Bab 73
Sementara itu, Dengkul Munding benar-benar terkapar tanpa bergerak lagi. Lengkingan tangis pun terdengar, istrinya meloncat, tubuhnya melayang, lantas memeluk tubuh Dengkul Munding. Rintihannya menyayat hati, sementara para warga yang menonton pertarungan langsung terdiam. Sunyi!!
Rasa bersalah langsung menghantui. Aku sungguh iba pada apa yang terlihat di depan mata. Patah hati saja sangatlah menyakitkan, apalagi kalau ditinggal mati untuk selamanya.
“Maafkan aku.” gumamku sambil berdiri mematung. Mendekat pun aku tidak berani.
Wanita itu menangis sejadi-jadinya tanpa menghiraukanku. Suasana pilu langsung melingkupi.
Wuuuuuttt trap…
Wuuuuuttt trap…
Wuuuuuttt trap…
Wuuuuuttt trap…
Wuuuuuttt trap…
Enam orang ksatria yang duduk di kursi kerhormatan berhamburan meloncat dan langsung mengelilingiku sambil mengayunkan senjata andalan masing-masing. Teriakan-teriakan murka semua tertuju kepadaku.
Aku langsung memutar badan sambil memasang kuda-kuda. Aku waspada jika terjadi serangan tiba-tiba. Namun….
Trap.. trap.. trap…
Terdengar derap langkah pasukan berkuda memasuki arena dari sisi selatan. Seorang pria gagah berpakaian kerajaan datang menunggangi kuda putih. Di belakangnya mengikuti belasan ksatria pengawal.
Warga yang berkumpul serempak berlutut untuk memberi hormat, begitu pula istri Dengkul Munding. Ia bersujud menyembah sambil tetap menangis dan memeluk tubuh suaminya yang sudah tergeletak lemas.
“Panglima Dengkul Munding.” gumam pria gagah itu sambil turun dari kudanya.
“Hiks.. hiks.. tolonglah suamiku, Mahapatih Mayaraga Asap Garpit.” istri Dengkul Munding memohon.
“Kau tenang dulu, Nyai Kurap Kutil.”
Hmmm.. sekarang aku jadi tahu nama wanita cantik itu.
Pria yang ternyata seorang mahapatih itu langsung menggenggam kedua pipi Dengkul Munding, sedangkan belasan pengawalnya ikut melingkariku di belakang enam ksatria utama.
Mahapatih Mayaraga langsung menumpangkan tangannya di atas luka Dengkul Munding, tubuhnya bergetar. Asap putih keluar dari telapak tangannya, menyentuh lubang luka yang terus menganga.
Aku mengamati sambil tetap waspada kepada orang-orang yang meningkerku.
Tiba-tiba tubuh Dengkul Munding terkejat beberapa kali, lantas mulutnya menyemburkan darah segar, membasahi tubuh mahapatih dan istrinya. Hanya itu… sisanya Dengkul Munding langsung terkulai merenggang nyawa. Nyi Kurap Kutil menjerit histeris, sedangkan mahapati mengusap wajahnya dengan sedih.
Ia pun mendengok menatapku. Pancaran amarah dan dendam langsung terpancar. Aura membunuhnya sangat terasa.
“Prajurit, bawa Dengkul Munding keluar dari arena dan semayamkan di Paseban Gudbay Sukma.” perintah Mayaraga.
“Kalian semua mundur, aku sendiri yang akan menuntut balas atas nyawa Dengkul Munding!!” perintahnya penuh wibawa.
Enam orang ksatria mengangguk patuh dan langsung berloncatan menuju tempat duduk mereka di atas panggung kehormatan, sedangkan para pengawal pribadinya siaga di pinggir arena.
“Mati kau manusia laknat!!!” bentaknya padaku tanpa basa-basi.
Rupanya Mahapatih Mayaraga tipe pemimpin yang ‘sahaok kadua gaplok’ (sekali bentak, kedua tabok); tanpa pernah memberi kesempatan kepada lawan untuk berbicara. Ia langsung memasang kuda-kuda tanpa senjata.
Genderang perang dan terompet kematian kembali berkumandang. Aku sudah tak punya pilihan, tidak bisa lagi berbicara dan meminta secara baik-baik, bertarung sampai mati adalah pilihan.
Jurus-jurus mematikan penuh energi pelepas sukma langsung berkelebat menyerangku, mau tidak mau aku harus langsung mengeluarkan jurus andalan hampang raga untuk mengimbangi. Tubuhku melayang ke sana kemari untuk menghindari serangan, sementara setiap serangan balasan yang kulakukan tak satu pun yang memenuhi sasaran.
Kami terus bertarung tanpa lelah, tiada niat menyerah, nafsu untuk membunuh malah kian panas. Gelap pun datang, dan hari mulai malam. Hujan dan petir juga turun. Namun pertarungan tak pernah kendur. Hari pertama…!!!
Memasuki pertarungan hari kedua, Mayaraga seperti tak mengenal lelah, sementara aku mulai sedikit payah. Kini bukan hanya Arena Tarian Hitam yang menjadi medan tarung. Kadang kami melesat ke udara berselubung kabut dan awan, kadang pula saling memburu di tengah hutan luar kerajaan, lantas kembali berjibaku di arena.
Menjelang tengah hari di hari kedua, Mayaraga sepertinya sudah tidak sabar. Ia mulai mengeluarkan senjata. Sebuah cambuk bemata tiga.
Aku pun sama. Kukeluarkan Tongkat Pacek Lintang andalan.
Flash… flasssh… ayunan cambuk berkelebat kesana kemari. Bukan hanya mata-mata tajam yang siap mencabik, tetapi juga sinar api yang keluar darinya.
Tubuhku melenting ke berbagai arah, tak jarang meloncat menghindar rajaman dan belitan. Pada satu titik, aku lengah, mata cambuk menyayat dadaku, dan kilatan api membakar kulit.
“Aaaaaarrrrh….” aku meraung kesakitan.
Tubuhku terjengkang sampai ke tepi arena. Mayaraga semakin beringas ia melompat sambil mengayunkan cambuknya ke udara.
Wuuuut.. flasssssh… aku masih bisa berguling dan cambuk membentur tanah. Byuuurrr… debu dan kerikil menghambur ke udara, meninggalkan lubang panjang seperti parit.
Aku meloncat berdiri sambil terengah. Tanah saja bisa seperti itu, apalagi tubuhku jika terkena cabikannya secara telak.
Wuuut.. ujung-ujung cambuk kembali menyasar untuk membelit leher. Kali ini aku tidak menghindar, kusamput dengan putaran Pacek Lintang.
Flaaaassszzz… Pacek Lintang dibelit cambuk Mayaraga. Ia pun langsung menghentak, dan tubuhku melayang terbanting.
Taaaap.. aku menapak tanah kembali, kali ini kami langsung saling tarik. Kuda-kudaku terseret ke sana kemari, sedangkan Mayaraga bagai paku bumi yang hanya berdiri kokoh di atas kuda-kudanya.
Aku mulai kewalahan. Tak ada cara lain, segera kutancapkan Pacek Lintang pada tanah. Tidak dalam, tetapi Mayaraga tidak berhasil menghempaskannya. Kucabut belatiku… flaaassszzz… kusabitkan pada tali cambuk.
Pyaaaaaar… api keluar… traaaang… bruuuuk…. belatiku langsung patah dan mengeluarkan api; dan aku terjengkang sambil membuang gagang belati yang terbakar. Satu senjataku langsung musnah.
Mayaraga langsung mengurai belitan cambuknya pada batang Pacek Lintang dan mengayunkannya disertai desingan keras. Rupanya ia mencoba menyerang sambil menghadangku supaya tidak berhasil mengambil Pacek Lintang.
Aku sungguh kewalahan. Tidak bisa menyerang, dan hanya bisa menghindar. Tubuhku semakin terdesak ke tepi arena.
Wuuuuuttttt… satu mata cambuk menyasar mencabik leherku. Flasssssh… ujung lainnya mau mencakar perut dan dada. Mundur aku sudah tidak bisa. Menjatuhkan diri hanya menunggu dimangsa. Sementara jika loncat aku sudah tidak punya waktu.
Langsung kukeluarkan tenaga dalam untuk menghindari cakaran yang lebih mematikan, tanganku berkelebat untuk menangkap ujung-ujungnya.
Wuuuuttt… sreeeeet… craaaat… dadaku tersobek dan langsung memuncratkan darah. Tap… wut wut.. aku berhasil menangkap dua mata cambuk lainnya, namun kedua tanganku langsung terbelit terikat; kail-kail tajam tembaga langsung menancap pada kedua pergelangan tangan.
Kukerahkan tenaga untuk melepaskan lilitan, namun sia-sia.
Mayaraga langsung terbahak penuh kemenangan, ia mulai memutar cambuknya sehingga tubuhku melenting ke udara dan berputar bagai gasing.
Aku mulai limbung. Tenaga dalamku tak berfungsi, dan bahkan bagai terhisap.
Braaaaaak…. aku dibanting ke atas tanah.
“Aaaaarrrrrggggg…” aku teriak sambil melentingkan tubuh, bagian belakang tubuhku terasa remuk.
Wuuuut.. duuuk….
Flaaaaazzzsss… braaaak…
Aku bagai bola volli dalam jaring yang dibenturkan kesana-kemari. Aku hanya bisa melolong di setiap benturan. Tubuhku sudah bermandikan darah, dan lenganku rasanya mau lepas dari pangkal sendinya.
Sorak-sorai kemenangan kian bergemuruh, sementara aku kian limbung. Mati.. mati.. matiii… kata-kata maut seolah menghantuiku.
Tidak!! Aku tidak boleh mati. Aku sudah janji untuk menjemput Rere pulang. Aku juga sudah janji pada Om Sulis dan Tante Nur; juga kepada keluarga besarku. Tapi…
“Aaaaaah…” kali ini kepalaku yang membentur tanah. Kraaaaak… tulang leherku terasa patah.
Aku setengah sadar, suara gemuruh mulai terdengar sama-samar. Tubuhku bagai kapas basah; tak bertenaga.
“Rere.. Rere… sayang…” aku menyambat-nyambat namanya. Masih ada sedikit ingatan yang sedikit memulihkan kesadaran, kukumpulkan tekad yang tersisa.
Wuuuut… wuiiiiing…. tubuhku terangkat dan diputar di atas permukaan tanah.
Taaaaap… wuuuuuut…. karena terlalu bernafsu, Mayaraga lengah. Tali cambuknya membentur Pacek Lintang. Tubuhku berputar kencang mengelilingi Pacek Lintang yang kokoh tertancap. Tubuhku terhempas dan ambruk lemah.
Sementara Mayaraga sudah tidak bisa membanting kembali tubuhku karena cambuknya terlilit di bagian tengah. Tenaganya kini tercurah untuk melepaskan ikatan dan mencabut Pacek Lintang.
Ada waktu beberapa detik bagiku untuk memulihkan kesadaran.
“Aku rela mati, tetapi itu hanya boleh terjadi jika Rere sudah selamat.” ucapku dalam hati.
Meskipun energiku sudah merah, tetapi masih ada sisa setengah strip. Waktu yang singkat kupakai untuk menghubungkannya dengan ‘power bank’ bernama tekad. Kukumpulkan energi dan secara perlahan kukeluarkan ilmu hampang raga.
Perlahan tapi pasti, cengkeraman mata cambuk satu per satu terlepas dari tanganku, seiring dengan memancarnya darah segar. Sementara Mayaraga nampak penuh amarah, segala daya dan upaya ia kerahkan untuk bisa mencabut Pacek Lintang, atau setidaknya melepaskan lilitan cambuknya.
Lawanku akhirnya menemukan akal. Bukan cambuk yang ditarik, tapi ia sendiri yang berputar berlawanan arah dengan posisi lilitan.
Satu lilitan terurai…
Tanganku gemetar meraih ujung cambuk.
Lilitan kedua terlepas dan menyisakan tiga lilitan lagi…
Aku berusaha mengikat, tetapi tanganku terlalu lemah. Lilitan ketiga terlepas, menyisakan dua…
Aku terus berusaha mengikat ujung cambuk. Tapi getaran tanganku malah membuatnya terlepas. Lilitan keempat pun terurai.
Ujung cambuk mulai tertarik karena hanya menyisakan satu lilitan lagi.
“Aaaaaarhhhhh…” aku berteriak mengumpulkan tenaga.
Sreeeeet… akhirnya satu ujung cambuk berhasil kuikat bersamaan dengan terlepasnya lilitan terakhir.
Mayaraga yang lengah dan terlalu bersemangat malah membuat kesalahan fatal. Karena satu ujungnya sudah terikat, maka putarannya malah membuat lilitan baru.
Mayaraga yang sadar langsung berhenti berputar dan kakinya menapak kembali. Energiku masih merah lagi, tetapi sudah naik dua strip. Aku cukup punya daya untuk menyembuhkan luka-luka dan tulang yang patah, tetapi belum cukup untuk melakukan serangan balik atau membuat pertahanan diri.
Kulihat Mayaraga mulai duduk bersila di atas tanah. Ia sepertinya sedang mengeluarkan ilmu lain agar bisa melepas cambuknya. Energiku sudah naik lagi setengah strip… aku punya kekuatan untuk berdiri.
Perkiraanku, Mayaraga butuh waktu beberapa detik untuk mengumpulkan tenaga dalam dan mengeluarkan ilmunya. Waktu yang singkat itu kupakai untuk mencabut Pacek Lintang lalu membuat lingkaran lebar tanpa melepaskan ujung cambuk.
Setelah selesai, aku menancapkan kembali Pacek Lintang tepat di tengah lingkaran, dan aku merobohkan diri di dalam lingkaran yang sama. Kini energiku kembali turun menjadi satu strip, tetapi aku tidak terlalu khawatir karena luka-lukaku mulai pulih, dan aku terlindung energi gaib melalui lingkaran yang kubuat. Aku pun terkapar setengah sadar sambil menunggu kekuatanku menjadi hijau kembali, syukur-syukur kalau bisa seratus persen.
Panca inderaku masih berfungsi, tetapi aku terlalu lemah untuk menggerakan tubuh. Hari kedua…!!!
Fajar hari ketiga tenagaku sudah berangsur pulih, dan luka-lukaku sudah sembuh. Healing effect yang diberikan oleh Pacek Lintang berfungsi dengan baik. Aku tahu sepanjang malam Mayaraga dan para ksatrianya berusaha menembus pertahananku, tetapi usaha mereka sia-sia. Dan kini aku sudah bisa duduk kembali, tetap di tengah lingkaran. Amarah.. murka.. kebencian langsung tertuju kepadaku.
Aku rela dibilang pengecut. Pemenang sebuah pertarungan adalah orang yang terkahir bisa melumpuhkan lawan, bukan sosok yang diberi sandang pengecut.
Kulihat cahaya-cahaya api menghantam ke arahku dari berbagai arah, tetapi selalu terpental oleh selubung gaib yang menaungiku.
Meski tidak bertarung langsung tetapi aku bisa merasakan kalau kekuatan mereka mulai melemah. Bukan karena ilmu kanuragan yang terus mereka lancarkan, melainkan karena amarah yang menyelubungi seluruh ada mereka. Satu kelemahan kutemukan.
Tak acuh kukeluarkan kotak sigaret, kucatut sebatang, dan kugesek ujungnya pada batang Pacek Lintang sehingga mengeluarkan api. Ngaso seperti ini ternyata nikmat juga.
Berang kemarahan semakin meningkat karena melihat ulahku, dan ancaman-ancaman pun semakin bertubi-tubi. Tanpa sadar, energi mereka semakin berkurang.
Aku tidak peduli. Kukeluarkan kang pepen dan langsung kukeluarkan air seni yang terasa mendesak. Dua hari pertarungan membuatku tidak kencing, dan juga tidak makan. Masih beruntung tidak ingin buang air besar.
Setelah lega, kunaikan kembali celanaku, dan kulanjutkan merokok.
Tepat di saat fajar, ada derap langkah kuda yang memasuki arena. Para penyerangku langsung berhenti, dan berbaris sambil sujud menyembah. Nampaklah seorang bidadari cantik datang di atas tunggangannya, diikuti ratusan pasukan berkuda.
Sial.. aku sudah kencing duluan. Coba kalau aku menunda sedikit saja, aku bisa memamerkan keperkasaan kang pepen pada makhluk super cantik itu.
Dari gelagat semua orang yang menyembah, termasuk warga yang tetap setia menonton pertarungan sejak hari pertama, aku langsung yakin bahwa wanita itu adalah Ratu Latte Kenyot. Hal itu semakin diperkuat dengan mahkotas emas yang menumpang di atas kepalanya.
“Mengapa belum kalian musnahkan juga bangsa manusia yang menjadi pengganggu ketenteraman kita ini?” ia langsung bertanya pada Patih Mayaraga tanpa aling-aling.
“Ampuni hamba, Gusti Kanjeng Ratu. Hamba berjanji untuk membunuhnya tapi…”
“Ya!! Aku memberimu restu untuk menggunakan ilmu Tarian Hitam.” potong sang ratu.
Dari percakapan mereka saja aku paham, bahwa rupanya untuk menggunakan ilmu itu harus atas seijin Ratu Latte Kenyot. Diam-diam aku mulai khawatir, karena baik dari penuturan Sri Kencana maupun Ki Orgi belum pernah ada seorang pun yang bisa mengalahkan ilmu itu.
“Bunuh manusia itu, tebus darah Ksatria Dengkul Munding dengan nyawanya. Lakukan demi aku!!!” paras cantiknya berbanding terbalik dengan sikap dan kata-kata bengisnya.
Dan.. tak sedikit pun ia menolehku. Jangankan mengajakku berbicara, melirik pun tidak. Kubuang serutu yang masih tersisa lima koma dua puluh tujuh senti. Aku mulai fokus memikirkan cara.
Di satu sisi kehadiran Ratu Latte Kenyot menjadi keuntungan bagiku, karena aku menjadi punya lebih banyak waktu untuk memulihkan seluruh kekuatan dan energi. Tetapi negatifnya, aku harus berhadapan dengan ilmu tarian hitam yang terkenal mematikan.
Ratu Latte Kenyot menghunus pedangnya lalu menumpangkannya di atas kepala Patih Mayaraga yang tetap menunduk menyembah. Ada sinar pekat yang memancar merasuki Mayaraga, lantas menggumpal menjadi asap hitam.
Aku sudah tidak bisa lagi bermain-main. Hidup dan matiku ditentukan hari ini. Bukan nasibku saja yang harus kutanggung, tetapi juga hidup Rere dan hidup banyak orang di Sawer dan Ewer.
Tekad.. tekad.. kata itu kembali terngiang. Tekad telah berhasil menyelamatkanku dari kematian yang hampir merenggut, tetapi kali ini tekad saja rasanya tidaklah cukup.
“Dari delapan arah mata angin, dari mana datangnya cinta?” kalimat terakhir Ki Sapta Gaya kuingat kembali.
Aku mencoba merenung. Mengingat-ingat buku kuno yang pernah kubaca saat kecil dulu. Aku tidak ingat dewa-dewanya, tetapi aku masih hafal simbol-sombol warnanya.
Utara adalah hitam dengan ilmu yang terkenalnya adalah cakra.
Timur Laut adalah abu-abu atau kebiruan.
Timur adalah putih.
Tenggara itu merah muda.
Selatan adalah merah.
Jingga menjadi simbol barat daya.
Barat itu kuning.
Barat Laut Hijau.
Cinta.. cinta… warna apakah cinta itu.. aku terus memutar otak. Aku mencoba menyimpulkan bahwa cinta itu putih atau kalau tidak merah muda. Setidaknya itu yang sering disimbolkan dalam hidup sehari-hari. Berarti cinta datangnya dari Timur atau Tenggara. Hmmm… benarkah?
Kekhusukan memikirkan jawaban atas pertanyaan Ki Sapta Gaya membuatku sedikit abai pada keadaaan sekitar. Keadaan sekitarku sudah gelap gulita tertutup oleh kabut hitam, tepatnya seperti asap pekat. Yang terlihat di dekatku hanyalah Patih Mayaraga.
Tak lama kemudian terdengar denting gamelan. Suaranya sangat asing, beda dengan gamelan manusia yang selama ini kudengar. Setiap tabuhannya sangatlah menggetarkan nyali, dan dentingan-dentingannya seakan mengangakan pori dan nadi. Aku merinding.
Kulihat Mayaraga meloncar ke udara diikuti gulungan-gulungan hitam. Sementara taluan gamelan semakin kencang dan mistis.
Pyaaaar… pelindungku hilang, dan lingkaran yang membentengi pudar. Bukan karena ilmu mereka, tetapi memang ada batas waktunya. Hanya empat jam.
Aku langsung siaga sambil menggenggam Pacek Lintang. Kukibas bubungan asap hitam untuk memberi ruang pandangan.
Tiba-tiba cahaya berkilatan menyerangku. Rupanya para ksatria Lembah Nyai Ngecrit mau berusaha merobohkanku tanpa harus mengandalkan ilmu tarian hitam.
Sigap kupasang kuda-kuda. Kaki kiri kutekuk ke depan, sedangkan kaki kanan lurus ke belakang. Tubuhku merunduk.
Sambil memutarkan kaki belakang, kusambut setiap kilatan cahaya dengan kibasan Pacek Lintang, dan ketika sosok penyerangnya bermunculan langsung kubabat tubuh mereka. Dalam sekali tebas semuanya berjatuhan. Bukan karena aku lebih unggul dari mereka, tetapi mereka telah berbuat fatal dengan menghabiskan energi mereka sendiri. Jika dalam keadaan normal, sudah tentu aku tidak akan bisa mengalahkan mereka jika secara bersamaan seperti ini.
Sementara itu, irama taluan gamelan semakin cepat. Kucoba mengerahkan tenaga dalam agar aku tidak terluka oleh denting-denting suaranya yang terasa perih menyayat.
Patih Mayaraga mulai melakukan tarian-tarian yang semua gerakannya serba asing. Gumpalan asap mengikuti setiap gerakannya. Tak lama kemudian bias cahaya mulai menerobos masuk. Asap hitam mulai bergerak ke delapan arah, sesuai gerak tangan Mayaraga.
Sosok tubuh Mayaraga perlahan memudar dan berubah menjadi gumpalan asap berwujud manusia yang menari seirama dengan taluan gamelan. Begitu pula delapan gumpalan asap lainnya berubah menjadi sosok penari, tanpa rupa, tetapi bentuknya sama dengan Mayapada.
Classsssssshhhh… flaaaaaazzzzz…. aku meloncat menjauh ketika tiba-tiba ada serangkaian cahaya biru hanya beberapa inchi di atas permukaan tanah. Cahaya itu membentuk garis-garis delapan arah mata angin yang menghubungkan delapan penari hitam, dengan Mayapada sebagai sosok sentral yang menari di tengah.
Aku malah termangu melihat pemandangan menakjubkan sekaligus menggetarkan itu. Sementara suasana sekitar kembali terang. Nampak Ratu Latte Kenyot duduk dengan angkuhnya di atas singgasana. Warga negeri Nyai Lembah Ngecrit ikut bergoyang seirama, tangan mereka menjulur ke atas. Gremengan seperti mantra memenuhi jagat semesta tempatku berada.
Taluan gamelan semakin keras dan cepat, begitu pula liukan sembilan sosok hitam. Aku begidik sebentar untuk memulangkan kesadaran dari keterpesonaan. Kupasang kuda-kuda sambil menjulurkan Pacek Lintang ke depan.
Kulihat arah matahari. Kucerna formasi para penari hitam sesuai dengan arah mata angin. Tiba-tiba Mayaraga bergerak cepat mendekatiku, delapan penari lainnya tetap dalam lingkaran formasi. Namun mereka berputar seiring pergerakan cahaya lingkaran dan setiap garis penghubung.
Kini aku terjebak di dalam lingkaran. Hawa panas sekitar kaki pun terasa. Para penari hitam semakin meliuk bagai angin, dan lingkaran cahaya pun berputar kencang. Bagai roda yang dihubungkan delapan jari-jari dimana setiap jari-jari itu bagai mata pedang yang siap menebas kakiku.
Aku hanya meloncat-loncat untuk menghindar. Tetapi semakin lama putaran itu semakin cepat sehingga garis cahaya biru pun semakin menyatu bagai piringan bercahaya. Kutancapkan Pacek Lintang untuk menghentikan putaran. Hasilnya di luar dugaan. Pacek Lintang ikut berputar terseret arus putaran. Aku pun berpegangan dengan tubuh melayang horizontal. Tubuhku terbawa berputar bagai gasing. Pening dan mual langsung merasuki.. sementara hawa panas semakin membakar kulit.
Ilmu meringankan tubuhku sulit kukendalikan, sementara aku tidak bisa meloloskan diri dari tengah arus putaran. Ada energi mahakuat yang menghisapku.
Tanpa menghentikan gerak tari, bayangan-bayangan hitam itu saling meloncat dan bertukar posisi. Serba cepat. Aku bahkan sudah tidak tahu mana Mayapada yang asli dan mana yang bukan.
“Oeeekkk…” aku muntah darah.
Serangan mereka tidak terasa, namun tiba-tiba saja aku merasakan luka-dalam yang sangat menyakitkan.
Aku langsung limbung, dan sisa tenaga yang ada hanya cukup untuk dipakai berpegangan. Sedikit saja aku menyentuh cahaya di bawahku, maka aku akan kehilangan anggota tubuh.
Aku mencoba menarik Pacek Lintang dari tengah pusaran sambil bersalto di udara. Tetap.. aku tidak bisa lepas dari kepungan para penari dan keluar dari dalam pusaran. Kucoba mencari garis inti putaran sambil menggunakan sisa tenaga yang ada agar tetap melayang. Percobaan pertama.. kedua.. ketiga… tetap gagal. Tongkatku selalu menyentuh tanah lantas terseret putaran.
Tubuhku sendiri semakin lemah, energiku terkuras. Pada cobaan ketujuh akhirnya aku berhasil. Tongkat Pacek Lintang berhasil menyentuh sebuah garis inti cahaya.
Cara ini rupanya berhasil membuat putaran berhenti. Namun para penarinya tetap meliak-liuk.
Sebelum dayaku habis, kuambil insiatif memutus rantai tarian.
“Cinta itu adalah putih.” batinku.
Tap.. tap… kuangkat Pacek Lintang dan sebelum cahaya kembali berputar, kujejakan pada garis mata angin Timur. Kakiku melayang menyapu sang penari. Wuuuuussssh… aku hanya menyapu angin.
Bukan ini.
“Cinta itu merah muda.” batinku lagi.
Sreeeeet…. kali ini aku menyerang penari arah Tenggara. Sama saja, tendanganku memukul angin.
Pergerakan dan seranganku malah membuat energiku semakin cepat terkuras. Batere tenagaku sudah merah dan Pacek Lintang tidak bisa lagi memberi healing effect. Sebelum aku benar-benar sekarat dan wafat tanpa maslahat, kulakukan serangan ke arah mata angin yang berbeda. Pikirku cinta memang tidak boleh diserang. Tetap sia-sia. Tubuhku malah semakin melorot turun.
Kini upayaku hanya membuat agar para penari itu tidak lagi berputar. Sebab jika itu terjadi, terpanggang dan hanguslah tubuhku.
Belum juga aku menentukan pilihan sasaran berikutnya untuk kuserang, tiba-tiba lingkaran menjadi lebih kecil. Tarian mereka semakin cepat, dan gelombang sembilan bayangan penari seperti hendak menyatu. Tubuhku mulai diliputi kegelapan, nafasku sesak, pandanganku buram.
Wuuuuusssss… gelombang panas membakarku. Dan para penari hitam semakin kehilangan sosoknya. Asap mereka bergerak menyatu, membentuk satu penari saja.
Ini tidak boleh terjadi, pikirku. Kutancapkan Pacek Lintang ke dalam tanah, kali ini cukup dalam. Lingkaran pun bergerak karena tidak ada lagi garis cahaya yang kupaku.
Flaaaazzzz… lingkaran kembali berputar, dan Pacek Lintang tidak berhasil menahan. Keuntungannya adalah, gumpalan hitam yang hampir menyatu kembali terurai, kembali ke sosok semula. Lingkaran pun kembali lebar. Negatifnya, aku kembali limbung. Tenagaku hampir habis.
Dan…
Tiba-tiba ada energi mahakuat yang menarikku ke atas. Wuuuussssh.. aku melesat ke angkasa. Aku tidak lagi merasa sakit, tidak pula mual dan limbung seperti tadi. Tapi…
Ujubuneh… aku bisa melihat tubuhku sendiri yang berputar bagai gasing. Aku mengamati keberadaanku. Aku terperangah, wujudku tak ubahnya dengan para penari itu. Bedanya aku berasap putih.
Mayaraga sendiri sepertinya tidak menyadari terlepasnya jiwaku dari tubuhku. Sembilan bayangan itu terus menari sambil berusaha menghancurkan ragaku.
Tidak… aku tidak boleh mati. Kusambat nama kekasihku berulang kali sambil berusaha turun untuk memasuki kembali ragaku. Tetapi kumparan para penari terlalu kuat untuk kutembus. Aku terpental dan terpental lagi, meski itu tidak terasa menyakitkan atau menimbulkan luka.
"Tutup inderamu dari suara gamelan dan mantra mantra dari bangsa lembah nyai kecrto." ada suara yang bergema. Siapa dan dari mana, aku tidak tahu. Aku berusaha mencari, tapi tak kutemukan. Yang pasti itu adalah suara seorang pria, terdengar berat dan berwibawa, tanpa penekanan tapi menggetarkan.
Mencintaimu adalah soal patah hati
yang mendamba bahagia tapi harus siap kehilangan.
Merindumu itu perjuangan mencapai ikhlas
yang lapang dada ketika cinta hanya ada di hati
tanpa kuat memiliki.
Itulah terangku..
Karena adamu di hati sudah menjadi kecukupan
Perasaanku sudah mewah ketika namamu selalu terpatri
Kali ini yang kudengar adalah suara seorang wanita. Aku tidak kenal suara itu, tetapi rangkaian kata yang ia ucapkan, sepertinya aku pernah mendengar, atau setidaknya membaca. Mirip mantra.. tapi juga seperti puisi.
Jiwaku melayang-layang sambil mencerna setiap kata yang kudengar. Tutup panca indera? Ah itu tahap pertama yang harus kulakukan.
Aku menggulung bersama awan. Mata terpejam.. merasakan setiap gerakan… menikmati setiap putaran melayang. Mengawang terhembus angin. Aku merasa lapang. Tanpa sakit dan ketakutan, tanpa marah ataupun menyimpan benci.
Adaku hanyalah aku dan diriku sendiri. Hening tetapi tidak sepi. Tanpa suara tapi jauh dari sunyi. Tenang damai.. aku merasa bahagia… hatiku penuh cinta.
Pada titik ketenanganku yang tak bisa lagi merasa dan meraba, tidak lagi melihat atau mendengar, juga tidak bisa mencecap, aku mulai merenungkan lantunan suara perempuan asing itu.
patah hati..
kehilangan..
tanpa memiliki..
ikhlas..
lapang dada..
Mencinta adalah kecukupan dari sebuah mewahnya perasaan… meskipun mungkin hanya bertepuk sebelah tangan..
Cinta.. rasa… nadi.. rindu..
Kukumpulkan kata-kata dalam benak, kucerna, kupikirkan. Cinta.. rasa.. cinta.. rasa…
Seketika mataku terbuka. Aku kembali dari keheninganku.
Sumber cinta dan segala rasa itu ada di hati, di pusat organ tubuh manusia, titik pusat kehidupan. Pusat!! Cinta itu tidak datang dari arah mata angin mana pun, ia berasal dari pusat, dan bersemayam di pusat.
Jiwaku melayang turun, mendekati pusaran tarian. Suara gamelan sudah berubah menjadi tabuhan penghantar kematian, liuk tari lebih berupa gerakan para pencabut nyawa. Sementara tubuhku sendiri sudah tergulung asap hitam para penari yang mulai menyatu.
Pusat.. pusat.. tapi pusat tidak harus berada di tengah. Angin bisa datang dari berbagai arah dan menghembus ke arah lain. Tapi angin adalah angin.. ia adalah pusat seperti hati.
Panglima tempur tidak selalu di depan, tidak juga meski di belakang, bisa menyamar di tengah kerumunan pasukan. Itulah inti dari ilmu tarian hitam.
Mayaraga bisa menjadi bayangan yang mana pun, bisa berpindah kapanku seiring laju putaran. Tetapi bagaimana menemukannya? Jawabnya adalah hati. Baca hatinya… aku harus ikut menari.. menjadi penari.. merasakan diri sebagai seorang penari.. dan dari situ aku akan menemukan penari utamanya.
Aku melayang turun. Jiwaku bagai angin.. menembus batas… memasuki kembali tubuhku. Dan sakit ini kembali kurasakan. Sementara waktunya sudah sangat terbatas.
Kulihat Pacek Lintang masih tertancap, tapi aura kekuatannya sudah memudar. Bentuknya juga terlihat lapuk sama seperti waktu pertama kali kutemukan.
Kalau tadi melawan, kini aku membiarkan diri diserap kubangan asap hitam. Kuredam rasa sakit dan panas yang membakar. Aku menari…
Tubuhku meliuk.. gerakku ringan… lingkaran kembali terbuka dan menjadi lebar. Tetabuhan semakin kencang, gerakan tari berubah menjadi liar. Aku sendiri meliuk di dalam sebuah gumpalan asap hitam. Kalau di sekitar ada tujuh penari hitam termasuk yang di tengah, sekarang aku menjadi penari yang kedelapan. Tepatnya terbungkungkus asap hitam penari ke delapan.
Aku tidak lagi melawan, kubiarkan tubuhku bergerak mengikuti liuk tarian. Sakitku perlahan pudar, aku seolah sudah menjadi bagian dari mereka.
Gemuruh terdengar.. sorak kemenangan mulai berkumandang. Mereka menganggap aku sudah terjerat oleh salah satu penari, mengira ajalku tinggal hitungan hirupan nafas.
Dan benar… dalam setiap perputaran lingkaran cahaya, para penari selalu berpindah posisi. Energi mereka berbeda. Ada satu yang lebih kuat. Hanya dalam beberapa putaran saja aku sudah bisa membedakan, aku tahu pusat yang menjadi pelaku utama tarian.
Tubuhku meliuk tanpa berhenti menari, mataku mengawasi Pacek Lintang yang sudah berada di luar lingkaran karena para penari sudah merapat dalam lingkaran kecil.
Ning nang ning nung.. ning nang ning nung gooong!! Gamelan bertalu kencang.
Tanganku gesit terulur keluar dari gumpalan hitam.
Tap.. tap… flaaaazzzz… kubelah sosok penari hitam yang membungkus tubuhku.
Kurasakan kekuatan Pacek Lintang sudah berkurang, tetapi masih cukup untuk memberikan serangan-serangan pamungkas.
Pola pergerakan penari sudah kupahami. Penari utama akan selalu kembali ke tengah setelah sekali bertukar posisi.
Ciaaaaaattt… wuuuuut… tarrrrr…. Pacek Lintang membabat penari di posisi mata angin tenggara. Lengking nyaring terdengar. Keseimbangan para penari menjadi goyah. Flasssh.. flassssh… yang kuhajar memang asap hitam yang mewujud sosok manusia, tetapi tetap membentur telak karena memang itulah penari utamanya: Mayaraga.
Pergerakannya sudah kubaca, isi pikirannya kemana ia akan berpindah sudah kuketahui. Pacek Lintang selalu kubabatkan kemana pun ia bergerak.
Pyaaaar.. sinar panah mata angin tenggara padam, penarinya hilang. Tarian goyah dan gerakan mulai tidak serempak.
Wuuuut… wuuuut… aku melakukan serangan secara membabi buta. Selalu telak dan tidak salah sasaran.
Pyar… sinar selatan padam.
Wuuuut… pyar… pyar.. pyaaar…. satu per satu semua sinar putus dan padam. Lingkaran hilang seiring lenyapnya para penari bayangan. Kini hanya tinggal menyisakan satu penari di titik tengah.
"Iteuj aing kontol nu euweh tulang." Teriakku melafal mantra sambil meloncat tinggi ke udara dan menyapukan tongkat. Kugulung sisa-sisa asap para penari yang terurai yang membumbung dengan ujung tongkat. Kuurai dan kucabik hingga menghilang.
"Tukang nyuwir bulu hanceut nu ngagunduk gaeling." flaaaaaszzz.. ujung Pacek Lintang membelah asap hitam penari terakhir hingga ke pinggang.
“Nyoék siki suuk nu jadi itil…” kutusukan dan membuat gerakan memutar.
"Ngabelelelehkeun biwir hanceut nu rapet baseuh." sambil menodorong tongkat ke depan dan membuat gerakan-gerakan mencabik.
"Ah... oh... ahhh.. ahsss... sia bucattt...." kulafalkan refrein mantra sambil merojok-rojok. Petir pun menggelegar dan hujan tiba-tiba turun deras padahal matahari tetap bersinar.
"Sia muncrat, aing teu beuki sabab aing lalaki." teriakku; kali ini aku melafalkan mantra dengan sangat lantang disusul kilatan petir.
Wuuuuuuttttt… flaaaaaaszzzzz… hantaman pamungkas kudaratkan.
Lengkingan Mayaraga terdengar mengerikan, sekaligus menghentikan segala keriuhan bangsa Lembah Nyai Ngecrot. Asap hitam pun hilang dan Mayapada ambruk tak bernyawa.
Tak lama kemudian terdengar tangis kematian dari arah panggung kehormatan. Kuusap rambut dan wajahku yang basah karena deras hujan.
Kuangkat tongkat dan kutunjuk Ratu Latte Kenyot yang sedang menutup mulut. Kulihat para pengawalnya langsung siaga melindungi.
“Aku datang tidak punya maksud jahat, tapi nyai ratu tidak memberiku pilihan. Sekarang giliranmu, wahai Nyai Ratu Latte Kenyot!!!” teriakku lantang.
Capek, Rei?
Banget!!
BERSAMBUNG dulu aja kalau gitu….
Report content on this page
0 Komentar