Bab 71
Tubuh Nyai Kumala melayang sambil menyabetkan kerisnya. Senjata itu memang pendek, tetapi ada cahaya tanpa kasat mata yang siap menyayat tubuhku. Kukokohkan kuda-kuda, dan kuputar Pacek Lintang di depan dada.
Orang awam akan melihatnya hanya tongkat biasa yang berputar bagai baling-baling, tetapi sesungguhnya ada cahaya keemasan yang melindungi bagian depan tubuhku.
Cahaya keris pun berkelebat menyambar leher, tetapi terpental, dan biasnya menyambar pohon pisang. Tubuhku terlindung tameng berupa energi yang sangat kuat.
Praaaas… bruuuk… pohon pisang pun roboh.
Kumala menjatuhkan diri sambil menyapukan kaki pada kuda-kudaku. Ia cerdas, sasarannya kali ini adalah bagian tubuhku yang tidak terlindung sinar putaran tongkat.
Aku meloncat sambil menancapkan Pacek Lintang. Tubuhku terbalik dengan kepala di bawah, tanganku bertumpu pada ujung tongkat. Lintang berputar bagai gasing di atas tanah karena terbawa oleh sapuan kakinya sendiri yang tidak menemukan sasaran.
Sreeeet.. kucabut Pacek Lintang dan aku salto di udara. Tongkatku melayang membelah angin, sasaranku adalah perut Kumala.
Kumala menancapkan kerisnya pada tanah untuk menahan putaran. Wuuuuut… Pacek Lintang menyambar.
Buuuuk…. byaaaarrrrr….
Kumala berhasil menggulingkan diri, dan Pacek Lintang membelah tanah, debu pun berhamburan.
Sreeet.. tap tap taaap.
Kami kembali menapak, sama-sama waspada memasang kuda-kuda.
“Cukup, Mala, aku capek!” ujarku.
Gadis itu tersenyum sambil menegakan berdirinya. Diusapnya lelehan keringat pada lehernya dengan rumbaian ujung lengan bajunya. Melihatnya sudah tidak lagi memasang kuda-kudan dan sudah menghentikan serangan, aku pun menghembuskan nafas sambil mengusapi keringatku sendiri. Meski begitu, mataku tetap terpaku pada paras cantik di hadapanku.
Sudah dua puluh tujuh hari aku berada di Babakan Dasa Agung. Ki Orgi dan Kumala mengajari beladiri. Latihan berat mereka terapkan. Awalnya aku payah, berulang kali nyaris menyerah, tapi akhirnya inilah aku sekarang. Ilmuku sudah melebihi Kumala, bahkan setara dengan Ki Orgi yang menjadi guru utama.
Kini aku sudah dianggap cucu oleh Ki Orgi, dan warga kampung memperlakukanku layaknya saudara mereka. Kami guyub, saling dekat dan akrab.
Wuuut… cleeeeb… kulempar Pacek Lintang hingga menancap di depan bale-bale rumah. Aku tak khawatir, tak seorang pun yang akan bisa mengambilnya, termasuk Ki Orgi sekalipun. Kudekati Kumala yang masih mengelapi keringatnya.
Aku lengah karena pikirku latihan hari ini sudah selesai. Tiba-tiba Kumala menyeringai, ia masih belum puas jika belum berhasil melumpuhkanku.
Tangan kanannya terangkat ke atas kepala, sepintas seperti gerakan menari. Tapi justru itulah jurus andalannya. Ia meliuk cepat menyambutku. Wuuuut… kerisnya ia lempar mengangkasa.
Sruuuuuuut… kedua kakiku terdorong ke belakang meninggalkan jejak panjang pada tanah. Baru terkena anginnya saja aku nyaris terlempar, apalagi jika jari-jari itu menyentuh kulitku. Sementara dari udara terdengar suara gemuruh, pusaran awan tebal turun seiring melesatnya keris ke arahku.
Kumala menyeringai jahil sambil terus merangsek. Tak ada pilihan.. aku segera meloncat sambil setengah menjatuhkan diri. Kucabut kembali Pacek Lintang dan kudorong ke depan. Tubuh Kumala berhenti seketika, hanya beberapa sentimeter dari ujung tongkatku. Gerakannya tertahan.
Gadis itu tidak bisa menembus pertahananku. Ia salto ke belakang. Kakinya kemudian menjejak tanah. Tangan kanannya membuat sabitan dari atas ke bawah. Wuuuut… terjunnya keris pun semakin cepat. Kepalaku menjadi sasaran.
Kali ini aku tidak menghindar. Kukokohkan kuda-kuda.
Udara panas menyerangku dari atas seiring mendekatnya ujung keris yang bercahaya. Kugerakan satu kaki membuat setengah putaran. Bersamaan dengan itu kuputar Pacek Lintang di atas kepala.
Traaaaang… dua senjata saling membentur sehingga kuda-kudaku sedikit goyah karena benturan energi yang sangat kuat.
Wuuuut… keris pun melayang, menyasar dada kiri sang empunya. Kumala terperangah, dengan gesit ia melentingkan tubuh atasnya ke belakang sehingga kedua payudaranya membusung. Keris pun luput dan melesat beberapa inchi di atas tubuh Kumala.
Tap.. taaap… energi Kumala tak ada habisnya. Ia sigap menangkap gagang keris… Sreeeet… ia terseret sejauh beberapa meter.
Aku yang kesal karena sikapnya yang belum mau mengakhiri latihan langsung meloncat ke depan. Kini aku yang tidak akan memberinya kesempatan. Kali ini aku yang akan mengerjai gadis itu.
Gadis itu kembali memasang kuda-kuda, namun sebelum sepenuhnya siap, tongkat sudah menyambar. Traaaang… keris pun terlepas dari tangannya dan terlempar jauh, lantas jatuh di tanah.
“Kurang ajar kamu, Rei.” pekik Kumala.
Belum juga tenggorokannya kering, kuputar Pacek Lintang membelit rumbaian ujung lengan bajunya. Kutarik dalam sekali hentakan. Tubuh Kumala pun terhentak mendekatiku. Aku memutar tubuh ke samping, sengaja tidak menangkapnya.
Srrreeeet… breeeeet… ujung tajam Pacek Lintang berhasil merobek lengan bajunya hingga ke atas pundak. Breeeek… kurobek juga bagian sampingnya sampai putus hingga ke pinggang.
“Aaaauuu…” pekik Kumala.
Ia gamang antara menahan berat tubuhnya agar tidak jatuh atau menyelamatkan kulit perutnya dari jelajahan mataku. Terlambat mengambil keputusan. Kumala pun terjatuh tanpa sempat menutupi tubuhnya. Bajunya tersibak dari ketiak sampai pinggang. Memamerkan ikatan beha krem pada kulitnya yang mulus putih.
Kumala jatuh telentang di atas tanah, payudaranya naik turun seiring sengal nafasnya. Dengan gesit kusibak belahan bagian depan bajunya dengan ujung tongkat, pemandangan indah pun terpajang. Payudara ranumnya menampakan diri di atas perut langsing itu.
“Rei.. ampun… jangaaan. Aku nyerah…” jerit Kumala.
Aku menyeringar, tak ada ampun baginya karena sudah mencoba memperdayaku. Sreeeet… kali ini ujung Pacek Geni menuju behanya, tujuanku adalah memotong sambungan di atara kedua gunungnya.
Taaap… Kumala berhasil menangkap batang Pacek Lintang dan saling dorong pun terjadi. Kuabaikan permohonan ampunnya.
“Kakeeeeeek!!” teriak Kumala.
Aku pun meloncat mundur dua langkah. Kalau urusannya dengan Ki Orgi aku memilih mengalah. Kuputar Tongkat Pacek Lintang. Tap.. tap.. dalam sekejap ukurannya berubah pendek, hanya dua jengkal saja. Langsung kuselipkan pada celanaku. Duuk.. salah.. aku menancapkannya terlalu depan sehingga ujungnya bersentuhan dengan kepala kang pepen, langsung kugeser Pacek Lintang ke samping, ke bagian pinggang.
“Uhuk.. uhuk… kenapa, nduk?” terdengar Ki Orgi keluar dari kamarnya.
Aku meloncat sambil cengengesan melihat ke arah Kumala lalu duduk santai di atas bale-bale. Kumala sendiri merongos dengan pipi merah padam, tangannya sibuk menutupi perabot atasnya. Ia langsung berlari melipir menuju pintu belakang rumah, sepertinya mau berganti pakaian.
“Kenapa Nyai Kumala, Rei?” sosok guruku muncul.
“Tadi ada tikus sawah, kek.” jawabku.
“Sssssh.. kirain kakek ada apa. Jawara kok takut tikus.” gerutu Ki Orgi.
Aku terbahak mendengarnya, dan kuyakin Kumala mendengar percakapan kami. Ia pasti akan merasa sangat jengkel.
https://t.me/cerita_dewasaa
Tiada kebersamaan tanpa akhir. Tepat di hari ketiga puluh aku harus mengakhiri keberadaanku di Babakan Dasa Agung. Ki Orgi sudah menurunkan semua ilmu kanuragannya, dan sudah saatnya bagiku untuk meneruskan perjalanan.
Seluruh warga menghantar kepergianku di halaman rumah Ki Orgi, tak sedikit yang berlinang air mata. Tapi aku tahu, di balik sedih mereka, ada banyak doa yang mengiringi perjalananku. Setelah mendengarkan nasihat terakhir guruku, aku pun sembah sungkem, dilanjutkan menyalami para warga. Pesan mereka sama: sempurnakan misiku dan datanglah berkunjung setelah itu.
Kumala mengantarku. Kami melangkah ringan menyusuri jalan setapak menaiki lereng gunung. Tanpa banyak kata, tidak ada percakapan. Kutahu Kumala sedih melepasku karena kami sangatlah dekat selama ini. Satu jam kemudian kami tiba di puncak gunung Eyang Jembi. Perjalanan kali ini terasa singkat karena selain Kumala tahu jalan terdekat, juga karena kaki-kaki kami sudah terlatih untuk bergerak cepat.
Aku dan Kumala menaburkan bunga di atas kuburan Nyi Lintang Kinasih, lantas sama-sama berdoa dalam hati.
Setelah cukup, aku mendongak menatap Kumala di hadapanku. Gadis itu sudah lebih dulu menatapku. Matanya berkaca-kaca.
“Jangan sedih. Doakan aku agar berhasil menyempurnakan misiku sehingga kita bisa bertemu lagi.” ujarku sambil mengulurkan tangan.
Kumala menyambut dan kami saling menggenggam. Kami sama-sama berdiri, lalu kutuntun tangannya menuju pohon jambu. Kupetik dan kuberikan kepada Kumala. Kumala tersipu menerimanya. Kupetik untuk diriku sendiri, dan kami makan berdua.
Aku sedikit bernostalgia dengan bercerita pada Kumala tentang awal kedatanganku di puncak gunung ini. Mulai dari tiduran di atas pusara Nyi Lintang Kinasih dan membersihkan makam itu. Juga bagaimana aku menemukan pohon jambu ini yang buahnya bisa menjadi penyambung hidupku kala itu. Lagi.. aku tidak akan pernah bercerita tentang aibku. Tak ada yang boleh tahu tentang aku yang lari terbirit-birit karena luwak.
Bernostalgia seperti ini membuatku teringat pada ucapan terakhir Sri Kencana sebelum ia pergi: Kakang harus memiliki hati yang bersih. Mungkin ketulusanku membersihkan makam tanpa ada pamrih apapun, itulah yang membuatku berhasil mencabut tongkat Pacek Lintang; kepolosanku untuk tidak menggebu mendapatkannya malah menjadi berkah karena tongkat itu yang malah seperti memberikan dirinya sendiri.
“Mala, sekarang sudah saatnya kita berpisah. Pulanglah duluan.” ujarku pada akhirnya.
“Kang Rei… hiks…” Kumala malah menangis.
Ia menjatuhkan tubuhnya dan memelukku erat. Untuk pertama kalinya kami seperti ini. Meskipun kami selama ini akrab dan dekat, Kumala selalu menjaga jarak, layaknya anak gadis kampung pada umumnya. Tapi kali ini berbeda…
Aku balas memeluk sambil menepuki punggungnya. Kucoba menepis pikiran ngeres ketika merasakan kedua payudaranya yang empuk mengganjal.
“Jangan sedih, pulanglah Mala.” ujarku.
“Aku ingin ikut denganmu, kang.” Kumala merajuk di sela isak tangisnya.
“Tidak, Mala, kamu tidak boleh ikut. Kamu harus menemani kakekmu dan menjaga babakan Dasa Agung. Hanya kamu satu-satunya penerus kakek.” aku membujuk.
“Tapi kang.. hiiiks… aku aku…” Kumala tergagap dan semakin mempererat pelukannya.
Aku menghela nafas. Pelukan ini bukan lagi tanda perpisahan dua orang bersahabat atau bersaudara. Ini adalah tanda ketakutan seorang gadis yang akan ditinggal kekasih. Jelas ini salah.
Jujur Kumala adalah gadis yang cantik dan menarik, tetapi hatiku belum bisa lepas dari nama itu. Meski sudah tanpa status, aku seolah tetap menjadi miliknya; dan dia adalah milikku. Catatan diary di halaman terakhir sudah cukup menjadi bukti, hati kami tetap terpatri.
“Mala, aku mohon, kamu jangan begini.” kudorong pelan bahunya, pelukan kami pun terurai.
Kupegang kedua sisi puhu lengannya, kugoyang-goyang untuk memberi semangat. Kumala malah memindahkan tangannya melingkari leherku. Kakinya sedikit menjinjit.
Tatapan sendu tergambar di balik linang air matanya, bibirnya sedikit terbuka, nafas hangat menerpa bibirku.
Sorot mata Kumala berubah redup, kelopaknya terpejam. Aku menelan liur. Baru kali ini aku bisa menatap wajahnya sedekat ini. Sungguh gadis yang cantik. Hidungnya bangir, bibirnya merah alami. Lesung pipitnya menyempurnakan kecantikannya, nampak menggemaskan untuk dikecup.
Jantungku berdetak kencang, dadaku berdebar. Kuyakin Kumala bisa merasakannya karena kedua payudaranya semakin mendesak.
Cuuuuup!!
Akhirnya aku memberanikan diri mengecup. Bukan pada bibirnya yang sudah pasrah, tapi pada keningnya. Kumala membuka mata kecewa. Nafas hangatnya berubah deru terengah.
“Maafkan aku, Mala, aku tidak bisa mengkhianati kekasihku untuk kedua kalinya.” sesalku. Baik Ki Orgi maupun Kumala sudah tahu tentang kisah cintaku sehingga kini aku tidak perlu menjelaskannya lagi kepada gadis ini.
“Beri aku kesempatan untuk…” sigap kutempelkan jariku pada bibirnya, Kumala pun terdiam. Tangannya luruh melepaskan pelukan. Jelas Kumala kecewa, ia patah hati. Tetapi menyakiti sebelum mengikat janji itu lebih baik daripada saling melukai ketika hati sudah saling terpatri
“Maaf.” ujarnya lemah sambil menunduk.
“Aku yang minta maaf.” balasku.
Kuusap air matanya. Kumala hanya diam kaku, tidak terlihat senang, tetapi juga tidak menolak. Sebersit ide pun terlintas dalam benak.
“Mala, jika kamu ada waktu pergilah ke kampungku… ke Ewer…!” ujarku.
“Untuk apa, kang?” Kumala masih terlihat kecewa.
“Belajarlah di sana selama beberapa waktu, dan kembalilah ke kampungmu untuk memajukan Babakan Dasa Agung. Banyak ilmu yang akan kamu dapatkan di sana.”
“…” sambil membuang muka menatap ke kejauhan.
“Carilah seorang nenek yang menjadi sesepuh kampung di sana. Ia pasti akan banyak membantumu bagaimana memajukan taraf hidup warga. Kamu juga mungkin akan mendengar tentang kisahku sehingga kamu akan bisa paham mengapa aku bisa menutup hati pada gadis lain.”
“Siapa nama nenek itu?” akhirnya Kumala menatapku kembali.
“Namanya Oma Riniasih. Temui beliau di sana.”
“Aku tidak janji.” ujarnya.
“Aku tidak memaksa, hanya usul saja. Tapi kamu tidak akan menyesal jika pergi ke sana.”
Kumala menghirup nafas beberapa kali dan menghembuskannya deras. Ia sedang berusaha menutup kembali letupan hatinya. Ia terlihat nampak tegar, meski sorot mata tak bisa ingkar dari perasaan terdalam.
“Pergilah, kang, semoga perjalanan akang berhasil. Jika sudah menyempurnakan misi akang, jangan lupakan kami.” ujarnya.
“Itu pasti, Mala. Aku tidak akan pernah melupakan kalian dan aku akan datang kembali untuk berkunjung.” aku meyakinkan.
Aku merentangkan tangan untuk memberikan pelukan perpisahan, tetapi kali ini Kumala yang menolak. Ia hanya mengulurkan tangan, dan kusambut. Kami bersalaman dan ia menempelkan pipinya pada punggung tanganku.
Tanpa kata. Dan tanpa permisi ketika Kumala bergerak gesit, meloncat dan berlari, lantas menghilang di balik rerimbunan hutan. Ia pulang sambil membawa patah hati, sedangkan aku mematung dengan rasa bersalah.
“Tak ada pelaminan untukku selain denganmu.” kalimat itu seolah sudah terpatri dalam hatiku. Dan aku juga sudah berjanji hal yang sama sebelum keberangkatanku dari Bandung. Semoga kelak semesta merestui, mengijinkan sebuah pelaminan untuk aku dan Rereku.
Sesungguhnya hatiku mengharu-biru. Rindu ini terasa kian menggumpal, bersamaan dengan kekhawatiran akan keadaan dan keselamatannya.
Deeegh!!
Ah binatang-binatang menyebalkan itu lagi. Aku tersadar dari keterpakuanku ketika mendengar suara-suara jeritan yang mendekat. Kali ini datangnya dari arah dedahanan pohon besar di atasku. Aku sudah tidak takut kali ini. Aku sudah sakti. Kucabut tongkat Pacek Lintang dengan percaya diri. Dalam sekali kibas bentuknya berubah panjang. Kuacungkan sambil mendongak ke atas.
Ujubuneh… bukan hanya satu atau puluhan… tapi jumlahnya sangatlah banyak. Moncong-moncong mereka menjijikan, barisan gigi runcing menyiutkan nyali. Refleks tangan kiriku membekap kang pepen dari luar celana; ada trauma yang secara bawah sadar masih menghantui. Lututku gemetar.
Kuayun-ayunkan Pacek Lintang ke atas, tetapi gerombolan Luwak itu seperti tanpa gentar. Serempak merayap menuruni pohon. Dan…
Wuuuuzzzzz… jurus langkah seribu kukeluarkan. Berlari tanpa henti.. menyelinap di antara celah-celah rerimbunan hutan belantara. Bedanya aku tidak selemah dulu, aku sudah punya ilmu meringankan tubuh sehingga tidak mudah terjatuh, dan bahkan bisa meloncat dengan hanya menjejak pucuk dedaunan.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar