Sang pewaris part 75

 

Bab 75






Setelah berulang kali mengucapkan terima kasih, kukantongi kanjut kundang yang berisi segenggam biji mawar hitam. Aku merunduk hormat lantas melompat menembus rerimbunan hutan. Menjelang sore aku tiba di tepi sisi barat Lembah Nyai Ngecrit tempat Sri Kencana menungguku.




Intuisinya cukup kuat untuk mengetahui kedatanganku. Ia berlari menyambut dan tanpa sungkan memelukku. Ia nampak begitu lega melihat keadaanku yang kembali tanpa cacat, sekaligus ada guratan rindu yang ia coba sembunyikan.




“Kakang…” lirihnya.




Kubalas dekapannya tanpa menjawab. Aku tidak perlu menjelaskan keberhasilan misiku, Sri Kencana sudah bisa mengetahui melalui intuisi dan mata batinnya.




Setelah saling melepaskan rasa lega, Sri Kencana langsung menjelaskan rencana berikutnya. Kedatanganku telat satu hari dari yang seharusnya. Puncak purnama sudah terjadi kemarin malam. Dan Raja Anta mulai menyiapkan ritual untuk menggagahi dan mengurbankan Rere.




Tentu saja aku panik. Aku dan Sri Kencana pun langsung berlari menuju pusat kerajaan untuk mencegah hal itu terjadi.




Aku tidak seperti sedang berada di dunia siluman. Apa yang kulihat adalah kota kuno dengan pusat istana di tengahnya. Juga tidak kujumpai seekor harimau pun, yang kutemui adalah manusia pada umumnya dengan pakaian khas seperti masyarakat Pajajaran yang pernah kutonton di film-film.




Di depan istana aku dan Sri Kencana disambut para pengawal. Salah seorang di antaranya masuk menghadap raja, sedangkan kami menunggu di luar. Tak lama kemudian aku dipersilakan masuk, sedangkan Sri Kencana diminta kembali ke purinya.




Aku melangkah gagah. Didampingi dua pengawal. Untuk pertama kalinya aku bisa melihat sosok Raja Anta. Seseorang berbadan besar. Ia sedang duduk di atas tahtanya dengan mahkota kebesaran yang terbuat dari emas. Mahapatih Sawaka juga hadir dan duduk tak jauh dari raja; di dampingi oleh Mantili istrinya. Apakah Raja Anta punya premaisuri? Aku tidak tahu, yang jelas aku tidak melihatnya.




“Salam hormat, Prabu Anta Sukma Suwiraja.” aku mengucapkan salam sambil menunduk hormat. Aku tidak menyembah seperti dua orang yang mengawalku. Aku tak sudi melakukannya.




Aku juga sedikit merunduk pada Mahapatih Sawaka dan Nyi Mantili.




“Hahaha.. kamu terlambat, anak muda.” bahaknya membahana.




Buluk kudukku langsung merinding. Kulirik Sawaka, ia menatapku seolah menenangkan walaupun tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya.




“Maafkan aku, Mahaprabu, aku baru bisa mendapatkan bibit mawar hitam kemarin malam.” jawabku.


“Jadi kamu mendapatkannya? Lalu tongkat itu?”


“Aku mendapatkan keduanya.” sambil mengangguk.


“Hahaha.. bagus.. bagus.. karena kamu mendapatkan Pacek Lintang dan mawar hitam, maka aku memaafkanmu. Hahaha. Berikan padaku, anak muda!” Raja Anta berdiri.




Aku sudah mendengar segala rencana busuk Raja Anta dari Sri Kencana, maka tidak semudah itu aku memberikan apa yang ia mau. Aku harus melakukan pertukaran.




“Maafkan aku, Mahaprabu. Bawakan Rere dulu ke hadapanku, maka akan kuberikan kedua pusaka itu.”


“Lancaaaang!!!” tiba-tiba Raja Anta murka.




Kulihat Sawaka dan Mantili juga terkejut melihat kelancanganku. Tetapi kata yang sudah terucap tidak bisa dicabut, kini aku hanya bisa berpegang teguh pada apa yang sudah terlontar.




“Mahapatih, ambil kedua pusaka itu.” marah Raja Anta pada Sawaka.




Sawaka pun berdiri dan mendekat padaku. Aku tahu Sawaka berada di pihakku, tetapi kami tidak bertemu terlebih dahulu sebelumnya sehingga tidak tahu rencana berikutnya. Aku memutuskan untuk mempertahankan diri.




“Maafkan aku. Aku tidak akan memberikannya sebelum bertemu dengan Rere.” aku mulai waspada.


“Rei, sopan pada raja. Berikan barang itu.” ujar Sawaka. Sementara kulihat Mantili berdiri dan mulai bersikap waspada.




Kukeluarkan tongkat Pacek Lintang dari balik baju silatku. Wuuuut… kukibas sehingga bentuknya berubah panjang.




Wuuush… wut.. wuuuut… kulempar Pacek Lintang keluar melalui pintu masuk utama. Para pengawal yang berbaris nampak goyah karena kibasan anginnya. Aku masih melihat Pacek Lintang tertancap di halaman istana.




“Mahaprabu dan Mahapatih Sawaka bisa mendapatkan bibit mawar hitam, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa mencabut Pacek Lintang kecuali aku sendiri.” ujarku.


“Kurang ajar!!!” Raja Anta semakin marah. “Pengawal, ambil tongkat itu!!!”




Kukeluarkan kanjut kundang berisi bibit mawar hitam dan kuberikan kepada Sawaka. Sawaka menerima dan langsung memberikannya kepada raja.




Belum selesai. Sawaka langsung menghunus pedang dan menumpangkannya pada pundakku, bilah tajamnya menempel pada leher.




Aku berdiri kaku dan jentik keringat menyembul. Aku bisa menangkap bahwa Sawaka tidak sedang sungguh-sungguh mau mencelakakanku, tetapi tetap saja membuatku kaget.




“Hahahaha…” Raja Anta terbahak sambil duduk kembali. Ia nampak senang bisa mendapatkan apa yang ia dambakan.




Sementara di luar terdengar keributan, tak lama kemudian seorang pengawal melapor. Tak sesiluman pun yang berhasil mencabut Pacek Lintang.




Raja Anta penasaran. Ia pun turun dari singgasananya. Sawaka memberi kode supaya mengikuti. Kami pun melangkah keluar dari istana.




Raja Anta berdiri di anak tangga paling atas sambil melihat ke arah para prajurit yang sedang berusaha mencabut tongkat itu. Semakin keras mereka berusaha, semakin terkuras tenaga mereka.




Raja Anta tahu kalau memang tongkat itu tidak bisa dicabut; dan ia tidak mau malu jika mencobanya sendiri lantas gagal. Diperintahkannya Mantili.




Wanita cantik itu meloncat dengan gesit, gerakannya seperti Bibi Lung, bintang pilem kesukaan si mamang. Setelah memperagakan beberapa jurus dan mengeluarkan tenaga dalam, Mantili pun meraih tongkat dan berusaha mencabutnya. Hasilnya tubuh Mantili terpental jauh. Semakin besar tenaga dalam yang dikeluarkan, semakin besar pula daya gaib yang dihentakan oleh Pacek Lintang.




Dua.. tiga kali.. Mantili mencoba lagi tetapi hasilnya tetap sia-sia. Ia pun menyerah dan kembali mendekat. Ia berlutut di hadapan raja dan mengaku tidak sanggup.




Raja pun membujukku supaya mencabutnya, tetapi aku tak bergeming dengan pendirianku. Ia harus membawa Rere terlebih dahulu ke hadapanku. Tentu saja raja sangat marah. Tetapi membunuhku hanya akan membuat tongkat itu tertancap selamanya.




“Mahapatih, kurung pemuda ini, lalu kumpulkan semua orang sakti di negeri ini. Barangsiapa bisa mencabut tongkat itu, maka aku akan memberikan tujuh gadis perawan bangsa manusia.” perintah Raja Anta.




Tentu saja aku sangat marah, tapi kode Sawaka membuatku hanya diam. Aku pun digelandang meninggalkan istana di bawah pengawalan ketat. Seharusnya aku dikurung di sebuah penjara, tetapi Sawaka menyelamatkanku dengan membawa ke puri tempat kediaman Sri Kencana. Para pengawal rupanya adalah siluman-siluman kepercayaan Sawaka sehingga tidak ada yang membantah atau bertanya.




“Kamu terlalu gegabah, Rei!” Sawaka langsung menumpahkan kekesalannya ketika sudah berada di dalam puri. Sri Kencana ikut duduk setelah menyuguhkan dua cangkir teh.


“Aku hanya ingin menyelamatkan Rere dan melakukan pertukaran.” ujarku sambil menyulut lintingan tembakau.


“Kau tahu?!” Sawaka geram. “Aku sudah memindahkan Rere ke tempat yang aman, dan jika Raja Anta mengabulkan permintaanmu, itu sama saja aku harus membawa Rere ke hadapannya. Kamu tahu artinya? Rere akan berada dalam bahaya dan aku tidak akan bisa lagi melindunginya!!”




Kali ini aku yang tercekat. Asap tembakau yang sudah mengumpul di dalam mulut tidak langsung kuhembuskan.




“Bodoh!!!”


“Kau yang bodoh, kenapa tidak bilang dari tadi?!” aku terpancing emosi.


“Gimana aku bilang? Kamu langsung bersikap arogan!”




Aku dan Sawaka saling berdebat tanpa ujung, dan baru saling diam setelah Sri Kencana menengahi.




“Sekarang kamu sembunyi dulu di sini, aku akan mengatur rencana selanjutnya. Semoga raja tidak membuat rencana lain di belakangku.” ujar Sawaka pada akhirnya.




Ia pamit untuk melaksanakan perintah raja melaksanakan sayembara. Ia tahu tidak akan ada orang atau siluman sakti mana pun yang akan berhasil, tapi titah raja adalah keharusan.




Begitulah… Aku tinggal di dalam puri tanpa penah keluar sedikit pun; kalau ‘keluar’ yang itu pernah sekali, yaitu ketika mimpi bergumul dengan Sri Kencana.




Aku tidak tahu apa yang terjadi selama tiga hari ini. Sri Kencana yang melayani semua kebutuhanku tidak pernah bercerita. Ia hanya mengatakan bahwa tak sesiluman pun peserta sayembara yang berhasil mencabut Pacek Lintang. Sawaka pun tidak.




Hari keempat Sawaka dan sepasukan pengawal menjemputku. Raja luluh dan minta bertemu denganku. Seharusnya aku gembira, tetapi raut kacau Sawaka membuatku khawatir.




Sebelum pergi, Sawaka mengajakku berbicara berdua. Rencana pun ia sampaikan.




“Pada bulan purnama nanti, raja bersedia mempertemukanmu dengan Rere.” ia mengawali percakapan rahasia. “Tapi jangan senang dulu.” ia langsung meneruskan tanpa memberi kesempatan padaku untuk menyahut.




Sawaka menyampaikan bahwa Raja Anta tidak akan menyerahkan Rere begitu saja. Bagi raja, kesanggupan Rere adalah janji, dan menepatinya adalah sebuah keharusan.




Aku menyimak penuturan Sawaka sambil sekali-kali menghela nafas resah. Rere memang telah bersikap gegabah. Gadis itu rela mengurbankan nyawanya sebagai tebusan atas keselamatanku agar aku bisa kembali ke dunia manusia.




Raja Anta memang culas, setelah ritualku, ia meminta kurban gadis perawan lain sebagai syarat agar aku bisa kembali ke asalku. Tetapi apa yang dilakukan Rere setelah ia menguping percakapan keluargaku dengan Sawaka sebelum pertunangan kakak juga adalah keputusan bodoh.




“Lalu apa rencana kita berikutnya?” aku tidak sabar.


“Raja hanya akan melakukan pertukaran Rere dengan Pacek Lintang setelah kamu melakukan ritual pada purnama nanti.” ujar Sawaka sambil menjelaskan bahwa pasangan ritualku belum ditentukan.


“Dan itu bukan berarti urusanmu selesai. Pada purnama yang sama, raja akan meminum saripati rebusan bibit mawar hitam sehingga hidupnya akan abadi. Dan ketika kamu menyerahkan Pacek Lintang, tongkat itulah yang akan dipakai untuk membunuhmu. Lalu Rere? Kamu sudah bisa menebaknya sendiri.”




Aku mendesah geram. Tanpa sadar kedua tanganku terkepal. Sawaka benar. Kalau Raja Anta meminum saripati mawar hitam, ia tidak akan bisa mati. Senjata sesakti apapun, termasuk Pacek Lintang, tidak akan mampu membinasakannya.




“Kuncinya ada pada ritual.” gumam Sawaka.




Ia pun menjelaskan bahwa ritual-ritual yang dilakukan sejak jaman Senja sampai ayahku hanya memberi sedikit kesaktian pada mereka. Pengaruh lainnya berupa janji raja untuk melindungi Sawer dan Ewer. Tetapi sebenarnya yang mendapatkan keuntungan besar adalah raja sendiri. Setiap ritual yang kami lakukan, justru memberi kekuatan magis kepada raja Anta sehingga kesaktiannya semakin tak tertandingi. Itulah sebabnya, rangkaian ritual harus selalu diteruskan. Setelah Senja turun pada ayahku, dan sekarang padaku. Setelah mendapatkan Mawar Hitam dan Pacek Lintang, raja tidak akan menuntut ritual lagi. Kesaktiannya akan paripurna. Dan hasilnya, aku dan lingkaran orang-orang yang kukasihi akan turut mati.




“Karena itu..” tutur Sawaka. “Kamu harus bisa menggerogoti kekuatannya melalui persetubuhan di luar ritual.”




Mataku langsung berbinar mendengar penuturan Sawaka. Di tengah amarah dan dendam kesumat, ada jatah enak-enak yang menguntungkan.




“Karena kamu orang terpilih, maka setiap persetubuhanmu di negeri ini dan di luar ritual bulan purnama, itu akan mengurangi kekuatan raja tanpa ia sadari.” jelas Sawaka. Ia pun melanjutkan bahwa aku harus bisa membunuh Raja Anta sebelum ia meminum sari pati mawar hitam pada bulan purnama nanti.


“Lalu siapa gadis yang harus kutiduri? Apakah bangsa manusia atau…”


“Gadis dari bangsamu.” tukas Sawaka.




Aku menghela nafas lega mendengarnya.




“Buang pikiran mesummu. Resikonya besar, Rei!”


“Heh?”


“Keperawanan seorang gadis ritual akan selalu pulih, tetapi persetubuhan yang kamu lakukan tidak akan bisa memulihkan keperawanan gadis itu karena kamu melakukannya di luar ritual bulan purnama.”




Jedeeeerrrrr!!!




“Dan rencana itu baru akan berhasil jika gadis yang kamu tiduri itu berasal dari keluargamu.”




Jegeeeeeeerr!!!




Aku yang semula senang, kini hanya bisa melongo. Nafasku tersengal resah, kang pepen yang tadi senang kini ‘ngulapes’ kembali.




“Apa tidak ada pilihan lain?” tanyaku lemah.


“Ada.”




Aku langsung menegakan dudukku. Ada semangat baru ketika mendengarnya.




“Kamu harus bisa membunuh Raja Anta sebelum ia meminum ramuan mawar hitam. Tapi aku tidak yakin kamu akan sanggup melakukannya tanpa menggerogoti kekuatannya terlebih dahulu.”


“Haiiish..!!” semangat yang sempat memancar kini kembali pudar.


“Jadi usulku, kamu turuti rencanaku. Tentang gadis itu, percayakan padaku untuk memintai kerelaannya.”




Tik tok tik tok.




Aku diam. Tetapi pikiranku terus berputar mencari akal. Nihil. Tidak ada jalan keluar alternatif yang kutemukan.




“Rahasiakan ini dari orangtuaku.” gumamku lemah.


“Kamu tenang saja.” sahut Sawaka.




Akhirnya aku dan Sawaka meninggalkan puri menuju istana. Dua puluh tujuh prajurit terpilih mengawal kami dengan tombak terhunus.




Berbeda dengan perjumpaan pertama, kali ini Raja Anta menyambutku dengan ramah. Suasana keraton juga ramai oleh para petinggi negeri. Pesta telah disiapkan. Hidangan lezat tersaji, dan para penari bergoyang di atas panggung diiringi gamelan.




Raja mempersilakanku duduk pada kursi di ujung meja pesta, sedangkan ia duduk di ujung satunya. Sawaka duduk di dekat raja, Mantili di seberangnya. Para pejabat negeri duduk memanjang di sisi kiri dan kanan.




“Selamat datang, Rei, anggaplah ini sebagai permintaan maafku padamu.” ujar raja.




Ia pun mulai memperkenalkan para tamu undangan yang hadir, sekaligus dengan jabatan dan kesaktian-utama masing-masing. Secara tidak langsung ia seolah ingin meruntuhkan nyaliku dengan menunjukan kekuatan para tetua dan ksatria yang ia miliki.




“Terima kasih.” ujarku dengan ekspresi tanpa gentar, padahal jantungku empot-empotan.


“Aku menerima syarat yang kauberikan. Aku akan menukar kekasihmu dengan Pacek Lintang, tetapi sebelum itu, kamu harus melakukan ritual terlebih dahulu pada bulan purnama yang akan datang.” ujar raja penuh wibawa, tatapannya tajam ke arahku.




Aku manggut-manggut. Aku tidak menunjukan rasa senang ataupun kecewa. Aku sudah tahu semuanya ini dari Sawaka.




“Maafkan aku kalau lancang bertanya, siapa pasangan gadis ritualku? Apakah Rere sendiri?” jawabku.


“Hahaha.. kamu akan tahu pada waktunya, tetapi yang jelas bukan Rere. Bagaimana? Apakah kamu mau menerima tawaranku untuk melakukan pertukaran setelah kamu ritual?”


“Aku terima.” sambil mengangguk mantap.




Raja pun tertawa senang, para pejabatnya tersenyum sambil manggut-manggut. Raja Anta meminta kepada Sawaka untuk memindahkanku dari penjara dan menempatkanku di salah satu puri milik kerajaan. Tanpa berpikir panjang, Sawaka langsung mengusulkan agar aku tinggal di puri Cahya Sukma, tempat yang sebenarnya selama ini kutinggali. Raja langsung menyetujui tanpa curiga.




Pesta pun dimulai. Kami makan dengan penuh suasana persahabatan yang semu. Gelak tawa berderai, namun bagiku itu semua hanyalah tipu muslihat semata.








https://t.me/cerita_dewasaa








Aku menghabiskan hari-hariku di Puri Cahya Sukma ditemani oleh Sri Kencana; sekali-kali Sawaka datang berkunjung sambil membicarakan perkembangan yang ada. Bedanya, aku tidak harus mengurung diri lagi. Aku banyak berkeliling menaiki kuda untuk menikmati keindahan negeri gaib ini. Tentu saja ditemani oleh Sri Kencana bersama satu atau dua orang prajurit.




Sebetulnya aku punya niat terselubung setiap kali aku keluar puri. Aku mencari keberadaan Rere. Sawaka tentu saja tahu karena Rere memang berada di bawah pengawasan dan tanggungjawabnya, namun Sawaka selalu tutup mulut. Alasanya klasik, tidak mau membahayakan hidup gadis itu.




Seperti sore ini, aku berada di tepi telaga yang sangat indah, di perbatasan utara negeri Anta. Tubuhku berkeringat selepas berlatih ilmu kanuragan.




Sebetulnya aku berada di tempat ini sejak pagi. Entah mengapa aku sangat betah berada di tempat ini. Ada banyak energi positif yang bisa kuserap.




Aku duduk di tepi telaga sambil memandang riak air yang jernih. Perasaanku berdesir. Ada letupan-letupan rasa yang sangat sulit kugambarkan. Semua ketakutanku hilang, hanya tenang kurasa.




Tatapanku fokus pada semburat merah pantulan matahari senja. Membuat garis lurus menuju sebuah bukit. Perasaanku berdebam.




Ada bisik batin yang seolah mendorongku. Aku bertelanjang dada, kuberi kode kepada Sri Kencana dan dua orang prajurit bahwa aku ingin berenang. Gadis itu hanya mengangguk.




Tanpa pikir panjang aku pun meloncat ke dalam air dan berenang mengikuti garis cahaya matahari. Menyeberangi danau menuju bukit kecil di seberang sana.




Rupanya bukit ini menjadi salah satu tanggul telaga. Keadaan di baliknya sangat mengejutkan. Indah luar biasa. Air telaga tercurah ke dasar jurang yang sangat dalam, membuih putih menjadi air terjun dan mengaliri sungai di bawah sana. Meliuk di antara dua tebing tinggi. Ujung sungai tidak terlihat karena memasuki sebuah gua dan entah mengalir sampai mana.




Uniknya, aku merasakan adanya daya gravitasi yang sangat kuat. Dengan kesaktianku, aku bisa saja menuruni bukit dan menikmat keindahan pemandangan di bawah sana, tetapi dengan ilmu yang sama belum tentu aku bisa naik kembali. Daya tariknya terlalu kuat.




“Namanya adalah Lembah Sirnaraga.” aku baru menyadari keberadaan Sri Kencana. Rupanya ia mengikuti, tentu saja tidak dengan ikut berenang.


“Bangsa kami percaya bahwa barangsiapa jatuh ke dalam lembah itu, ia tidak akan pernah bisa kembali.” tuturnya lagi dan kujawab dengan anggukan paham.




Sebetulnya apa yang dikatakan oleh Sri Kencana cukup menyeramkan, tetapi yang kurasakan justru sebaliknya. Aku merasa damai.




Sekalipun aku meragukan kemampuanku untuk bisa kembali seandainya aku turun, tetapi ada kekuatan indah yang membuatku seolah ingin berada di lembah itu. Aku menghela nafas entah karena alasan apa.




Awan gemawan turun seiring meredupnya cakrawala. Secara perlahan permukaan lembah mulai samar karena tertutup kabut. Cuaca pun mulai terasa dingin.




Aku kembali mendesah. Merasa tak rela kehilangan pemandangan yang sangat indah. Lantas kubersila di atas hamparan batu, kupusatkan konsentrasi untuk bersemadi. Tak berselang lama energi hangat langsung menghinggapiku. Aku bahkan bisa menghirup semerbak bunga yang datang dari dasar lembah.




Tiba-tiba saja aku merasa bahagia. Aku seolah sedang jatuh cinta. Entah pada siapa, tidak tahu pada apa. Segala beban pikirku hilang.




Bahkan ketika kenangan akan Rere muncul, itu tidak lagi mengganggu meditasiku. Aku kian merasa bahagia.




“Jangan-jangan Rere ada di sini?” aku langsung membuka mata.




Kusapukan pandangan, namun hari sudah mulai gelap. Sri Kencana pun mengajakku pulang. Aku masih ingin tinggal beberapa saat lagi, kuedarkan pandangan dan kupusatkan energi. Nihil.. aku merasa bahagia. Titik. Tapi aku tidak bisa merasakan kehadiran kekasihku.




Akhirnya aku pun menuruti permintaan Sri Kencana yang mengajakku pulang untuk ketiga kalinya. Kami berdua menyeberangi danau, bedanya aku tidak lagi berenang, melainkan berlari melayang sambil menjejakan kaki di atas permukaan air.




Setelah mengambil dan mengenakan kembali bajuku, kami pun pulang. Kami memacu kuda masing-masing menuju puri.




Di tepi puri kami sudah ditunggu oleh kedua gadis cantik bangsa ini.




“Nyai Sri Kencana jangan masuk.” ujar salah satu di antaranya.


“kenapa?” heran Sri Kencana.


“Kami berdua datang ke sini bersama Mahapatih Sawaka, tetapi karena kalian tidak ada, mahapatih sudah pergi lagi. Di dalam ada saudari Kakang Rei.” jawab gadis satunya.




Jantungku langsung berdetak kencang. Tanpa perlu meminta penjelasan lebih lanjut aku sudah paham apa yang terjadi. Malam ini adalah waktunya, aku harus tidur dengan seorang gadis untuk menjalankan rencana yang aku dan Sawaka pernah buat bersama.




“Siapa?” bibirku bergetar.


“Kakang masuk saja dan lihat sendiri. Ingat, waktu kakang sangat terbatas. Sebelum ayam berkokok kami berdua harus mengembalikannya ke alam kakang.” jawab salah seorang gadis itu.




Aku menatap Sri Kencana. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Meski begitu, ia tidak bisa menutupi binaran rasa cemburunya. Setelah saling berbicara, Sri Kencana dan kedua gadis pengawal itu pergi.




Aku memasuki puri dengan perasaan tidak karuan. Kulewati lorong menuju ruang tempat biasa aku nongkrong sambil merokok. Tidak ada. Di ruang utama juga tidak ada.




Akhirnya aku memutuskan untuk masuk kamar yang obornya sudah menyala terang. Perasaanku semakin tidak karuan; telapak tangan dan punggungku seketika basah.




Dengan sedikit bergetar kudorong daun pintu. Dan…




“Reiii…” sesosok cantik menghambur menyambutku.


“Ka…”




Aku tak bisa melanjutkan ucapanku. Bibirku seketika kelu. Sementara ia langsung memelukku.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar