Sang pewaris part 68

 

Bab 68

Enzo sahabatku memang kampret!! Dugaanku benar, dia tidak sungguh membawa niat baik ketika bertemu Tante Wulan. Kalau saja aku tidak mengajak Ariska kerjasama sebelumnya, situasinya akan lebih kacau lagi.

Betapa tidak, pertemuan yang sudah kami rencanakan dengan baik ternyata tidak berjalan mulus. Pertemuan diawali dengan pertengkaran hebat, meski tanpa beradu fisik tentu saja. Kata-kata kasar membuncah dari mulut Enzo yang memang punya luka batin yang dalam karena sejak kecil sudah kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Tante Wulan shock dan tersinggung, ia merasa direndahkan karena dianggap sampah. Harga dirinya sebagai manusia, dan sebagai wanita, merasa tercabik.

Aku dan Ariska hampir saja tidak bisa mengendalikan situasi. Untung saja Ariska sudah menyiapkan rencana kedua tanpa sepengetahuanku. Ia menghadirkan Tante Puki.. eh maaf Tante Pupuh Kinanti. Enzo hanya tunduk pada wanita itu dan mau mendengarkannya, entah ada riwayat apa di belakang hubungan mereka. Yang kutahu, sejak kecil Enzo memang dirawat oleh wanita beranak satu itu.

Tante Pupuh meminta Tante Wulan diam dan menyuruh Enzo menumpahkan segala kemarahan, kekecewaan, kecurigaan, dan bahkan kebenciannya. Setuju atau tidak, tersinggung atau tidak, Tante Wulan hanya dibolehkan mendengarkan. Tanpa memotong atau menyangkal. Enzo memang cukup sarkas, dan ia bagai orang gila yang menumpahkan semua kemarahannya yang ia pendam sejak masa remajanya.

Setelah sahabatku puas dan kehabisan kata, barulah Tante Wulan diijinkan berbicara, sedangkan Enzo hanya boleh diam. Riwayat panjang pun disampaikan oleh Tante Wulan.

Setelah emosi masing-masing ditumpahkan tanpa ada lagi ganjalan yang tersisa, barulah proses rekonsiliasi bisa berjalan lebih tenang. Kalau mencari yang salah, mungkin Tante Wulan salah, mungkin Enzo juga salah, tetapi berhenti pada kesalahan tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Begitulah.. setelah pertemuan sekitar lima jam, akhirnya kata maaf saling mereka ucapkan. Salam dan peluk saling mereka berikan, sambil berderai air mata tentu saja. Biar bagaimana pun, suka atau tidak, Tante Wulan adalah wanita yang telah melahirkan dua anak dari ayah kandung Enzo. Tante Wulan mungkin bukan siapa-siapa bagi Enzo, tetapi ia tidak bisa menyangkal keberadaan dua adik tiri yang punya titisan darah yang sama dari ayah yang sama. Sebrengsek apapun pria itu.

Enzo mau menerima kenyataan itu, sudahlah cukup bagiku. Dan bahwa keduanya mau berdamai, itu adalah bonus bagi kami semua. Selebihnya, soal urusan menjatuhkan sang ayah dari tahta perusahaan raksasa keluarga, itu menjadi rencana dan urusan mereka sepenuhnya. Tugasku sudah selesai, kecuali kalau mereka sendiri yang meminta bantuan, aku akan mengulurkan tangan sejauh yang aku bisa.

“Makasih, Rei.” Enzo memelukku erat.

Sudah waktunya aku pamit karena waktu sudah menunjukan jam setengah lima sore. Keluargaku dan keluarga Kak Rega pasti sudah berkumpul di Lembang. Besok adalah hari bahagia pertunangan kakakku.

“Santai. Aku bangga padamu.” aku setengah berbisik sambil membalas pelukan persahabatan darinya.

“Ngomong-ngomong untuk design interior rumahmu, anak buahku sudah kirim lewat email.” ujarnya.

“Oh kamu lagi bangun rumah, Rei?” Ariska menyahut.

“Rumah masa depan dengan calon istri tercinta.” Enzo menjelaskan.

Aku tersenyum saja mendengarnya, Enzo belum tahu bahwa hubunganku dengan Rere sudah berakhir. Kedekatan yang ada sekarang ini, itu semata-mata karena Rere adalah saudaraku, meski bukan sepupu kandung.

“Aku serahkan semuanya ke timmu, Zo.” jawabku. Aku sudah tidak lagi bersemangat, mau dibuat seperti apapun aku sudah tidak lagi peduli.

Sementara Ariska malah menyelamatiku sekaligus memberikan pelukan perpisahan. Kusalami juga Tante Pupuh. Terakhir Tante Wulan memelukku hangat sambil kembali menitikan air mata. Wanita itu masih belum mau pulang karena masih banyak yang ingin mereka bicarakan tanpa kehadiranku.

Tante Wulan mengantarku sampai ke mobilku yang terparkir di halaman sebuah hotel tempat kami mengadakan pertemuan.

“Rei, sekali lagi tante berterima kasih padamu.” ujarnya tulus. Aku memang sudah tidak memanggilnya dengan ‘ibu’ lagi.

“Sama-sama, Tante. Senang bisa membantu dan aku juga ikut senang karena kalian bisa berdamai dan menjadi satu keluarga.” jawabku.

Senyum manis terpulas pada wajah cantiknya. Matanya yang bengkak dan makeupnya yang menipis karena bekas tangisan tidak menghilangkan pesona cantiknya.




“Dan tante juga berterima kasih soal Iba. Salam untuknya, dia pemuda yang baik.” ujarnya lagi.




Sehari sebelumnya aku memang menemui Tante Wulan untuk mempersiapkan pertemuan hari ini sekaligus menjelaskan soal keberadaan Iba. Aku memang tidak mengaku bahwa Rei dan Iba adalah orang yang sama, tapi aku mengaku bahwa mengetahui hubungan mereka.




Tentu saja Tante Wulan kaget dan malu, namun ia mau terbuka setelah yakin aku bisa menyimpan rahasia. Ia juga tidak keberatan ketika aku menyampaikan bahwa Iba kularang menemui Tante Wulan lagi. Bukan apa-apa, tetapi demi kebaikan bersama mengingat Tante Wulan berasal dari keluarga terpandang.




Tante Wulan sempat memaksa agar bisa bertemu Iba untuk yang terakhir kalinya, namun ketika kujelaskan dua kejadian buruk yang menimpanya, Tante Wulan paham. Di samping kaget tentu saja.




Setelah bercakap-cakap sebentar, sekali lagi aku pamit. Salaman dan cium pipi saling kami berikan. Aku merasa ada yang mengawasi kami, tetapi mungkin hanya perasaanku saja, dan aku pun melajukan mobilku dengan kencang.




Sejam kemudian aku baru tiba di villa. Tidak terlihat keramaian, kecuali orang-orang yang sedang mendekorasi taman tempat acara besok dilaksanakan. Sepertinya anggota keluarga sedang berada di dalam cottage masing-masing.




Eh.. pintu mobilku terbuka sendiri. Aku menengok sambil melepas safety belat.




“Dari mana saja kamu, Rei? Banyak orang nungguin kamu. Kamu kan panitia juga, tapi jam segini baru datang.” wajah kesal langsung menyambut kedatanganku.


“Eh Re.. maaf.. aku.. aku habis bertemu Tante Wulan dulu tadi.” jawabku.




Rere nampak terkejut dan bias cemburu terpancar.




“Masih? Masih ketemu dia? Belum tobat kamu?!” Rere tiba-tiba marah.




Yeah salahku sendiri, aku tidak memberitahunya tentang rencana pertemuanku dengan Tante Wulan. Tapi datang-datang disambut hardikan seperti ini membuatku kesal juga.




Kukeluarkan bungkus rokok dan kucatut sebatang. Belum juga kusulut, Rere merampasnya dari mulutku dan meremas dengan geram.




“Re?!” aku kesal.


“Habisnya ditanya malah tak acuh!” sewot Rere.


“Ya kamu langsung marah-marah saja tanpa mendengar penjelasanku.”


“Ya makanya jelasin sekarang!”




Kukeluarkan sebatang rokok baru. Enam jam tidak menghirup nikotin rasanya membuat emosiku tidak stabil.




Tangan Rere menyambar kembali, tetapi kali ini si batang putih sempat kuselamatkan.




“Kamu jelaskan dulu baru boleh merokok.” sewot Rere.


“Aku baru mau jelasin sambil merokok!” jawabku.


“kamu?!” Rere geram sambil mengepalkan kedua tangannya.




Rere benar-benar marah, tetapi bahwa ia tidak berniat lagi meremas rokokku itu sudah cukup bagiku. Kusulut dan kuhisap dalam-dalam.




“Sudah beres persiapannya?!”


“Bodo!!! Kamu lihat sendiri sana!!”




Haisssh.. aku salah bertanya. Gadis itu bersidekap sambil menatapku tajam.




Aku menghela nafas sambil membuang asap. Kubalas tatapannya sebentar, lantas tengadah melihat langit yang mulai gelap. Di ujung timur purnama mulai menampakan sinarnya. Tanpa direncanakan, pertunangan kakak besok malam bertepatan dengan puncak bulan purnama.




“Aku ingin tidak ada lagi urusan yang tertunda di hari bahagia kakak.” gumamku. “Aku bertemu dengan Tante Wulan untuk menyelesaikan hubunganku dengannya.”




Rere langsung bungkam mendengar penjelasanku. Sorot mata senang, lega, kecewa, sedih, marah, cemburu, dan entah apa lagi nampak tersirat.




Sejak dua minggu terakhir hubungan aku dan Rere memang berubah. Kami lebih banyak bertemu khususnya dalam mempersiapkan acara pertunangan kakak, tetapi kami juga lebih sering bertengkar tanpa sebab. Rere lebih sensitif, dan aku mudah tersinggung. Aku sendiri tidak mengerti kenapa.




“Oh baguslah. Kamu tidur di cottage dengan keluargamu, nomor tujuh.”




Udah aja begitu. Tanpa permisi Rere pun meninggalkanku. Aku terdiam sambil menatap punggungnya. Aku baru bergerak setelah ia menghilang, kubuang puntung dan melangkah menuju cottage yang Rere sebutkan. Aku sudah tahu lokasinya karena memang pernah survey.




Aku melangkah di antara kolam dan sungai buatan, sekali-kali berhenti ketika bertemu dengan beberapa keluarga yang kebetulan sedang nongkrong di depan cottage mereka. Salam dan sapa hangat saling kami berikan. Bahkan aku berbincang cukup lama ketika berjumpa dengan Om Ega dan Tante Sore, juga anak sulungnya yang bernama Gera. Calon kakak iparku ternyata sangat cantik. Kami memang sudah pernah saling bertemu beberapa kali, dan terakhir bertemu ketika sebelum aku berangkat sekolah ke luar negeri. Kak Gera nampak semakin cantik dan seksi karena sedang mengandung anak keduanya.




Setelah merasa cukup aku pun pamit dengan alasan mau mandi. Tanpa mengetuk, kubuka pintu cottage. Orangtua sedang duduk bersama kedua saudariku sambil meneliti pakaian yang akan kami kenakan besok. Aku melongo… sampai lupa memberikan ciuman seperti biasa ketika pulang kerja.




Bukan karena pakaian mereka yang sedang mereka bahas dan kagumi, tapi karena seekor harimau duduk gagah di lantai, di ujung sofa tempat ayah duduk.




“Groaaaarrr…!”




Mamah dan kedua saudariku terlihat tidak terpengaruh atas keberadaan makhluk itu, ayah juga bersikap tenang.




“Kak.. woi… kakaaaaak….” Nzi melompat ke arahku sambil menggoyangkan telapak tangan di depan wajah.


“Eh.. ehem… iya, dek?”


“Iiih.. kakak datang-datang malah bengong.” seru Nzi.


“Itu… adek bisa lihat?”


“Hah? Lihat apaan?”


“Ada apa sih, dek?” kakak menyahut.


“Yah?”




Ayah hanya tersenyum. Mamah menatap ayah dengan heran. Lantas semua mata memandang ke arahku.




“Kakak iiiih..” Nzi menggoyang-goyang bahuku sambil mendekatkan kening.




Aku tergagap sebentar lantas kukecup keningnya. Senyumnya mengembang meski masih terlihat heran karena aku masih celingukan.




Kutatap Sawaka, lantas mendekati ayah dan mamah, kucium pipi mereka. Juga pada Kak Kekey.




“Sayang?” mamah masih heran.


“Itu! Ayah?”


“Ada Sawaka, Mah.” ujar ayah.


“Oalah.. kirain kenapa..” jawab mamah santai.


“Haaaaah?” kakak dan Nzi berseru bersamaan.


“Dia nunggu kamu, Rei.” ujar ayah tanpa menghiraukan pekik kaget kedua putrinya.




Sawaka bangkit lalu mendekatiku. Menyeringai memamerkan taring, lidahnya terjulur. Jarang sekali aku melihat Sawaka dalam wujud aslinya, tapi aku sudah tahu kalau harimau ini adalah dia.




Kutepuk rahangnya dan kuuyel-uyel gumpalan bulu tebal pada lehernya. Kakak dan Nzi malah ketakutan melihat tingkahku, jelas mereka seperti itu karena keduanya tidak bisa melihat Sawaka. Mamah juga sepertinya tidak bisa melihat tapi nampak tenang-tenang saja.




“Sudah waktunya, Rei.” terdengar suara Sawaka, meski wujudnya tetap tidak berubah.


“kamu lulus rintangan.”




Aku terntu saja senang mendengarnya, spontan kupeluk lehernya. Nzi menjerit, dan meloncat memeluk mamah. Kakak memeluk ayah.




“Kamu cium ubun-ubun mereka.” perintah Sawaka dan kujawab dengan anggukan.


“Maaf, Mah.” aku meminta ijin, lantas kukecup pusat kepala mamah.




Mamah pun tersenyum, ia melihat Sawaka tanpa ketakutan. Ia menatap Sawaka sebentar lantas saling pandang mesra dengan ayah.




Kukecup ubun-ubun Nzi, adikku menjerit tapi berhasil kubekap agar tidak terdengar anggota keluarga yang lain. Adikku meringkuk ketakutan dalam pelukan mamah.




“Kamu tenang saja, sayang. Dia baik.” mamah menenangkan.


“Ada apa sih?” kali ini kakak yang kebingungan di sela takutnya.




Aku pun mendekat dan mencium ubun-ubun kakak. Sama seperti Nzi, kakak terbelalak dan hampir menjerit, tapi ia bisa membekap mulutnya sendiri.




Butuh waktu bagi aku dan ayah untuk meyakinkan Kak Kekey dan Nzi agar tenang dan tidak takut.




Akhirnya ketakutan mereka berubah menjadi pesona kagum. Sawaka memang gagah. Tubuh putihnya yang semampai dan sikap garangnya malah mengagumkan. Mahkluh putih besar itu berjalan keliling mendekati mamah dan Nzi, juga ayah dan kakak. Dari gerak-geriknya terlihat sangat hormat dan patuh pada ayah dan mamah.




Kakak yang pertama berani dibanding Nzi. Ia mengulurkan tangan, menyentuh kepala Sawaka dan mengusapinya. Makhluk itu menjulurkan lidah dengan mata terpejam. Melihat itu, adikku mulai ikut-ikutan meski terlihat ragu.




Sadar bahwa Sawaka memang jinak, adikku malah menjadi orang yang paling antusias. Ia semakin berani. Nzi turun dari sofa, dan mau memeluk leher Sawaka.




“Nzi jangan!!” cegahku.


“Kenapa, Kak?”




Aku menggeleng. Sawaka memamerkan taringnya kesal, ayah menahan senyum, mamah mesam-mesem.




“Pokoknya jangan, nanti istrinya marah.” jawabku sekenanya. Ayah pun terbahak. Ayah paham mengapa aku melarang Nzi memeluk Sawaka, makhluk ini sangat mesum, sama seperti ak… eh aku tidak mesum!!


“Kak.. adek… dialah yang selama ini menjadi pelindung Sawer dan Ewer; juga yang menjaga kita. Dia pulalah yang menjadi alasan Rei, saudara kalian, beberapa kali menghilang karena harus menjalan sebuah misi spiritual.” ayah menjelaskan disambut anggukan kakak dan Nzi.




Ayah menunjuk sebuah kursi lebar tanpa sandaran. Sawaka patuh, ia meloncat dan duduk di sana.




“Sekarang jelaskan apa maksud kedatanganmu.” ujar ayah.




Makhluk itu berbicara. Kakak dan Nzi kembali terbelalak kagum. Mungkin aneh ada harimau bisa berbicara bahasa manusia.




“Rei, sudah berhasil menyelesaikan rintangannya di dunia kalian.” Sawaka menjelaskan.




Kulihat mamah dan ayah bernafas lega. Aku tak kalah senangnya. Kakak manggut-manggut, Nzi masih terpana atas apa yang ia lihat dan ia dengar.




“Berikutnya apa?” tanyaku.




Sawaka mengaum, terdengar auman balasan dari atas bukit. Mantili rupanya ada di sana.




“Tiga rintangan lainnya harus dilaksanakan di Anta dan disempurnakan dengan ritual.” jelas Sawaka.


“…” kami semua menyimak.


“Tiga hari setelah purnama, pada hari kedua bulan ketujuh tanggalan Anta, Rei harus berangkat ke sana.”


“Bulan purnama kan besok malam.” gumam mamah.




Sawaka mengangguk. Ekspresi senang pun berubah sedih. Mereka tahu aku harus pergi dan kami akan berpisah kembali.




“Berapa lama?” terdengar suara ayah sangat dalam.


“Selama tiga purnama, tapi….”




Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Tiga purnama bukanlah waktu yang singkat. Lagi pula kata ‘tapi’ seringkali menjadi momok (sunda: momok = memek) yang menakutkan.




“Harus berhasil.. kalau tidak…”


“Apa?” ayah dan mamah serempak, mereka mulai terlihat khawatir.


“Mahaprabu Anta menginginkan wadal gadis perawan jika Rei ingin kembali dalam keadaan hidup.”




Jedeeeeeerrrr!!!




Ayah menghempaskan duduknya pada sandaran. Aku mematung dan berkeringat dingin. Mamah memekik memelukku, juga kakak dan Nzi.




“Apa tidak ada jalan lain?” tanya ayah dengan suara hampa.


“Ada.” jawab Sawaka, “Dan ini yang ingin kubicarakan bersama Rei dan kalian semua.”


“Pada purnama ketiga, Rei harus bisa membunuh Mahaprabu Anta dan mengambil alih tahta kerajaan. Jika tidak, walaupun Rei berhasil melewati rintangan dan bisa melakukan ritual, aku yakin mahaprabu tidak akan melepaskan gadis itu. Ia mulai semena-mena dan melupakannya janjinya pada leluhur kalian.”


“Ssiapa gadis itu?” aku tergagap.




Sawaka menggeleng sebentar, jawabnya, “Tentang gadis yang akan dijadikan ritual dan gadis yang dipilih sebagai wadal oleh mahaprabu, aku tidak bisa mengatakannya. Yang jelas mereka masih dari pihak keluarga kalian.”




Duaaaaarrr!!!




Aku langsung mandi keringat. Ayah terlihat marah. Mamah dan kedua saudariku hanya bisa menangis.




“Maafkan aku, aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantu kalian. Tapi aku bisa membantu Rei untuk menemukan cara agar bisa membunuh Mahaprabu Anta.” Sawaka terlihat ciut melihat kemarahan ayah tetapi juga tidak bisa berbuat banyak.




Ayah pun hanya bisa memendam amarahnya, sedangkan aku semakin ketakutan. Terbayang para gadis yang berada di lingkunganku, anggota keluargaku, baik keluarga inti maupun keluarga Ewer dan Sawer lainnya. Kalau hanya masalah dijadikan pasangan ritual aku akan senang-senang saja karena selama ini yang kusuwir selalu bekas si Dante jahanam, ada satu yang bukan, yaitu Bunda Rahma, tapi bunda juga tentu saja sudah tidak perawan. Tapi masalahnya bukan hanya itu, ada satu nyawa yang terancam.




“Kalian tenang dulu, jangan menangis.” ujar ayah. Ia berhasil menyembunyikan amarah dan kecewanya, dan menatap teduh pada kami semua.


“Lalu apa rencanamu untuk Rei?” tanya ayah pada Sawaka.


“Rei harus tetap melaksanakan rintangan yang tersisa agar bisa melakukan ritual. Tapi aku akan mengelabui Mahaprabu Anta. Aku akan membuat semua rintangan itu sebagai ajang latihan kedigjayaan bagi Rei sehingga setelah ritual, ia bisa membunuh Raja Anta.” jelas Sawaka.




Kami sama-sama menghembuskan nafas. Masih ada harapan, dan itu semuanya tertumpu padaku.




“Kamu ingat?!” Sawaka menatap ayah. “Kesaktianmu dan pendahulumu baru didapatkan setelah ritual. Hal itu berlaku juga bagi Rei. Tetapi itu masih belum cukup untuk menjatuhkan mahaprabu. Maka Rei harus berlatih ilmu kedigjayaan dalam tahapan-tahapan rintangannya.”




Ayah dan mamah mengangguk paham.




“Aku harap rencana ini bisa berhasil, karena hanya itu satu-satunya cara untuk menghentikan kepicikannya. Mahaprabu Anta harus tumbang dan tahta kerajaan harus dipegang bangsa kalian…”




Aku menelan liur tanpa sanggup berkata apa-apa.




“Jika Kerajaan Anta bisa diambil alih, maka tidak akan ada lagi huru-hara atas kehidupan di Sawer dan Ewer dan sekitarnya. Seluruh warga manusia dari sungai Lasi Ejaku di timur, gunung Eyang Jembi di Barat, Bukit Ki Toris di Utara, sampai Lembah Ngecrit di Selatan, akan hidup sejahtera.”




Aku menganga mendengarnya. Wilayah itu sangatlah luas, mungkin di dunia Sawaka itulah seluruh kekuasaan kerajaan Anta. Tetapi untuk bisa mewujudkannya sangatlah berat dan bahkan mustahil.




“Perjalanan ritual seperti yang sedang dilakukan oleh Rei sekarang sebetulnya hanyalah topeng yang dipakai mahaprabu untuk memenuhi janji kepada para pendahulu kalian, namun itu tidak akan pernah berhenti. Raja Anta akan selalu menuntut ritual pada setiap generasi penerus. Bukan tidak mungkin jika ia juga akan meminta wadal kepada generasi penerus setelah Rei setiap purnama datang.”


“…”


“Jika terus-terusan ada ritual dan wadal, itu akan menguntungkan bangsa suwirers, tetapi menyusahkan kaum trid starter.” pungkas Sawaka.


“Sebentar.. sebentar…” aku menyela karena bingung. “Yang mesum itu sebetulnya Raja Anta atau Mahapatih Sawaka secara….”


“Groaaaaarrrr!!!”




Aku pun langsung bungkam.




“Aku kena kutuk Raja Anta makanya aku mesum, aslinya ya.. adalah sedikit…” jawab Sawaka.




Pemirsa suwirers pun tertawa, tetapi tidak dengan kami di sini. Misi berat yang disampaikan Sawaka membuat kami sedih sekaligus takut.




Setelah Sawaka menyampaikan semuanya, ia pun pamit. Tubuhnya menghilang dan hanya terdengar auman yang menggetarkan. Kini tidak ada lagi perayaan atas keberhasilan rintanganku, melainkan rasa takut dan khawatir atas apa yang akan terjadi berikutnya.




Diam-diam aku menatap kakak yang sedang menangis dalam pelukan mamah. Aku terenyuh.. ia pasti sangat mengkhawatirkanku. Aku juga sedih karena sudah merusak suasana gembira di hari pertunangannya.




Tatapanku penuh cinta, tapi rahangku gemeletuk. Gigiku merapat erat seiring menggeloranya sebuah tekad. Tidak boleh ada korban dari orang-orang yang kusayangi.




Kutatap ayah. Ia membalas teduh. Kuanggukan kepala dengan penuh keyakinan.




“Sudah.. sudah… jangan mengkhawatirkan aku. Atas doa restu ayah dan mamah, atas doa dari kakak dan adik, aku pasti bisa melewatinya.” ujarku tanpa keraguan.




Ketiga wanita yang kusayang pun mendongak, ketiganya serempak memelukku. Mamah yang paling erat. Mereka semakin menangis, tetapi aku tegar, ini harus menjadi air mata terakhir kesedihan mereka.




“Sudah Mah.. kak… adekkk…” aku berusaha menenangkan.


“Kita kembali fokus pada tujuan kita di sini. Kita harusnya berbahagia.” lanjutku.


“Tapi empat hari lagi kamu harus pergi, dek.” kakak terisak.


“Ya mau empat hari, mau besok, mau sebulan lagi.. sama saja toh memang aku harus pergi juga.” jawabku.




Aku berusaha ceria, memulihkan suasana sedih kepada senyum yang seharusnya. Kusampaikan tekadku, kuyakinkan mereka bahwa aku tidak gentar.




“Halah.. melawan anak buah Dante saja kalah, apalagi lawan raja maung.” kakak terkekeh sambil mengusapi air matanya.


“Kakak tidak tahu saja, di balik kelemahan adikmu yang ganteng ini, tersembunyi kekuatan yang dasyat.” aku berlagak pongah.




Tawa kecil di sela tangis pun terdengar. Mamah langsung menciumi kami bertiga bergantian. Wajahku pun terkena simbah air matanya.




Ayah menarik kakak supaya duduk dan bersandar pada bahunya.




“Gak cemburu, dek?” goda mamah sekaligus untuk mencairkan suasana.


“Aku masih punya kakak kwek…” Nzi pun menatapku lucu sambil mengusapi sisa air matanya. Ia pun menaruh unggungnya pada dadaku.


“Loh.. loh… terus siapa donk yang sayang mamah?” mamah cemberut.


“Kami semuaaaa!!!” seru kami bertiga.




Mamah dan ayah pun tertawa, sejenak kami menunda rasa sedih. Canda tawa mulai hadir kembali. Kulihat mamah dan ayah saling tatap mesra seolah saling bangga mengatakan: anak-anak kita.




“Ayah, apakah besok sekalian membahas tanggal pernikahan kakak?” aku bertanya pada ayah dan dijawab anggukannya.


“Sebelum purnama ketiga, Yah.” tegasku.


“Eh.. gak!!! Kakak gak mau!!! Kakak baru mau menikah kalau kita semua lengkap!!” kakak galak.


“Kaaaak… untuk jaga-jaga, tadi kan kata Sawaka…”


“Titik!! Tadi katanya kamu pasti bisa!!!” kakak semakin melotot.


“Iya.. iya…” aku hanya bisa garuk-garuk kepala.


“Dek, nikah aja sekalian!” ujarku.


“Iiiih kakaaaak.. apaan siiih?!” Nzi mencubitiku.




Aku mengelak disertai tawa-tawa kecil.




“Demi kakak dan adikmu, Rei, dan demi saudari-saudarimu yang lain!” ujar ayah. Aku tahu maksudnya.




Aku pun mengangguk penuh keyakinan. Aku memang hanya menyampaikan usul, tapi bukan berarti bahwa aku ragu dan gentar. Nyawa pun rela kuberikan untuk empat orang yang kini berada di sekitarku.






Mamang said:


Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada gadis yang menguping di depan pintu. Anehnya ia bisa mendengar semua percakapan, termasuk suara Sawaka.






Ayah dan mamah bergantian memberikan wejangan-wejangan, khususnya untuk kakak. Suasana haru kembali tercipta, namun tidak mengurangi rasa bahagia. Kakak pun memeluk ayah, mamah, aku, dan Nzi secara bergantian. Air matanya kembali berlinang, tapi kali ini adalah air mata kebanggaan dan ungkapan terima kasih serta syukur yang sangat dalam.




“Hmm.. sebenarnya aku dan Mas Rega punya kejutan untuk ayah dan mamah, juga untuk kalian.” ujar kakak setelah kembali ke tempat duduknya.


“Apa, sayang?” tanya mamah.


“Yeee… kalau bilang sekarang bukan kejutan lagi atuh, Mah.” kakak memeletkan lidah. Ia pun bersikukuh untuk tidak menyampaikannya, kami semua baru akan diberi tahu menjelang pernikahannya kelak.




Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pada pintu. Rere datang dan mengundang kami semua untuk makan malam, seluruh keluarga yang lainnya sudah menunggu.










BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar