Sang pewaris part 74

 

Bab 74








Kuberdiri di balik jendela kastil sambil melihat ke arah taman. Agak sebelah kiri, ada sebuah taman yang dikelilingi benteng dan dikawal ketat oleh para prajurit. Bagian dalam taman hanya bisa terlihat dari atas atau jika orang masuk ke dalam taman tersebut. Itulah taman mawar hitam yang sangat terkenal di negeri ini.




Aku mendesah resah. Mengalahkan penguasa negeri Lembah Nyai Ngecrit saja rupanya tidak cukup untuk bisa membawa pulang bibitnya. Aku harus meniduri Nyi Kurap Kutil untuk membuat tanaman itu berbunga sehingga aku bisa membawa bijinya.




Mawar hitam memang hanya bisa berbunga pada bulan purnama dan itu pun harus disertai dengan ritual persetubuhan. Ratu Latte Kenyot yang sudah mengaku kalah memutuskan agar aku meniduri Nyai Kurap Kutil.




Mengapa harus Nyai Kurap Kutil yang kutiduri? Setiap pendekar yang membunuh pria beristri negeri ini, maka ia harus meniduri istrinya. Tujuannya adalah untuk menjaga keabadian ilmu tarian hitam. Mungkin pertanyaannya adalah mengapa tidak meniduri istri Mayaraga juga?




Singkatnya begini. Semenjak semesta gocrot diciptakan pada tahun 2000-an SM (Sebelum Menyuwir), berdiri pulalah negeri Lembah Nyai Ngecrit dengan ilmu andalannya Tarian Hitam. Syarat agar ilmu ini abadi adalah setiap orang yang menguasainya harus menjaga keperawanan jika ia perempuan atau keperjakaan jika ia laki-laki. Maka dengan sendirinya Ratu Latte Kenyot dan Mayaraga tidak menikah. Hanya mereka berdua yang menguasai ilmu itu. Jelaslah.. Mayaraga tidak meninggalkan seorang istri di saat ajalnya.




Mamang bertanya padaku apakah aku memilih Ratu Latte Kenyot atau Nyai Kurap Kutil untuk kutiduri. Jawabanku tentu saja adalah meniduri Rere.. eh maksudku ratu. Tetapi sayangnya itu tidak bisa karena terhalang syarat tersebut.




Dan inilah malam terakhirku berada di negeri ini… di atas sana purnama masih bersinar terang.




Aku menengok ke arah pintu ketika terdengar terbuka. Seorang wanita cantik dengan pakaian sari serba putih masuk. Secangkir teh ia bawa di atas nampan.




“Minum dulu, kakang.” ujarnya merdu.




Kuambil cangkir sambil berterima kasih. Kuseruput sambil menatap wajah Nyi Kurap Kutil. Wanita di hadapanku tersipu dan menunduk.




Nyi Kurap Kutil memang cantik. Wajahnya oval dengan lesung pipit pada pipi kiri. Bibir tipisnya berwarna merah jambu. Rambutnya di belah tengah dan menggelembung di bagian depan sisi kiri dan kanannya; dijepit pada bagian belakang; sisanya merumbai ke belakang. Ada juga rumbaian yang mengapit kedua lehernya yang putih. Nampak bercahaya keemasan karena terpaan cahaya purnama yang masuk melalui jendela.




Aku mendesah. Lantas kuseruput kembali teh dari cangkir di tanganku sambil melangkah ke arah jendela. Nyi Kurap Kutil mengikuti.




“Apakah tidak ada pilihan lain?” aku seperti sedang bertanya pada diri sendiri sambil menatap ke arah cakrawala.


“Maafkan aku kakang, apakah aku kurang menarik untuk kakang?” nada suaranya terdengar sedih.


“Bukan itu maksudku, Nyi, bukan karena nyai tidak menarik tapi…”


“Kakang sudah punya pasangan?”




Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya. Wajah Rere kembali terbayang. Kesetiaanku seperti kembali sedang diuji, sedangkan meniduri Nyi Kurap Kutil bukanlah sebuah ujian melainkan keharusan. Aku tidak bisa lagi memilih.




Nyi Kurap Kutil menghela nafas halus lalu berdiri di sampingku. Matanya mengikuti arah tatapanku.




“Pasti kakang sangat mencintainya.” suaranya pelan.




Aku mengangguk mengiyakan. Rasa rindu kembali menyeruak. Bayangan wajahnya menari di dalam angan-angan dan semua kenangan terbayang. Aku sesak merasakannya, dan bibirku mulai bercerita tentangnya. Terlalu sakit untuk menyimpan rasa rindu ini hanya seorang diri; aku butuh didengarkan.




Nyi Kurap Kutil nampaknya paham. Ia menjadi pendengar yang setia tanpa banyak bertanya. Tidak juga menghibur. Tapi aku tahu, ia menyimak semua penuturanku.




Kuceritakan juga keberadaan Rere sekarang ini; aku bahkan tidak tahu apakah hidupnya cukup aman untuk sementara ini, atau sedang berada dalam bahaya.




“Maafkan kalau aku lancang, kakang.” ujar Nyi Kurap Kutil di akhir ceritaku.




Nyi Kurap Kutil menuturkan betapa kejamnya Raja Anta. Rupanya ia cukup terkenal di negeri para siluman.




“Kalau kita tidak berhubungan badan, maka kakang tidak bisa membawa pulang bibit mawar hitam.”




Aku mengangguk meski bukan maksud untuk menyetutuji apa yang harus kami lakukan malam ini.




“Kalau kakang tidak membawa pulang bibit mawar hitam dan menyerahkannya kepada Raja Anta, kekasih kakang pasti tidak selamat. Tetapi kalau kakang membawa pulang bibit itu, mungkin kekasih kakang juga tidak akan selamat. Tetapi masih ada kemungkinan untuk selamat, bukan?”




Mau tidak mau aku berpaling kepada Nyi Kurap Kutil. Ia balas menatap lembut. Ia tidak sedang meruntuhkan semangatku, melainkan menyampaikan sebuah kemungkinan yang terburuk.




“Nyai benar.” ujarku.




Nyi Kurap Kutil mengambil cangkir yang sudah kosong dari tanganku lantas meletakannya di atas meja.




“Nyai.”


“Iya, kakang?”


“Sekali lagi aku minta maaf atas kematian Ki Dengkul Munding. Tapi kalau oleh aku bertanya, kenapa nyai tidak terlihat lagi bersedih?”




Nyi Kurap Kutil tersenyum lembut. Kami pindah duduk bersisian di tepian ranjang berukir. Kelambu putih berkibar karena terpaan angin yang masuk melalui jendela.




“Kematian adalah hal biasa bagi seorang ksatria, bahkan bagi semua makhluk. Tetapi berhenti meratap itulah yang tidak biasa, dan aku lebih memilih yang tidak biasa. Aku tetap mencintainya dan itu sudah lebih dari cukup.”


“…” aku kehabisan kata-kata. Tetapi tanganku meraih jemarinya dan meremas halus. Rasa bersalah dan kagum bercampur menjadi satu.


“Aku malah berterima kasih pada kakang karena sudah menyembuhkan anakku Katok Emas dan mengangkatnya menjadi mahapatih, menggantikan Pangeran Mayaraga.” ujarnya lagi.




Yeaaah… sejak Ratu Latte Kenyot mengaku takluk dan tidak melakukan perlawanan pasca kematian Mayaraga, secara hukum persuwiran aku telah menjadi penguasa tunggal negeri ini menggantikan Latte Kenyot. Tetapi tujuan kedatanganku bukanlah untuk menjadi raja, melainkan mencari bibit mawar hitam. Takhta kerajaan tetap kuserahkan kepada Ratu Latte Kenyot, sedangkan Katok Emas kuangkat sebagai mahapatih yang baru. Hehehe… padahal tujuanku mengangkatnya sebagai patih agar ia tidak mengenal persuwiran seumur hidupnya seperti apa yang dialami oleh Mayaraga.




Aku dan Nyi Kurap Kutil tetap saling menggenggam, dan saling memberikan remasan-remasan kecil. Sentuhan ini menularkan energi hangat nan asing. Aku menjadi bisa kembali fokus pada apa yang harus kulakukan tanpa dihantui bayang-bayang Rere.




Kutatap wajah Nyi Kurap Kutil, dan ia menunduk malu. Pipinya bersemu merah. Kuulurkan tangan, dan kuangkat dagunya sehingga tegak kembali. Kami saling tatap.




Kuusapi lesung pipitnya dengan ibu jari. Nyi Kurap Kutil menghela nafas hangat. Telapak tangannya ia tempelkan pada dadaku, tak lama kemudian ia memainkan kancing kemeja putihku.




Kulepas jepit rambutnya sehingga rambut hitamnya menjuntai seutuhnya. Sangat kontras dengan kulit wajah dan lehernya yang putih. Kubelai lembut. Helaian-helaian kecil kuselipkan di belakang telinganya.




Bagai terkena daya gravitasi, tubuh harum Nyi Kurap Kutil jatuh perlahan ke atas kasur. Aku mengikuti tanpa berhenti membelai. Telapak tangan kirinya berpindah menangkup rahang dan pipiku. Sorot mata kami tidak pernah berhenti saling menyelami.




Aku merunduk setengah memeluk. Kening dan pucuk hidung kami beradu. Nafas hangat saling kami hembuskan. Tanpa komando kami sama-sama membuka bibir. Kuangkat sedikit wajah agar bisa menatap bibir seksinya. Aku menelan liur.




Wajah kami sedikit miring berlawanan arah. Semakin dekat.. Berhenti sebentar sambil saling tatap seolah meminta persetujuan. Kulihat bibir Nyi Kurap Kutil bergetar, hembusan nafasnya semakin pendek.




Dengan jantung berdebar, aku pun meyakinkan diri untuk mengecupnya.




Cuuuuup. Terasa terasa teramat lembut.




Aku menjepit bibir bawahnya, dan ia menjepit bibir atasku. Beberapa detik kami saling berhenti dengan perasaan yang tiba-tiba terasa mengawang.




Nyi Kurap Kutil mengambil inisiatif mengulum duluan, dan aku membalas. Cumbuan kami hangat tanpa terburu, saling mencecap mesra dan syahdu.




“Kakang..” bisiknya serak basa.




Kulepaskan kuluman. Sesaat kubelai wajah cantiknya, dan ia tersenyum syahdu. Matanya berbinar merasa tersanjung karena kukagumi.




Ciumanku kembali mendarat. Kali ini pada keningnya, pucuk hidungnya, bergantian pada kedua pipinya. Aku dimabuk asmara. Setiap inchi wajahnya tak luput dari kecupanku. Dan…






BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar