leumpuyangan seorang pria tampak duduk menunggu kereta. Pemuda itu adalah Ian, setelah seharian mencari informasi mengenai Bank Emerald Bandung yang menjadi pesan rahasia dari Noisy Cannary, kini Ian tengah menunggu kereta untuk kembali ke Jakarta.
"Ada apa memanggilku kemari, Rose. Dan kenapa kau tidak mengajak bertemu di tempat yang lebih privasi?", sebuah suara berat menyapa Ian. Seorang pria tua berbadan kekar beranjak duduk di sebelah Ian. Ian memandangnya sekilas.
"Ini tempat yang sempurna" jawab Ian dingin. "Transportasi dan tempat publik adalah tempat terakhir yang akan dipilih oleh kriminal manapun untuk memulai kejahatannya. Dan terima kasih telah menjawab panggilanku, Lazy Franginpani. Atau harus kupanggil Hercules?"
"itu hanya kedok..." ujar Franginpani dingin. "Entah yang mana yang kedok"
"Terima kasih telah membantuku selama ini, sekarang, aku butuh bantuanmu lagi demi kelancaran rencanaku"
"Ini beresiko tinggi, Rose. Kau akan melakukan pembunuhan tanpa perintah dari Association"
"Tidak akan jadi masalah jika mereka tidak tahu, kan?" Ian menyerahkan secarik kertas. "Aku mengirim semua peralatan ke alamat ini, sebuah senjata. Tentu saja sudah dipisah-pisah, aku butuh bantuanmu untuk merakitnya, rakit saja asal-asalan. Toh tidak akan digunakan"
"Kau yakin? Dengan keputusanmu melakukan sesuatu di luar jalur? Rose".
"Jika Ayahku menyimpan sesuatu dari Association, tentu aku akan mencari tahu apa yang disembunyikannya. Tanpa bantuan Association"
"Kenapa?, Association bisa membantumu"
"Trust no one" itu pesan terakhir Ayahku sebelum dia melaksanakan case terakhirnya. Jujur, aku tidak sabar melihat reaksi apa yang akan diberikan oleh Association"
Lazy Franginpani menatap kosong pada sebuah kereta yang memasuki stasiun, cukup lama dia melamun sebelum Ian beranjak naik ke dalam kereta.
*_*_*
Gedung Pertemuan Ahmadi Fahsa KPK
Saat ini.
"Medis!! Kirimkan tim medis secepatnya!", Dean berteriak ke radio panggil, memerintahkan tim medis untuk segera masuk ke dalam bangunan. Beberapa langkah di hadapan Dean, masih di ruangan yang sama, Rio menekankan kedua tangannya ke dada Ahmadi Fahsa. Pria tua itu ambruk tepat setelah menekan pemicu di tangannya.
"Percuma Dean" ujar Rio seraya bangkit. "Dia sudah meninggal, bom itu bukanlah bom yang meledak, melainkan bom listrik statis yang menghentikan pergerakan jantung Ahmadi Fahsa". Rio memandang ke arah pria tua yang sempat mengejan beberapa saat setelah ambruk ke lantai.
Dean menarik nafas panjang. "Jadi pria tua ini Silent Rose?". Ujar Dean. Rio menoleh ke arah Dean dan mengernyitkan alisnya.
"Apa kau percaya dia Silent Rose yang selama ini kita kejar?" Tanya Rio pada Dean.
Jawabannya sudah dapat ditebak, Dean menggelengkan kepalanya. "Dia cuma meniru Silent Rose. Cuma seorang copycat."
"Ya dia copycat yang hebat. Dia berhasil mengelabui kita dengan sangat cerdik"
Rio memandang sekali lagi tubuh Ahmadi Fahsa yang tak lagi bernyawa. Jelas tidak mungkin Silent Rose asli adalah orang tersebut. Fakta yang baru saja terjadi di depan mereka seolah menjawab semua pertanyaan mengenai gerak-gerik Silent Rose yang tidak biasa. Mulai dari surat ancaman, pembunuhan yang kebanyakan menggunakan tembakan jarak jauh, tertinggalnya barang bukti dan bahkan tersangka di TKP.
"Aku masih belum paham, Dean" Rio berkata pada Dean. "Bagaimana caranya pria tua ini melakukan trik impossible shot"
"Biar aku yang menjawab" suara Christ tiba-tiba saja terdengar. Agen FBI itu datang bersamaan dengan masuknya tim medis. "sepertinya aku terlambat" ujarnya sambil menatap sosok Ahmadi Fahsa yang terbujur kaku tak bernyawa.
"Jadi bagaimana trik impossible shot itu?" Rio bertanya penuh rasa penasaran.
"Senapan itu tidak pernah digunakan, bekas peluru yang ada di dinding, itu akibat tembakan dari pistol yang dimiliki oleh Ahmadi Fahsa sendiri"
"Jadi dia sengaja menjatuhkan notesnya, lalu saat menunduk melepaskan tembakan?"
"Tepat sekali" Jawab Christ tegas.
"Bagaimana dengan bekas selotip?", Rio bertanya lagi.
"Ahmadi Fahsa menembakkan senjata tanpa peluru, hanya untuk memberi efek suara. Peluru itu sudah menancap di tembok sebelum kalian masuk ke dalam ruangan itu. Dia menembakkan pistol dan mengambil selotip agar kita mengira bekas di dinding Itu adalah bekas tembakan. Itulah kenapa sidik jari Ahmadi Fahsa ada di tembok bekas tembakan. Dia sudah mempersiapkan hal itu"
"Dan mengelabui kita semua". Ucap Dean. Dipandanginya sosok Ahmadi Fahsa yang kini terbujur di lantai. Wajah dan perawakan Ahmadi Fahsa benar-benar tidak mencerminkan seseorang yang punya kemampuan untuk melakukan pembunuhan berencana dengan sangat rapi.
Tidak lama kemudian, tim forensik datang untuk mengumpulkan barang-barang bukti. Dean, Rio dan Christ Oackland bertahan di TKP, hanya untuk menemukan jika ada petunjuk yang mereka lewatkan. Sementara polisi sibuk dengan pekerjaan mereka, seorang pemuda keluar dari bangunan hotel, di seberang gedung tersebut. Memandang sekilas ke keramaian yang ada sebelum naik ke sebuah mobil taksi yang dipesannya. Senyum tersungging di wajahnya.
*_*_*
Green File Café
Malam hari setelah pertunjukan selesai.
Mata tua Mr. Wise sibuk memperhatikan gelas-gelas yang sedang dibersihkannya, meski begitu, orang tua itu tengah menyimak dengan seksama berita tentang kejadian tadi pagi yang ditayangkan di televisi. Evangeline Irene duduk tidak jauh dari televisi, tampak serius menyimak berita tersebut.
"Apa ini artinya DO untuk Ian dicabut?" Gadis cantik itu menoleh ke arah Wise Crow dan bertanya.
"Seharusnya begitu" ucap Mr. Wise dingin.
Denting lonceng di atas pintu menarik perhatian Eva, seketika raut wajahnya berubah setelah melihat sosok yang masuk melalui pintu. Senyumnya melebar sambil beranjak dari kursi dan memeluk Ian yang terlihat agak terkejut dengan reaksi Eva.
"Syukurlah kau selamat" ujar Eva sambil merangkul erat Ian. "Tidak ada kabar, kau membuatku sangat khawatir"
Ian terdiam bingung, reaksi yang diberikan Eva tidak diduganya. Bagi Ian yang selama ini terbiasa hidup sendiri, ada rasa senang mengetahui ada seseorang yang mengkhawatirkannya. Ian menatap ke arah Wise Crow, Mr. Wise mengangkat kedua bahunya. Beberapa detik kemudian, Ian tersenyum dan membelai rambut Eva.
"Aku baik-baik saja" ujar Ian dengan lembut. "Terima kasih telah mengkhawatirkanku" Tambahnya diikuti bunyi sesenggkan dari Eva.
Setelah puas menangis, Ian dan Eva duduk bersebelahan di depan meja bartender. Mr. Wise menyodorkan segelas Cappucino ice ke hadapan Ian.
"Gratis, sebagai tanda selamat kau telah menyelesaikan DO dengan baik". Ujar Mr. Wise sambil tersenyum. Sangat jarang bisa melihat orang tua itu tersenyum, dan percayalah, Mr. Wise terlihat jauh lebih baik jika tidak tersenyum.
"Yeah, thanks" tukas Ian sambil meneguk minumannya.
"Kau benar-benar ekstrim, Rosex" Mr. Wise membuka pembicaraan. "Masuk ke dalam kepolisian dengan cara yang ekstrim, hanya untuk mencari siapa sebenarnya Silent Rose palsu itu"
Ian tersenyum mendengar kata-kata Wise Crow yang lebih terdengar sebagai pujian.
"Jujur, aku kehabisan ide. Jadi aku melakukan apa yang aku bisa, aku tidak menyangka kalau aku bisa jadi tersangka" Ucapnya. "Tapi Association jauh lebih mengejutkan"
Kalimat terakhir Ian berhasil mencuri perhatian Wise Crow.
"Apa maksudmu, Rose?" kini Mr. Wise mengambil tempat tepat di hadapan Ian.
"Agen FBI, Christ Oackland. Agen terlatih yang cukup sering beroperasi di Asia. Jujur aku tidak menduga kalau polisi akan menggunakan jasa FBI. Itu terlalu hebat bagiku." Ian meneguk kembali minumannya.
"Dan kamu tahu?" Ian melanjutkan. "Setelah aku melakukan riset, aku baru tahu kalau agen tersebut memiliki codename Clever Owl" Ian tersenyum dan menatap Wise Crow. "Dia agen tipe B sepertimu kan?, Mr. Wise Crow?"
Wise Crow tampak mencoba mengingat sesuatu, hampir tidak mungkin membedakan apakah reaksi Wise Crow hanya akting atau orang tua ini benar-benar sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Rasanya aku pernah dengar Clumsy Owl, Handsome Owl tapi Clever Owl? Mungkin dia beberapa generasi di bawahku. Lagipula Association tidak memberi tahu apapun padaku. Aku tidak tahu siapa Clever Owl itu" Jawab Pak Tua itu kemudian.
"Tapi aku tahu tentangmu, tuan Wise Crow"
Sebuah suara cukup membuat mereka semua terkejut. Berdiri di ambang pintu, seorang pria asing yang dikenal sebagai Clever Owl sedang berdiri sambil tersenyum. Ian memandang heran ke arahnya, bagaimana mungkin pria itu bisa masuk ke dalam Café tanpa membuat lonceng di atas pintu berdenting?!.
"Oh itu" ujar Clever Owl saat mengikuti arah pandang Ian. "Aku spesialis mata-mata, menghindari satu lonceng kecil jelas bukan masalah bagiku, Mr. Silent Rose"
"Kau Clever Owl?" tanya Mr. Wise, tangannya meraih senapan yang disembunyikan di langit-langit meja bartender.
"Dengan hormat, Mr. Wise Crow, aku beberapa generasi di bawahmu. Agen Tipe B Association, Clever Owl". Christ membungkukkan tubuhnya, sikapnya itu malah membuat jijik Eva.
"Jadi benar Association mengirimmu?" tanya Silent Rose sebelum meneguk kembali minumannya.
"Direct order perlu pengawasan penuh. Itu prosedur. Tapi jujur aku tidak menyangka dapat bertemu denganmu dalam waktu singkat. Hanya beberapa jam setelah aku sampai di Indonesia. Kau benar-benar penuh kejutan, seperti yang di desas-desuskan"
Ian tidak mempedulikan apa yang diucapkan oleh Clever Owl. Baginya, Clever Owl sama mencurigakannya dengan Wise Crow. Dan besar kemungkinan Clever Owl juga beranggapan sama dengannya.
"Bagaimana kau bisa lolos dari serum kejujuran?" Clever Owl mengambil tempat di sebelah Ian.
"Serum kalian ketinggalan jaman. Jawab Ian dingin. "teknik hipnotismu juga"
"Yeah, tentu serum yang digunakan orang lain tidak bisa dibandingkan dengan ramuan-ramuan buatan Ayahmu, Silent Rose pertama. Dia benar-benar master."
"Terima kasih atas pujiannya. Ayahku pasti senang" Ian mulai berbasa-basi. "mungkin." Tambahnya dengan nada sedikit sinis.
"Tapi Copycat mu juga luar biasa. Dia bisa melakukan trik, dan bermain dengan sandi. Jujur, Indonesia sangat menghiburku."
"Sandi?" Ian berpura-pura tidak tahu. "Aku menunggu seharian di rumah Ahmadi Fahsa, rencanaku, setelah dia pulang akan kuhabisi di rumahnya. Tapi ternyata dia malah menghabisi nyawanya sendiri." Ian mencoba menciptakan alibi.
"Bagaimana kau tahu Ahmadi Fahsa adalah Silent Rose palsu?" tanya Clever Owl lebih dalam. Kali ini dia terang-terangan menunjukkan kecurigaannya pada Ian.
Ian tersenyum.
"Kamera mini tersembuny" jawabnya tenang sambil menunjukkan kamera berukuran sangat kecil dari sakunya. "Aku punya beberapa detik untuk memasang kamera tersebut pada posisi yang tepat, dan aku merekam saat orang tua itu datang untuk memasang senjata di jendela kamar"
"Dan kau membiarkan polisi menangkapmu?" Kali ini Mr. Wise angkat bicara. "Kau tahu tindakanmu membahayakan Association?"
"Hey! Aku tidak tahu kalau polisi bisa bereaksi begitu cepat!. Apa menurutmu aku harus menghabisi dua polisi tersebut saat aku tidak bersenjata dan hanya mengenakan boxer?!"
"Dia benar, Wise" Clever Owl membenarkan tindakan yang diambil oleh Silent Rose. "Jika aku berada di posisinya, aku akan melakukan hal yang sama. Memancing keributan tidak akan membawamu kemanapun. Kau mempraktekkan ketenangan dalam membunuh dengan sangat baik, Mr. Rose"
Ian tidak menanggapi ucapan Owl, baginya case ini telah selesai. Dan masih ada misteri yang harus dia kejar. Kedatangan Clever Owl adalah reaksi Association atas apa yang telah dimainkannya. Dan dia siap untuk bermain lebih dalam lagi.
Sementara itu, di sebuah apartemen di pusat kota, seorang pria tua berbadan kekar memandang lepas ke pemandangan kota di malam hari dari jendela apartemennya. Wajahnya tampak serius mengingat permainan yang telah dimainkan olehnya dan Silent Rose.
"Sesuai janjiku, akan kujaga dia untukmu, Rose" ucap Lazy Franginpani lirih.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar