Sang pewaris part 72

 

Bab 72








Sri Kencana tidak ingkar janji. Ia menyambutku ketika aku tiba di sisi utara Lembah Nyai Ngecrit. Wajahnya sumringah ketika melihatku datang, senyumnya mengembang. Dan sorot kedua bola matanya… menggetarkan jiwa kelelakianku.




“Sri..”


“Kakang…”




Aku memeluknya hangat, pun pula Sri Kencana. Tapi..




“Eh.. maafkan saya, kakang. Saya sudah lancang.” Sri Kencana buru-buru melepaskan pelukan dan mundur beberapa langkah, kepalanya menunduk.


“Tidak usah sungkan, Sri, aku bukan majikanmu.” ujarku.


“Tapi kakang…”


“Kenapa? Takut pada Mahapatih Sawaka? Kamu tidak usah khawatir.”




Sri Kencana pun mengangguk ragu. Ia mendongak dan sorot mata kami beradu kembali. Ada perasaan asing yang berdesir di balik dadaku, sementara Sri Kencana tersenyum simpul. Kedua pipinya merona.




“Sri aku lapar.” ujarku melumerkan rasa kikuk.


“Maafkan saya, kakang. Kalau begitu kakang tunggu di sini, saya mau berburu dulu.” jawab Sri Kencana.




Aku mengangguk. Sri Kencana pun berubah menjadi harimau dan langsung meloncat meninggalkanku.




Kuamati suasana sekitar. Rupanya Lembah Nyai Ngecrit tidak seluas yang kubayangkan. Lebih berupa danau kering raksasa yang dikelilingi oleh perbukitan. Seperti dunia tertutup karena kemana pun mata memandang hanyalah lereng-lereng bukit, sehingga tidak tahu kawasan yang ada di balik luar sana.




Mungkin karena itulah namanya unik, karena luasnya memang hanya se-encrit jika dibandingkan dengan luasnya hutan yang tadi kulewati.




Aku melihat ada pohon kering yang menjulang tinggi dengan dahan-dahan tanpa daun. Kukeluarkan Tongkat Pacek Lintang.




Taaappp… wuuuut…. aku meloncat sambil menyabetkan tongkat. Dorokdoook.. gubraaak.. kayu pun tumbang. Langsung kupangkas dahan dan rantingnya untuk membuat perapian. Dengan bersenjatakan belati, kudirikan juga sebuah saung sederhana sekedar tempat untuk berteduh.




Tak berselang lama Sri Kencana kembali sambil membawa seekor anak kijang. Mulut dan bulu sekitar lehernya berlumur darah. Tak berselang lama ia merubah rupa, sosok cantiknya kini terlihat berkeringat. Baju putihnya tampak basah. Kedua payudaranya yang menonjol tampak beuneur (ranum?).




“Terima kasih. Kamu mau makan gimana, Sri?” tanyaku sambil mengangkat kijang yang tadi ia jatuhkan di atas rumput.


“Maaf kakang.. saya.. saya tidak lap…”


“Sudah tidak usah sungkan.”


“Maaf. Kalau begitu saya akan ikut makan seperti kakang saja.”


“Kalau begitu kamu tolong jaga apinya, aku akan menguliti kijangnya dulu.”




Tanpa menunggu jawaban, aku pun meloncat ke tepi aliran sungai kecil. Dengan gesit kukuliti dan kubuang jeroannya. Setelah bersih langsung kutancap dengan sebatang kayu. Kijang pun sudah siap untuk dipanggang.




Sambil memutar daging hasil buruan di atas bara api, aku banyak bercerita tentang perjalanan selama satu bulan ini. Sri Kencana menjadi pendengar yang baik, tanpa banyak bertanya, dan hanya sekali-kali saja menyahut. Aku paham, ia tetap sungkan karena ia memang diutus oleh Sawaka untuk mengawal dan melayani kebutuhanku. Baginya aku adalah majikannya.




Sejam kemudian hasil buruan pun matang, dan kami makan di dalam saung dengan lahap. Kali ini aku dan Sri Kencana lebih banyak berbicara tentang rencana selanjutnya.




“Pada bulan purnama kedua, kakang harus berangkat untuk mencari bibit mawar hitam dan mempersembahkannya kepada Maharaja Anta.” ujarnya.




Sri Kencana pun menjelaskan kalau tanaman itu hanya bisa ditemukan di sebuah negeri siluman yang dipimpin oleh Ratu Latte Kenyot. Tanaman langka itu memiliki kekuatan magis yang bisa memperpanjang umur baik bagi bangsa manusia maupun bangsa siluman. Sudah lama Raja Anta menginginkan bibit bunga itu, namun tidak pernah berhasil mendapatkannya.




“Jadi sebenarnya Raja Anta sengaja memberiku rintangan demi kepentingannya sendiri, dan tidak ada kaitannya dengan ritual?” tanyaku.


“Kakang benar. Dari semua pendahulu kakang, hanya kakang sendirilah yang harus melewati berbagai rintangan sebelum ritual, dan itu demi memenuhi ambisi sang maharaja sendiri.” jawabnya.




Sri Kencana kemudian menuturkan bahwa selain bibit mawar hitam, Raja Anta juga sudah lama menginginkan Tongkat Pacek Lintang. Sudah berulang kali ia melatih ilmu dan berusaha mencabut tongkat itu, namun tidak pernah berhasil.




Semua penuturan Sri Kencana membuatku geram. Ia sungguh-sungguh memanfaatkanku.




“Aku harus menemui Raja Anta sekarang, dan aku akan membunuhnya.” geramku. Selera makan pun langsung hilang.


“Kakang jangan gegabah. Ilmu Tongkat Pacek Lintang saja belum cukup untuk bisa mengalahkan Maharaja Anta dan para ksatrianya yang sakti mandraguna. Selain itu, maharaja juga akan menggunakan Nyai Renata Cahya Nirmala sebagai tameng untuk menghentikan perlawanan kakang dan melumpuhkan kakang.” Sri Kencana menjelaskan panjang lebar.


“Lalu untuk mengapa Raja Anta menginginkan tongkat ini kalau dia sendiri sudah sakti?” aku menggerutu, nafasku sedikit tersengal karena amarah.


“Mawar hitam akan membuat umurnya abadi, sedangkan tongkat Pacek Lintang yang akan membuat kekuasaannya yang abadi.” jelas Sri Kencana.




Sri Kencana menuangkan air dari dalam lodong (selongsong bambu) dan aku mencuci tangan. Lantas kuteguk air putih dari gelas bambu.




Setelahnya aku tercenung sambil menghisap serutu yang disulut oleh Sri Kencana. Ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku. Sawaka menyampaikan bahwa ia sendiri yang menentukan rintangan sekaligus sebagai ajang bagiku untuk berlatih beladiri. Sementara Sri Kencana mengatakan bahwa Raja Antalah yang menyusun serangkaian rintangan agar ia mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cara memanfaatkanku. Sepertinya ini ada kaitannya dengan si mamang. Ia membuat kisah hidupku tanpa konsep sehingga alurnya ceritanya tidak berkesinambungan. Sesial inikah nasib hidupku, sehingga harus menjadi korban kesemena-menaan lawan maupun si penulis cerita!!




“Satu hal yang kakang harus ingat, kalung kakang jangan sampai terlepas, karena itulah satu-satunya penangkal yang membuat Raja Anta tidak bisa memasuki dan membaca pikiran kakang.” ujar Sri Kencana sambil membereskan bekas makanan kami.




Aku hanya mengangguk saja. Aku tidak menyesal ditemani dan dilayani oleh Sri Kencana, rupanya gadis ini memiliki banyak pengetahuan yang sangat berguna bagi perjalananku selanjutnya.




“Sri.”


“Iya, kakang?”


“Kenapa Mahapatih Sawaka dan kamu mau memberontak? Apakah selain kalian berdua, ada banyak perwira Anta yang sepikirian dengan kalian?”




Sri Kencana menatapku sebentar, lantas membuang pandangannya, menatap langit yang sedang berawan.




“Sebetulnya Mahapatih Sawaka itu adalah pamanku. Kami adalah keturunan resmi yang seharusnya memerintah Anta, tetapi Raja Anta telah membunuh pewaris utama tahta kerajaan.” suara Sri Kencana bergetar pelan.




Cerita panjang pun ia sampaikan. Aku menyimak setiap penuturannya. Sangat ruwet dan panjang tapi aku paham. Percuma kujelaskan ulang, pemirsa suwirers gak akan mudeng. Satu hal yang pasti, rupanya Sri Kencana tidak pernah mengenal kedua orangtuanya, sejak kecil ia dirawat oleh Sawaka dan Mantili.




“Maafkan aku.” lirihku setelah Sri Kencana mengakhir semua kisah hidupnya. Air matanya mengalir deras.




Kugenggam tangannya. Gadis itu terkejut sebentar namun sisanya balas meremas. Hening… dan tanpa saling memberi persetujuan, kami sudah saling mendekap erat. Kuusapi rambutnya yang halus dan harum. Desir rasa ini kembali mencuat. Ada perasaan sayang yang sangat ganjil pada gadis ini; dan rasanya aku tidak ingin pelukan ini segera berakhir.




Hanya karena nama Rere yang terlintas dalam benaklah yang akhirnya aku melepas pelukan.




“Sri, aku ngantuk, kamu ubah wujudmu.” ujarku.




Sri Kencana menatapku heran, tetapi tidak membantah. Dalam satu kedipan mata sosok cantiknya berubah menjadi macan putih yang gagah dan berbulu tebal. Tanpa meminta persetujuan aku pun berbaring di atas bale-bale saung, tubuhnya kujadikan bantal.




Aku pun mengkhayal seandainya kelak aku punya peliharaan harimau di rumahku. Tapi itu tentu akan sangat sulit, karena jenis binatang ini dilindungi pemerintah.




Kupeluk leher Sri Kencana sambil menguwel-uwel bulu tebalnya. Makhluk dalam pelukanku hanya menggeram-geram, lidahnya terjulur, liurnya menetes.




Kuusapi juga kepalanya sehingga matanya merem-melek. Ia menjilati wajahku. Sri Kencana mengubah selonjornya, sehingga kepalaku bukan lagi menumpang pada punggungnya, melainkan pada perut sampingnya.




Mataku mulai terpejam seiring rasa kantuk yang menyerang. Usapan-usapanku mulai lemah, tanganku melorot turun ke bawah perut. Kutemukan pentil-pentil kecilnya. Lucu dan imut. Kupencet-pencet tanpa pikiran macam-macam.






Sri Kencana said:




Oh kakang.. jangan mengusapi bagian ituku. Aduh aah.. kakang.. geliii… mmmh… kakang jangan.. oh tapi.. enak.. aaaah..




Pentil susuku terus ia pijat-pijat, bahkan sekali-kali meremas. Aku menjadi gelisah, birahiku melonjak seketika.




Ssssh… gggrrrrh.. aaaah… sssshttt… mmmh…




Yang dipelintir adalah putingku, tapi yang basah adalah vaginaku. Tubuhku merinding dan vaginaku gatal.




Sshhh kakang.. jangan hentikan… jangan tidur dulu… mmmh…




Kedua kakiku menjulur ke belakang tegang, ada desakan hangat dari dalam kemaluanku.




Crrriiit… criiiit…. aaaaaahhhh… bulu-bulu lebat sekitar vaginaku banjir, dan aku merasa lemas. Tapi aku ingin lebih… ah kakang…




“Sri kamu kecing yah? Bau pesing!”


“Bukan kakang.. aaah… ssssh… kakang lupa yah kalau aku perempuan. Aku pengen kakang.”








https://t.me/cerita_dewasaa








Aku mengakhiri semediku. Waktunya sudah tiba, purnama sedang berada pada puncaknya. Aku merenggangkan tubuh dan berdiri. Kini belantara hutan Lembah Nyai Ngecrit sudah berubah menjadi sebuah kota kerajaan yang sangat memesona dengan bangunan-bangunan antiknya.




Sri Kencana tidak bersamaku. Dua hari kami berlatih beladiri, dan di hari ketiga kuakhiri dengan bersemedi. Sekarang.. akulah ini.




Kukencangkan ikat pinggang, lantas melangkah menuju sebuah gerbang yang penuh lalu lalang orang; nampak juga beberapa pengawal yang berjaga. Aku tidak seperti sedang berada di dunia astral, melainkan layaknya dunia manusia pada zaman kerajaan.




Kuputuskan untuk mampir ke sebuah kedai tak jauh dari gerbang kota. Sri Kencana sudah membekali apa yang kubutuhkan.




Kedai nampak ramai oleh orang-orang yang makan sambil minum tuak, kebanyakan kaum lelaki. Ada dua tempat terpisah. Di posisi bagian atas yang sedikit lebih tinggi sepertinya disediakan khusus bagi kaum terpandang dan berkasta tinggi, sedangkan bagian bawah yang lebih luas untuk kaum sudra.




Aku memilih tempat duduk di bagian bawah. Kupesan segelas tuak dan beberapa makanan yang nampak menarik. Banyak mata yang melirik dan penuh selidik, tetapi aku bersikap biasa seolah bagian dari mereka.




Di hadapanku ada seorang kakek tua yang sedang minum tuak. Posisinya agak di ujung bangku sehingga kami tidak berhadapan langsung, tapi masih berada di meja yang sama.




“Permisi, Kek.” aku mengangguk sopan.




Kakek itu mengamatiku sebentar, lantas kembali menenggak gelas batoknya tanpa menyahut. Aku tidak terganggu oleh sikap tak-acuhnya. Kusulut sebatang serutu sambil menunggu tuak pesananku.




“Anak muda, boleh kakek minta serutumu.” ujar si kakek.




Yeah.. tembakau memang pemersatu makhluk segala bangsa. Dengan sukarela kusodorkan kotak serutu dan si kakek mencatutnya satu batang. Ia menyulutnya dengan hanya menjentikan ibu jari dan telunjut, api pun keluar tanpa membakar kulit. Aku tidak heran, ini adalah dunia siluman.




“Hehehe.. siapa kau anak muda? Dari mana asal serutu ini?” ia nampak terheran, dan tatapannya mulai ramah.


“Kakek kenal rasa serutu ini?” aku malah balik bertanya dengan heran.


“Hmmm.. ini dari negeri sebelah.” gumamnya.


“Tepatnya dari Anta, kek.” jelasku.




Si kakek pun manggut-manggut sambil menghisap nikmat, kedua pipinya yang kerimput terlihat kempot.




“Siapa, kau?” kali ini suaranya terdengar dalam.


“Nama saya Reinan Wallysta Purnama, kek. Maaf, kalau kakek?”




Ia pun memperkenalkan diri. Namanya adalah Ki Sapta Gaya. Mendengarnya, aku langsung merunduk hormat, kedua tanganku terlipat untuk memberi salam.




“Maafkan saya, Pendekar Sapta Gaya. Saya tidak menyangka bahwa saya akan bertemu dengan pendekar di tempat ini.”


“Siapa kau sebenarnya? Dari mana kenal saya?”




Secara singkat kusampaikan identitasku, dan juga pertualangaku ketika datang ke Babakan Dasa Agung dan belajar ilmu Pacek Lintang.




Kali ini Kakek Sapta Gaya yang terkejut. Ia pun menyuruhku supaya menegakan kembali dudukku. “Jangan terlihat mencurigakan,” tuturnya.




“Jadi apa tujuanmu datang ke sini?”




Karena aku yakin bahwa lawan bicaraku bukanlah musuh, maka kuceritakan tujuan kedatanganku. Tanpa tendeng aling-aling, tiada yang ditutupi.




“Kau mencari mati, anak muda. Tongkat Pacek Lintang saja tidak cukup untuk bisa mengalahkan para kstria negeri ini, apalagi melawan jurus tarian hitam dari Mahapatih Mayaraga Asap Garpit.” Kakek Sapta Gaya mendengus resah.




Aku ikutan khawatir mendengarnya. Kutenggak tuakku dengan pikiran berkecamuk. Kubuang pandanganku keluar kedai.




“Apa yang harus kulakukan, kek?” ujarku bingung.


“Tekad, anak muda. Hanya tekad yang kuat yang bisa memberimu kekuatan tambahan.” jawab Kakek Sapta Gaya.




Kakek Sapta Gaya pun menjelaskan bahwa jurus tarian hitam adalah ilmu andalan Mahapatih Asap Garpit, makhluk terkuat di negeri ini sekaligus orang kepercayaan nomor satu dari Ratu Latte Kenyot. Ia juga menuturkan bagaimana cara kerja jurus mematikan itu.




“Dari delapan arah mata angin, dari mana datangnya cinta?” penuturannya diakhiri sebuah tanya.




Aku mencoba mencerna untuk menemukan jawaban, namun sebelum aku bisa menjawab, Kakek Sapta Gaya berdiri.




“Terima kasih atas serutunya, anak muda. Kau juga bayar minumku.” tuturnya.




Aku berniat mencegah kepergiannya karena masih banyak yang ingin kutanyakan. Tetapi lidahku tiba-tiba kelu, dan pantatku seperti menempel pada bangku.




Aku hanya bisa menatap punggungnya sampai ia benar-benar menghilang. Barulah keadaanku kembali normal, lantas aku mendesah resah. Kutenggak isi batok kelapa hingga habis. Kulambaikan tangan kepada pelayan supaya mengisi kembali batokku dengan tuak.




Di tengah lamunan kosong sambil minum, tiba-tiba seorang pemuda berpakaian mewah keluar dari tempat makan di bagian atas. Tujuh perwira nampak mengawalnya. Suasana kedai yang riuh pun berubah hening, kaum sudra menghentikan makan dan minum mereka sambil menunduk hormat, meski tidak turun dari tempat duduk.




Pemandangan itu sangat menarik bagiku, sampai lupa untuk membungkukan badan. Aku terlalu terpesona atas apa yang kulihat. Apa yang selama ini kulihat di film-film kini terlihat begitu nyata dan aku sedang berada di tengahnya.




“Heiii kisanak!” bentak seorang pengawal ketika melihatku.




Aku terkejut mendengar hardikannya. Dudukku semakin tegak dan waspada. Pria ningrat yang mendapat pengawalan ketat pun ikut melirik ke arahku, sedangkan semua mata kaum sudra juga melirikku tanpa menegakan badan. Mereka nampak takut.




Sruuuut… sebuah batang tombak menimpa pundakku dan menekan supaya merunduk. Aku yang terkejut bukannya menunduk hormat tetapi malah menepis tombak itu. Si pengawal pun nampak marah, dua lainnya ikut mendekat.




“Siapa kau? Berani-beraninya kurang ajar pada Raden Katok Emas!” hardik si pemukulku.


“Maafkan aku. Aku hanyalah pengembara di sini.” aku menjawab.




Terlambat! Sikapku sudah dianggap lancang. Ujung tajam tombak pun berkelebat menyasar leherku.




Taaaap. Kutangkap dan kuhentak keras. Pria bertubuh kekar itu pun terhuyung.




“Kurang ajar!!” ia murka.




Ia menjejakan ujung tombak ke tanah sebagai tumpuan. Tubuhnya terayun sambil melancarkan tendangan ke arah dada. Aku berkelit dengan sedikit menggerakan tubuh. Kutangkap pergelangan kakinya dan kuputar. Penyerangku yang tidak siap langsung oleng, tombaknya mencuat ke atas.




Sreeet.. bruuuk!! Ia ambruk hanya dalam sekali dorongan. Teriakan marah terdengar. Sementara dua orang lainnya ikut memburu. Dua moncong tombak siap mencabik leher dan perutku.




Mau tidak mau aku pun meloncat untuk menghindari. Meja pun terjungkal dan isinya berserakan karena menjadi korban salah sasaran. Karena tidak mau membuat kerusakan yang lebih parah, aku langsung meloncat keluar kedai. Kini aku diburu oleh tujuh pengawal sekaligus. Sementara orang-orang di dalam kedai mulai berhamburan untuk menonton.




“Hentikan!! Aku tidak punya maksud jahat, maafkan aku kalau dianggap lancang.” teriakku sambil memasang kuda-kuda.




Aku sudah dikepung tujuh orang dengan ujung tombak terhunus. Sementara pria yang mereka kawal mengamati dari pintu kedai.




Teriakan dan permohonan maafku hanya dijawab seringai. Mata-mata tombak melesat hendak mencabik. Mendapat serangan dari tujuh arah aku langsung meloncat ke udara, sruuuttt cleb.. cleeb.. cleeeeb..!! Tombak-tombak yang dihunus pun menancap tanah.




Dengan gesit kucabut Pacek Lintang. Kubabat gagang-gangang tombak hingga patah tanpa tersentuh, para pemiliknya terjengkang.




Traaap.. aku pun kembali menjejak tanah.




“Kurang ajar!!” teriak salah satu penyerang sambil meloncat berdiri.


“Hentikan!!” pria yang berdiri di ambang pintu kedai mengangkat tangan sambil mendekat.




Para pengawalnya pun urung melakukan serang susulan, tapi mereka tetap waspada dengan tetap memasang kuda-kuda masing-masing.




Kukibaskan Pacek Lintang hingga pendek kembali dan kuselipkan pada ikat pinggang kain putih yang kukenakan. Kuusap keringat.




“Siapa kau ki sanak?” tanya orang itu penuh wibawa.


“Maafkan aku. Namaku Reinan Wallysta Purnama.” jawabku dengan tetap waspada pada pergerakan para pengawalnya.


“Apa tujuanmu datang ke mari?”


“Aku hendak bertemu dengan Ratu Latte Kenyot.”




Pria itu nampak terkejut. Ia pun mengajukan beberapa pertanyaan penuh selidik, tetapi kujawab seperlunya tanpa menyampaikan tujuanku yang sesungguhnya.




“Namaku Raden Katok Emas. Kau ikutlah denganku. Pengawal, kita pulang!”




Aku menyambut uluran tangannya. Kurasakan ada energi yang berbeda. Meskipun sikapnya ramah, tetapi seperti ada energi gelap yang tersalur.




Salah seorang pengawalnya membawa dua ekor kuda. Dengan sigap Raden Katok Emas meloncat dan naik ke atas punggung kuda. Yang seekor lagi rupanya untukku.




Kulempar kantong kanjut kundang berisi uang logam kepada pemilik kedai untuk membayar makananku sekaligu mengganti kerusakan; lantas sigap meloncat ke atas kuda.




Hiaaaap!! Raden Katok Emas menarik tali kekang. Aku melakukan hal yang sama.




“Huauauauaauauaua hiiiuaeo..” kudaku menjerit.




Bedanya, kuda Katok Emas berlari, sedangkan kudaku mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Aku pun sukses terjungkal. Bluuuuug!!




Raden Katok Emas kembali sambil menyeringai, para pengawalnya tertawa meledek. Kukibas debu pada pakaianku dengan malu. Seumur-umur baru kali ini aku naik kuda, dan rupanya aku menarik tali kekang terlalu keras.




Dengan sedikit arahan aku pun kembali menaiki punggung kuda. Kali ini aku berhasil, aku dan Raden Katok Emas menaiki kuda bersisian, tanpa melarikan kencang. Ketujuh pengawalnya mengikuti dari belakang.




Aku dibawa memasuki gerbang kota, dan menyusuri benteng sedikit ke utara. Tujuanku rupanya sebuah istana.




“Ikutlah denganku.” perintah Raden Katok Emas.




Kami memasuki sebuah paseban. Nampak seorang pria gagah sedang duduk di atas singgasana didampingi seorang wanita yang sangat cantik. Dada atas dan bahu wanita itu terbuka karena pakaian kebesarannya mirip kemben. Kedua payudaranya membusung.




“Maafkan ananda, ayahanda Dengkul Munding. Ananda bertemu dengan orang asing yang hendak berjumpa dengan Yang Mulia Ratu Latte Kenyot.” Raden Katok Emas bersujud.




Aku mengikuti gerak-geriknya karena tidak mau dianggap kurang ajar untuk yang kedua kalianya.




“Hmm.. siapa kamu ki sanak?” suaranya penuh wibawa.


“Namauku Reinan Wallysta Purnama.” jawabku tanpa berani mendongakan kepala.


“Kalian duduklah.”




Aku pun diinterogasi oleh Dengkul Munding. Rupanya ia adalah ayahanda dari Raden Katok Emas yang menjabat sebagai salah satu panglima tempur di kerajaan ini.




Aku menjawab sambil sekal-kali menatap Dengkul Munding, tetapi sebetulnya sudut mataku tertuju pada istrinya yang tak pernah berbicara. Tapi senyumnya sangat menggetarkan sukma.




“Hahahaa…” Panglima Dengkul Munding terbahak menyepelekan ketika mendengar tujuan kedatanganku.


“Tidak pernah seorang pun yang bisa mengambil bibit Mawar Hitam dari negeri kami, ki sanak. Ratu Latte Kenyot tidak akan pernah mengijinkannya, dan semua yang mencoba tidak akan pernah bisa pulang dengan selamat. Kamu sudah datang untuk menyerahkan nyawa. Hahaha….”




Aku terkejut mendengarnya. Bulu kudukku langsung merinding. Tapi aku berusaha tidak gentar, dan kubangun keberanian dengan menyebut nama Rere beberapa kali. Aku harus bisa menyelesaikan misiku demi keselamatan gadis itu.




“Maafkan kalau aku sudah langcang. Tapi aku harus bertemu dengan Ratu Latte Kenyot dan membawa pulang bibit mawar hitam dari negeri kalian.” aku berusaha bernegosiasi.




Kali ini yang tertawa bukan hanya Dengkul Munding, tetapi juga Katok Emas dan para pengawal yang ada.




“Kau harus bisa mengalahkan aku dan anakku terlebih dahulu jika ingin bertemu dengan Yang Mulia Ratu Latte Kenyot. Hahahaa..” Dengkul Munding tergelak.


“Anakku Raden Katok Emas, bawa dia ke Arena Tarian Hitam.”


“Ananda siap melaksanakan titah.”


“Hati-hati ananda.” ujar sang ibu.




Baru kali ini aku mendengar suaranya, ternyata sangat merdu. Katok Emas pun menjawab dengan menganggukan kepala.




Aku pun diajak meninggalkan paseban, di bawah pengawalan ketat. .




Arena Tarian Hitam rupanya berupa arena latihan tempur yang sangat lapang. Posisinya berupa dataran rendah yang dikelilingi lereng batu berundak. Di sisi barat terdapat deretan tempat duduk yang terbuat dari batu berukir; yang paling tengah bermahkotakan bibir terbuka yang posisinya terbalik; ah bentuknya seperti itu malah berupa vagina yang dibelék jari.




Aku ditempatkan di sebuah cekungan di bawah deretan batu berundak, lebih mirip gua panjang yang disekat jeruji-jeruji besi. Semakin banyak pengawal yang menjagaku.




“Aahh.. aaah… oooh….” terdengar lengkingan bunyi sangkakala yang ditiup berulang-ulang.




Panggilan pertunjukan tempur dikumandangkan. Tak lama kemudian terdengar tabuh-tabuhan genderang perang. Rakyat pun berdatangan dengan suara riuh.




Derap langkah sepatu kuda juga bergemuruh. Satu per satu kursi di tempat kehormatan terisi, kecuali dua kursi yang sepertinya tahta ratu dan mahapatihnya. Para ksatria utama Negeri Lembah Nyai Ngecrit sudah lengkap. Dengkul Munding bersama istri dan Katok Emas juga ada di sana. Mereka semua duduk dengan angkuh.




“Ssssh… aah.. aaaah…” yel-yel penyemangat berkumandang dari berbagai sudut, berirama dengan tabuhan beduk dan terompet sangkakala.




Sangat menggetarkan.




Dua orang pengawal memintaku berdiri dan mengantarku ke tengah arena. Kulangkahkan kaki keluar gua. Nampak ada ribuan orang yang sudah berkumpul memenuhi arena. Mereka duduk berdasarkan kasta, dan itu terlihat dari cara berpakaian mereka.




Aku berdiri di tengah arena disambut teriakan riuh yang penuh hinaan. Dengkul Munding berdiri dan mengangkat tangan, suasana pun berubah hening.




“Wahai bangsa negeri Lembah Nyai Ngecrit, hari ini kita kedatangan seorang pecundang yang mau menyerahkan nyawa demi keabadian negeri kita, dan demi kemuliaan Yang Mulia Ratu Latte Kenyot.” teriaknya lantang dan disambut tepuk tangan gemuruh.


“Panjang umur, Ratu Latte Kenyot!!” lantangnya lagi.


“Panjang umur, ratu. Panjang umur, ratu. Panjang umur, ratu!!!” gemuruh rakyat dan disusul terompet sangkakala dan genderang perang.




Aku langsung merinding. Rasanya aku sedang berada di medan kematian.




Tiba-tiba Raden Katok Emas meloncat, tubuhnya melayang ringan, dan menapak tepat di hadapanku. Aura membunuhnya sangatlah kuat.




Gemuruh penyemangat sekaligus peruntuh nyali langsung melingkupi sekitar. Aku mendenguskan nafas beberapa kali. Kubangun tekad dan keberanian.




“Mati kau!!” ledek Katok Emas sambil memasang kuda-kuda.




Aku mundur dua langkah, dan sigap mengokohkan kaki.




Katok Emas melakukan beberapa gerakan jurus beladiri. Gerakannya luwes seperti tarian dan tubuhnya nampak ringan. Aura gerakannya saja langsung terasa panas dan menyesakan nafas, apalagi kalau aku terkena pukulannya.




Kuputar tangan kanan di depan dada sedangkan tangan kiri menyilang di depan perut. Kususun benteng pertahanan kasat mata.




Sorot mataku tajam penuh waspada. Aku berusaha fokus seolah hanya ada aku dan Katok Emas tanpa terpengaruh keriuhan gemuruh penonton.




Tiba-tiba tubuh Katok Emas berputar bagai gasing, tangannya berkelebat melakukan serangan, disertai gelombang panas. Aku berkelit ke samping sambil mengeluarkan tenaga dalam, kuimbangi gelombang panas yang memburu dengan energi dingin yang membentengi tubuhku.




Wuuut.. wuuut… tangan Katok Emas yang bagai bayangan menyasar angin.


Sreeeet.. aku memindahkan kaki kiri sambil merunduk; tinjuku menggempur bagian perut.


Taaap.. traaash… kali ini hantamanku yang memukul angin.




Akhirnya saling gempur pun kami lakukan bergantian. Aku menyerang ia menghindar, ia menerjang aku menahan. Tubuh kami saling berkelebat ringan namun sama-sama bertenaga, dan mengeluarkan energi yang mematikan.




Tubuhku sudah bermandi peluh.




Tiba-tiba tujuh bayangan telapak tangan saling menyambar. Tujuannya adalah dada dan wajahku.




Wuuuut… wuuuush… kuputar tangan untuk menangkis. Trap.. trap.. traaap… wuuuuzzzz.. kutangkis enam bayangan. Namun…




Deesssh.. cleeeeeb… satu bayangan menghantam telak dadaku.




Tubuhku langsung terpental ke udara. Sigap aku melakukan gerakan salto sambil mengatur nafas yang tiba-tiba sesak. Taaap.. aku menapak namun kali ini kuda-kudaku tidak kokoh.




Flaaaash… serrangkaian bayangan telapak tangan kembali menghujan. Tidak mau terkena pukulan untuk kedua kalinya, kukeluarkan jurus hampang raga warisan Ki Orgi. Kurentangkan tangan seolah membiarkan diri terkena gempuran, namun bersamaan dengan itu tubuhku menjadi ringan bagai kapas. Tangkisan demi tangkisan kulakukan, sementara gempuran yang tidak bisa kubendung tetap menghantam tubuhku namun sama sekali tidak menyakitkan. Tubuhku bergerak ringan bagai kapas di udara, dan serangan lawan tak ada ubahnya dengan tiupan sepoi angin.




Katok Emas nampak terperangah. Serangannya semakin membabi buta. Tapi justru itulah yang kuinginkan. Semakin lawan bernafsu, maka tenaganya akan semakin terkuras. Aku hanya berkelit ringan sambil sesekali menangkis.




Setiap serangan yang terbuang telah mengurangi kekuatan Katok Emas secara perlahan. Tanpa ia sadari ilmu hampang raga yang kuperagakan telah menghisap kekuatannya dan bersinergi menjadi kekuatanku.




Aku yang sekilas seperti kewalahan sebetulnya semakin kuat karena tambahan tenaga, sedangkan Katok Emas semakin lemah.




Melihatku hanya menghindar tanpa melakukan serangan balik, Katok Emas semakin bernafsu. Serangan demi serangan ia lancarkan tanpa henti. Pada satu titik, kuhirup nafas dalam-dalam sambil memutar kedua tangan di depan dada. Kali ini kedua telapak kakiku kokoh menjejak tanah.




Ciaaaaat… Katok Emas mengeluarkan jurus pamungkasnya. Bayangan telapak tangannya berubah menjadi hitam dan penuh aura kematian.




Sreeeet.. kudorong kedua tangan untuk menggerakan bola energi dan menghisap semua bayangan yang datang. Bersamaan dengan itu, aku menjatuhkan diri dengan kedua kaki di depan, menyambut tubuh Katol Emas dari bawah.




Braaaaak byaaaarrrr… energi mahadasyat berbenturan di udara. Taaaap… tinjuku menghantam tubuh Katok Emas yang sedang melayang tepat di atasku secara bertubi-tubi. Wut wut wuuut… dassshhhh…




Tak satu pun seranganku yang luput. Seluruh energi lawanku sedang memancar keluar dan tidak ada pertahanan yang tersisa, maka gempuranku menjadi tidak sia-sia.




Katok Emas berteriak nyaring. Tubuhnya melayang, lantas jatuh dan terseret di atas tanah.




Huuup.. aku meloncat dan berdiri dengan gagah. Kukibas tanganku, dan kuusap lelehan keringat.




Suara gemuruh yang sejak tadi tanpa henti kini berubah hening. Tidak ada lagi teriak ataupun sorak. Sementara Katok Emas hanya menggeliat sebentar, lantas tak sadarkan diri.




“Anakku…!!!” jerit sang ibu.




Tapi wanita itu kembali duduk ketika Dengkul Munding memegang pundaknya. Mungkin pria itu tahu bahwa anaknya hanyalah pingsan.




Beberapa orang prajurit langsung meloncat untuk menyelamatkan Katok Emas, dan menggotongnya keluar arena. Aku menghadap ke arah panggung kehormatan, nampak Dengkul Munding sedang melepas jubah kebesarannya.




Inilah pertarungan yang sesungguhnya. Aku tidak boleh lengah sedikit pun.




Dengkul Munding berteriak lantang, suaranya memekakan telinga, sementara tubuhnya meloncat dan menapak tepat di hadapanku. Tanah pijakan pun langsung bergetar.




“Ternyata kau punya kemampuan bocah cunguk!! Hahahaha…” suaranya lantang dan tawanya penuh penghinaan.


“Ampuni aku, Panglima Dengkul Munding. Aku tidak ingin bertarung, aku datang ke sini hanya mau bertemu dengan Ratu Latte Kenyot dan meminta bibit mawar hitam.” aku berusaha bernegosiasi.


“Hahaha… langkahi dulu mayatku baru kau bisa berjumpa dengan yang mulia Kanjeng Ratu.” Dengkul Munding tidak menggubris ucapanku.




Tabuhan genderang perang kembali bertalu, dan soraik sorai warga kembali membahana. Sia-sia aku memohon, kini satu-satunya cara hanyalah bertarung.




Traaaang… Dengkul Munding menghunus pedangnya. Cahaya emas pun langsung berkilat. Aku mundur satu langkah sambil mengeluarkan Pacek Lintang.




Wuuuttt cleeeeb. Kulemparkan tongkat ajaib itu di tanah, tepat di tengah-tengah antara aku dan Dengkul Munding.




Dengkul Munding tertawa meremehkan, pedangnya terulur untuk menyingkirkan tongkat. Traaaang… benturan keras terdengar. Pedang Dengkul Munding nyaris terpental padahal hanya disentuhkan.




Lawanku terperangah. Wuuuttt.. kali ini ia menyabetkan pedangnya disertai dengan tenaga dalam. Traaaang…. benturan kembali terjadi. Munding Depa sampai meloncat karena terbawa oleh tenaganya sendiri, sedangkan Pacek Lintang bergerak pun tidak.




Sadar akan kekuatan senjata yang kumiliki, Dengkul Munding berubah serius. Ia berhenti meremehkanku.




Ciaaaat… ia mengayunkan pedangnya; kali ini menyerangku. Aku yang sudah waspada langsung berkelit sambil mengeluarkan belati. Wuuut.. aku merunduk sambil menyabetkan belati ke arah perutnya. Dengkul Munding tidak terpengaruh, ia berhasil menghindar dengan mudah. Serangan kami sama-sama memakan angin.




Tubuhku langsung bermandikan keringat kembali. Energi panas dari sabetan pedangnya seakan membakarku.




Kuhembuskan nafas sambil ancang-ancang memasang kuda-kuda. Kulihat Dengkul Munding semakin beringas. Matanya merah penuh amarah.




Ia menjulurkan pedangnya ke depan, dan dalam sekali hentakan tubuhnya berputar bagai mata bor. Mata pedangnya menguhunuskan kematian. Aku berjingkat ke samping sambil mengayunkan belati.




Taaap craaaaash… craaaat…




Aku lengah. Rupanya Dengkul Munding sengaja membuka bagian tubuhnya agar kuserang, dan ketika aku melakukan apa yang ia mau, dengan gesit ia salto di udara sambil mengayunkan pedangnya.




Aku mengaduh sambil berjejer beberapa langkah ke belakang. Lengan atasku berdarah dengan luka menganga. Darah segar mengalir. Sementara sorak kegirangan terdengar memekakan telinga.




Dengan sedikit limbung aku melompat dan mencabut Pacek Lintang. Wuuut trang trang.. senjata kami beradu tiga kali. Kuda-kudaku terseret mundur, sedangkan Dengkul Munding jempalitan di udara.




Aaaarrrh.. aku meringis. Luka di lengan membuat tenagaku tidak tersalur seutuhnya. Segera kubuka bajuku dan kuikatkan pada luka. Tapi…




Wut.. wuuut… wuuuutzzz.. serangan bertubi-tubi kembali menghujani. Aku hanya bisa meloncat-loncat untuk menghindar.




Flaaaazzzz… kulempar belati ke arah leher Dengkul Munding. Trang.. lawanku berhenti melakukan serangan dan menangkis belati dengan pedangnya. Waktu yang sekejap ini kumanfaatkan untuk segera mengikat lukaku.




Srrrrruuut… ujung belati menyeruak balik arah. Kuputar tongkat dan menangkisnya. Kusalurkan tenaga dalam sehingga dapat menggendalikan pergerakan belati hanya dengan ayunan tongkat. Kini aku bisa menyerang dengan dua senjata sekaligus.




Tetapi Dengkul Munding bisa mengimbangi. Dengan lincah ia meloncat ke sana ke mari sambil sekali-kali melakukan serangan balik.




Trang.. ia menangkis belati, wuuuttt tendangan maut menyerbuku. Aku pun melompat sambil bertumpu pada Pacek Lintang. Desssh.. tendangan Dengkul Munding menghantam batang tongkat. Lawanku pun terpental dengan kaki kanan nampak kesakitan.




Kuayunkan tongkat untuk mengatur arah serangan belati yang sedang melayang di udara. Bersamaan dengan itu aku melakukan inisiatif serangan.




Ciaaaaat… kubabat pinggangnya. Trang… Dengkul Munding menangkis Pacek Lintang. Dan… traaasssh… belati yang datang dari atas menancap pada punggungnya tanpa bisa ia hindari.




“Aaaaaarhhhh…” teriaknya keras.




Dengkul Munding terhuyung sambil berusaha mencabut belati. Tanpa memberi kesempatan aku langsung menjatuhkan diri, berputar di atas tanah sambil menyapukan Pacek Lintang pada kakinya.




Huuufffff… Dengkul Munding berhasil meloncat menghindari sapuan Pacek Lintang. Tetapi ia tidak bisa menghindari gelombang energinya. Bruuuuk.. ia pun terjengkang tanpa sempat mencabut belati.




Dengkul Munding melolong keras karena posisinya yang jatuh ke belakang. Belatiku semakin menancap.




Aku langsung melayang di udara sambil menorehkan ujung Pacek Lintang di atas tanah. Kubuat lingkaran mengelilingi Dengkul Munding yang sedang menggeliat dan berusaha berdiri kembali.




Aku menapak sambil menancapkan Pacek Lintang. Kutusuk dalam-dalam dan kuputar. Dengkul Munding melolong keras.. meraung-raung kesakitan. Belatiku semakin tertancap dan mencabik punggungnya seiring dengan gerakan Pacek Lintang pada tanah.




Ruang gerak lawanku sudah terbatas, ia tidak bisa keluar dari lingkaran yang kudapat. Sementara seluruh kekuatannya terfokus pada belati agar bisa mencabutnya. Tetapi semakin kuat ia berusaha mencabut, semakin dalam tongkatku kutancapkan.




Cleeeeppp… desssh… srreeeeet… craaaat… crooottt… aaah.. aaah… oooh… no… oh yes… sssh… aaaah….




Belatiku semakin tertancap bersama dengan gagangnya hingga tenggelam seutuhnya ke dalam tubuh. Lantas melesat keluar dari arah dada. Darah pun memancur.




Kutangkap gagang belati yang melayang ke arahku, kubersihkan lelehan darah dengan ujung baju. Lantas kusarungkan dan kuselipkan kembali di balik pakaian. Kupejamkan mata sejenak, kukumpulkan energi untuk menghentikan aliran darah pada lukaku. Kuusap.. dan luka pun hilang dalam sekejap. Tak lagi terasa sakit, namun tenagaku terasa terkuras karena terlalu banyak darah yang telah keluar.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar