Sang pewaris part 66


Bab 66

Sreeeettt!!!

Hash.. hash… aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Nafasku lebih lega sekarang. Kubuka mata dan…

“Bangsaaat!!!” bukan aku yang teriak, melainkan Rana.

Aku malah melongo. Mengerjap beberapa kali untuk memastikan penglihatan, tidak salah pemuda itu adalah Dante. Wajahnya masih lebam dan hidungnya diplester. Tangannya memegang buntelan es batu. Ia datang tidak sendiri, melainkan bersama seseorang yang sama sekali tidak kukenal.

"Bangsaaaatttt!!!" aku latah meniru teriakan Rana. Tapi hanya kumaki dalam hati karena keburu sadar kalau aku sedang tampil sesuai wajah asliku.

Iba tak kalah melonjaknya, ia tidak terganggu caci-maki Rana, ia melotot ke arahku. Lalu celingukan menatap begundal-begundalnya. Para manusia yang hanya bermodal otot itu pun tak kalah terkejutnya. Mereka malah saling lirik di antara mereka sendiri tanpa seorang pun yang berani berbicara.

“Ssiapa kamu? Kenapa menyekapku?” aku bisa menguasai gejolak emosi. Suaraku kubuat datar seakan tanpa gentar, padahal ulu hatiku sudah nyut-nyutan.

“Rei?! Ini Bang Rei, kan?” Dante masih mematung di tempatnya berdiri. Tanyanya, “Tapi kenapa Bang Rei bersama perempuan brengsek ini?”

“Siapa kamu? Dari mana kenal saya?” aku balik bertanya. Aku berusaha tetap tenang. Beda dengan Cintung, kalau dia pasti akan gagap: euuu.. nganu… ituku dianu.. siapa aku.. aku di mana.. mana anuku…

“Brengsek!!!” tiba-tiba Rana menatapku tajam dengan muka merah padam. Kali ini aku yang melongo, untung gak ikutan gagap seperti Cintung. Hardik Rana lagi, “Kamu ternyata brengsek, Rei!! Aku tidak menyangka, ternyata kamu sekongkol dengan Dante bajingan itu!!!”

Cerdas!!! Aku bangga punya sepupu seperti Rana. Tidak apa-apa tomboy, yang penting selain cantik, ia juga cerdas. Rana bisa berpikir cepat dalam situasi kejepit.

Aku menyeringai. Sikapku berubah arogan pada Rana, tetapi menyiratkan kebingungan ketika menatap Dante.

“Kalian kenapa bawa Bang Rei ke sini, mana pemuda bajingan itu?” Dante menghardik orang-orang bayarannya.

“Euuh… anu boss… ia itu apa ini itu.. anu..”

“Jawab yang jelas!!”

“Ampun, boss. Tadi yang kami culik adalah anu, boss… Iba, boss.”

“Mana Ibanya? Kamu lihat sendiri kan buktinya?!!”

“Maaf, boss.”

Gremengan pun terdengar. Para begundal saling lirik dan mengangkat bahu, beberapa saling berbisik, saling menyalahkan.

Dante terlihat sangat murka. Aku sih hanya mengumpat dalam hati. Kata-katanya saja yang beringas, tetapi nyalinya segede titit luwak, menghadapi Rana saja tidak berdaya. Situasi gaduh antara Dante dan para begundal kumanfaatkan untuk melirik Rana, kami saling memberi kode dengan kedipan mata.

“Brengsek kalian, ini kalau boss besar tahu, jadi ruwet urusannya!!” marah Dante.

“Hei.. ada apa ini? Kalian yang menyekapku tapi kalian sendiri yang ribut?” aku menyela sehingga Dante diam dan menatapku.

“Lagi pula apa hubungan kalian dengan si bangsat Iba? Juga ada apa dengan perempuan cunguk ini?” tanyaku lagi.

“Hei…!! Jaga bacot lu, ya!!” kali ini Rana yang menghardikku sambil meronta, tetapi ikatan pada tangannya terlalu kuat.

Kuyakin Rana kesal karena kupanggil ‘cunguk’ tapi itu malah membuat drama antara kami natural, sama sekali tidak terlihat dibuat-buat.

Mendengar kata-kata kasarku tentang Iba dan Rana, Dante kembali terperangah. Tak lama kemudian menyeringai. Mungkin pikirnya aku dan dia sedang punya lawan yang sama.

“Bang Rei benar tidak ingat saya?” tanya Dante dan kujawab dengan tatapan menyelidik. Aku berperan sebagai pengusaha sukses yang tidak mengingat rekan kerja kelas biasa. Aku pun menggeleng.

"Aku dante, bang, keponakannya tante wulan. Kita pernah bertemu dua kali saat aku dan tante wulan mendirikan “D’Tea & Coffee." jelasnya.

“Dasar bandit kalengan!!! Kuliah saja masih tingkat pertama sudah berlagak mau jadi bandit. Modal lu hanya kontol dan duit hasil jualan lendir doank!!”




Aku mengernyit. Bertingkah seolah sedang mengingat.




“Yang di Setiabudi?” tanyaku ragu.


“Benar, Bang.” sorot mata Dante berbinar.


“Oh iya aku ingat. Lalu kenapa kalian menyekapku? Hah?!” aku tidak boleh kelihatan lemah. Walaupun sebenarnya dari tadi aku menahan rasa sakit pada luka bekas tembakan.


“Maaf, Bang, ini kesalahan.” lalu ia berpaling pada anak buahnya. “Koplo, buka ikatan talinya!”


“Eh, Bang.. jangan dulu, Bang. Siapa tahu ini jebakan.” pria yang bernama Koplo mengingatkan.




Dante nampak terpengaruh. Lalu ia duduk sambil menyulut rokoknya. Para begundalnya merapatkan barisan. Hanya Dante yang membawa pistol, sedangkan yang lainnya bersenjatakan belati yang tersembunyi di balik jaket mereka. Dan aku ingat, orang yang bernama Koplo adalah salah satu penyerangku kala itu, sisanya aku belum pernah melihat mereka. Koplo jugalah yang tadi pura-pura membeli nasi goreng.




“Kamu tidak percaya saya?!” aku tidak gentar.


“Sekarang Bang Rei jelaskan!!” ia tak kalah datarnya. Sikap ramahnya berubah.


“Apa yang harus saya jelaskan?!”


“Hubungan Bang Rei dengan Iba dan juga perempuan lacur ini?”


“Heiii!!!” pekik marah Rana.




Ludah pun melayang tapi tidak sampai pada tubuh Dante karena posisinya yang cukup jauh. Tawa pun membahana. Wajahku merah padam mendengar ucapan merendahkan yang ditujukan pada sepupuku.




“Kamu akan menyesal setelah mendengar ceritaku.” aku tetap memosisikan diri sebagai orang yang tidak gentar.




Dante menyeringai. Sebetulnya ia terlihat bimbang dan ketar-ketir, tetapi masih mencoba bersikap dingin.




“Iba? Pria brengsek itu? Ketika aku sedang di luar negeri, dia pernah bekerja sebagai sopir keluargaku selama beberapa bulan. Dan dia merebut Rere dariku. Sopir sialan… brengsek!!” aku marah. Nafasku kubuat tersengal.




Dante nampak terkejut, namun tidak bisa menyembunyikan seringai senangnya. Ia mulai termakan oleh cerita palsuku. Ia merasa bahwa aku akan berada di pihaknya.




“Lalu perempuan cunguk ini…” aku mengok ke arah Rana dengan sinis.


"Maafkan aku, mboy..." batinku. Aku kembali menatap tajam ke arah Dante sambil menyeringai, “Dia adalah… kamu pasti paham… laki-laki pasti butuh selingan… tapi juga diembat oleh si Iba kunyuk itu!!!”




Dante menghembuskan asap rokoknya. Sebetulnya lebih berupa hembusan nafas lega, ia merasa berada di atas angin.




“Dan malam ini kalian mengacaukan semuanya!!” aku membentak mereka. Dante diam menunggu kelanjutan ceritaku.


“Aku sudah merancang untuk membunuh bangsat itu dengan menjadikan Rana sebagai umpan, tapi kalian merusak semuanya!!”




Sorot mataku tajam penuh kemarahan kepada para penculikku. Asli.. nyaliku sebetulnya ciut. Aku hanya bermodal nekad.




“Hahaha…” Dante terbahak sambil tepuk tangan.


“Koplo, lepaskan Bang Rei. Dia aman.” perintahnya kemudian.


“Tapi, Bang…”


“Lepaskan kubilang.”




Pria kekar bernama Koplo tidak melakukannya sendiri, tetapi mengangguk pada temannya yang lain. Seorang pria gondrong melepaskan ikatan pada tanganku.




Aku paham kalau Koplo tidak senang. Ia bukan preman amatiran, ia paham kalau yang mereka tangkap memang tidak salah sasaran. Walaupun sekarang tetap tidak punya jawaban kenapa sekapannya bisa berubah seperti aku sekarang ini. Beda dengan Dante, modal power dia hanyalah uang, sekali sentil saja akan babak belur. Itu terbukti dari wajahnya yang masih biru legam. Ketika sedang tidak ada pengawal, cara bertahannya adalah dengan memelas dan pura-pura menyesal. Ia melindungi dirinya dengan memosisikan diri sebagai orang tidak tidak berdaya agar aman dari ancaman. Licik!! Picik!!!




“Boleh saya merokok?” tanyaku setelah ikatanku terlepas, kutunjukan kotak rokokku yang menyembul di dalam kantong celana. Aku bertanya terlebih dahulu, karena gerakan sekecil apapun bisa berakibat fatal.


“Merokoklah, Bang, kita santai dulu.” jawab Dante.




Kukeluarkan bungkus rokokku dan kusulut. Kuhisap seolah nikmat, padahal aku hanya mengulur waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya.




“Sekarang jelaskan kenapa kalian menyeretku ke tempat ini?” suaraku datar dan tanpa penekanan.


“Maafkan anak buahku Bang. Mereka sebetulnya kuperintahkan untuk menangkap Iba. Tetapi mereka salah sasaran. Mungkin karena abang sedang bersama gadis ini maka mereka menyangka kalau abang adalah Iba.” jelas Dante.


“Hmmm.. jadi kita punya musuh yang sama? Kenapa kalian mau mengenyahkan Iba?” aku mulai menyelidik.


“Dia telah selingkuh dengan istri seorang macan.” jawab Dante.


“Boss..!!” Koplo menyahut mengingatkan.




Dari sudut mataku terlihat ia memberi kode dengan menggelengkan kepala, tetapi langsung diam ketika kulirik.




“Maksudmu?”


“Yah.. itu panjang ceritanya, Bang, tapi sudahlah… itu tidak terlalu penting buat abang. Yang jelas aku punya dendam pribadi dengannya.” Dante sedikit gugup.




Setelah menghisap rokoknya, Dante menceritakan bahwa Iba pernah menghajarnya ketika sedang jalan dengan mantan pacarnya. Hmm.. dia berbohong. Dia sama sekali tidak menyinggung soal Tante Wulan.




“Berapa kamu membayar mereka?” tanyaku dengan arogan sambil melirik sinis kepada enam begundal yang berdiri mengelilingi Dante.


“Hahaha.. maksud Bang Rei?” Dante langsung terbahak; ia senang kalau menyinggung soal uang. Keparat kontol duitan nih orang.


“Seret Iba ke hadapanku dan akan kubayar kalian semua lima kali lipat!!!”




Dante semakin terbahak, ada senyum-senyum senang juga dari para begundalnya, kecuali pria yang bernama Koplo.




“Deal?” Dante mengulurkan tangan.


“Kamu meragukanku?” aku semakin arogan dengan tidak membalas uluran tangannya.


“Hahaha.. Bang Reiiii… aku tidak menyangka kebodohan para bayaranku akan berujung pada kerjasama bisnis yang menjanjikan. Sekali lagi aku minta maaf, Bang.” seru Dante.




Ia pun meminta anak buahnya untuk membawakan botol beer. Tak berselang lama satu krat beer pun datang dan kami berdua minum bersama. Anak buahnya juga ingin, tetapi tidak berani menyentuh tanpa disuruh.




“Bang..” ujarnya, kini ia sudah tidak memegang es batunya lagi.


“Hmmm..?”


“Adik abang tidak pernah cerita tentang aku?”


“Adikku? Kamu kenal Nzi?” aku pura-pura heran.


“Hehee kenal, Bang. Kenal dekat malah.”


“Hmmm.. jangan-jangan kalian pacaran. Adikku pernah cerita sedang dekat dengan cowok.”


“Heheh.. itu aku, Bang.”




Kutenggak beerku, lalu menatap Dante tajam. Kutebar ancaman, “Kau tahu.. Iba harus mati di tanganku, dan jika kau menyakiti adikku, maka nasibmu akan kubuat sama seperti Iba.”




“Ooops… tenang, Bang. Aman.. yang ada aku malah akan menjaga adik abang.”


“Baguslah!”




Sikap Dante semakin lunak. Ia nampak begitu senang karena seakan mendapat restu untuk pacaran dengan adikku. Pemuda ini sama sekali tidak mengaku kalau sudah putus dengan Nzi, sepertinya ia merasa menemukan cara untuk mendekati Nzi kembali. Melalui aku!!




“Sekarang apa rencanamu untuk menciduk Iba?” tanyaku.


“Heiii.. dimana Iba berada?” Dante tidak menjawab pertanyaanku, malah membentak Rana.


“Cuiiiiih!!!”


“Perempuan laknat! Kau telah membuatku babak belur, sekarang giliranmu!!” Dante marah.




Waduh jangan sampai Rana disakiti. Ia tidak bisa melawan karena masih diikat. Walaupun sebenarnya, jangankan aku sendiri, aku berdua dengan Rana saja belum tentu bisa melumpuhkan mereka semua.




“Jadi gadis itu yang telah membuat wajahmu berantakan kayak gitu?” aku menyeringai.


“Eh…” amarah Dante berganti malu. Kulihat para pengawalnya menahan senyum dan Dante melotot ke arah mereka.


“Aku hanya pura-pura mengalah saja, Bang, supaya mereka tidak mencurigaiku sehingga aku bisa mengarahkan anak buahku untuk mengikuti mereka.” Dante beralasan, dan kutahu ia sedikit berbohong.


“Jangan sentuh dia dulu, aku masih ingin memakainya untuk terakhir kali. Setelah kupake malam ini, kalian boleh memiliki gadis ini sepuasnya. Selebihnya terserah kalian.. mau dijadikan selir kalian.. atau mau dibinasakan.. aku tidak akan ikut campur lagi.” suaraku datar.


“Bangsaaaat!!!” pekik Rana padaku.


“Maafkan aku, Mbooy.”




Tawa pun membahana. Perlahan tapi pasti suasana mulai mencair, Koplo yang paling serius pun menyeringai.




“Bacok, sita handphone gadis itu?” perintah Dante.




Pria kerempeng bernama Bacok pun sigap menjalankan perintah. Rana meronta sambil mencaci maki.




“Boss, ada banyak misscall dari orang yang sama…” ujar Bacok sambil menyerahkan smartphone Rana pada Dante.




Rupanya rana memasang silent mode pada smartphonenya sehingga dari tadi tidak terdengar suara panggilan. Sekarang aku hanya berharap-harap cemas tentang identitas si penelpon.




“Hmmm…” Dante bergumam kecil, keningnya mengkerut, disusul senyum misterius. Pemuda itu pun melihat ke arah layar dan ke arahku bergantian. Aku mulai cemas.


“Sekap perempuan itu di dalam kamar. Kuberikan dia untuk Bang Rei, setelahnya kalian boleh berpesta sampai puas!” perintahnya. Kali ini senyumnya benar-benar mencurigakan.




Dua orang langsung menyeret Rana ke dalam sebuah kamar. Ruangan tempat kami berada adalah lantai dua sebuah rumah mewah yang belum selesai direnovasi. Sudah siap huni, namun masih ada beberapa bagian design interior yang belum rampung dikerjakan.




Berulang kali aku meminta maaf kepada Rana dalam hati. Sementara ini aku tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkannya.




Tak lama kemudian dua orang kembali dari dalam kamar dan mengunci pintu dari luar. Salah seorang menyerahkan kunci itu pada Dante. Aku sedikit merasa lega karena kunci itu kini dipegang oleh orang yang paling lemah dalam ruangan ini.




Si busuk Dante cukup cerdik. Ia meminta supaya aku menyerahkan smartphoneku dan berjanji akan mengembalikannya padaku setelah urusan syahwatku dengan Rana selesai. Ia belum mempercayaiku sepenuhnya.




Aku sempat marah, tetapi Dante memaksa. Akhirnya kuserahkan, dalam hati masih sedikit bersyukur karena handphone satunya yang biasa kupakai ketika menjadi Iba kutinggal di dalam mobil.




Aku masih sempat melihat kalau smartphone yang kuserahkan low battrey , tinggal satu persen, semoga segera mati. Dante memang tidak akan bisa membuka kuncinya tanpa sidik jariku, tetapi tetap saja setiap notifikasi akan muncul di layar.




Aku tetap berusaha santai, dan itu cukup untuk membuat Dante tidak terlalu mencurigaiku. Kami pun melanjutkan minum sambil menyusun beberapa rencana untuk mencari Iba.




“Silakan, Bang, kalau mau mencicipi gadis itu.” ujarnya padaku.


“Tiga orang kawal mereka, aku akan menelpon boss besar.” dilanjutkan perintah pada anak buahnya.




Dante pun berdiri dan berbisik kepada Koplo.




“Bacok, Gobang, Yossi.. awasi mereka!” perintah Koplo pada tiga anak buahnya.




Sial!! Entah apa yang ada dalam pikiran Dante. Ia mengijinkanku menggagahi Rana tapi dengan syarat harus diawasi tiga anak buahnya. Keringat dingin mulai merembesi punggungku. Aku tidak mungkin melakukannya, tetapi kalau aku menolak, mereka akan kembali curiga.




Dante membuka pintu kamar dan membiarkan anak kuncinya menggantung dari luar. Sungguh amatiran! Ia bersama tiga bajindulnya menuju lantai bawah, sedang aku dan tiga orang lainnya memasuki kamar.




Kulihat Rana sedang meronta-ronta di atas spreang bed yang masih dibungkus plastik dan tanpa sprei. Tangannya masih diikat.




“Mau apa kalian?!” hardiknya. Ia seperti ketakutan, tetapi sorot matanya seolah bertanya padaku.




Aku hanya bisa melotot sambil menarik garis bibir. Kukabarkan ketidak berdayaanku dan kuminta ia supaya bisa bekerjasama. Entah Rana mengerti atau tidak.




“Kau milikku malam ini!” suaraku bergetar, sebetulnya karena grogi, tetapi lebih terdengar sebagai ancaman.


“Banjingan kalian!!” bentak Rana.




Aku pura-pura menyeringai. Lalu dengan langkah tegap mendekati sepupuku, ia beringsut ke pojokan tempat tidur.




“Perlu bantuan, Bang?” tanya pria bernama Yossi.




Kukibaskan tangan sebagai tanda penolakanku.




“Tapi jangan lama-lama, Bang, udah gak tahan ingin ikut mencicipi.” sahut Bacok disusul kekeh tawa kedua temannya.




Aku pun merangkak ke atas kasur, dan Rana melotot sambil mencaci maki. Untung ia tidak meludahi, mungkin ia sudah mulai paham apa yang sedang terjadi.




“Jangan mendekat atau…”


“Apa?” hardikku.




Kucengkeram bagian bawah dagunya dengan sedikit kasar, sedangkan kedua kakinya meronta mencoba menendangku. Aku mengedipkan mata memberi kode.




“Minggat setan!!” bentak Rana.




Aku pun terbahak keras. Aku menunjukan seolah akulah penguasanya. Keringat dingin langsung menyembul, sebetulnya aku bingung. Jika aku langsung menghajar tiga orang itu juga tidak mungkin, ada senjata tajam di balik jaket mereka.




Kujambak rambut Rana hingga mendongak, lutut kiriku kutempatkan di antara kedua pahanya untuk menahan rontaan. Kuciumi wajahnya. Rana tentu saja menghindar dengan menggeleng ke kiri dan kanan; tetapi rontaannya tidaklah sangat kuat.




“Kita harus bagaimana?” aku berbisik sambil seolah mencumbu daun kupingnya.


“Aaaah… lepaskan bangsaaat!!” pekik Rana.


“Buat tiga orang itu sange.” ia balas berbisik di akhir teriakan marahnya.




Langsung kuciumi leher Rana dan kuremas payudaranya. Rana masih meronta tetapi hanya dibuat-buat. Tidak sabar, segera kuangkat ujung kaos putihnya. Kulit perutnya sangatlah putih dan indah. Payudaranya juga menyembul sekal di atas beha berwarna krem.




Aku tersengal. Mau tidak mau perasaanku juga berdesir melihatnya.




“Aaah.. jangaan.. tolong lepaskan aku…” pekik Rana.




Ia seolah meronta, tetapi sebetulnya sedang meninggikan dadanya agar aku segera mencumbu payudaranya. Ia tahu aku sedikit bengong dan ragu untuk melakukannya.




Rana melotot. Sekilas seperti marah, tetapi sebetulnya memberi perintah. Rejeki anak mesum yang banyak amal, segera kubenamkan wajahku di atas belahan payudaranya. Kuciumi.. sangatlah kenyal dan menggiurkan. Aku mendengus sambil menjulurkan lidah.




Aku tidak bisa melihat tiga orang begundal di belakangku, tetapi Rana melihat. Ia semakin meronta, tetapi bagiku malah berupa gelinjang keenakan.




Segera kuangkat kaosnya semakin ke atas, tetapi nyangkut karena kedua tangan Rana masih diikat ke belakang.




Aku sedikit memutar sambil menggunting leher sepupuku dengan tangan kiri, tangan kanan mencoba melepaskan ikatan. Kulirik tiga anak buah Dante, mereka terbelalak sambil menelan liur. Kini mereka sudah bisa melihat bagian depan tubuh Rana.




Karena sepupuku meronta maka sembulan kedua payudaranya bergoyang dan mantul-mantul. Sementara aku sendiri kesulitan membuka ikatan tali.




Akhirnya berhasil juga. Lengan Rana terbebas. Tanpa sepengetahuan tiga begundal yang masih terus mengawasi, sepupuku malah membuka sendiri kaitan branya. Ia tahu aku tidak akan melakukannya.




Sial… bukan mereka saja yang sange, aku pun malah terpancing birahi. Nekad nih bocah tomboy.




Plaaaak!!! Rana menamparku. Njir ini bukan sandiwara lagi namanya, gamparannya terlalu keras. Aku mengaduh.




Buuuuk!!!




Lututnya menghantam perutku. Aku pun nyaris terjengkang, tapi kuraih dan kuremas payudaranya sebagai pegangan. Kenyal dan licin. Tanganku terpeleset dan nyangkut pada putingnya. Rana menjerit kesakitan karena putingnya kupencet keras karena kujadikan pegangan.




Buuuuk!!!




Rana kembali memukulku.




“Aaaaarrrghhh!” aku benar-benar teriak. Pukulan Rana mendarat tepat di atas bekas luka tembakan. Aku merunduk sambil memegangi dadaku, mataku berair.




Rana nampak kaget dan merasa bersalah, tapi hanya sekilat, sorot matanya tajam seakan penuh kebencian. Tapi…




“Bodoh kalian!!” sambil menunjuk ke arah tiga begundal di belakangku.


“OK!! Gua nyerah.. dan gua tidak akan bisa kabur dari kalian. Gua berontak atau tidak, kalian akan tetap memperkosa gua. Rugi kalau gua terus melawan, kalian akan enak sendiri, sementara gua kesakitan.” Rana berapi-api.




Aku melongo sambil tetap kesakitan, tiga begundal tak kalah kagetnya.




“Gua juga harus bisa menikmati walau kalian paksa.” ucapan Rana disambut seringai kemenangan para kunyuk itu.


“Tapi…” Rana tetap menunjuk-nunjuk. “Kalian jangan bodoh, jangan serahkan tubuh gua pada si bangsat Rei ini, gua tahu dia lemah di tempat tidur.”


“Kampreeeet!!!” kali ini aku yang memaki sambil mengulurkan tangan untuk menjambak Rana, tetapi gadis itu gesit menghindar.




Rana pun melepas kaosnya yang sudah melingkar di atas leher, dipelorotkan pula dua tali behanya. Kini sepupuku tinggal mengenakan celana jeans. Bagian atas tubuhnya sudah terpajang, payudaranya indah bergelantungan dengan puting imut berwarna merah jambu.




“Gua akan menari, dan kalian harus membuka pakaian kalian sambil ngocok kontol masing-masing. Yang paling tahan lama, dialah yang boleh ngewe gua duluan!!”




Jedeeeeerrrr!!!




Rana benar-benar nekad, dan kata-katanya pun tidak diayak. Kang pepen malah tidak tahu diri, ia menggeliat dari tidurnya.




Tentu saja aku protes dan bersiap menubruk Rana, tetapi ia lebih gesit. Ia mengusirku dari atas tempat tidur sambil melotot penuh kode.




Aku mengalah.




“Hahaha.. kalian percaya pada gadis ini? Dia itu pembual.. menyangkal kalau dia tidak puas ketika kutiduri. Kita buktikan siapa yang akan bisa mengobok-obok vaginanya duluan!!” tantangku kepada tiga begundal itu. Pipi mereka mulai memerah karena terbakar birahi.




Ujaranku disambut tawa. Rana sendiri langsung berdiri di atas kasur dengan tubuh atas yang sudah benar-benar polos. Ia mengacak-acak rambutnya yang hanya sebatas leher, lantas membuka kaitan celana jeansnya.




Aku hampir protes, tetapi malah penasaran apakah sepupuku ada jembutnya atau tidak. Maka diam adalah pilihan.




Bukan hanya itu, Rana juga menurunkan resletingnya, sehingga celana-dalam-putih-mininya terlihat. Tapi ia tidak menurunkan celananya sehingga rasa penasaranku belum bisa terjawab. Karena pinggulnya besar dan jeans yang ia kenakan adalah model ketat maka tidak merosot meski tidak dipegangi.




Rana mulai menebar tantangan kembali. Ia menyuruh kami melepaskan pakaian sambil mulai begoyang dan berputar-putar di atas kasur.




Ketiga begundal itu saling lirik. Seringai pun terpancar. Tanpa komando mereka pun melorotkan celana mereka, dan penis-penis hitam berdaki pun langsung saling mengacung. Bangke.. aku tidak ingin melihatnya, tak mau pula membahasnya. Jijik!!




Supaya tidak curiga aku pun menurunkan celanaku, bedanya celana dalam tetap kubiarkan. Bikin malu!! Kang pepen ikutan keras!! Hadoooh…!!!




“Buka juga baju kalian!” perintah Rana.




Bagai kucing dikelikitik selangkangannya mereka pun menurut. Mereka semua bugil, itu berarti tidak ada lagi senjata yang mereka pegang. Bodohnya mereka, celana mereka juga tidak dilepas seutuhnya, mengumbyuk di atas lantai dengan tetap membelit semata kaki. Yeah.. nafsu membuat otak mereka pindah ke selangkangan.




Rana pun bergoyang semakin panas, sementara mereka bertiga mulai mengocok. Birahi mereka membuat ketiganya tidak sadar bahwa aku sendiri hanya mematung. Rana merongos ke arahku, aku gedek dan berusaha membuang pikiran mesum. Dengan gerakan pelan kunaikan dan kukancingkan kembali celanaku. Tapi kulepas kemejaku agar tidak terlalu mencolok. Aku masih memakai singlet sehingga perban lukaku sedikit terlindung.




Tarian Rana semakin erotis, tangannya mulai meremasi payudaranya. Sekali-kali menungging memamerkan bokong lebarnya. Rupanya ia memakai g-string sehingga ada seutas kain yang tenggelam di dalam belahan pantatnya.




Suasana kamar mulai panas, para bangsat itu mengocok semakin keras, bahkan mendesis-desis menjijikan.




Rana turun dan melenggang lenggok. Pertama mendekatiku. Begoyang tanpa menyentuhkan badan. Lehernya mulai berkeringat. Sesungguhnya sangatlah seksi. Ia juga mendekatkan bibir seolah mau melumatku, mendebarkan, tapi ia hanya mendenguskan nafas hangat.




Ia terus bergerak, kali ini menghampiri tiga pria yang sedang mengocok minion mereka. Sama halnya padaku, Rana menari erotis tanpa membolehkan mereka menyentuhnya.




“Aaaaah…” Bacok mengerang, gerakan tangannya semakin keras.




Rana semakin nekad. Satu tangan meremas payudaranya, sedangkan tangan satunya mengusapi perut, lantas turun, menyusup memasuki celana dalam seolah mengusapi vaginanya.




“Mmmh… sssssh…” Gobang mengocok dengan kalap.


“Anyiiing aaah.. haaaasssh…” Yossi mulai bergetar-getar.




Rana melirik ke arahku. Aku gelagapan karena malah terpaku pada gerakan erotisnya. Kuhela nafas sekuat mungkin, lalu bersiap. Tinggal menunggu detik…




“Aaaaah…” Bacok mengerang keras. Rana meloncat untuk menghindari semburan sperma si bangke itu.




Craaat.. craaaat….




Buuuk… buuuuk… duaaaaak… tiga hantaman mendarat. Pria itu sukses terjengkang sambil memuncratkan sperma terakhirnya. Bibirnya juga berdarah.




Gobang dan Yossi kaget atas serangan yang tiba-tiba, tetapi mereka juga sudah diujung ejakulasi.




Wuuuut… kuayukan sebuah pukulan keras. Buuuuk… sukses menghantam kepala belakang Yossi. Ia pun jatuh telungkup, penisnya yang sedang puncak tegang mencium lantai, lantas melelehkan cairan kental. Langsung kuberikan serangan susulan sambil menjatuhkan diri, sikutku melayang siap menancap pinggang belakangnya.




“Aaaaarrrrgh….” bukan hanya Yossi yang teriak kesakitan tetapi juga aku. Aku lupa akan luka pada dada kiriku. Aku sukses membuat Yossi terkapar, tetapi juga ikutan ambruk di atas punggungnya.




Sementara itu, Rana sudah berhasil melumpuhkan Bacok dengan pukulan membabi buta.




Gobang yang belum ejakulasi sadar akan keadaan. Ia langsung meloncat untuk menyerang Rana, tetapi akhirnya ia ambruk sendiri karena keserimpet celananya yang tidak terlepas dari mata kakinya.




Buuuk.. buuuuk…!! Rana langsung menerjang dengan pukulan dan tendangan.




“Mampus kalian!!!” bentak Rana.




Melihat Rana kalap menghajar dua lawannya, darahku terpancing, rasa sakit seakan hilang. Pukulan demi pukulan kudaratkan pada kepala dan leher belakang Yossi. Ketika Yossi sudah tidak bergerak lagi, rasa sakitku kembali terasa, dan aku meringis sambil duduk di sebelah korbanku.




Cuiiiih!!! Rana meludah.




Kedua lawannya juga sudah tidak berdaya, terkapar tanpa bisa melakukan perlawanan. Mereka hanya mengejang-ngejang sambil merintih. Tulang hidung si Bacok malah sepertinya patah.




“Kenapa lu?” Rana membangunkanku.


“Dadaku.. aduh duh…” keluhku. Aku juga memaki kesal karena tadi Rana menonjok bagian lukaku. Sepupuku hanya cengengesan tanpa meminta maaf.


“Njir lah.. gua jadi sange beneran, Rei. Tapi sange ama lu, bukan ama mereka.” ujar Rana sambil memungut beha dan kaosnya yang mengumbyuk di atas kasur.




Haiiish…!! Dalam situasi seperti ini masih saja Rana berbicara seperti itu. Tapi.. dia pikir.. apa aku juga tidak terangsang melihat tubuh moleknya seperti itu.




Rana mengenakan kembali pakaiannya, dan aku mengancingkan kemejaku. Kutendang jaket dan senjata tajam milik ketiga korban agar menjauh dari pemiliknya. Aku dan Rana mengendap keluar kamar. Rana mengunci pintu dari luar.




Tidak ada orang tapi…




Terdengar keributan di bawah. Aku dan Rana saling tatap. Sepupuku masih menyambar botol beer yang tinggal isi setengah. Ia tenggak isinya bagai minum air putih, botolnya tetap ia bawa.




Aku dan Rana merunduk di ujung tangga, dan mengintip ke bawah.




Ujubuneh…




Di ruangan bawah nampak sedang terjadi perkelahian hebat tiga lawan dua. Koplo dan dua temannya berduel melawan Kak Kekey dan Nzi. Sedangkan si Dante sudah terkapar tak berdaya di atas lantai. Tangannya masih memegang pistol.




Di sudut lain nampak Rere sedang berjongkok ketakutan sambil memegang smartphone. Tangannya bergetar.




Tanpa pikir panjang, aku berlari menuruni tangga disusul oleh Rana.




“Kak..”




Kak Kekey dan Nzi melirik ke arah kami, dan menyeringai senang. Aku segera mendekati Rere, sedangkan Rana membuang botolnya dan bergabung memasuki arena perkelahian. Duel menjadi lebih berimbang karena tiga lawan tiga.




“Reiiiii hiiiiksss…” Rere langsung berdiri dan memelukku, tangisnya pecah.


“Hei.. kok kalian bisa ada di sini?” sambil mendekap kepalanya.


“Kamu dan Rana gak apa-apa, kan? Hiiiks…” Rere menangis tanpa menjawab pertanyaanku.


“Kami baik-baik saja. Sudah kamu tenang saja.”




Eh.. eh… Rere memelukku dan terlihat sangat mengkhawatirkanku? Jangan-jangan…




“Ontaaa… malah pacaran, bantu kami.” teriak Rana.




Mendengarnya aku dan Rere langsung melepaskan pelukan. Rere nampak malu karena telah memelukku, ia menunduk sambil mengusapi air matanya.




“Telpon papahmu, Re.” perintahku sambil mendekati arena perkelahian.


“Sudah.. hiks.. hiks… kamu hati-hati, Rei.”




Aku mengangguk.




Sejatinya aku mau ikut melumpuhkan musuh, tetapi ketika melihat bahwa mereka mulai kewalahan, aku pun hanya berdiri di dekat Dante yang sepertinya pingsan. Pipinya menempel pada lantai yang tergenang darah yang keluar dari hidung dan mulutnya.




“Ontaaa!!!”


“Kakak iiih!!!”




Dua gadis protes. Kuabaikan sambil mengerlingkan mata, kutunjuk dada kiriku yang masih terasa nyeri dan cenat-cenut. Kusulut rokokku. Melihatku santai, Rere mendekat dan memelukku dari belakang. Pelukan ini.. ah.. sebuah ungkapan takut kehilangan, sekaligus ungkapan lega bahwa aku baik-baik saja.




Aku malah terpana melihat pemandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ketiga saudariku meliak-liuk melancarkan dan mengindari serangan. Gerakan mereka lembut tetapi pukulannya mematikan.




Rana lebih dahulu bisa melumpuhkan lawan. Sebuah pukulan telak ia daratkan pada ulu hati lawannya. Pria itu pun terhuyung sambil mengaduh. Malang baginya, Rana langsung mengayunkan tendangan pada dagu sehingga pria itu berdiri tegak kembali tetapi dengan tubuh oleng.




Buk.. buuuk.. buuuuk… tiga pukulan mendarat pada dada, dan gebukan pamungkas pada hidungnya. Raungan pun terdengar. Pria itu mundur dan terjengkang ke arahku.




“Reiiii…” Rere ketakutan.




Sreeeet.. aku menggerakan sedikit badan sehingga tubuh lawan melayang jatuh tepat di depanku. Duaaaaaak… kusambut tubuh tak berdaya itu dengan menimpakan pukulan pada dadanya. Lawan pun ambruk dan tidak bergerak lagi. Satu lawan berhasil kulumpuhkan.




“Tenang Re, sudah kubuat tidak berdaya dia.” ujarku bangga, kuhisap rokokku.




Cubitan kecil kurasakan, tapi Rere masih tetap terisak.




Rana meloncat ke samping Nzi dan langsung pasang kuda-kuda. Keduanya saling melirik sambil tersenyum. Tubuh Nzi yang ramping langsung meloncat. Kakinya melayang ke depan untuk menyambut serangan lawan, Rana sigap memegang kedua sisi ketiak adikku. Tubuh Nzi pun melenting dan melambung tinggi.




Beeeeeet… bruaaaak… wuuutt… wuuutzz.. duaaak…




“Aaarhhh…” lawan pun terjejer ke belakang karena tersapu dua tendangan sekaligus.




Nzi menapak ringan, kali ini ia meraih kedua tangan Rana. Keduanya saling menggenggam. Rana memutarkan tubuh, sedangkan Nzi kembali meloncat. Kakinya menyapukan tendangan di udara.




Wuuuut…




Kali ini luput karena lawan sigap merunduk. Tapi….




Buuuuuk….




“Aaaaarrrghh… bangsat….” tendangan Nzi salah sasaran. Punggung kakinya menghantam tengkuk Koplo yang sedang berduel dengan Kak Kekey. Belati pria itu pun terpental jauh.




Koplo terhuyung ke arah kakak yang sedang memasang kuda-kuda. Tanpa ampun kakak pun menyambut. Ia mengayunkan tendangan sambil setengah memutar badan.




Hmmmfff… oeeaaaakkk… Koplo muntah darah tanpa bisa lagi berteriak. Punggung kaki Kak Kekey sukses mendarat pada lehernya.




Koplo hampir ambruk, tapi ia masih berusaha menjaga keseimbangan. Ia sempoyongan seperti ayam tetelo ke arahku. Tanpa membuang kesempatan langsung kutangkap rambutnya, kusambut tubuhnya yang rubuh dengan lipatan lutut.




Duuuuk… oeeeeek…


Buuuuk… bruuuuks….




Koplo pun hanya bisa kokosehan tanpa bersuara.




Dua lawan sudah kulumpuhkan.




Kakak mengusapi keringatnya sambil mendelik ke arahku. Kuhisap rokokku sambil menyeringai, pemukul terakhir selalu menjadi pemenang.




Belum juga kubuang asap rokokku, sebuah tubuh terhuyung ke arahku. Rupanya Rana berhasil mendaratkan pukulan, bersamaan dengan sapuan tendangan Nzi..




Sreeeet… kuayunkan kakiku. Wuuut… buuuukkk…. tendanganku tepat pada kanjut kundangnya. Lengking nyaring mengakhiri perlawanannya. Lawan ketiga pun berhasil kulumpuhkan.




“Kakaaakkk…” Nzi berlari ke arahku.




Kubuang rokok. Adikku mengusapi pipiku seolah mau memastikan aku baik-baik saja. Pelukan erat kudapatkan setelahnya, padahal Rere pun masih memelukku dari belakang.




Kami berlima saling berkerumun dan mengungkapkan rasa lega karena tak seorang pun dari kami yang terluka. Tubuh mereka basah oleh keringat, pun pula nafas yang masih tersengal.




“Kalian tenang saja. Mereka bertiga sudah kulumpuhkan.” ujarku dengan bangga.




Nyuuuuutttt…


Buuuuukkkk…


Plaaaaak…




Cubitan, pukulan, dan geplakan pada kepala kudapatkan. Kakak ngomel, Rana sewot, Nzi ngedumel. Rere tersenyum gemas, tapi tidak lagi menyentuhku.




“Kok kalian bisa menyusul kami ke sini?” heranku.


“Haiiish.. kamu tuh kamu bisanya hanya bikin kakak susah.” galak dan judes kakak kambuh.


“Makasih, Na, untung ada kamu.” jiaaah.. Kak Kekey malah memeluk Rana.


“Reeeiii…” tiba-tiba Rere menjerit.




Kami terperangah dan melihat ke belakang. Dug.. dug…. Dante menggeliat sambil mengangkat pistolnya. Waktu seakan bergerak lambat karena terkesima. Dan…




Tiba-tiba Rere meloncat, entah keberanian dari mana yang ia dapatkan.




Daaaaak… ujung sepatunya menendang pergelangan Dante.




Duaaaaar. Tembakan salah sasaran memekakan telinga disusul terlepasnya pistol itu dari tangan Dante.




Melihatnya Nzi kalap. Ia langsung memburu Dante dan menghajar pemuda.




“Nzi, jangan!” teriakku. Aku masih ingin tahu boss besar yang menjadi dalang utama dari semuanya ini.




Terlambat!! Dante kembali terkapar tak sadarkan diri.




“Aku juga bisa melumpuhkan satu musuh.” ujar Rere dengan polosnya.


“Hehe.. 1-3, Re. Kita pemenangnya.”




Aku dan Rere pun berteriak karena dihujani cubitan kakak dan Rana.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar