Silent Rose part 22

 

Bab 22






Gedung pertemuan Ahmadi Fahsa




10:03




Asap tebal berwarna kelabu membumbung tinggi dari sebuah bangunan kecil yang difungsikan sebagai gudang penyimpanan peralatan gardening di areal gedung milik Ahmadi Fahsa. Beberapa petugas pemadam kebakaran dengan tangkas melaksanakan tugasnya setelah sempat tertahan oleh macetnya pompa air yang ada pada mobil pemadam kebakaran. Beberapa petugas kepolisian berseragam tampak membuat barisan untuk mengamankan area terjadinya kebakaran. Beberapa menit yang lalu, terjadi ledakan bom di dalam gudang tersebut. Bom pertama yang ada pada ancaman Silent Rose, bom yang seolah menjadi pertanda dibukanya layar panggung sebuah pertunjukan.




Detektif muda Rio memimpin lima orang petugas kepolisian tak berseragam mendekat ke gudang. Api sudah mulai padam saat Rio tiba.




“Ada korban jiwa?” Rio bertanya pada petugas yang mengamankan lokasi.




“Lapor komandan, tidak ada korban jiwa. Kebetulan para karyawan sedang diliburkan karena pertemuan pagi ini” jawab petugas yang ditanyai Rio.




Rio berbalik menghadap para personel yang dibawanya. “Kalian menyebar, coba untuk mencari arah ledakan, dan cari petunjuk di sekitar. Dalam dua menit kita bertemu lagi di titik ini!” perintah Rio pada anggota-anggotanya. “Hulk, siagakan tim geganamu di pintu masuk gedung”, Rio memberi instruksi melalui radio panggil.




“Roger!”, terdengar respon dari radio panggil yang dibawa oleh Rio.




Keenam orang itu bergerak menyebar, mencoba mengelilingi gudang berukuran 4x5 meter yang sudah mulai habis itu. Mereka mencoba mencari petunjuk seperti yang disampaikan Silent Rose dalam rekamannya, Silent Rose meninggalkan petunjuk tentang lokasi bom berikutnya di sekitar tempat terjadinya ledakan.




“Komandan Rio!”, salah seorang dari lima orang itu memanggil Rio.




Rio dan empat orang lainnya bergegas mendekat ke arah personel tersebut, polisi itu menunjuk ke arah taman rumput tidak jauh dari bangunan. Sebuah papan kayu tergeletak di atas rumput, ada gambar di permukaan atas papan. Rio beranjak mendekati papan tersebut, sebuah gambar dibuat dari cat semprot berwarna hitam dan merah tampak di atasnya. Menggambarkan sebuah kotak persegi dengan garis lurus seperti balok menempel dekat dengan bagian atas kotak persegi itu, di sebelahnya berbentuk seperti rumah dengan garis atap berwarna hitam dan garis kolom berwarna merah. Di samping atas rumah tersebut ada dua buah anak panah tegak lurus. Panah berwarna hitam merujuk ke huruf ‘U’ sedang panah berwarna merah menunjuk ke angka ‘3’.




Rio membidikkan kameranya ke arah papan tersebut lalu mengirim hasil jepretannya ke Dean dan Christ. Rio memandang sejenak papan itu tanpa bicara, mencoba memecahkan sandi yang ditinggalkan. Sandi ini terlihat lebih lengkap dari sandi di balik lukisan. Setidaknya, Rio sudah bisa memecahkan setengah dari pesan yang disampaikan.




“Bagaimana, komandan?” salah satu anak buah Rio menunggu reaksi dari sang detektif.




’huruf U itu pasti Utara” detektif muda itu mulai menyampaikan analisanya. Panah merah itu menunjuk ke arah kanan dari utara, yang artinya bom kedua ada di timur”.




Kelima anak buah Rio menyimak penjelasan dengan manggut-manggut, kekaguman tampak di wajah mereka. Detektif Rio dapat memecahkan sandi dalam waktu singkat dengan analisisnya yang tajam.




“Pilar di gambar rumah ini,” Rio melanjutkan. “pilar itu berwarna merah, jadi kurasa itulah tempat dimana bom dipasang. Angka tiga itu berwarna merah, ditunjuk oleh panah berwarna merah juga. Itu artinya bom berada di kolom ketiga ke arah timur dari…” Rio diam sejenak. “Tiga kolom ke arah timur dari gambar ini” ujarnya kemudian sambil menunjuk gambar kotak persegi dengan balok menempel pada satu sisinya. “Aku masih belum tahu benda apa ini”.




Ponsel Rio berdering, detektif muda itu melihat nama ‘CO-FBI’ tertera di layar ponselnya.




“Rio, kau sudah memecahkan sandi yang baru saja kau kirim?”, suara Christ terdengar di telepon.




“Bom menempel di kolom ketiga di arah timur. Yang belum aku pecahkan adalah gambar persegi dengan balok menempel ini” Rio menjelaskan apa yang dipecahkannya secara singkat.




“Persegi dengan balok? Rio, itu gambar palang. Menurutku itu semacam benda berpalang, semacam portal yang bisa dibuka naik-turun”.




“Palang parkir otomatis…” Rio segera mengambil kesimpulan. “Bom itu ada di parkir basement, kolom ketiga sebelah timur dari mesin palang parkir otomatis”.




“Ya, menurutku begitu”. Christ berkata.




“Ke Basement!”, Rio menutup teleponnya dan memberi perintah untuk bergegas menuju basement. Sekilas Rio melirik jam tangannya, 10:06, waktunya tinggal empat menit sebelum bom kedua meledak.




Rio masuk ke dalam basement diikuti lima anak buahnya dan dua tim gegana penjinak bom. Basement gedung itu menggunakan sistem one way gate sehingga tidak sulit untuk menemukan kolom ketiga di sisi timur palang yang menjadi tempat bom kedua. Bom waktu itu tidak lebih besar dari kotak kue, dibungkus dengan kotak berbahan logam dan dilekatkan menggunakan selotip hitam besar pada dua sisi kolom.




“Kita punya waktu dua menit!. Hulk, segera kerjakan!”, perintah Rio lantang. Tim gegana segera bergerak untuk melaksanakan tugasnya. Ketua tim gegana, Sersan dua Hulk, memberi aba-aba agar timnya bergerak dengan cepat dan sangat hati-hati saat memotong perekat, memastikan tidak ada kabel yang bisa menjadi pemicu ledakan. Setelah dipastikan aman, kedua bom tersebut diturunkan dari kolom juga dengan hati-hati.




Rio mengamati apa yang dilakukan oleh tim gegana, Hulk dengan tangkas membuka tutup kotak pembungkus bom hanya dalam hitungan detik, Hulk tampak mengamati kabel-kabel yang ada di dalamnya.




“Rangkaian sederhana, prototipe satu! Potong kabel merah dan putih, bersamaan!”, Hulk memberi aba-aba. Hanya dalam hitungan detik, bom tersebut dapat dilumpuhkan. Kelegaan tampak di wajah Hulk dan tim gegananya, namun kelegaan itu sirna seketika saat detektif Rio menepuk pundaknya.


.


“Ini belum selesai, masih ada empat lagi baru kalian boleh merasa lega” ucap Rio mengingatkan agar tetap siaga.


“Komandan!” salah satu anak buah Rio menunjuk ke sebuah dinding basement, dimana seseorang telah menuliskan sandi di dinding tersebut.


.


Rio mendekat ke arah dinding dimana Silent Rose meninggalkan petunjuk lokasi bom berikutnya. Digambar dengan cat semprot berwarna merah, gambar simbol dua orang berlainan jenis berdampingan, simbol pria disilang dengan silang merah besar, tepat di samping simbol tersebut terdapat tulisan ‘2F’.




Kali ini Rio merasa tidak perlu memotret dan mengirim sandi tersebut ke Christ ataupun Dean, sandi ketiga ini jauh lebih mudah dibanding sebelumnya. Dalam hati Rio mulai meragukan keseriusan Silent Rose. Apakah Silent Rose sengaja meninggalkan petunjuk-petunjuk yang makin mudah? Apakah ini adalah salah satu taktik ‘distraction’ ?. Apa tujuan Silent Rose sebenarnya?.




“Komandan Rio…” Hulk memanggilnya. Membuat Rio kembali ke kesadarannya. Dia hanya punya waktu beberapa menit, tidak ada waktu untuk berpikir terlalu panjang. Atau mungkin memang inilah yang diinginkan oleh Silent Rose.




“Toilet pria lantai kedua”, Rio memberi perintah agar mereka segera bergerak.




*_*_*




Laboratorium barang bukti, Mabespolri.




10:15




 yang dimodifikasi menarik perhatian Christ Oackland. Sudah berjam-jam dia mengamati dan membongkar senjata tersebut, mencoba mencari petunjuk yang tersisa dalam senjata rakitan tersebut. Senjata itu jelas dirakit dengan tidak sempurna dan menggunakan bahan-bahan bekas. Ada banyak baut yang tidak kencang, senjata itu bisa digunakan untuk membunuh jarak dekat. Tapi mengingat




 yang dilakukan dengan senjata ini, membayangkannya saja sulit. Christ menggeleng-gelengkan kepalanya bingung. Dia memang belum menguji tembakan atau jalur peluru yang bisa dilepaskan oleh senjata tersebut, tidak ada waktu untuk menguji hal itu. Christ bertanya-tanya dalam hati, apakah ketidak-sempurnaan dalam senjata ini adalah kunci untuk melakukan




Christ menarik nafas panjang, menatap sebentar ke seluruh komponen senjata yang telah dirakit kembali. Diambilnya sebatang rokok dari kotak rokok yang terletak di hadapannya, Agen FBI itu membakar rokok tersebut tanpa mempedulikan stiker ‘Dilarang Merokok/




Christ mengambil sebotol sprayer kecil dari dalam kopernya dan menyemprotkan isinya ke pegangan senjata. Cairan itu adalah luminol yang berfungsi untuk melacak jika ada noda darah pada senjata tersebut. Nihil, tidak ada noda darah pada senjata tersebut, dan memang seharusnya tidak ada. Christ hanya melakukan itu karena dia sedang dilanda kebuntuan.




Ponsel Christ bergetar kecil saat sebuah e-mail diterimanya. Agen FBI itu membuka isi email dari Rio. Sebuah foto masuk ke dalam ponselnya, menampakkan sebuah kloset duduk, Christ langsung paham foto ini diambil di kamar mandi. Yang menarik perhatian Christ pada foto tersebut adalah sebuah simbol yang ditulis dengan cat semprot merah pada dinding keramik di belakang kloset. Itu pasti petunjuk lokasi keberadaan bom.




Christ menghisap rokoknya sambil mencoba menerka pesan yang disampaikan oleh simbol-simbol tersebut. Dua buah segitiga, satu ujungnya mengarah ke tulisan ‘TOP’ di atasnya, dan segitiga yang lain mengarah pada tulisan ‘UG’.




“Under Ground”, gumam Christ pelan, menerjemahkan apa yang dimaksud dengan ‘UG’ pada sandi rahasia tersebut. Siapapun bisa menebak apa yang dimaksud dengan UG, namun tidak dengan dua segitiga berlawanan arah dan sebuah tulisan ‘TOP’ di atasnya.




Christ berpikir cukup keras untuk memecahkan apa yang dimaksud oleh pesan rahasia tersebut. Agen FBI itu mencoba memvisualisasi kemungkinan-kemungkinan yang ada, menurutnyam tidak mungkin bom kembali diletakkan di UG, karena ruang lingkupnya terlalu luas. Dalam waktu sepuluh menit tidak mungkin bisa menjelajahi seluruh pelosok lantai underground bangunan tersebut. Top lebih punya kemungkinan, luasan atap lebih kecil dari lantai underground. Tapi jika memang bom tersebut ada di atap, bukankah seharusnya personel-personel yang berjaga di atap bisa menemukannya lebih dulu?. Sambil berpikir, Christ mengambil sebuah botol sprayer kecil yang lain, dia biasa menggunakan isi botol yang diambilnya untuk melacak jejak mesiu pada senjata. Sembari berpikir mengenai petunjuk tersebut, Christ menyemprotkan isi spray ke seluruh senjata.




Christ menghentikan aktifitasnya seketika saat dia merasa telah memecahkan petunjuk dalam sandi rahasia di dinding kamar mandi tersebut. Tanpa membuang waktu ia menelepon Rio.




“Halo” ujar Rio.




“Sudah memecahkan sandi di kamar mandi?”, tanya Christ.




“Belum seluruhnya, aku sekarang sedang menuju ke lantai dasar untuk memeriksa. Rasanya Cuma itu yang bisa kami lakukan, bom itu jelas tidak di atap”, Rio menjelaskan keadaan disana dengan singkat.




“Jangan, kalian bergerak ke arah yang salah!” Christ mencoba memberitahu Rio. “Segitiga itu adalah kuncinya, itu tanda naik dan turun”.




“Elevator!!”, Rio menangkap apa yang ingin disampaikan oleh Christ. “Tentu saja! Dua segitiga itu mirip dengan simbol naik-turun yang ada dalam lift!. Kami akan segera memeriksa lift!”.




“Semoga sukses!”, ucap Christ sambil mengakhiri panggilan.




Claster meletakkan hpnya di sebelah senjata blaster R93 yang tengah diperiksanya. Untuk sejenak, sesuatu dari senjata itu menarik perhatiannya. Christ mengamati ujung senjata itu lebih dekat lagi. Dan sebuah senyum misterius muncul di wajahnya.




*_*_*​




Gedung pertemuan Ahmadi Fahsa




10:45




Hulk menyeka keringat di keningnya seusai menjinakkan bom keempat yang terletak di atas elevator. Bom keempat ini memiliki tingkat kerumitan yang cukup tinggi karena lokasi yang sedikit sukar dijangkau dan rangkaian ganda yang cukup memusingkan.




Tidak jauh dari tempatnya berada, detektif muda Rio tampak gusar, dia telah menemukan petunjuk tentang bom kelima, namun tetap saja dia tidak bisa memecahkan petunjuknya. Rio tetap terlihat gusar, meski baru saja mendapat kabar baik tentang ditemukannya bom yang diduga sebagai bom keenam di mobil yang ditumpangi Ahmadi Fahsa. Tim gegana lain yang dipimpin oleh Sersan Dua Sivi berhasil menemukannya tanpa petunjuk. Sayangnya, tidak ada petunjuk yang ditemukan di sekitar mobil.




Rio kembali menatap tulisan yang dibuat oleh cat semprot berwarna merah, tidak banyak yang disampaikan pada pesan tersebut. Petunjuk kali ini hanya bertuliskan dua huruf ; ‘ME’. Naluri detektif Rio telah membawa ke bermacam-macam kemungkinan yang ada, mereka mencoba melacak kotak-kotak panel elektrikal, ruang-ruang yang berkaitan dengan Mechanical and Electrical yang sering disingkat ‘ME’. Tidak ada hasil dari semua ruangan yang telah diperiksa. Tinggal kurang dari lima belas menit lagi sebelum bom terakhir diledakkan.




“Halo, Komandan Dean?”, Rio bicara setelah menerima panggilan Dean pada ponselnya.




“Aku tidak bisa mengambil resiko terlalu lama, kita harus mengevakuasi Ahmadi Fahsa sekarang” Dean berkata, nada bicaranya terdengar gusar.




Rio tidak segera menjawab, detektif muda itu diam sejenak, mencoba memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan sekaligus misteri mengenai keberadaan bom kelima. Silent Rose tidak meninggalkan petunjuk di bom keenam, apakah dia memang begitu yakin polisi gagal melacak bom kelima dan akhirnya memutuskan untuk mengevakuasi Ahmadi Fahsa. Apakah bom pada mobil Ahmadi Fahsa memang ditujukan untuk itu?.




“Rio… Rio” panggil Dean di telepon.




“Oh! Maaf komandan”, Rio tersadar bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berpikir terlalu panjang.




“Aku perlu pendapatmu, aku akan mengevakuasi target sekarang”.




“ya” Rio menjawab tegas. “mari kita lakukan”.




Rio memberi perintah pada seluruh satuan kepolisian yang berjaga saat itu untuk menutup jendela, mematikan CCTV dan segala hal yang berpotensi menjadi alat pantau bagi Silent Rose. Dengan cepat personel kepolisian menutup semua jendela dan tirai, membuat gedung itu benar-benar tertutup dari luar. Dengan begitu, pergerakan dan aktivitas dalam gedung benar-benar tidak dapat diketahui orang luar.




Dean sedang bersiap untuk mengiring Ahmadi Fahsa, Hulkan Syahid dan rekan kerjanya juga Hercules dan dua anak buahnya keluar dari ruangan saa Rio masuk ke dalam ruangan. Kondisi detektif muda itu tampak acak-acakan, pakaiannya tak lagi rapi, begitu pula rambutnya, kegusaran tampak jelas di raut wajahnya.




“Gedung sudah tertutup, kita bisa mulai evakuasi” ujar Rio pada Dean.




Dean memandang keadaan Rio yang berantakan. “kerja yang bagus, detektif” komentarnya pelan.




Kedelapan orang dalam ruangan itu mengenakan topi berwarna putih yang telah disiapkan oleh Rio sebelumnya guna menyamarkan keberadaan Ahmadi Fahsa. Rio memandang sedikit heran pada Ahmadi Fahsa yang tetap mengenakan jaket tebalnya dalam keadaan genting seperti ini. Sedari awal memasuki gedung, bahkan saat pertemuan dimulai, Ahmadi Fahsa memang tidak melepaskan jaketnya, kemungkinan untuk menutupi entah berapa lapis rompi anti peluru yang dikenakannya.




“Kita lewat tangga, bom keempat terpasang di elevator, terlalu beresiko jika kita menggunakan elevator” Rio berkata tegas sebelum ketujuh orang itu berbaur bersama delapan anggota kepolisian yang juga mengenakan topi berwarna putih. Ahmadi Fahsa berjalan diapit oleh Hercules dan anak buahnya.




Baru saja mereka sampai ke tangga darurat yang menghubungkan lantai tiga, tempat ruangan pertemuan dengan lantai dua saat ponsel milik Rio berdering.




“Christ” ujar Rio sambil menatap ke arah Dean, meminta pertimbangan apakah dia harus menerima panggilan di saat-saat genting seperti ini. Dean melirik jam tangannya, masih ada waktu sepuluh menit, lebih dari cukup untuk meninggalkan gedung.




” Dean berkata sambil mengangkat tangannya, memberi aba-aba agar rombongan berhenti sejenak.




“Christ, kami sedang melakukan evakuasi”, Rio berkata cepat.




“Korban bersama kalian? Target Silent Rose yang terakhir?, aku baru saja memeriksa jejak mesiu pada senjata yang disita. Tidak ada jejak mesiu disitu. Senjata itu tidak pernah digunakan!. Dan laporan dari tim laboratorium mengenai sidik jari itu, itu milik Ahmadi Fahsa!. Rio, Ahmadi Fahsa adalah Silent Rose!”.




Dean dan Rio berpaling ke Ahmadi Fahsa yang dengan cepat mundur keluar dari rombongan, berlari kembali masuk ke dalam ruangan tempat pertemuan.




“Tangkap dia!”, Dean berlari mengejar Ahmadi Fahsa diikuti oleh Rio dan anggota kepolisian yang lainnya.




“Hati-hatilah Rio!”, suara Christ masih terdengar di telepon. “ingat petunjuk terakhir di lift? ‘ME’ dalam bahasa inggris artinya ‘SAYA’ ada kemungkinan bom terakhir menempel di tubuhnya!”.




Dean dan Rio tercekat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Christ. Otak Rio seakan terpacu untuk mengingat bahwa Ahmadi Fahsa selama ini mengenakan jaket, bukan untuk menutupi rompi anti peluru, melainkan bom yang ada di balik jaketnya!.




Mereka mengikuti langkah Ahmadi Fahsa yang menutup pintu ruangan pertemuan. Dean memberi aba-aba agar mereka berhenti.




“Hanya aku dan Rio yang akan masuk” ujar Dean. “Rio, kita harus bisa meyakinkan tersangka”.




Rio mengangguk tanda mengerti. Mereka berdua membuka pintu yang sepertinya sengaja tidak dikunci, masuk dan menutupnya kembali. Ahmadi Fahsa, memegang pistol




 di tangan kanannya, pistol itu mengarah tepat ke arah Dean dan Rio. Saat yang sama, di tangan kirinya tampak sebuah benda kecil berupa pemicu. Resleting jaket yang dikenakan Ahmadi Fahsa telah terbuka, menampakkan kotak-kotak bom kecil tergantung di sekujur dadanya.




tape recorder




Dean bergerak dengan hati-hati dan mengambil




tape recorder




 di atas meja.




“Tuan Ahmadi? Apakah?”, Rio bertanya hati-hati.




“Rekam semua yang akan aku katakan, rekam dan pergilah dari gedung ini atau meledak bersamaku”, Ahmadi Fahsa tampak tidak mengindahkan pertanyaan dari Rio.




Dean tidak melepas pandangannya dari Ahmadi Fahsa saat menekan tombol untuk merekam, dia dan Rio kini tengah mencari celah untuk mencegah aksi yang entah mengapa berubah menjadi aksi bom bunuh diri.




“Ya, detektif Rio, inspektor Dean…” Ahmadi Fahsa mulai bicara setelah memastikan apa yang diucapkannya akan terekam. “Aku yang mengirim surat ancaman itu, aku yang menghabisi nama-nama pada daftar korban itu, aku juga yang menjebak kalian dengan sandiwara palsu di TKP tempo hari”.




“Kami tidak mengerti, kenapa?”, Rio kembali bertanya.




“Apa kalian pikir sistem peradilan di negara ini telah berjalan adil?!. Ya! Aku melakukan korupsi pada kasus daging impor. Tapi bukan aku saja!!, aku tau mereka… nama-nama yang ada di dalam daftar akan lolos begitu saja setelah menjadikan aku tumbal bagi mereka!. Padahal, Wijatmoko… bajingan itu.. dialah tersangka utamanya!!” Ahmadi Fahsa setengah berteriak, seolah menumpahkan apa yang selama ini dipendamnya.




“Kami berjanji akan mengusut kasus ini sampai tuntas, juga semua yang terlibat. Kami berjanji akan menyeret semua nama dan memberi perlindungan pada anda”. Dean mencoba melakukan negoisasi.




“Omong kosong!”, sergah Ahmadi Fahsa. “Aku tidak pernah melihat polisi mencetak surat penangkapan untuk kepala negara!!. Tidak peduli seberapa besarpun kesalahan yang diperbuatnya!. Kalian tidak akan pernah dapat mengusik kaum-kaum tinggi di negara busuk ini!”.




Rio mencoba mendekat, langkahnya terhenti saat Ahmadi Fahsa mengarahkan moncong pistol padanya. Rio kembali mundur beberapa langkah.




“Dan inilah keadilan sebenarnya… Silent Rose. Bergerak di dalam bayangan untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Dialah pahlawan sebenarnya, tokoh protagonis paling sempurna yang pernah ada. Oleh karena itulah aku meminjam namanya.” Ahmadi berhenti sejenak, senyum puas terkembang di wajah tuanya. “Dan kini waktunya bagiku untuk menebus kesalahanku. Pergilah, bawa rekaman itu sebagai pengakuanku, dan biarkan aku beristirahat dengan menebus dosaku”.




“Negatif, ada banyak cara lain yang lebih baik daripada bunuh diri. Negara, rakyat masih membutuhkan anda untuk mengungkap kasus…” Kali ini Rio angkat bicara.




“untuk mengungkap sesuatu yang sia-sia” potong Ahmadi Fahsa. “Untuk menambah hal yang harus ditutup-tutupi lagi. Keluar dari ruangan ini atau mati bersamaku!. Itu pilihan kalian!!”




“Semua unit, tinggalkan bangunan. Segera!”, Dean memberi perintah melalui radio panggil. “Kami jamin kita akan menyeret semuanya, tuan Ahmadi”






“Bullshit!”, ujar Ahmadi Fahsa seraya menekan pemicu.




Rio dan Dean bereaksi terlambat, mereka menyangka dapat menggagalkan atau setidaknya membeli waktu untuk melancarkan negoisasi. Tapi ternyata tidak, tanpa ragu sedikitpun Ahmadi Fahsa menekan tombol pemicu bom..






BERSAMBUNG 



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar