Bab 67
Kami tiba di rumah sekitar jam dua pagi. Kini para begundal itu sudah dilarikan ke rumah sakit dan sudah sepenuhnya berada di bawah penanganan pihak kepolisian. Om Sulis turun langsung ke TKP dan memimpin anak buahnya.
Sempat terjadi drama kecil ketika polisi menampakan diri. Om Sulis dan Timnya rupanya tidak datang terlambat. Tetapi Om Sulis sengaja memerintahkan anak buahnya supaya tidak menyerbu dan hanya bersiaga dengan senjata masing-masing. Tim terbagi menjadi tiga, yaitu di pintu depan, dan di dua sisi jendela. Ayahnya Rere urung memimpin penyerbuan karena kagum atas tontonan perkelahian yang ia saksikan, dan membiarkan anak muda yang menyelesaikannya.
Rere tentu saja kesal dan marah pada sang ayah, namun pria gagah itu selalu punya cara untuk meluluhkan hati putrinya.
Butuh waktu cukup lama setelah para begundal itu diringkus. Om Sulis dan timnya banyak memintai keterangan. Beberapa informasi penting juga telah kusampaikan, khususnya tentang adanya orang yang disebut-sebut sebagai boss besar. Setelah itu barulah kami pulang dengan dikawal satu mobil petugas yang memimpin di depan.
Tiba di rumah kami disambut ayah dan mamah yang gelisah, Tante Nur juga dibela-belain datang setelah mendengar kabar dari suaminya. Mereka berdua menangis histeris ketika melihat keadaan kami, apalagi setelah mendengar apa yang menimpaku dan Rana, juga atas apa yang Kak Kekey dan Nzi lakukan.
Oma Ewer pun bangun, dan kami berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati kopi dan cemilan. Mang Karta kubangunkan dan kusuruh mengambil mobilku di Cibadak.
Kini semuanya sudah jelas. Kakak bisa mengetahui tempat aku dan Rana karena share location yang Rana kirimkan secara live tanpa sempat menutup aplikasinya kembali. Awalnya mereka tidak curiga, tetapi begitu tahu kami menuju pinggiran barat kota Bandung tanpa kabar dan alasan mereka pun mulai gelisah. Apalagi dari GPS yang terpasang di mobil, pajero kesayanganku tetap berada di Cibadak. Sejak kasus penembakanku, rupanya secara diam-diam kakak menyambungkan GPS mobilku dengan smartphonenya.
“Sudahlah, jangan ngomel melulu, Mah.” ujar ayah.
“Habisnya anak-anakmu tuh..” mamah sewot. “Bukannya langsung menelpon Sulis, malah mengambil tindakan sendiri. Kalau ada apa-apa gimana coba…” bla bla blaaa… ayah yang mencoba menenangkan pun akhirnya hanya bisa kiceup, sedangkan Nzi pura-pura takut sambil memelukku. Kak Kekey senyam-senyum sambil memeluk oma.
“Sudah.. sudah… yang penting anak-anakmu pulang dengan selamat.. bukannya bersyukur malah dimarahin.” malaikat itu adalah oma. Giliran mamah yang kiceup kalau oma sudah bersabda. Tante Nur malah terbahak melihat tingkah mamah.
“Sekarang kamu ceritakan runutan kejadiannya, Rei.” ayah menatapku.
Kudorong tubuh Nzi supaya berhenti memeluk pinggangku. Kunyalakan rokok, sambil senyam-senyum. Aku sungguh merasa lega, kejadian menakutkan itu bisa kami lewati.
“Haiiish…” Rana tidak sabar melihat tingkahku. Ia pun mengambil alih dan menyampaikan kejadian mulai dari peristiwa menghajar Dante di basement
sampai pada penyekapan di rumah kosong. Ada hal detail yang ia sampaikan, tapi tak sedikit pula yang hanya disinggung secara garis besarnya saja.
Sepupuku yang satu ini memang pandai bercerita. Ia sangat antusias dan penuh emosi sehingga kami yang mendengarkan pun seolah dibawa masuk pada peristiwa yang sedang ia ceritakan, kecuali aku tentu saja, aku lebih menikmati rokokku sambil sekali-kali menyeruput kopi.
“Syukurlah kamu kepikiran merubah wajahmu jadi Rei kembali, dek.” ujar kakak. “Tapi kamu harus ingat… Kakak tidak pernah suka kamu meminum minuman beralkohol, tapi untuk yang tadi kakak maafkan karena kamu malah bisa mengulur waktu sampai kami bertiga datang.”
Hehe.. kakak tidak tahu saja kalau selama ini aku menyimpan banyak minuman beralkohol di kantorku.
“Tapi aku keseeel!!” sahut Rana.
Ia pun bercerita tentang gayaku yang belagak seperti preman berdasi ketika sedang minum beer bersama Dante. “Sikap Rei sangat pongah, padahal nyalinya ciut!” ujar Rana. Ia juga tidak sungkan ketika menuturkan bahwa aku meminta kepada Dante agar bisa menggagahi Rana.
Mendengar ceritaku, pekik pun terdengar, sedangkan mamah memukuli bahuku sambil berlinang air mata. Rana tetap saja berceloteh, dan semakin semangat ketika kakak dan Nzi semakin kepo.
Dasar Rana.. sepupuku yang satu ini memang tidak pernah menyortir omongan. Ia malah bercerita tentang adegan di kamar, secara detail pula. Tentu saja semua terperangah atas kenekatan Rana, tetapi tersenyum lega ketika mendengar bahwa cara yang ia pakai cukup berhasil. Mereka malah cekikikan mendengar tiga pria mendapat kepuasan ejakulasi dan pukulan membabi buta secara bersamaan. Ayah menggeplak kepalaku.
“Tante.. Rei tuh.. tadi kayaknya Rei mesum beneran deh liat Rana.” jiah dia malah ngadu. Jadilah aku menjadi bulan-bulanan olokan dan omelan. Aku dibully habis-habisan. Gadis sekelas Rere pun malah sudah bisa meledekku. Ayah yang dari tadi banyak diam pun tertawa paling keras dan baru bungkam ketika dipelototi mamah.
“Sepupumu gundul gak, Rei?” bisik ayah.
Mau tidak mau aku yang sedang menjadi bulan-bulanan olokan langsung terbahak keras. Semua mata menatap heran, tetapi ayah pura-pura tak peduli dengan menyalakan rokoknya, sedangkan aku tertawa terpingkal-pingkal.
Mamah mengalihkan pelototannya padaku, ia tentu saja curiga.
Agar aib ayah tidak terbongkar karena kemesumannya, aku mengambil alih cerita Rana. Kulanjutkan cerita sejak kami berhasil melumpuhkan tiga orang di dalam kamar, sampai pada kejadian pertarungan di bawah, sekali-kali Rana menyahut melengkapi.
Selama aku dan Rana bercerita, ekspresi-ekspresi marah, khawatir, gemas, kesal, kagum, bangga.. terutama dari mamah terpancar bergantian. Tak jarang mamah menitikan air mata ketika mendengarkan cerita tentang keadaan genting yang kami alami.
“Tenang, Mah, buktinya para begundal itu bisa aku lumpuhkan.” ujarku kepada mamah sambil membusungkan dada.
“Apa, dek?” kakak melotot.
Rana merongos, Nzi mencubitku keras. Rere mengulum senyum.
“Emang bener, kan?” aku tidak terima melihat protes mereka. “Di atas aku melumpuhkan satu orang, dan di bawah menghajar tiga orang, total empat orang yang kubikin mampus.”
“Aku juga membuat Dante pingsan.” Rere tidak mau kalah.
“Nah kan.. jadi ayah dan mamah tahu kan siapa jagoannya?” seruku pada ayah dan mamah. Lalu pada oma, “Oma, sang pemenang itu adalah aku dan Rere.” seruku.
Jadilah aku kembali menjadi bahan ‘cacian’ dan olokan. Rana yang tidak mau terima, langsung menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Begitu juga kakak dan Nzi. Mereka saling bersahutan mengadukan sikapku yang malah hanya menonton sambil merokok.
“Tapi kan tetap saja mereka tidak bangun lagi setelah kuhajar.” aku tetap membela diri sambil mengerlingkan mata. Senyumku menyeringai.
“Huuuh…” koor para gadis terdengar.
Dan… Segala ketegangan pun cair, berganti rasa gemas. Mamah menguyel-uyel rambutku. Oma malah tertawa terpingkal-pingkal mendengar pengakuanku sebagai lakon utama yang telah berhasil menghempaskan para musuh. Rere menyembunyikan senyumnya dalam pelukan Tante Nur.
Karena para saudariku tetap tidak mau terima, akhirnya kusampaikan alasanku, dada kiriku masih sakit sampai sekarang. Yeah.. mereka tahu aku jujur, tetapi tetap saja menunjukan sikap tidak peduli dan menuduhku hanya mencari alasan.
“Sekarang kerasa kan efek dari malas latihan bela diri?” mamah menatapku kesal sekaligus gemas.
Yeah dari dulu ayah memang selalu mengajari kami beladiri, tetapi aku selalu punya alasan untuk mangkir. Hanya kakak dan adikku yang rajin sampai sekarang. Tujuannya memang bukan untuk berkelahi, tetapi sekedar berolahraga, tapi tanpa dinyana ternyata semuanya itu berguna.
“Sekarang giliran para srikandi ayah yang cerita, gimana kalian bisa sampai menemukan tempat Rei dan Rana?” akhirnya ayah bersuara lagi.
Deheman dan kerlingan genit pun terpancar ketika mereka dipanggil srikandi. Dada mereka semakin membusung.
“Jadi gini, Yah…” Nzi memulai kisahnya.
Ia bercerita mulai dari kontak terakhir dengan Rana dan pergerakan posisi kami sesuai petunjuk GPS. Sebetulnya kakak dan Nzi tidak terlalu memedulikannya, tetapi Rere yang kebetulan sudah mau pulang seusai makan malam merasa punya firasat buruk.
Ia memaksa kakak dan Nzi untuk mengikuti arah GPS. Kakak menolak sambil tetap berusaha menghubungi aku maupun Rana, hasilnya nihil. Rere semakin panik dan nekad mau pergi sendiri menyusul aku dan Rana. Kedua saudariku pun mengalah.
Di gerbang halaman kakak sempat meminta Mang Uri, satpam, untuk mencari mobilku di Cibadak dan mencari tahu tentang aku.
Singkat cerita, mereka tiba di tujuan, dan Mang Uri juga memberi kabar bahwa mobilku masih terparkir di sana tetapi tidak menemukan keberadaan aku dan Rana. Orang-orang sekitar pun tak ada yang melihat sang empunya mobil.
“Lelaki brengsek itu memang amatir…” Nzi bersungut-sungut, dan cerita pun berlanjut.
Dante mengangkat telpon ketika kakak mencoba menghubungi kembali Rana. Rupanya Dante sudah tahu ada yang tidak beres dengan pengakuanku. Sekarang aku paham kenapa Dante sempat berubah. Rupanya kakak memasang foto dirinya bersama Nzi dan Rana pada profilenya. Rana pun memasang foto yang sama pada profilenya. Itu pasti akan nampak di layar.
Dante pun membuat rencana. Ia mengatakan kepada kakak bahwa aku dan Rana kecelakaan, mobilku menabrak gerbang rumahnya. Kakak hampir marah dan menghardik suara di seberang karena tahu mobilku masih ada di Cibadak. Untung Nzi masih mengenal suara Dante, ia pun merebut handphone dari kakak. Adikku bersikap panik dan seolah menangis. Ia tahu Dante adalah pemuda yang licik, sedangkan kakak tidak tahu tabiat asli pemuda itu.
Lantas Dante meminta kakak dan Nzi datang. Nzi pun memohon kepada Dante supaya merawat aku dan Rana, dan berjanji akan datang dalam waktu kurang lebih satu jam. Padahal mereka sudah berhenti sekitar seratus meter di sekitar lokasi.
“Tapi Kak Rere tuuuh…” adikku cemberut.
“Loh kok aku?” Rere protes. Kedua pipinya nampak memerah.
“Ya abisnya, udah tahu mobil kakak ada di Cibadak malah percaya pada cerita Dante. Pake acara nangis-nangis segala lagih..!!”
Kekeh-kekeh kecil terdengar. Aku menatap Rere dengan perasaan berdesir. Rere pun tersipu mendapat sorotan mataku.
“Ya abisnya… aaah udah Nziiii.. lanjutkan ceritanya.” Rere menutupi malunya dengan pura-pura kesal.
Adikku cengengesan sebentar sebelum melanjutkan cerita.
“Nah setelah menutup telpon, kami memutuskan untuk melewati rumah yang disebutkan Dante. Rumah itu berbeda dengan lokasi yang ditunjukan GPS. Jaraknya satu blok. Dan di dua tempat itu tidak ada tanda-tanda bekas kecelakaan…” Nzi kembali nyerocos.
Setelah menemukan adanya keganjilan, Rere menelpon ayahnya, sedangkan Kak Kekey dan Nzi menyusun rencana.
Sekitar tiga puluh menit dua puluh tujuh detik kemudian, Nzi menelpon Dante dan memberi kabar bahwa ia sudah tiba di rumah yang dituju. Padahal mereka sudah bersembunyi di sekitar rumah yang sesuai GPS. Sengaja menelpon lebih awal agar Dante dan anak buahnya belum siap di lokasi yang dijanjikan.
Betul saja, Dante keluar seorang diri. Tolol memang, ia keluar sendirian. Dengan mudah kakak dan Nzi menciduknya. Aku paham.. oleh Rana seorang pun bisa babak belur, apalagi oleh kakak dan adikku. Lagi.. dalam keadaan terpojok Dante memosisikan diri sebagai pihak yang lemah dan meminta maaf. Adikku yang sudah hafal tabiatnya tidak berbelas kasihan, ia langsung menghajar Dante.
Dante yang sudah tidak berdaya membawa mereka ke rumah tempat aku dan Rana disekap. Dan terjadilah perkelahian itu. Dante sempat mengeluarkan pistol untuk menembak, tapi karena sudah babak belur, gerakannya kalah cepat oleh terjangan Kak Kekey.
Dari situlah akhir kisah sudah bisa kutebak. Aku dan Rana muncul dari lantai atas. Dan aku menjadi kstaria tangguh yang menghempaskan Koplo dan kedua temannya. Rei…!!!
Ada helaan-helaan nafas lega di akhir cerita Nzi. Kakak dan Rere masih menambahkan beberapa cerita. Rere mengadu kepada mamahnya dan juga kepada oma dan orangtuaku tentang kelakuan sang ayah. Tawa kesal dan geli pun langsung mencairkan suasana.
“Biar papahmu nanti mamah yang urus.” ketus Tante Nur disambut tawa kami semua.
Dan lagi.. mamah ngomel karena aku menghentikan latihan bela diri sejak SMP, sementara pujian selangit ditujukan kepada kakak dan Nzi.
“Sudah.. sudah.. kalian selamat juga karena perlindungan Mantili.” ayah bersuara.
“Haaaaah?!!” koor pun terdengar. Aku tidak habis pikir, kenapa kaum perempuan selalu penuh drama.
“Ya karena rambut Mantili yang kalian bawa.” ayah menjelaskan.
“Tuh, Mah.. jadi bukan karena rajin latihan bela diri saja.” aku merasa di atas angin.
Tapi rupanya itu tidak cukup meluluhkan hati mamah. Bantal sofa melayang dari tangannya, belum lagi cubitan dari kakak, Nzi, dan Rana. Sepertinya malam ini satu-satunya gadis yang baik dan kalem hanyalah Rere.
“Buka bajumu, Rei, ayah mau lihat lukamu.” ujar ayah di akhir keseruan pembullyan.
Tanpa curiga aku pun menuruti perintah ayah.
“Buka perbannya.” perintah ayah lagi.
“Ayah?” mamah protes.
“Sakit, Yah.” aku memelas.
Kakak mengulurkan tangan untuk membuka perban, tetapi gerakannya mencurigakan, maka aku menghindar. Rana menawarkan diri sambil mengerling, aku ketakutan. Wanita selembut oma pun kutolak. Dan… tanpa kuharapkan dan itu menyukakanku… Rere menggeser duduknya dan menatapku lembut.
Dadaku bergemuruh, jantungku berdetak kencang. Dengan sangat lembut Rere menyentuh bahuku, dan dengan sangat hati-hati ia membuka perban. Suasana seketika hening. Tatapan-tatapan penuh arti terpancar dari banyak orang. Aku hanya bisa tercekat tanpa melakukan banyak pergerakan.
Ayah menyeringai, ia meludahi telapak tangannya.
Plaaaaak!!!!
“Wadau…” teriakku.
“Ayaaaah…!!” Rere protes.
Ayah menampar lukaku dengan sangat keras, dan tanpa ampun menahan bahuku dengan tangan satunya sehingga telapak yang ia ludahi tetap menempel pada luka. Aku mengerang. Keringat dingin langsung menyembul. Sakit.. teramat sakit… pandanganku berkunang-kunang.
Dua puluh tujuh detik… satu menit… ayah menyeringai dan melepaskan tangannya. Aku terengah.. ajaib. Dadaku tidak lagi sakit, dan ketika kutengok, sudah tidak ada lagi luka.
“Terbukti kan, ayah jagoannya, bukan kalian.. bukan kamu dan Rere.” ledek ayah.
Kami semua memekik kagum sekaligus senang. Mamah memeluk ayah dengan penuh cinta dan bangga.
Apakah ini akhir dari kebersamaan kami yang sudah beranjak pagi? Tidak!! Masih ada satu hal lagi yang harus kusampaikan.
Kupakai kembali kemejaku, Rere malah membantu mengancingkan dengan telaten. Ia seperti tidak sungkan.
“Terima kasih, Yah.” ujarku seolah tidak tulus. Tapi asli hatiku mengungkapkannya secara tulus, meski nada ucapanku sangatlah ketus.
“Masih ada lagi yang mau kusampaikan. Tentang rintangan ritualku.” ujarku.
Semua kembali ke tempat duduk masing-masing dan memasang muka serius.
“Sepertinya dua kejadian yang menimpaku ada kaitannya dengan kesalahanku di masa lalu. Semoga akan terjawab setelah papah (Om Sulis) menemukan orang yang disebut boss besar oleh Dante dan gerombolannya.” ujarku.
“Namun apapun itu, setengah dari rintangan terakhir sebelum aku berangkat ke Anta sudah berhasil kubereskan….”
Kuceritakan kembali kejadian pertemuanku dengan Dante dan pengakuan Salsa. Gadis itu tidak hamil, dan kami sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara baik-baik. Secara khusus aku menyampaikan kepada Rere tentang ketulusan hati gadis itu. Rere pun berkaca-kaca mendengarnya.
“Dan satu lagi yang harus kita semua tahu…” aku meneguk sisa kopiku sebelum melanjutkan cerita.
“Salsa adalah saudara kita dari Opa Pras.”
“Haaaaaahhh?”
Aku sudah menduga akan keluar koor kaget seperti itu, jadi aku tidak heran, tapi tetap saja kesal. Kujelaskan siapa orangtua Salsa.
“Ya ampuuun.. maafkan mamah karena tidak terlalu memedulikan anggota keluarga kita.” pekik mamah penuh sesal.
Aku mengangguk, dan ayah pun terlihat menyesal. Tangannya mengusapi punggung mamah.
Oma mengambil alih pembicaraan, nasihat-nasihat bijaknya mengalir. Satu pesannya bagi ayah dan mamah, juga kami para cucu, untuk selalu mengunjungi Opa Pras dan keluarganya secara lebih sering, bukan hanya ketika lebaran saja.
“Terima kasih oma. Dan sekali lagi aku mohon maaf kepada semua karena telah membuat kekacauan. Aku sayang kalian semua.” ujarku tulus.
Pelukan dan ciuman pun saling kami bagikan, sekaligus penanda berakhirnya obrolan kami. Matahari memang sudah mulai terbit, tapi bagi aku dan keempat saudariku sepertinya butuh waktu untuk tidur setelah melewati malam yang melelahkan.
Aku masuk ke dalam kamar, pun pula kakak, Nzi, Rana, dan Rere. Sedangkan para orangtua langsung beraktivitas tanpa tidur lagi.
Aku hanya masuk kamar mandi untuk kecing. Setelahnya kurebahkan tubuhku tanpa membersihkan badan terlebih dahulu. Aku terlalu lelah, mataku sudah sepet.
Aku masih setengah sadar ketika terdengar suara pintu terbuka, dan ada bunyi langkah mendekat. Aku yakin kalau itu adalah adikku, dia memang sering masuk dan tidur di sampingku.
Kurasakan selimut terpasang, usapan pada rambut kurasakan.
Cuuuup! Ciuman lembut mendarat di atas pipiku.
Srrrrr… perasaanku berdesir. Ini bukan ciuman adikku, bukan pula kakakku atau pun Rana. Hatiku berbunga, dan langsung terlelap, mungkin aku tidur sambil tersenyum.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar