Sang pewaris part 65

 

Bab 65


Aku meratapi dan mengutuki diri dalam diamku. Bukan karena perlakuan Salsa, tetapi karena aku telah kehilangan kekasih tercinta. Cobaan ini terlalu berat, aku merasa dikhianati takdir yang telah menjerumuskanku pada peristiwa-peristiwa kehilangan yang menyakitkan. Enaknya hanya sesaat, tetapi laranya berkepanjangan. Apa kagok edan aja ya? Daripada meratapi diri, mendingan melanjutkan merayapi selangkangan perempuan.






Mantili said:


Bener tuh, Rei!




Sawaka said:


Groaaaarrrr!!






Ciiiiiit….!!!




“Ontaaaaa!!!” pekik Rana ketika aku mengerem seketika.




Sial!! Aku lupa sesuatu. Aku tidak menyelidiki tentang pelaku penembakan pada Dante. Arrrrghhh…!!!






Sawaka said:


“Makanya hadapi semua masalah dengan kepala dingin, Rei. Itu sangat penting untuk rintangan-rintanganmu selanjutnya.”






“…”


“Onta? Kenapa lagi sih lu?” pekik Rana sambil ngos-ngosan karena kaget.


“Aku lupa bertanya kepada Dante tentang orang yang menembakku, Na.” keluhku.


“Haiiisssh… lu tuh ya! Baru patah hati segini aja langsung bloonnya kambuh.” sial.. Rana bukannya ikut menyesal, malah ngomel.


“Hah? Siapa yang ditembak, Ba?” Salsa terlihat kaget.




Kulajukan kembali mobilku tanpa menjawab. Rana mengambil alih dan menjelaskan pada gadis itu. Sedih Salsa berubah kaget dan panik. Ia banyak bertanya tentang kejadian itu, dan juga kondisiku sekarang. Aku tetap diam, dan Rana menjadi gadis sabar yang menjelaskan.




Dari bahasa tubuh Salsa aku langsung tahu bahwa gadis itu tidak sedang pura-pura. Ia tidak tahu-menahu tentang pelaku.




Salsa juga meminta maaf karena ia lebih takut pada ancaman Dante daripada memikirkan diriku sendiri yang sudah jelas-jelas mau bertanggung jawab atas janinnya. Yeah.. meskipun nyatanya itu hanya kebohongan belaka. Gadis itu menyesal karena memutus hubungan untuk sementara sehingga kehilangan informasi tentang keberadaan dan kondisiku.




Suasana di sisa perjalanan lebih cair. Salsa sudah bisa menguasai kesedihannya, ia terlihat lebih lega karena sudah lepas dari cengkeraman Dante. Meski sesalnya karena kebohongan yang ia ciptakan tetap ada.




Aku tahu, ia berbohong tentang kehamilannya bukan karena Dante, tetapi murni karena rasa cintanya padaku. Dante yang tahu akan hal itu kembali masuk ke dalam kehidupan Salsa dan memanfaatkan gadis itu untuk menghancurkanku. Kini semua masalahku dengan Salsa sudah terang-benderang. Tinggal sisa satu…




“Sa…” aku tidak langsung mengijinkan Salsa turun dari mobil. Kami sudah tiba di depan rumahnya.




Salsa paham. Ia menarik nafas panjang.




Rana juga paham, ia malah keluar dan pura-pura melihat keadaan sekitar.




Kini hanya ada aku dan Salsa di dalam mobil.




Aku pindah ke kursi tengah tanpa keluar dari mobil. Aku dan Salsa duduk bersisian. Saling diam selama beberapa saat lamanya.




“Sa..” aku mengawali percakapan, tetapi Salsa yang terlihat sudah lebih tenang langsung berbicara panjang lebar.


“Sekali lagi maafkan aku, Ba. Aku sudah bersalah padamu, tetapi aku juga tidak bohong kalau aku jatuh cinta sama kamu.”


“Aku tahu, cepat atau lambat aku harus jujur padamu, aku malah takut kalau kamu melamarku di hadapan papah dan mamah dengan alasan aku hamil. Kami semua punya trauma dengan Tante Andini, makanya papah dan mamah selalu mewanti-wanti agar aku selalu menjaga diri. Dan kamu sendiri tahu.. aku sudah mengkhianati kepercayaan mereka. Dante telah mengambil semua milikku sejak awal perkenalan kami.”


“…”


“Kamu pemuda yang baik, Ba. Aku tahu itu. Ketika kamu mau bertanggung jawab saat aku mengaku hamil, aku semakin tahu siapa kamu, hati kamu. Dan aku merasa bersalah karena telah memanfaatkan kebaikanmu…”


“Aku juga tidak menyangka akan apa yang telah kamu lakukan pada Dante di luar sepengetahuanku. Kamu sudah tahu bahwa kamu bukan pria pertama untukku, tetapi kamu masih tetap mau menerima aku apa adanya, dan bahkan mau menikahi aku. Aku berterima kasih untuk itu. Aku pun semakin tahu siapa kamu, hatimu sangat baik, Ba.”




Boleh donk aku geer Salsa bilang begitu. Tetapi aku hanya diam. Masalah baik dan ganteng, bangsa suwirers juga tahu, minusku hanya mesum saja. Yeah walaupun aneh juga, banyak orang suka jika aku mesum.




“Aku sayang kamu, Ba. Aku tahu, kamu sendiri pernah bilang ke aku jika kamu mau menikahiku bukan karena kamu merasakan hal yang sama, tetapi demi anakmu.”




Salsa terus berbicara, dan hebatnya sudah tidak ada lagi air mata. Salsa benar-benar sudah ikhlas, ia hanya butuh mengungkapkan beban perasaannya di hadapanku.




“Aku rela, Ba, sangat rela jika kamu pergi. Aku bukan perempuan yang pantas kamu bela, dan aku tidak akan memperjuangkan cintaku padamu.”


“Sa, kamu yakin?” aku tidak bisa jika hanya bediam diri.


“Percaya padaku, Ba, jika kamu memaksakan diri untuk mencintai aku, itu malah hanya akan menjadi beban bagiku. Aku akan terus dihantui rasa bersalah.” jawab Salsa tanpa keraguan.


“Makasih, Sa.” kupeluk Salsa dan ia membalas hangat.


“Aku yang berterima kasih padamu. Kejadian di kebun teh waktu itu jangan diingat lagi, itu hanya kelalaian kita saja.”


“Tapi nyuwir kamu itu enak banget, Sa, apalagi pas liat kamu terkencing-kencing.” eh…!!!


“Oh iya, Sa, kamu jangan menganggap aneh Rana ya. Dia orangnya memang suka ceplas-ceplos, tetapi hatinya baik. Suatu saat kamu akan tahu siapa dia, kuyakin kalian akan sangat dekat.” ujarku.




Aku dan Salsa saling memisahkan diri, Salsa menatapku heran. Tapi aku menggeleng, Salsa tahu aku tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Ia pun akhirnya mengangguk pelan.




“Aku masih boleh meminta sesuatu ke kamu gak, Ba. Ini terakhir kalinya aku menyampaikan permohonan.” kulihat Salsa sangat sungguh-sungguh.


“Apa itu, Sa?”


“Jauhi Rere!”




Aku tercekat mendengar ucapan serius Salsa.




“Ia sahabatku. Aku tahu Rere kalau sangat menyayangi Rei, dan Rei juga begitu. Jadi jangan ganggu hubungan Rere dengan majikanmu.. atau apapun itu.. sahabatmu? Kamu pernah bilang ke aku kalau kamu dan Rere saling punya perasaan sayang, jangan kamu teruskan, bagi Rere mungkin itu hanya perasaan sesaat.”




Aku mengangguk. Aku paham Salsa bertanya begitu karena aku (Rei) pernah mengaku bahwa Iba adalah orang kepercayaannya.




“Iya, aku janji, Sa.”


“Makasih, Ba.”




Langsung kupeluk kembali tubuh Salsa. Aku sangat tidak menyangka bahwa gadis ini akan mengajukan permintaan seperti itu. Terlepas dari apa yang telah ia lakukan padaku, juga dari apa yang Rere lakukan padanya, ternyata Salsa sangat baik, ia sangat membela sahabatnya.




Ucapan terima kasih dan maaf saling kami lontarkan untuk mengakhiri kebersamaan. Tak lupa aku juga menyampaikan bahwa dalam waktu dekat aku akan pergi jauh, menemani Rei melakukan perjalanan, entah sampai kapan.




Kami berdua turun dari mobil, dan Rana mendekat. Salam perpisahan kembali kami lakukan. Aku dan Rana memasuki mobil, meneruskan perjalanan untuk pulang.




“Sudah beres?”


“Hmmm!”


“Aku bangga padamu, Rei.” Rana pun memeluk lenganku, aku meringis.


“Pelan, Mbooy.. bekas lukaku masih sakit.”


“Hihi.. maaf. Tapi kamu tetap jadi Iba dulu sampai gerbang rumah, aku berasa sedang punya pacar baru.” sepupuku terkekeh, kujitak kepalanya gemas.


“Tadi kamu sempat makan, gak?” tanyaku.


“Nggaklah, gara-gara ada si kunyuk itu.” sikap pecicilan Rana berubah menjadi gerutuan.




Tanpa diminta, Rana pun menjelaskan kejadiannya. Waktu itu ketiganya sedang menunggu lift, tetapi Dante yang sedang menggandeng Salsa malah menggodanya. Tak tanggung-tanggung ia juga menanyakan harga booking Rana. Dante sama sekali tidak menghargai gadis yang sedang ia gandeng. Jelas saja Rana sewot. Setelah saling adu mulut, Rana pun menghajar pemuda itu tanpa ampun.




Ketika tahu bahwa pemuda itu bernama Dante dan perempuannya bernama Salsa, Rana pun memintaku supaya datang dengan menyamar sebagai Iba.




Mendengar cerita Rana, aku jadi berpikir untuk tobat dari orang mesum. Jika otakku sengklek terus, bisa-bisa aku juga kena gampar di tempat umum seperti apa yang dialami oleh Dante. Mungkin aku harus bertanya pada ayah bagaimana caranya pensiun mesum.




“Eh kenapa berhenti, Onta?” Rana melepaskan pelukannya pada lenganku.


“Kamu makan dulu.”


“Iiiih.. so sweet banget sih lu Ontaaaa.” ia menjawil kedua pipiku.




Aku tidak menghiraukan sikapnya, segera membuka pintu dan mendahului turun.




“Noh pilih tuh mau makan apa?” ujarku setelah Rana juga turun.




Kami berada di kawasan kuliner Cibadak. Rana mengapit tanganku tanpa menjawab. Kios demi kios yang berbaris sepanjang trotoar kami lewati, tetapi Rana tidak juga menentukan pilihan. Tiba di ujung jalan, Rana menarikku ke arah selatan. Menyusuri jalan lain yang lebih sepi.




“Tuh ada nasi goreng. Gua makan di situ aja.” ujar Rana girang. Dari dulu kelakuan nih anak memang tidak berubah, sukanya makan nasi goreng di pinggir jalan.


“Tapi di situ sepi, Mboy.”


“Lah memangnya kenapa kalau sepi?”


“Kalau sepi berarti tidak laku. Kenapa tidak laku? Berarti masakannya tidak enak.” jelasku.


“Halaah.. makan ya makan saja, yang penting perut kenyang. Lagian kalau semua orang berpikir seperti lu, kasihan tuh tukang dagang.” sungut Rana.




Aku pun mengangkat bahu, malas berdebat dengannya. Kami masuk disambut tukang dagang. Benar saja pembeli hanya ada kami berdua. Rana pun langsung memesan nasi goreng pete super pedas. Aku hanya memesan teh hangat.




Kami duduk dan Rana langsung sibuk dengan smartphonenya. Aku ngomel. Dari dulu aku memang tidak pernah suka melihat orang sibuk dengan gadget pada saat makan.




“Kak Kekey iih…” jelas Rana.


“Sekalian share live loc aja deh biar dia percaya hihi..” ujarnya lagi.




Tak beselang lama pesanan pun datang dan aku menemani Rana makan. Ia terus berceloteh meskipun mulutnya penuh dengan nasi. Pelipis dan lehernya meyembulkan keringat karena kepedasan. Ingus keluar masuk mengocok lubang hidungnya.




“Nasi gorengnya dua, mas, dibungkus.” seorang pembeli datang. Tapi… Aku yang awalnya tidak peduli menengok, keningku langsung mengkerut. Sepertinya aku mengenal sosok ini. Hmmm…. aku berusaha berpikir keras, nihil.. aku tidak mengingatnya. Akhirnya aku pun masa bodoh.




Tap tap…




“Jangan teriak kalau tidak ingin mati.” terasa benda tajam menusuk punggungku. Ada tiga pria lain yang masuk dari arah yang berlawan dengan si pembeli.




Tubuhku langsung kaku. Pria asing ini tidak main-main. Sebuah belati sudah menempel pada kulitku. Terasa perih dan berdarah.




Di sampingku Rana sama saja. Ia hanya bisa diam dengan mulut penuh dengan nasi. Matanya terbelalak sambil melihat ke arahku. Lantas ia meringis.




“Yang dua orang itu temanku, mas, biar saya saja yang bayar sekalian.” terdengar suara si pembeli. Ia sedang mengalihkan konsentrasi si penjual.


“Hmmmfff.. makasih…” Rana nyeletuk sambil meringis kesakitan. Aku mulai panik, sepertinya Rana sama terancamnya sepertiku.


“Kalian ikut kami.” bisik lelaki di belakangku.




Mau tidak mau aku dan Rana berdiri. Sama sekali tidak bisa melakukan perlawanan, Rana yang jago bela diri pun tidak bisa berkutik ketika ada benda tajam yang menempel pada pinggangnya. Memang tidak terlihat karena ditutup jaket kulit.




Gerakan mereka gesit dan sangat terlatih. Mereka menggiring aku dan Rana memasuki sebuah alphard tanpa banyak gerakan mencurigakan.




Buuuuuk!!! kepala belakangku dipukul gagang belati.




Braaaaak!!! tubuh Rana didorong keras sehingga kepalanya membentur kaca.




Tap tap… bleeeef… bruuummm… kurasakan mobil bergerak. Aku dan Rana tidak berdaya karena kepala kami kemudian disarungi kain hitam, dan tanganku diikat. sementara benda tajam sudah berpindah pada leher leher belakang.




“Siapa kalian?”


“Lepasin bangsat!”


“Kalian mau apa?”


“Lepasiiin!!!”


“Tolong jangan sakiti adikku.”


“Aaaau sakiit bangsat!”


“Heiii!!!”


“Aduh.. aaau…”




Eh ealaaah.. tak seorang pun penculik kami yang bersuara, yang ada malah aku dan Rana saling sahut-sahutan sendiri. Kampret! Rana yang terdengar sempat meronta pun akhirnya hanya diam.




“Hallo, boss, cicak sedang kami angkut ke markas.”


“…”


“Siap, boss. Tapi dia tidak sendiri, bersama seorang gadis, sepertinya pedes di ranjang nih.”


“…”


“Siap, boss.”




Rupanya salah seorang penculik menelpon bossnya. Aku berusaha meronta, tetapi diam kembali ketika sebuah logam dingin mendarat pada leherku. Sialnya.. dada bekas tembakan kembali terasa sakit. Aku hanya bisa pasrah sambil memutar otak.




Cliiiing!!!




Ide pun datang. Begitu sudah ada lagi pisau pada leher, aku merunduk seolah ketakutan hingga muka menyentuh lutut. Tapi bukan itu tujuanku, aku ingin menyentuhkan kalung pada tanganku yang terikat. Susah payah… dan akhirnya berhasil juga. Kuusap tiga kali…




“Arrrh Rei.” aku seolah mengerang.


“Hmmm..” sahut Rana.




Aku merasa lega karena sepupuku menangkap kode yang kusampaikan. Semoga cara ini berhasil, dan kami hanya bisa diam, menunggu aksi mereka selanjutnya.




Sisanya kami hanya diam. Para penculik pun tidak saling berbicara, tetapi aku tahu mereka tetap waspada. Dari gerak-gerik yang terdengar, total ada lima orang yang menyekap kami. Dua di depan termasuk sopir, dua mengapit aku dan Rana, dan satu lagi di belakang.




Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Takut dan panik menghantui. Kurasakan laju mobil semakin kencang. Sebuah kecepatan yang tidak mungkin dilakukan di tengah kota. Feelingku kami memasuki jalan tol.




Kubaduk lutut Rana untuk memastikan keadaannya, ia membalas, itu sudah cukup bagiku.




Waktu terasa berputar begitu lambat, dan itu malah membuatku semakin panik. Aku mati tidak apa-apa, tetapi tidak boleh terjadi dengan Rana. Aku harus melindunginya.




Mobil berhenti sebentar, hanya dalam hitungan detik. Lantas melaju kembali.




“Keluar tol.” batinku.




Dengan waktu tempuh yang dilalui, aku bisa menduga keberadaan kami. Tapi itu hanya dugaan, aku bisa salah.




Setelah sedikit tersendat karena kepadatan jalanan, mobil pun berlari kencang. Hanya mengurangi kecepatan ketika melewati polisi tiduran.




Tiba-tiba leherku digunting lengan kekar, dan mobil pun berhenti. Terdengar derit gerbang yang dibuka.




“Aaaarhhh.. jangan remes toket gua, anjing.” maki Rana.




Aku berusaha menggapai, tetapi aku kembali diam ketika guntingan pada leherku semakin kuat, aku merasa kekurangan oksigen.




Terdengar pintu garasi terbuka, dan tak lama kemudian aku dan Rana digelandang memasuki ruangan. Cukup luas.. lantas menaiki anak tangga.




Bruuuukkk!! Tubuhku didorong keras dan nyungsep di atas lantai. Sakit anyiiing.. tapi aku tidak mengeluarkan suara, aku harus pura-pura kuat di hadapan Rana.




Hmmmmfff.. tubuhku diangkat supaya duduk di atas lantai. Aku merasa sedikit lega ketika ikatanku dilepas, tetapi itu hanya sebentar. Tanganku dilingkarkan ke belakang, pada tiang beton, dan diikat kembali.




“Hahaha… kerja yang bagus kalian, kita untung besar malam ini. Si boss kecil pasti akan membayar kita malam ini juga, dan boss besar akan semakin royal menggelontorkan uangnya.” terdengar bahak tawa.




Untuk pertama kalinya sejak aku dan Rana digelandang ke dalam mobil, mereka saling berbicara dan terbahak.




“Kita juga dapat bonus, kang, nih cewek pedes juga nih kayaknya.” sahut yang lainnya, disusul bahak tawa.


“Mmmh.. mmmh…”


“Mboy, kamu gak kenapa-napa?”


“Mmmh… aaaauuuu… aaah…”


“Sabar Koplo, jangan gerayangi dulu cewek itu. Mobil boss kecil datang.” hardik seorang pria yang punya suara bariton.




Tedengar beberapa gerakan, mereka sepertinya siaga menyambut orang yang disebut-sebut sebagai boss kecil.




Tik tok tik tok.




“Malam boss.” serempak.


“Kerja bagus!!” eh itu suara…


“Buka kain penutupnya, biar gua sayat-sayat mukanya dan gua kencingi!!”




Ujubuneh!!




"Re, seandainya mukakh penuh codet, kamu masih mau sayang aku nggak?" eh uuuh.. sekarang aja dia sudah tidak sayang lagi.




Tubuhku langsung mandi keringat, dicakar luwak saja sangat perih, apalagi disayat belati. Dikencingi pula.




Sreeeeeetttt!!!!




Akhirnya aku bisa menghirup nafas,




semoga berkenan… dilanjutkan part berikutnya…








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar