sang pewaris part 70

 

Bab 70

Sri Kencana menyambutku di Puri Cahya Sukma. Gadis ini sangatlah cantik, kalau dia bangsa manusia mungkin aku bisa jatuh hati.

Berbeda dengan perjumpaan pertama, kali ini Sri Kencana berpakaian sopan. Kain serba putih menutupi lekuk tubuhnya, mirip Bibi Lung di ‘The Return of The Condor Heroes’. Rambutnya tergerai lurus dengan jepit di atas dua sisi telinganya.

Ia melayaniku dengan sangat santun. Sementara aku duduk pada saung di tepi kolam sambil melamun. Kejadian beberapa saat lalu sangat menguras emosi. Aku ngamuk di depan Sawaka, tetapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Rere datang ke Anta di luar rencananya. Itu adalah ulah Mantili yang menampakan diri pada gadis itu sehingga Rere bisa mendengar semua percakapan kami dengan Sawaka di dalam cottage senja itu.

Atas permohonan Rere, Mantili mengabulkan permohonan gadis itu dan membawanya ke Anta. Raja pun konon bersukacita.

Sawaka sendiri mengaku marah atas ulah Mantili, tetapi ia juga tidak bisa gegabah walaupun yang dilakukan sang istri jelas sebuah kesalahan. Rencana Sawaka untuk menumbangkan Prabu Anta Sukma Suwiraja sangatlah rahasia; bahkan Mantili pun tidak tahu. Sengaja Sawaka tidak memberitahunya karena Mantili merupakan salah satu pengawal kepercayaan raja.

Sedikit mujur, Raja Anta menyerahkan Rere kepada Sawaka untuk menempatkan saudariku di Kuil Tumbal Geni. Sebuah tempat sakral yang raja sendiri hanya datang setiap kelipatan ketujuh bulan purnama. Kunjungan berikutnya bertepatan dengan bulan purnama ketiga keberadaanku di Anta, atau pada malam aku menjalankan ritual. Itu pun jika aku berhasil menuntaskan semua rintangan yang tersisa

Dikatakan mujur, karena Rere berada di bawah pengawasan Sawaka langsung dan juga prajurit kepercayaannya. Sawaka mengaku sudah menyiapkan rencana cadangan tanpa memberitahukannya kepadaku. “Rencana ini hanya bisa kujalankan hanya jika Rere berada sepenuhnya di bawah tanggung jawabku,” Sawaka menjelaskan dan membuatku sedikit lega saat itu.

Bebanku sedikit berkurang setelah mengetahui kondisi Rere yang cukup aman untuk sementara. Kondisi di Bandung sangatlah kacau setelah semua tahu Rere menghilang, dan kini semua tanggung jawab ada padaku. Misiku kini bukan hanya menjalankan ritual dan menumbangkan Raja Anta, tetapi juga membawa pulang Rere.

“Silakan tehnya diminum, Pangeran.” ucapan lembut menyadarkan lamunanku.

Aku mengangguk dan kuraih cangkir teh. Sebetulnya terasa nikmat, tetapi pikiranku masih gamang. Hatiku belum sepenuhnya berada di tempat ini; baru sebatas tubuh saja. Sri Kencana menyodorkan kotak berukir, dan begitu kubuka ternyata isinya berupa lintingan daun tembakau. Cerutu tradisional.

Aku cukup terhibur, ini lebih baik daripada tidak merokok sama sekali. Kuambil sebatang dan kuselipkan pada bibir, Sri Kencana pun sigap menyalakan korek api. Kuhisap.. rasanya cukup aneh namun aromanya khas. Perlahan tapi pasti aku mulai bisa menikmatinya.

“Duduklah.” perintahku ketika melihat Sri Kencana hanya berdiri dan selalu siap menunggu perintah.

“Maaf Pangeran, itu tidak sopan.” jawabnya sambil menunduk.

“Duduk kubilang. Dan jangan panggil aku seperti itu.”

“Tapi…

Kutatap tajam wajah cantiknya, dan Sri Kencana pun menurut. Ia duduk sambil tetap menunduk.

“Kapan kita berangkat?” tanyaku.

“Jika Pangeran sudah siap kita bisa berangkat sekarang.” jawabnya.

“Sri?!”

“Maaf.. jika kakang sudah siap, kita bisa berangkat sekarang.”

Aku tersenyum mendengar panggilan barunya. Lebih enak di dengar, dan tidak membuat kesan ada jarak di antara kami.

Sawaka memang sudah memberitahu seluruh sisa rintanganku sehingga aku tidak perlu bertanya lagi. Sri Kencana diutus oleh Sawaka untuk selalu menemaniku.

Setelah cerutu dan tehku habis, kusampaikan kesiapanku. Sri Kencana memintaku untuk memasuki sebuah kamar dan berganti pakaian. Tanpa banyak tanya aku melakukannya. Kumasuki sebuah ruangan luas yang penuh ukiran. Di atas tempat tidur yang kelambunya terbuka nampak pakaian gantiku terlipat dan juga sebilah belati dengan gagang berbentuk kepala harimau.




Aku pun berganti pakaian. Kini aku berpakaian serba putih, dengan bagian dada sedikit terbuka. Kalungku terpampang. Kuselipkan belati lalu kembali keluar kamar.




Sri Kencana nampak terperangah namun kemudian menunduk kembali dengan kedua pipi memerah.




“Sekarang tutup mata kakang.” ujar Sri Kencana.




Aku pun menurut; kupejamkan mata. Tanpa disuruh aku berusaha memusatkan pikiran dan panca indera.




“Sekarang bukalah kembali mata kakang.” terdengar suara Sri Kencana.




Aku hanya bisa gedek begitu mata terbuka. Tidak ada lagi puri, tidak ada lagi bangunan-bangunan kerajaan. Sekelilingku hanyalah hutan belantara. Aku dan Sri Kencana sedang berdiri di atas batu besar di tengah sungai.




“Kita sudah kembali ke dunia kakang.” Sri Kencana menjelaskan.




Aku mengangguk paham. Di dunia manusia tempat ini hanyalah hutan belantara yang belum terjamah manusia, tetapi di dunia lain, ini merupakan pusat sebuah kerajaan.




“Sriii!!!” aku langsung memekik ketakutan.




Di sisi sungai nampak segerombolan harimau sedang mencabik-cabik mangsanya. Mulut dan bulu mereka penuh darah. Saling menggeram dan berebut daging mentah.




Tubuhku langsung gemetar ketika melihat sebuah kepala manusia terlempar ke atas. Kepala seorang perempuan muda. Dua harimau melompat dan berebutan menangkap kepala itu.




Lututku langsung lemas, aku terduduk di atas batu. Tubuhku bergetar dan gigiku gemeletuk. Kudengar Sri Kencana menghela nafas lalu bersimpuh di hadapanku, ia seolah mau menutupi pandanganku agar tidak lagi melihat pemandangan mengerikan itu.




“Kakang harus kuat karena untuk itulah kakang ada di sini.” ujarnya.




Aku pun menatap Sri Kencana dengan tubuh masih menggigil. Tanpa permisi, gadis itu mengambil kedua tanganku, genggamannya terasa erat. Ajaibnya terasa ada energi hangat yang mengalir, tubuhku tidak lemas lagi.




“Apa maksud perkataanmu?” tanyaku setelah sedikit bertenaga.


“Itu adalah tubuh gadis dari bangsa kakang yang purnama kemarin dijadikan tumbal ritual oleh Mahaprabu Anta. Keperawanannya diambil, dan setelah puas mahaprabu menyerahkan gadis itu kepada para prajuritnya untuk digagahi. Seperti kebiasaan, setelah korban mati lemas, maka tubuhnya akan menjadi santapan. Seperti yang kakang lihat.” jelas Sri Kencana.




Darahku yang tadi membeku langsung mendidih. Takutku berganti amarah. Nafasku tersengal dan tanganku terkepal.




“Kakang harus menghentikan itu semua, tetapi sekarang kakang harus sabar, jangan gegabah.” Sri Kencana paham akan apa yang kurasakan.




Ia menatapku seolah mau memastikan bahwa aku paham. Kubalas. Dan untuk pertama kalinya aku dan Sri Kencana saling bertatapan dekat. Ada perasaan aneh. Segera kutepis. Sri Kencana sendiri terlihat kikuk, lalu menunduk.




Aku kembali menatap kerumunan harimau yang berjumlah belasan itu. Geraman-geraman mereka tak lagi membuatku gentar, melainkan membangkitkan kemarahan dan dendam yang kian membuncah. Tapi aku sadar, aku tidak memiliki kekuatan, sabar adalah pilihan, seperti yang dikatakan oleh Sri Kencana.




“Kita berangkat kakang.” ujar Sri Kencana.




Kami berdua berdiri.




“Naik punggungku kakang.” perintahnya lembut, tapi juga terlihat malu-malu.




Aku sebetulnya sungkan, tapi apa daya. Meski postur tubuhku lebih besar dan kekar, tapi kami berasal dari dunia yang berbeda. Aku pun naik ke atas gendongan Sri Kencana. Ia menahan kakiku, sedangkan aku memeluk lehernya.




Harum tubuhnya langsung tercium, helaian rambutnya yang berkibar menggelitik wajahku.




Sri Kencana sama sekali tidak terlihat kepayahan. Ia seperti sedang menggendong karung kapas padahal tubuhku lebih besar. Ia bergerak ringan.




Sri Kencana meloncat menyeberangi sungai, menuju arah yang berlawanan dengan kerumunan harimau. Gerakannya lincah dan gesit, telapak kakinya hanya menyentuh permukaan air yang bergemuruh dan mengalir deras. Kami pun berhasil menyeberangi sungai tanpa kesulitan.




“Terima kasih.” ujarku. Aaah.. rasanya tidak perlu gengsi, aku bukan manusia sakti.




Kujejakan kaki tanpa alasku pada tanah becek. Tanganku berpegang pada akar pohon. Rerimbunan semak lebih tinggi daripada tubuh kami berdua.




Tiba-tiba geraman harimau mendekati kami. Aku menatap Sri Kencana, ia pun hanya tersenyum. Aku tidak takut.




Benar saja. Segerombolan makhluk putih berlarian di antara rerimbunan semak. Mendekati kami. Taring mereka menyeringai, mata mereka menyala.




Sri Kencana menepukan tangan, dan total tujuh harimau itu bergerak menaiki lereng. Aku paham. Rupanya mereka membuka jalan.




Semak tersibak, dan ranting-ranting pada patah. Sri Kencana melangkah mendahuluiku, aku mengekor di belakang. Bedanya, langkah Sri Kencana ringan dan tidak mengalami kesulitan, sedangkan aku harus tergopoh sambil berpegangan pada akar dan dedahanan. Berkali-kali aku terpeleset, tubuhku berlumur lumpur dan bunga tanaman hutan.




Para harimau pembuka jalan sudah tidak terlihat lagi, auman mereka kian samar-samar. Aku terus tergopoh, kadang terpeleset dan terperosok, tangan dan kaki penuh luka karena duri dan ranting tajam. Pakaian putihku berubah kumal oleh lumpur bercampur bercak darah.




“Kita mau kemana sebenarnya?” tanyaku kepada Sri Kencana. Aku sudah benar-benar kepayahan menaiki jalan licin yang terjal.


“Ke Gunung Eyang Jembi.” jawabnya.




Sri Kencana menungguku. Ia sama sekali tidak nampak lelah, pakaiannya juga tidak kotor. Hanya sedikit keringat pada pelipisnya.




Aku duduk di atas pohon tumbang dengan nafas terengah. Langkahku sudah semakin payah. Kupetik daun cangkok lalu kulipat menyerupai kerucut. Kutampung tetesan air yang turun melalui rumbaian areuy. Setelah terisi langsung kutenggak, kulakukan berulang-ulang.




Sri Kencana tidak banyak bicara. Hanya matanya saja yang mengamati setiap gerak-gerikku. Senyumnya selalu terpulas. Cantik. Eh tidak.. Rereku tetap yang tercantik.




Mengingat namanya, semangatku langsung pulih. Aku tidak akan pernah bisa memaafkan diri sendiri seandainya Rere harus binasa tanpa bisa kutolong. Ia berada di Anta saja aku tidak terima, apalagi kalau ia harus bernasib sama seperti mayat gadis yang kulihat dipinggir sungai tadi.




Aku berdiri dan melanjutkan langkah, kali ini Sri Kencana yang berjalan di belakang.




Menjelang sore kami baru tiba di puncak gunung Eyang Jembi. Tidak terlalu tinggi, namun karena medan yang kulalui adalah hutan perawan maka butuh lebih dari setengah hari untuk mendakinya.




Aku langsung merebahkan diri di atas rerumputan basah, kebetulan ada gundukan tanah yang bisa kujadikan bantalan. Nafasku masih terengah, kini kaki dan tanganku terasa perih; badanku terasa remuk.




“Tugasku mengantar kakang hanya sampai sini. Kakang harus menemukan sendiri tongkat Pacek Lintang. Setelah kakang menemukannya dan bisa menguasai jurus-jurus Tongkat Pacek Lintang, kakang harus berjalan ke Selatan, kita akan bertemu lagi di Lembah Nyai Ngecrit pada purnama bulan depan.” ujar Sri Kencana.




Aku hanya bisa melongo mendengarnya. Ditinggal sendiri di puncak gunung dan tengah hutan seperti ini bukanlah kabar menyenangkan.




“Tapi bagaimana caranya aku bisa menemukan tongkat itu?” heranku.


“Kakang harus memiliki hati yang bersih.”




Aku mau bertanya lagi, tetapi urung ketika Sri Kencana menggelengkan kepala sambil tersenyum.




“Sri, sebelum kamu pergi bolehkah kamu mencarikanku makanan?” aku memelas, kini perutku terasa lapar.


“Maafkan saya, kakang. Tugas saya hanya mengantar kakang, sisanya kakang sendiri yang harus mencarinya.”


“Sri..”


“Maafkan saya, kakang. Tapi jika kakang menuruni gunung dengan arah yang berlawanan dari yang kita daki, di sana kakang akan menemukan perkampungan manusia.”




Senyumnya terulas. Rambut dan pakaiannya berkibar, nampak bercahaya karena sorotan matahari senja. Asap putih pun menggulung.




Seekor harimau putih keluar dari gumpalan asap, dan menyeringai. Menggeram beberapa kali, lantas meloncat memasuki rerimbunan hutan. Hilang…




Aku menghela nafas resah. Ia meninggalkanku tanpa petunjuk yang jelas tentang keberadaan tongkat itu.




Aku berdiri untuk mengamati sekitar. Tidak banyak pemandangan yang bisa kulihat karena banyaknya pepohonan besar. Dengan tertatih aku berjalan agak ke barat, kulihat sedikit ada tanah lapang.




Pemadangan sore sangatlah indah, cahaya merah merekah di ufuk barat. Menghangatkan kulitku yang mulai menggigil karena terpaan angin pegunungan.




Kunaiki sebuah pohon yang cukup banyak dahan sekedar untuk melihat keadaan. Pemandangan dari segala arah pun terhampar. Di kejauhan nampak dua bukit kembar, dan kutahu itu adalah ‘bukit beha’. Rupanya keberadaanku sangatlah jauh dari Ewer. Aku mencoba terus mengamati.




Sekarang aku tahu, perjalanan misiku dimulai dari tepi barat perbatasan negeri Anta. Dan jika aku berhasil, maka akan bergerak ke Selatan. Rintanganku berikutnya sepertinya sudah menanti di sana.




Kulihat ke kaki gunung tempat awal aku melakukan perjalanan. Kulihat liukan sungai besar dengan dataran cukup luas. Sungguh tempat yang sangat indah, namun belum terjamah manusia. Kuyakin itulah pusat Kerajaan Anta.




Di arah sebaliknya, yang tadi dikatakan oleh Sri Kencana, kulihat hamparan huma di bukit seberang. Di lembahnya ada perkampungan kecil dengan asap mulai membumbung keluar dari atap rumah warga.




Aku pun menuruni pohon sambil tersenyum. Semesta sedang berpihak kepadaku. Kulihat ada pohon jambu kulutuk dengan buah yang lebat dan matang; tak jauh dari pohon yang kupanjat. Aku memetik tiga biji dan langsung kumakan dengan lahap. Energiku sedikit pulih.




“Terima kasih.” ucapku. Entah kepada siapa rasa syukur ini kusampaikan. Kepada alam yang telah menyediakan makanan? Kepada pohon jambu? Kepada penghuni tempat ini? Entahlah. Yang jelas aku hanya memetik buah secukupnya. Nanti akan kupetik lagi kalau aku lapar kembali.




Karena terpaan angin yang cukup dingin, aku pun kembali ke tempat tadi rebahan. Di sana cukup terlindung oleh dua pohon besar.




Ujubuneeeeh.




Tempat aku berbaring itu… mirip seperti makam. Aku mendekat. Aku tidak salah.. itu adalah kuburan. Kusibak ilalang untuk melihat batu nisan. Namun hanya bongkahan batu, tanpa nama, tanpa tulisan.




Bulu kudukku tiba-tiba merinding, sementara matahari semakin turun.




“Maaf kalau tadi aku tidak sopan.” gumamku.




Kuucapkan maksud kedatanganku meski dalam hati. Aku tidak bermaksud mengganggu, dan juga tidak ingin diganggu. Kucabuti ilalang dan rerumputan di atas pusara sebagai ungkapan sesalku sekaligus sebagai permintaan maaf.




Setelah bersih, kuposisikan batu nisan sehingga lebih simetris. Kukibaskan tanganku yang kotor. Lalu berdoa dalam hati bagi keselamatan jiwa orang yang dibaringkan di dalamnya, siapapun itu.




Kucabut sebuah kayu kering yang tertancap tak jauh dari bagian kepala karena mengganggu pemandangan. Sebenarnya aku berniat untuk langsung membuang, tetapi urung ketika kulihat cukup kuat untuk kujadikan tongkat.




Kuamati suasana sekaligus mencari perlindungan untuk beristirahat. Aku berjalan agak ke timur sambil mengibaskan batang kayu untuk mengurai ilalang.




Kreseeeek!!!




Aku setengah meloncat. Kufokuskan pandangan dan kutajamkan pendengaran. Kuacungkan batang kayu kecil yang kupegang.




Suara-suara berisik mendekat. Berderik.. bercekot… kadang terdengar seperti menjerit. Suara ini tidak asing bagiku, tapi apa…




Kulihat ilalang bergoyang. Ada pergerakan yang mendekat ke arahku dan….




“Careuuuuuuh….




 (luwak).” aku auto teriak dan berlari sekencang-kencangnya tanpa arah.




Sreeeet bruuuuk. Aku keserimpet dan tubuhku terjungkal. Rasa takut mengalahkan rasa sakit. Aku bangkit kembali dan berlari menerabas rerimbunan hutan. Menuruni gunung ke arah Selatan.




Sepertinya gerombolan luwak itu sudah tidak mengejarku, tetapi lengkingan-lengkingan suaranya terus terngiang. Aku terus menuruni sisi gunung sambil meraih apapun yang bisa kuajadikan pegangan. Sekali-kali aku menabrakan tubuhku pada pepohonan agar tubuhku tidak terperosok ke dalam jurang. Batang kayu kecil yang sedari tadi kubawa, kupakai untuk menyingkirkan daun-daun berduri dan tanaman hutan yang sangat lebat.




Hash.. hash.. hash… nafasku terengah. Kujatuhkan tubuhku pada sebuah area yang cukup lapang. Aku sudah berhasil keluar hutan yang berbatasan dengan huma warga.




Dan… aku mengutuki diri sendiri. Misiku di puncak gunung belum berhasil, tongkat itu belum kutemukan. Itu berarti, aku harus kembali mendaki. “Luwak sialan… Rei pengecut…” rasanya aku ingin menangis.




Aku merasa diri menjadi orang yang paling malang karena kebodohanku sendiri. Aku ingin berteriak.. aku ingin menyerah… tapi… Rere!!! Gadis itu…




Aku tidak boleh patah. Aku harus kembali mendaki. Rere harus kubawa pulang. Itu janjiku kepada Om Sulis dan Tante Nur, juga kepada semua anggota keluargaku. Aku juga harus membawa dia pulang.. karena aku sudah berjanji untuk mencintainya dengan caraku, meski tidak bisa lagi saling memiliki.




Aku bangkit dan sedikit melangkah tertatih untuk mengamati kondisi sekitar. Sementara suasana sudah mulai remang. Rupanya posisiku berada tidak jauh dari sebuah pemukiman. Aku gamang sebentar. Akhirnya kuputuskan untuk bermalam di sana, besok pagi baru mendaki kembali.




Aku melangkah tertatih menuruni lereng, lantas menyusuri jalan setapak. Kini aku benar-benar kepayahan. Pakaian putihku sudah berubah warna. Tangan, kaki, dan bahkan leher banyak luka karena duri dan ranting tajam.




Para orang tua mengatakan: ketika muda manusia itu berkaki dua, tetapi ketika tua menjadi tiga. Kini aku sudah berkaki tiga di masa mudaku, karena tanpa tongkat ini aku tak akan kuat lagi melangkah.




Aku tiba di tepi kampung ketika hari sudah gelap.




"Sampurasun." salamku ketika berpapasan dengan lelaki paruh baya yang membawa obor, sepertinya baru pulang dari masigit.


“Raam…”




 ia tidak meneruskan jawabannya atas sapaanku. Ia terbelalak melihat tampangku yang tak karuan.




“Maaf saya tidak berniat jahat, saya berada di sini karena kesasar. Bolehkah saya bertemu dengan sesepuh kampung karena saya mau menumpang nginap malam ini?” ujarku dengan sopan.




Lelaki yang kusapa tidak menjawab. Wajahnya berubah ketakutan. Diacung-acungkannya obor ke arahku seolah ingin melihat wajahku lebih jelas. Ketika melihat tongkatku ia semakin melotot. Nafasnya terengah dan…




“Toloonnnggg… toloooong…” ia berteriak keras dan berlari meninggalkanku.


“Pak, saya bukan penjahat.” cegahku.




Aku berusaha mengejarnya setengah menyeret kaki. Maksud hati ingin melambaikan tangan namun aku malah mengacungkan tongkatku, dan pria itu semakin ketakutan.




“Ada apa, Pak?” teriak seseorang sambil keluar dari dalam rumah.




Pria itu malah berteriak semakin keras. Sang empunya rumah melihat ke arah kedatanganku, dan ikut ketakutan ketika melihatku mengacung-acungkan tongkat kayuku.




“Toloooong…” ia ikut berteriak.




Tak lama kemudian para lelaki keluar rumah sambil membawa obor masing-masing. Teriakan-teriakan semakin memenuhi kampung. Tak lama kemudian terdengar taluan kentongan dari berbagai arah. Kampung pun menjadi gaduh.




Suasana semakin kacau ketika kaum perempuan yang melihatku menjerit takut, disusul tangisan-tangisan anak kecil.




Aku ketakutan sendiri. Kini para lelaki di kampung ini sudah mengepungku. Mereka seperti ketakutan, tetapi juga tidak memberi ruang padaku untuk meloloskan diri.




“Aku.. aku bukan penjahat.” aku berusaha menjelaskan, tapi tak seorang pun yang menghiraukanku. Mereka semakin waspada. Tak sedikit yang membawa golok, parang, dan bilah kayu panjang.




Aku pun pasrah, sementara tubuhku semakin rapuh karena kelelahan dan terlalu banyak luka pada telapak kaki yang tanpa alas. Penjelasanku tidak ada yang menggubris, sia-sia, dan malah semakin menguras sisa energiku. Aku pun hanya bisa diam pasrah. Menunggu nasib jika akhirnya aku harus dikeroyok atau dirajam.




Aku berdiri di tanah lapang sebuah halaman, hanya tongkat ini yang bisa menahan beban tubuhku sehingga tidak rubuh. Teriakan sudah tidak lagi terdengar, kecuali tangisan anak-anak yang datang dari beberapa rumah, namun malah terasa semakin mencekam, aura kematian seakan melingkupiku.




Tiba-tiba kerumunan sebelah kiriku terbuka, dan seorang kakek tua datang tergopoh, seorang gadis menemaninya sambil membawa obor.




Aku menyambut kedatangannya dengan tatapan memelas. Aku menumpukan seluruh harapanku padanya. Orang-orang nampak menghormatinya, dan aku tahu, apapun yang dikatakan kakek itu, itulah yang akan menentukan nasibku.




Kakek itu nampak terperanjat, bukan karena aku, tetapi karena batang kayu pada tanganku.




“Siapa kau anak muda?” suaranya serak.


“Saya.. saya.. maafkan saya jika membuat gaduh, Kek. Saya sampai ke kampung ini karena kesasar.” aku mencoba menjelaskan.


“Lalu bagaimana kamu mendapatkan tongkat itu?” tanyanya penuh selidik dan penuh waspada.


“Tongkat? Oh maksud kakek kayu ini?” kuacungkan tongkatku.




Si kakek langsung mundur dua langkah, begitu juga para warga yang mengepungku. Aku kaget sendiri melihat pergerakan mereka.




“Ini hanya batang kayu biasa, kek. Tadi kuambil di hutan.” ujarku sambil menancapkan batang kayu pada tanah lalu aku mundur dua langkah.




Si kakek tidak menjawab, ia terus menyelidiku. Wajahnya yang sudah keriput semakin berkerut.




“Nyai Kumala, kamu ambil tongkat itu.” perintah si kakek.


“Iya, kek.”




Gadis itu mendekat dengan sikap waspada. Sejenak aku gagal fokus, terpaku pada kecantikannya yang sangat alami tanpa pulasan makeup. Tapi aku merinding sendiri, sorot matanya tajam, dan ekspresinya bengis.




Aku mundur lagi satu langkah. Lututku gemetar tak tahan menyangga tubuh, akhirnya aku rubuh, terduduk di atas tanah.




Suasana tiba-tiba menjadi hening. Semua mata beralih pada gadis yang disebut Kumala oleh kakek itu.




Gerakan Kumala ringan ia meraih tongkat dan mencabutnya. Gremengan pun terdengar, dan aku terbelalak. Kumala tidak berhasil mencabutnya, padahal aku hanya menancapkan biasa saja. Mungkin hanya beberapa sentimeter di dalam tanah.




Kumala melihat kakeknya. Lelaki tua itu nampak tertegun beberapa saat lantas mengangguk. Kemudian Kumala membuat gerakan beladiri. Memasang kuda-kuda dan seperti mengeluarkan tenaga dalam.




Dengan gesit ia kembali mencengkeram tongkat itu dan berusaha mencabutnya kembali. Hasilnya di luar dugaan. Tubuh Kumala terpental beberapa meter, nyaris terjatuh, namun berhasil di tahan kerumunan. Sementara batang kayu masih tertancap pada tempatnya.




Suasana menjadi gaduh. Aku malah terpesona atas apa yang kusaksikan.




Si kakek bergerak mendekati tongkat, gerakannya gesit dan lincah. Sreeeet.. sreeeet… ia memperagakan beberapa jurus tenaga dalam. Hmmmmfff… sama saja. Si kakek tidak berhasil mencabutnya. Tubuhnya terdorong dan kuda-kudanya terseret ke belakang.




Beberapa kali percobaan dilakukan oleh Kumala dan kakeknya. Tetap sia-sia. Tubuh mereka berlumur peluh, sementara batang kayu itu bergerak pun tidak.




Si kakek meminta beberapa pemuda untuk mencoba mencabutnya bersama-sama. Sama saja. Mereka malah terpental sebelum menyentuhnya.




“Coba kau cabut anak muda.” perintah si kakek padaku.




Aku pun celingukan. Sadar bahwa si kakek menatapku serius, aku pun berusaha bangkit dari dudukku. Susah payah aku berdiri, dan si kakek membantuku. Kugenggam tongkat itu dan kucabut. Tanpa kesulitan… tongkat pun terlepas dari dalam tanah.




Suara gremengan kembali terdengar. Si kakek manggut-manggut sendiri. Aku menunjukkan tongkat dengan wajah tanpa dosa. Aku malah heran sendiri kenapa mereka tidak berhasil mencabutnya.




“Siapa namamu anak muda?”


“Rei, Kek. Reinan Wallysta Purnama.”


“Kamu berasal dari mana? Bagaimana bisa mendapatkan tongkat leluhur kami?”


“Saya berasal dari Ewer, Kek.” jawabku. Kujelaskan pula bagaimana aku bisa mendapatkan tongkat ini, yang kupikir hanya kayu biasa.




Sorot mata kakek yang mengaku bernama Ki Orgi Sutra menyimak semua penuturanku. Sorot matanya berubah teduh.




"Jatra, kamu ambil kararas (daun pisang kering), dan kau anak muda ikutlah denganku.” ujar si kakek. Sedangkan seorang lelaki paruh baya yang dipanggil Jatra langsung pergi ditemani oleh seorang pemuda.


“Kakek?” aku tergagap.




Atas perintah Kakek Orgi, dua orang memapahku dan membantuku berjalan. Kami semua bergerak menuju sebuah rumah yang halamannya cukup luas. Di sekitar halaman dipasang tempat duduk dari gelondongan kayu dengan posisi melingkar.




Aku dan kakek Orgi duduk di atas bale-bale rumah. Nyi Kumala dan dua orang wanita paruh baya menuju ke belakang untuk menyuguhkan minuman.




“Maafkan saya, Kek, saya tidak mengerti dengan semuanya ini. Mengapa kalian tidak bisa mencabut tongkat ini, sedangkan aku tidak kesulitan mencabutnya. Aku juga tidak merasakan energi apapun, makanya aku hanya berpikir bahwa tongkat itu adalah kayu biasa.” ujarku.




Kakek Orgi menatapku teduh. Ia terlihat tidak lagi mencurigaiku sejak aku mengaku berasal dari Ewer. Sikap tenang Kakek Orgi membuat warga lainnya juga nampak tidak lagi ketakutan. Mereka malah seperti berubah segan padaku.




“Sepertinya Tongkat Pacek Lintang sudah menemukan jodohnya.” Kakek Orgi seperti berbicara sendiri.


“Apa, Kek?” aku terkejut mendengarnya. “Aku sedang mencari tongkat itu. Jadi kayu ini adalah…” aku terbelalak, tatapanku berubah nanar bahagia.




Kali ini si kakek dan para warga yang nampak terkejut mendengar penuturanku. Namun obrolan sedikit terhenti ketika tiga orang wanita menyuguhkan kopi dan ubi rebus (sepertinya di kampung ini tidak ada kentang).




“Kau makanlah dulu anak muda. Kamu kelihatan sangat lelah.” jawab si kakek. Bersamaan dengan itu, Jatra datang dan memberikan tumpukan kararas kepada Ki Orgi.




Aku langsung melahap beberapa potong ubi, sekali-kali kudorong dengan kopi. Terasa nikmat, tenagaku perlahan pulih.




“Kamu gosok dan bersihkan Tongkat Pacek Lintang dengan kararas, dan kakek akan menjelaskannya.” ujar Kakek Orgi kemudian.




Kulakukan perintahnya, sementara ia mulai bercerita.




“Kampung ini bernama Babakan Dasa Agung. Diberi nama begitu karena leluhur kami adalah sepuluh pendekar agung yang sangat digjaya, salah satunya bernama Nyi Lintang Kinasih.” si kakek memulai cerita.




Aku menyimak sambil terus menggosok tongkat yang mereka agungkan, dan ternyata ini adalah tongkat yang sedang kucari.




Kakek Orgi menuturkan bahwa leluhur mereka satu per satu berguguran karena bertempur dengan harimau jadi-jadian yang sangat sakti. Pendekar terakhir yang gugur adalah Nyi Lintang Kinasih, yang dijuluki Pendekar Tongkat Pacek Lintang. Dia adalah satu-satunya pendekar wanita.




Wanita itu pun gugur dalam pertarungan tiga hari tiga malam di atas gunung Eyang Jembi. Sebelum ajalnya ia bersumpah, barangsiapa kelak ada yang bisa mencabut tongkatnya, maka orang itulah yang akan menjadi penerus untuk membalaskan dendam.




Peristiwa itu sudah terjadi sejak sepuluh dasawarsa, dan menjadi cerita yang turun-temurun. Banyak pendekar yang mencoba mengadu peruntungan dengan bertapa dan berusaha mencabut tongkat itu, namun tak seorang pun yang berhasil.




Peradaban dan zaman mulai berubah, dunia persilatan mulai luntur, dan manusia memasuki era baru yang disebut modernitas. Orang mulai melupakan kisah itu, bahkan generasi muda Babakan Dasa Agung sendiri mulai mengabaikan tradisi mereka. Banyak anak muda yang memilih merantau ke kota, sedangkan para orangtua yang masih memegang tradisi sudah tidak mampu lagi mendaki untuk merawat kuburan Nyi Lintang Kinasih.




Ki Orgi adalah satu-satunya keturunan yang tersisa dari pendekar ketujuh yang bernama Sapta Gaya (tujuh gaya), tepatnya dari istri keduanya yang bernama Desah Peluh Ningjembi, seorang wanita biasa yang tidak memiliki kesaktian apapun. Sedangkan dari istri pertamanya, yaitu Nyi Lintang Kinasih sendiri, Sapta Gaya tidak memiliki keturunan.




“Beliau adalah raja dalam bercinta yang selalu bisa memuaskan wanitanya dengan tujuh gaya bersenggama.” kali ini Ki Orgi menyampaikannya sambil berbisik.




Ia masih berbisik, “Ia hanya bisa mewariskan ilmunya kepada pemuda yang bisa bercinta dalam tujuh gaya melalui sebuah ritual; tanpa kopong meskipun berulang kali ejakulasi. Konon, tidak ada satu pun murid atau pun keturunannya yang sanggup melakukannya, termasuk buyut dan orangtua kakek. Meski begitu, kakek pernah bermimpi kalau sebetulnya ada dua orang pemuda yang berhasil melakukannya, mereka berasal dari Sawer dan Ewer.”




Aku mengangguk-angguk. Fokusku sepenuhnya tertuju pada penuturannya, bukan lagi pada tongkat yang sedang kugosok. Aku mulai mengurai benang kusut antara tradisi Sawer dan Ewer dengan kisah yang disampaikan oleh Ki Orgi.




“Begitulah ceritanya anak muda. Sekarang jelaskan kepada kami tentang asal-usulmu.” Ki Orgi memungkas ceritanya sekaligus meminta giliranku untuk bercerita.




Aku sudah siap menjawab, tetapi urung ketika merasakan kilatan cahaya keemasan dari arah pangkuanku. Aku pun menunduk dan…




Aku terperangah. Batang kayu yang semula nampak lapuk dan kulitnya mengering, kini sudah mengkilat. Warnanya coklat tua, dan setiap guratnya menyinarkan cahaya biru bercampur kuning.




Bukan hanya aku yang kaget, tetapi juga semua orang yang hadir.




Ki Orgi tersenyum senang. Ia mengagumi apa yang sedang kupegang tanpa berani ikut menyentuh.




“Kau adalah pemuda yang dipilih oleh Nyi Lintang Kinasih, Nak.” ujarnya penuh haru.


“Warga Babakan Dasa Agung…” suaranya keras ditujukan kepada para warga. “Malam ini, leluhur kita sudah memenuhi janjinya kepadaku. Kematianku tidak akan datang sebelum ada yang bisa mencabut tongkat keramat Pacek Lintang. Kini sang pewaris telah hadir di tengah kita.”




Gremengan terdengar disusul tepuk tangan penuh sukacita. Suasana yang semula ditandai ketegangan kini mencair. Tidak ada lagi ketakutan. Tidak ada kecurigaan. Semua menatapku ramah sekaligus takjub.




Sejenak percakapanku dengan Ki Orgi terhenti. Ia menyalami dan memelukku hangat. Matanya nampak berkabut. Gadis bernama Kumala, yang ternyata cucu dari Ki Orgi, datang menghampiri. Menyalamiku takjim sambil menunduk, tak sedikit pun ia berani menatap mataku, padahal aku sangat menyukai sorot matanya yang membuat adem perasaan.




Malam beranjak semakin larut, namun suasana malah semakin ramai. Para wanita yang semula bersembunyi di rumah masing-masing mulai berdatangan. Beberapa sambil menggendong anak mereka yang sudah terlelap tidur.




Beberapa pria beranjak dan mengeluarkan ayam dari kandang, di dapur mulai terdengar keramaian. Untuk menghangatkan tubuh, api unggun pun dinyalakan di tengah halaman. Malam ini sepertinya akan masih sangat panjang, dan aku harus mengabaikan lelah dan perih pada sekujur tubuhku.




Kini giliranku yang memperkenalkan diri. Aku datang dari kampung seberang nun jauh di sana. Lahir dari rahim seorang ibu akibat ulah pria bernama Pangeran Suwir Jagat. Aku tidak menyampaikan apakah orangtuaku selalu bercinta dalam tujuh gaya atau tidak karena aku sendiri memang tidak tahu. Tapi dalam hati merasa penasaran, dan berniat untuk menanyakannya kepada ayah ketika pulang nanti.




“Aku datang ke Gunung Eyang Jembi untuk mencari tongkat Pacek Lintang karena aku harus menghentikan kesewenang-wenangan seorang raja dari alam gaib. Dia selalu memakan tumbal seorang gadis perawan dari bangsa manusia.” tuturku.




Warga pun mulai bersahutan. Tiga hari lalu ada gadis dari kampung sebelah yang hilang, dan sampai sekarang tidak ditemukan keberadaannya. Semua warga tahu, peristiwa itu bukan yang pertama, bahkan tahun lalu ada seorang gadis dari Babakan Dasa Agung yang hilang.




“Kakek…” kali ini sambil menatap Ki Orgi. “Aku sungguh tidak tahu kalau kayu yang kucabut ini ternyata adalah senjata yang sedang kucari.”




Kujelaskan bagaimana aku mendapatkan tongkat ini di sebuah makam yang kubersihkan. Tentu saja aku tidak bercerita tentang luwak yang membuatku kabur. Itu adalah aib yang harus kututupi, walaupun sejujurnya, gerombolan luwak itulah yang menjadi penyebab aku tiba di kampung ini.




“Kalau kamu tahu sejak awal bahwa kayu ini adalah Pacek Lintang, mungkin kamu tidak akan bisa mencabutnya, anak muda. Atau setidaknya, kamu perlu usaha lebih keras untuk bisa mendapatkannya. Apapun itu, kamu dan Pacek Lintang telah berjodoh.” ujar Ki Orgi.




Aku mengangguk paham.




Seorang wanita datang dan menyuruhku mandi. Di belakang rumah sudah disediakan air panas. Atas seijin Ki Orgi aku pun beranjak ke belakang.




Seusai mandi, Kumala membantu mengobati luka-lukaku, dan kami pun berpesta hingga lewat tengah malam.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar