Sang pewaris part 69

 

Bab 69

Aku berdiri di tempat yang sedikit remang sambil menghisap rokokku. Kusandarkan punggungku pada pohon kelapa dan aku tengadah sambil menggelembungkan asap dari dalam mulut. Bukan waspada karena takut ada luwak di atas. Tapi aku sedang mencoba menahan air mataku yang menggenang. Aku tidak ingin air mata ini meleleh.

Aku bahagia? Tentu saja. Senyum kakak dan Kak Rega yang sangat cerah sangatlah membahagiakanku. Mereka melayani foto bersama di atas panggung sambil memamerkan cincin pertunangan mereka. Sedangkan orangtuaku dan orangtua Kak Rega duduk di meja perjamuan yang sama, didampingi oleh opa dan para oma kami. Opa Pras juga hadir bersama istri mudanya yang seumuran dengan ayah.

Acara pertunangan yang syahdu baru saja selesai, dan acara akan segera dilanjutkan dengan makan malam sambil menikmati hiburan dari penyanyi ternama kota ini. Kedua pasangan yang berbahagia masih melayani sessi foto.

“Kaaak..” si cantik mendekat dan langsung kubuang rokokku.

Adikku benar-benar cantik dan terlihat dewasa dengan pulasan wajah dan gaun yang ia kenakan.

“Dicariin juga.. malah mojok di sini.” ia memonyongkan bibirnya yang merah merekah.

“Kakak ingin merokok dulu.” jawabku.

“Eh kakak menangis ya? Kakak iiih.. kenapa, kak?” Nzi nampak khawatir.

Aku sudah tidak bisa lagi mengelak, adikku melihat.

“Sini peluk kakak.” Nzi pun merentangkan tagannya dan kupeluk hangat.

“Kakak kenapa?” rengeknya.

Dan sebutir air mata yang sejak tadi kutahan-tahan akhirnya jatuh juga.

“Kakak bahagia, dek.” ujarku dengan suara sedikit bergetar.

“Tapi kamu merasakan kayak kakak gak sih, dek? Kakak memang bahagia, tapi merasa kehilangan juga. Nanti setelah kakak menikah, kakak tidak akan tinggal lagi bareng kita karena sudah punya keluarga dan kehidupannya sendiri. Kita akan kehilangan galaknya. Kakak pasti akan kangen omelannya, judesnya, galaknya…” ujarku.

“Kakaaaak.. hiiiks… aku juga ngerasa gituuu hiiiks…” Nzi malah terisak.

“Yeah kakak juga sadar sih, suatu saat kita akan punya kehidupan sendiri-sendiri.” gumamku lebih seperti berbicara sendiri.

“Apapun itu hiiiks… kita tetap kompak.. tetap saling menyayangi… saling menjaga hiiiks… janji, ya kak?!”

“Iyah, kakak janji.”

Nzi melepas pelukan dan menatapku sendu. Diulurkan kelingkingnya, dan kubalas. Kami sama-sama terkekeh sambil mengaitkan jari. Tangan lain dipakai untuk mengusap air mata.

“Aku sayang kakak.. sayang kamu juga, dek.”

“Aku juga sayang kakak-kakakku.”

“Kakak aaah.. makeupnya jadi rusak gak nih?”

“Nggak kok. Adekku tetap cantik.”

“Hehee.. kan emang udah cantik dari sononya.”

Kusentil ujung hidungnya dengan gemas, adikku merengek manja. Dikeluarkannya tissue untuk mengeringkan air matanya.

“Hihi kalau kita aja kayak gini, gimana ayah dan mamah ya? Apa mereka juga merasa seperti kita?” Nzi terkekeh menertawakan bahagia, haru, sekaligus sedihnya.

“Mungkin! Tapi kayaknya iya sih tapi mereka tidak menunjukan pada kita.” jawabku.

Adikku mengangguk.

“Kapanpun, di mana pun, dengan siapapun.. kita harus tetap membahagiakan ayah dan mamah.. membuat mereka bangga.” ujarku.

Nzi mengangguk sambil menggigit bibirnya. Ia pun menyondongkan kepalanya, dan aku tahu, kukecup kening adikku dengan penuh rasa sayang.

“Dah sanah.. nanti dicariin kameramen adek.”

“Iiih kakak apaan sih?” kedua pipi adikku memerah.

“Ayo kakak ke sana, kita belum foto looh.”

“Iya nanti. Kakak merokok dulu sebatang lagi.”

“Jangan nangis sendiri loh kwek…”

Kuulurkan tanganku untuk menjembel pipinya dengan gemas, tetapi Nzi behasil menghindar, dan setengah lari meninggalkanku. Kekeh kecilnya terdengar.

Aku kembali asik dengan lamunanku. Rokok kedua kunyalakan.

Aku tidak berbohong kepada Nzi, aku memang merasa sedikit aneh.. aku merasa akan kehilangan rutinitas dan kebiasaan yang kami miliki sejak kecil. Kami selalu bersama dalam suka dan duka, dan setelah dewasa harus berpisah untuk menjani takdir hidup masing-masing.

Namun terlepas dari semuanya itu, dari lubuk hatiku ada rasa kosong yang begitu hampa, membuatku terasa sangat sepi.. sendiri… bahkan lara. Perih yang selama beberapa minggu ini kupendam, hari ini terasa menyiksa.

Aku harusnya merayakan hari bahagia Kak Kekey sambil menggandeng gadis kesayanganku. Menunjukan kepada keluarga besar tentang seseorang.. dengan bangga memamerkan gadis tercinta yang kelak akan juga berdiri di atas panggung dengan saling memasangkan cincin seperti yang kakakku lakukan.




Tapi gadis itu… kini hanya sekedar angan-angan kosong. Ia sedang sibuk mengatur tamu undangan. Kami tidak banyak bicara lagi, hanya saling sapa seperlunya, dan pura-pura larut dalam kesibukan yang sebenarnya bukan tanggungjawabnya.




Aku sudah mengembalikannya kepada Om Sulis dan Tante Nur ketika aku masih berbaring di rumah sakit. Aku mengembalikan status dari pasangan kekasih menjadi jalinan persaudaraan. Hanya aku sendiri yang tahu sakitnya ketika mengatakan itu. Hanya jiwaku yang tahu akan lara yang harus kuderita. Hati kecilku tidak pernah rela. Aku teramat mencintainya.




Dua kejadian beruntun yang menimpaku memang cukup membantu untuk melupakan. Kesibukanku bekerja dan juga menyelesaikan urusan dengan Salsa dan Tante Wulan adalah candu yang membuatku tak ingat lagi rasa patah hati. Tapi kini… semuanya terkuak kembali tanpa kumaui.




Sekarang aku sadar, sikapku yang lebih emosional ketika berada di dekat Rere itu bukan karena aku membencinya, tapi justru sebaliknya, aku terlalu mencintainya. Perih ketika aku sadar… sakit ketika aku jujur pada diri sendiri. Tekad untuk membiarkannya bahagia tanpa harus kumiliki memang cukup menguatkan, namun itu hanyalah candu semu, obat sesaat, sementara hati tak pernah bisa mengkhianti rasa yang sejati.




Aku gedek sendiri. Tubuhku bergetar merinding. Jujur pada diri sendiri itu memang menyakitkan. Aku urung menyalakan rokok ketigaku ketika pembawa acara memanggil. Keluarga Kak Rega baru selesai foto, dan saatnya keluarga dari pihak perempuan.




Kuusap muka dan aku mencoba menggerakan otot-otot wajah. Aku melangkah dengan tenang, menaiki panggung sambil tersenyum.




Aku dan mamah berdiri di samping Kak Rega, ayah dan Nzi di samping Kak Kekey. Senyum bahagia kami pancarkan ketika blitz menyala berulang-ulang.




“Selamat, ya kak, I love you.” aku cipiki cipiki dan diakhiri pelukan hangat.


"I love you too, adikku sayang.” kakak tersenyum haru.


"I love you, kak.” sambil memeluk Kak Rega.


“Terima kasih, Rei.I proud of you.” balasnya.




Acara saling mengungkapkan rasa bahagia dan sayang pun berakhir. Kami melangkah menuju meja makan yang sudah disediakan.




“Rei, bisa bicara sebentar?” Rere mendekat. Aku mengangguk heran.


“Ayah, Mah, pinjem Reinya sebentar.” ujarnya pada orangtuaku, dan mereka pun tersenyum sambil mengangguk. Mata mamah malah berbinar bahagia melihat kami berdua.


“Ada apa, Re?” sambil meliriknya. Gadisku sungguh-sungguh cantik. Dengan dadanannya seperti ini ia lebih mirip sebagi calon mempelai perempuan daripada sekedar seksi sibuk.


“Ikut saja.” jawabnya singkat.




Tidak ada nada ketus lagi. Kedua pipinya malah nampak merona karena kuperhatikan.




Rere mengajakku ke cottagenya dan memintaku menunggu di luar. Ia masuk sebentar dan tak lama kemudian muncul kembali sambil memeluk sebuah buku tebal. Perasaanku berdesir, itu adalah agenda yang cukup lama tersimpan di kamarku selama aku tidak ada.




Rere mengapit lenganku. Ingin rasanya aku memeluk pinggangnya agar ia tahu bahwa aku masih sangat menyayanginya, tetapi aku takut Rere marah dan mengacaukan suasana. Aku melangkah mengikuti tuntunannya.




Kami berjalan agak menanjak lantas duduk pada sebuah kursi taman. Tempat yang indah dan nyaman. Dari tempat ini kami bisa melihat barisan cottage yang berjajar saling berhadapan, dipisahkan oleh kolam-kolam kecil dan aliran sungai buatan. Kami juga bisa menikmati kemeriahan acara di ujung sana.




Kami saling diam. Lidahku kelu, Rere sama saja. Sementara lantunan lagu “Bukti” dari Virgoun malah bagai menyayat perasaanku.


“Maaf.” suara Rere nyaris tidak terdengar.




Mau tidak mau aku pun melirik, Rere menunduk tanpa membalas.




“Untuk?”


“Kita.”




Kami berkata sepatah-sepatah, sama sekali tidak ada kemesraan seperti yang pernah kami miliki. Kikuk.. itulah yang kurasakan saat ini.




“Selama ini aku selalu menghindar untuk berbicara tentang ‘kita’, aku takut.” desah Rere terdengar resah.




Aku tengadah menatap bulan purnama yang mulai merangkak naik. Waktu kecil mamah selalu mengatakan bahwa di atas sana ada Nini Anteh yang sedang duduk bersama kucingnya sambil menyulam. Tapi yang kulihat sekarang seolah seringai semesta yang sedang menertawakan nasib cintaku.




“Aku yang minta maaf, Re, karena waktu itu aku malah menyampaikan semuanya di depan keluarga kita. Aku terpaksa waktu itu.. padahal niatku sebetulnya menyelesaikannya berdua seperti ini.” ujarku datar.




Dari sudut mataku kulihat Rere mengangguk.




“Ini…” Rere menyodorkan buku harian yang sedari tadi ia dekap.


“Apa ini, Re?”


“Kalau kamu ingin tahu tentang perasaanku, semuanya ada di sini.” Rere tersenyum sambil tetap menyodorkan bukunya, tapi kulihat matanya berkaca-kaca.




Kuterima buku itu. Kuusap permukaannya.




“Nomor kuncinya 127.” ujarnya, aku mengangguk tanpa mampu menjawab. Aku malah ketakutan untuk membukanya.




Kuputar-putar kuncinya, tapi Rere meminta supaya tidak membacanya sekarang. “Baca sehari sebelum kamu pergi.” begitu pesannya.




“Mmaksudmu, Re?”


“Sebelum kamu pergi ke Anta.”




Aku mendesah resah.




“Apa tidak ada baiknya kalau kita saling mengungkapkan apa yang kita rasa dan kita mau secara langsung, Re? Sekarang…” aku setengah memohon sambil menatap kosong ke arah kejauhan.




Kali ini Rere yang mendesah.




“Aku… aku terlalu menyayangimu, Rei. Aku terlalu melihatmu sebagai pria yang sempurna.. sangat sempurna… maka ketika aku menemukan cela, itu sangat menyakitkan bagiku. Aku tidak siap. Itulah alasannya aku menghindar. Aku hanya butuh waktu untuk menerima bahwa apa yang kubayangkan itu salah. Berusaha menerima bahwa sebetulnya aku yang cacat karena menganggapmu terlalu sempurna.”


“Apakah masih ada kesempatan untuk kita…”




Rere mengibaskan tangan sambil menggeleng. Air matanya mulai mengalir. Aku paham… harapanku tidak akan menjadi kenyataan. Aku pun memilih untuk tidak melanjutkan ucapanku.




Kugigit bagian dalam bibir. Aku harus bisa menerima. Aku harus tegar. Aku harus kuat. “Harus?” Yeah itulah satu-satunya kata penghiburan, walaupun dalam kenyataannya apa yang ‘harus’ tidaklah mudah untuk dilakukan.




“Kapan kamu berangkat ke Anta?” Rere malah mengalihkan obrolan. Dan itu menyakitkan… ia seolah menganggap semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi yang harus dibahas dari hubungan kami. Kisah indah itu telah benar-benar berakhir. Menyisakan kenangan.


“Tiga hari lagi.” jawabku sambil tengadah menatap kembali bulan.


“Hei kau.. ya kamu… malam ini di bawah sinarmu, cintaku benar-benar berakhir. Tapi jangan halangi aku untuk tetap mencintai dan menjaganya dengan caraku.”




Senyumku terulas. Entah untuk apa.. entah.. tak ada alasan. Satu yang kutahu, hatiku perih, dan aku ingin kebersamaan ini segera berakhir. Aku ingin sendiri. Berdiam.. meratap bisu.. tanpa ada yang tahu.




“Jangan cari aku sebelum kamu pergi, kamu tidak akan menemukanku. Tapi bawalah aku pulang.”




Cleeeeep!!




Bagai ada yang menusuk jantungku. Aku menatap Rere kaku. Gadisku rupanya sudah berderai air mata.




“Maksudmu ‘bawa aku pulang’?”


“Jawabannya ada pada buku itu.”


“Re, kamu.. kamu tidak merencanakan hal yang aneh-aneh, kan?” aku gugup sekaligus panik.


“Apa? Hiiiks.. kamu pikir aku mau bunuh diri? Hiiks…” sial. Jangankan memeluknya, mengusap air matanya pun aku tidak berani.


“Bukan itu tapi…”


“Kamu temukan jawabannya pada buku itu.” jawab Rere.




Aku menghela nafas resah. Rere sangat misterius.




“Aaaarrrh…” Rere mengerang sambil mengusapi air matanya dengan kasar. Ia nampak begitu lega tapi juga terlihat hampa.


“Ayo kita makan.” Rere berdiri sambil terus mengusapi air matanya dengan tissue.


“Re, aku belum selesai bicara. Aku masih punya ganjalan.” aku tak bergeming.


“Aku tahu apa yang ingin kamu ungkapkan. Kamu mau minta maaf, kan? Kamu juga mau kita memulai kembali? Ijinkan aku memilih, dan hormati pilihanku. Dan ingat… bawa aku pulang!”




Tanpa berucap lagi Rere beranjak meninggalku. Setelah menuruni anak tangga ia menengok karena aku tidak mengikutinya.




“Kamu makan duluan, aku merokok dulu sebentar.” ujarku.


“Jangan banyak-banyak.”


“Iya.”




Rere pun melangkah, tetapi dua langkah kemudian ia menengok lagi.




“Rei, maafkan kalau aku memakai bulu mata palsu. Aku tahu kamu pasti tidak suka, tapi percayalah bulu mataku tidak ada dipotong kok.” untuk pertama kalinya aku melihat Rere kembali tersenyum.




Aku terkekeh getir. Aku bahkan tidak paham mengapa Rere menyampaikan itu, toh ia sudah memilih untuk mengakhiri hubungan cinta kami. Aku tidak punya hak melarang, dan ia tidak punya kewajiban meminta maaf.




Kulihat punggung Rere. Rokokku malah hanya kugigit tanpa kusulut. Mataku panas, tapi tidak ada air mata yang keluar. Bangunan cintaku sudah runtuh, dan sepertinya tubuhku sendiri sudah lelah untuk meratapinya.




“Selamat tinggal Renata Cahya Nirmala!”








https://t.me/cerita_dewasaa








Tak ada pesta yang tidak berakhir. Acara pertunangan sudah berjalan dengan lancar dan mengesankan. Kakak terlihat sangat bahagia.




Kini kami kembali kepada kehidupan sehari-hari, terbenam dalam rutinitas harian. Tetapi aku memilih untuk tidak masuk kerja lagi, semua tugasku langsung kuberikan kepada Inka. Kalangan terbatas dalam keluarga paham, waktuku tinggal sebentar.




Hari terakhir sebelum keberangkatanku ke Anta kuhabiskan dengan menyendiri di rumah. Kakak dan orangtuaku bekerja, dan Nzi berangkat kuliah. Memang ada Oma Ewer yang sejak acara pertunangan belum pulang, tapi ia sedang jalan-jalan bersama Rana, mengunjungi keluarga Oma Ningrum di Cimahi.




Setelah dua hari menahan diri, akhirnya tiba waktuku untuk membuka buku harian yang Rere berikan. Benar saja… isinya beruba puisi-puisi cinta dan rindu yang Rere goreskan setiap hari.




Goresannya tidak ada yang panjang, tetapi perlu waktu lama setiap mau berganti halaman. Ingatanku banyak melayang.. mengingat dan mengenang… dan kini semuanya terasa menyakitkan.




Mataku panas dan panas… tidak ada air mata.


Dadaku sakit dan sesak… tapi masih saja bernafas.




Aku harusnya bangga dan bahagia menerima cinta luar biasa seorang Rere, tetapi yang kurasa justru sebaliknya… semua coretan ini hanyalah peninggalan cinta masa lalu… yang kini sudah tak tersisa.. setidaknya di dalam hati Rere.




Lembaran demi lembaran kubuka sambil mengenang.. peristiwa-peristiwa indah terbayang… lagi semakin menyesakan.




Dugh.. dugh.. dugh…




Akhirnya mataku berair. Aku bisa menangis lagi. Aku melongo membaca goresan tinta biru…






Rere said:




2 Juli…




Aku ingin berlari.. aku ingin membenci… tapi apa dayaku.. kakiku terlalu lemah untuk melangkah jauh… cintaku sudah terpatri.. magnet cintaku ada padamu. Aku sayang kamu, tetap sayang, dan akan kupegang teguh janjiku, tak ada pelaminan untukku selain denganmu.






Kudekap halaman itu pada dadaku dengan tubuh bergetar. Aku tak lagi tegar.. air mataku pecah. Rere menuliskannya pada hari aku mengembalikannya pada orangtuanya. Di rumah sakit!




“Tapi kenapa, Re, kenapa kamu tidak mau mengakuinya secara langsung? Kenapa kamu selalu menghindar?” aku berbicara sendiri.




Kuusapi air mataku. Kubuka halaman berikutnya. Kosong!!




Kubuka dan kubuka… kosong juga.. eh masih ada.. di halaman paling akhir. Tertanggal sehari sebelum pertunangan Kak Kekey dan Kak Rega. Di hari ia memberikan buku ini kepadaku.






Rere said:




Mampukah aku hidup tanpamu?


Bisakah aku kehilangan kehendak untuk mencintaimu?


Tidak, sayang, tidak.




Aku pernah berkata, sukses dan gagalmu adalah sukses dan gagalku.


Bahagia dan dukamu juga milikku.


Aku tak pernah ragu.




Kau akan pergi..


Aku tak ingin menanti..


Raja Anta meminta wadal, akan kuberikan.




Datanglah, sayang, sempurnakan warisan leluhur.


Temukan aku dan bawalah pulang.


Tapi jika gagal, jangan menyesal.


Ijinkan aku jadi tumbal, bukan yang lain.


Aku ikhlas menjadi wadal atas nama cinta kita.


Korban silih atas nasib hidup banyak orang.




Aku mencintaimu, dan inilah caraku membuktikannya.


Kamu harus hidup, aku tak apa.


Jadilah ksatria.


Jadilah Sang Pewaris.




Kutulis dengan cinta, dan ketika kamu membaca ini, aku sudah ada di Anta.






“Tidaaaaaak!!!!!”




Jangan… jangan... BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar