Bab 64
Aku duduk sambil merokok di ruangan bagian depan studio Nzi. Adikku membuat bagan pada white board agar tidak ada ide-ide kami yang terlewat. Inka browsing melalui smartphone-nya, Rana mencatat di ipad, dan Rere membuka album-album lama keluarga. Si gendut Agus sekali-kali nyeletuk menyampaikan ide sambil tetap menjalankan tugasnya mendokumentasikan kegiatan kami.
Inilah rapat kedua kami sejak kepulanganku dari rumah sakit. Tema pembahasan tentu saja adalah pertunangan Kak Kekey dan Kak Rega. Seminggu sejak kepulanganku, luka di dadaku sudah kering walaupun masih sering terasa nyeri, tetapi aku sudah masuk kerja sejak kemarin.
Satu hal.. atas bantuan Om Sulis, kasus penganiayaan yang menimpaku dicabut, dan polisi menghentikan penyelidikan. Tetapi tidak semudah itu suwirers, aku dan Om Sulis sudah melakukan analisa dan menemukan beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah Iba yang mau balas dendam, dan kemungkinan kedua adalah suaminya Tante Wulan yang mungkin mencium perselingkuhan istrinya. Rasanya hanya itu, karena aku (Iba) tidak punya musuh lain. Seandainya penembakan itu terjadi pada seorang Rei, masih ada kemungkinan ketiga, yaitu lawan bisnis. Tapi itu tidak mungkin, hanya keluarga yang tahu bahwa Rei dan Iba adalah orang yang sama.
“Oke kakak-kakakku, jadi sudah fix yah…” Nzi menyimpulkan hasil pembicaraan.
Poin-poin penting pun ia sampaikan. Adikku bersama Agus akan menggarap proyek video. Inka yang akan mengatur acara, Rere dan Rana bagian busana, tata rias, dan dekorasi. Untuk tempat sendiri kami sudah membooking sebuah villa dan cottage di Lembang, tak jauh dari tempat tinggal Oma Alya. Orangtuaku setuju memakai tempat itu karena seluruh keluarga baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan bisa tinggal bersama dalam sebuah kompleks villa dan tinggal di dalam cottage-cottage yang bernuansa alam.
Rencananya acara pertunangan dan pesta akan dilaksanakan secara outdoor. Yeah.. tidak perlu takut hujan, ada ayah Suwir Jagad yang bisa memindahkan awan dan mendung.
“Berarti aku tinggal menyampaikan semuanya ini ke ayah dan mamah. Kak Inka menghubungi pembawa acara dan bintang tamu, Kak Rere menghubungi Tante Syamida untuk buasana dan tata rias, Kak Rana menghubungi toko bunga dan dekorasi.” ujar Nzi.
Semua mengangguk. Tidak ada seorang pun yang berani membantah si bungsu, bisa berabe urusannya.
“Kak Agus jadi nginap di studio malam ini?”
“Iya, jadi Nzi.”
“Awas kalau merokok di dalam, di luar atau di ruangan ini saja.”
“Siap. Hehe…”
“Malah ketawa! Nanti malam makan bareng-bareng aja di rumah, nggak usah jajan di luar.”
“Hehehe.. siap..”
“Tuh kan!! Malah cengengesan lagi!”
Gantian aku dan para sepupuku yang tertawa. Agus dan adikku memang kelihatannya tidak pernah akur, tetapi kemana-mana selalu pergi berdua.
“Aku pulang, ya Nzi, gak makan bareng kalian. Sudah janji pergi makan ama ayah dan mamah.” ujar Inka.
“Oke, kak. Kak Rere makan di sini, kan?”
“Iya. Nanti pulang setelah makan.” jawab Rere.
Rana tidak perlu ditanya karena ia memang tinggal bersama kami di sini.
“Aku juga makan di luar, dek.” ujarku sambil mematikan rokok.
“Loh kakak mau kemana?”
“Mau makan di luar juga, ada janji dengan teman.”
Semua mata menatap ke arahku, tak terkecuali Rere. Aku dan gadis itu memang sudah mulai akrab kembali, tetapi biar bagaimana pun hubungan kami tidak secair dulu, masih ada bekas luka karena kandasnya cinta.
“Aku ada kencan dengan Ariska.” aku menjelaskan.
“Ariska atau Arischa?” adikku memberi penekanan.
“Ariska, kalau Icha kan sedang hamil besar, mana boleh keluar ama suaminya.”
Kulihat ada binar cemburu pada wajah Rere, tapi aku tidak terlalu mempedulikannya. Inka malah kepo, tetapi kujawab selengehan.
Dan kami pun bubar, pindah ke dalam rumah. Agus membereskan perlengkapan kameranya dan merapikan ruangan.
Setelah pamit pada Oma dan juga ayah-mamah, aku pun melangkah menuju mobilku. Mesinnya sudah menyala, mungkin Mang Karta yang memanaskan.
“Eh.. kamu ngapain, Mboy?” aku kaget karena Rana sudah duduk di belakang stir.
“Rese lu. Ayo naik. Ingat, selama lu belom sembuh gua akan selalu siaga menjadi sopir pribadi lu.” jawabnya cengengesan.
Sejak aku keluar dari rumah sakit, Rana memang selalu setia menemaniku jika aku bepergian.
“Tapi, Mboy, aku sudah bisa kok nyopir sendiri, lagian aku dan Arischa mau membicarakan hal yang sangat pribadi. Gak mungkin kami membicarakannya kalau ada kamu.” protesku.
“Ah gampang itu mah, ayo buruan naik.”
Aku hanya bisa mengangkat bahu. Kalau keras kepalanya sedang kumat, tak seorang pun yang bisa membantah gadis yang satu ini.
Aku pun naik, dan Rana melajukan mobil meninggalkan pekarangan.
“Kemana?”
“de Valle.”
“Siap, boss!”
Aku pun menoyor bahunya, dan Rana tetap cengengesan.
“Na, nanti kamu makan sendiri gak apa-apa, kan? Aku beneran harus bicara hal rahasia dengan Ariska.” aku masih tidak enak hati.
“Iyaaa.. nyantai Ontaaa. Emang mau ngomongin apaan sih?” sahutnya.
“Yeee.. kalau aku bilang ke kamu ya sama saja, itu namanya bukan rahasia.”
“Hihi…”
Tak berselang lama kami pun tiba di tempat tujuan. Rana memilih untuk belanja di toko sebelah, sedangkan aku langsung memasuki cafe. Hanya menunggu sekitar lima menit setelah mendapatkan meja, Ariska pun datang.
Kami saling menyapa dan cipika-cipiki lantas duduk berhadapan. Pesan makanan, dan berbincang ringan. Ariska menawarkan untuk memfilmkan novelku, ia punya kenalan boss PH di Jakarta.
“Nggaklah, Ris, gak pede aku.” jawabku.
Kuminta Ariska untuk bekerja sama dengan Nzi dan membuat webseries. Adikku harus belajar sesuatu yang baru, bukan sekedar membuat konten yang bersifat narsis. Lagi pula kalau keduanya bekerjasama, feelnya juga akan lebih berasa karena kami saling mengenal satu sama lain tanpa harus dipengaruhi tuntutan sponsor dan standar pasar film.
“Oke deh kalau gitu. Nanti kubahas bareng adikmu.” Ariska tidak memaksa.
Makanan pun datang dan kami menikmatinya.
“So? Gimana.. gimana..?” tanya Ariska di sela suapannya.
Kuceritakan apa yang kuketahui tentang Tante Wulan, mulai dari masa lalunya sampai pada kehidupannya sekarang. Kusampaikan pula pada Ariska bahwa selama ini wanita itu mencari Enzo.
“Masalahnya sekarang ada di Enzo. Ia terlihat antusias dan bersedia bertemu dengan Tante Wulan, tapi aku menangkap gelagat yang tidak baik. Enzo sepertinya sangat dendam pada Tante Wulan, padahal wanita itu tidak sepenuhnya bersalah.” tuturku.
Ariska meneguk jusnya lalu menghela nafas panjang.
“Ya.. aku tidak menyalahkan Enzo kalau ia seperti itu, tapi ia juga salah kalau mau melampiaskan dendam kepada wanita itu. Kamu ada ide?” Ariska malah bingung sendiri.
“Kamu harus bisa merayu Enzo supaya ia mau bertemu dengan Tante Wulan dan berbicara secara baik-baik. Ia salah kalau mau balas dendam pada wanita itu. Menurutku, Enzo malah harus berkerjasama dengan Tante Wulan untuk mengambil alih warisan kakek yang menjadi haknya; bukannya menyingkirkan wanita itu.”
“Hmm.. boleh juga, Rei. Nanti kuajak Enzo bicara, yang penting kita tetap saling berkomunikasi sampai menemukan waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka.” ujarnya.
Beberapa rencana pun kami susun. Aku meminta Ariska untuk bergerak cepat karena aku akan pergi ke luar negeri untuk waktu yang lama. Yeaah.. Anta juga luar negeri, bukan? Itu kan bukan negerinya manusia.
Tak terasa waktu pun berlalu, sudah satu setengah jam kami makan bersama sambil saling berbagi cerita. Aku memutuskan pamit karena Rana sudah beberapa kali misscall. Ariska juga mau pulang karena tunangannya sudah menjemput. Kami berpisah karena aku kebelet kencing dan melangkah menuju toilet, sedangkan Arischa langsung keluar café.
Kubuka smartphone, rupanya ada beberapa pesan dari Rana. Isinya jelas: kamu keluar sebagai Iba!!
Tidak ada penjelasan, dan ada beberapa typo pertanda Rana menulisnya sambil terburu-buru. Aku urung kencing pada urinoir, melainkan masuk ke dalam toilet tertutup. Kuusap kalungku terlebih dahulu, baru menongolkan kang pepen yang mau memancurkan air hangat. Tercium sedikit pesing.
Aku keluar cafe sambil menelpon Rana, tetapi ia tidak mengangkat. Kucari mobilku di parkiran, juga tidak ada.
“Permisi, Pak, apakah bapak melihat mobil bernomor D 27 RSP?” tanyaku pada seorang security.
“Mobilnya apa, ya mas?”
“Pajero hitam, pak.”
“Oh coba ke basement, mas, tadi ada Pajero masuk sana, tetapi saya tidak melihat nomornya.”
Aku pun berterima kasih dan langsung berlari menuju basement melalui pintu keluar. Untung basement hanya satu lantai sehingga aku tidak terlalu kesulitan mencari Rana. Kulihat mobilku sedang nongkrong di pojokan.
Tapi kemana si tomboy? Aku celingukan sambil mendekati mobilku. Gadis itu tidak ada, mobil juga terkunci.
“Mampus, lu, makanya punya mata dan mulut dijaga!!” terdengar suaranya penuh amarah.
Aku menengok ke arah datangnya suara. Rana sedang memegang kerah baju seorang pemuda. Seorang gadis berusaha memisahkan, tetapi sepertinya sepupuku tidak mau menggubris.
“Mboy!” teriakku sambil berlari mendekat.
Ujubuneh.. pria yang sedang dihardik Rana rupanya Dante. Wajahnya babak belur dan hidungnya berdarah.
“Salsa?!!”
“Iba?!!”
Kami sama-sama kaget. Rupanya gadis itu adalah Salsa.
“Urus tuh cowok, lu.” bentak Rana pada Salsa sambil melepaskan genggamannya pada kerah Dante.
“Kamu ngapain di sini?” aku dan Salsa saling bertanya bersamaan.
“Mboy, kamu apain Dante?” tanyaku pada sepupuku.
“Bangsat tuh cowok, udah tahu lagi jalan ama ceweknya, malah mesumin gua. Mana pake nanyain harga gua lagi, emangnya gua cewek apaan!!” Rana sewot.
“Ampun.. aku.. aku tidak bermaksud begitu…” rintih Dante.
“Diam lu, brengsek!!” hardik Rana. Lalu ia melotot pada Salsa, “Urus tuh cowok lu.. lagian ama cowok kunyuk kayak gitu masih aja mau!!”
“Na.. Mboy.. kamu tenang dulu.” ujarku.
Kutatap Salsa dengan sorot mata tajam.
“Kamu jalan bareng Dante? Kalian pacaran?” suaraku meninggi. Terbayang kembali adegan video mesum antara Salsa dan pemuda keparat ini.
“Dia siapanya kamu?” Salsa malah balik bertanya dengan suara tak kalah tingginya. Tangannya menunjuk ke arah Rana.
“Ini cowok gua, kenapa lu?” Rana menyahut sambil menggandeng tanganku.
“What?? Oh jadi kamu sering hilang-hilangan dan susah dihubungi karena ini? Kamu punya cewek lain?” Salsa tiba-tiba marah dengan muka merah padam.
Mendengarnya, aku sangat emosi. Kutepis lengan Rana, tetapi ia malah sengaja mempererat pelukannya. Sial.. sepupuku malah membuat keadaan semakin runyam.
“Kamu jangan sembarangan ngomong, Sa!! Kamu sendiri ngapain jalan ama cowok lain? Ama si Dante sialan ini?!!” aku membalas tatapan Salsa.
“Dante bukan siapa-siapa…”
“Sayang, sudah.. sudah…” Dante menenangkan Salsa sambil memegangi perutnya.
“Nah kaaan…!!! Sayang? Kalian pacaran? Kamu selingkuh di belakangku.” aku sewot.
“Kamu sendiri ngapain jalan ama cewek lain? Kamu juga selingkuh, kan?” Salsa tak kalah marahnya.
Kampret.. Rana malah celingukan menatapku dan Salsa bergantian, tapi tangannya tetap memeluk lenganku. Si Dante sendiri berusaha mengusapi hidungnya yang masih berdarah.
“Jadi ini yang namanya Salsa, Ba? Lah ngapain lu bela-belain ngejar dia kalau dia malah indehoy dengan cowok lain?” Rana malah memperkeruh suasana.
“Hei jaga mulutmu?” Salsa melotot.
“Apa? Lu mau gua bikin bonyok kayak cowok lu?” Rana menantang, dan Salsa pun mengkeret.
“Sudah.. sudah..!! Sekarang kamu jelaskan, Sa!!” aku mencoba menengahi, tapi dengan tetap emosi.
“Jelasin apa? Buktinya kamu juga jalan dengan cewek lain di belakangku?” bener-bener dah nih perempuan, sudah ketahuan selingkuh malah berlagak cemburu.
“Udah gua bilang dia cowok gua.” Rana mencium pipiku.
“Rana!! Diam!!” kubentak sepupuku, tapi ia malah cengengesan.
“Ini Rana, sepupuku.” jelasku pada Salsa. “Sekarang kamu jelaskan, kenapa kamu di sini dengan Dante?”
Mendengarnya Dante semakin menciut, sedangkan Salsa mulai nampak salah tingkah. Kini aku merasa berada di atas angin.
“Aku dan Dante hanya mau makan malam.” suaranya pelan.
“Pertanyaanku, kalian punya hubungan apa?!” aku mulai tidak sabar.
Karena Salsa malah diam, kuraih kerah baju Dante dan kuancam dengan kepalan tinju.
“Kamu jelaskan atau…?”
“Amm ampun, Ba. Aku dan Salsa hanya…”
“Dia pacarku!!” potong Salsa.
Jedeeeeerrrr!!!
Eh tapi kenapa ia menangis setelah berkata begitu? Apa peduliku. Aku telah berkorban dengan rela kehilangan Rere, tapi gadis yang kubela malah pacaran dengan cowok lain. Emosiku seketika meluap. Tidak mungkin aku menghajar perempuan, maka tinjuku melayang dan menghantam dagu Dante hingga ambruk.
“Bangsat kalian!!” teriakku.
“Aaarrrgghhh.. ampun, Ba, ampun…” Dante memohon-mohon sambil mengerang kesakitan.
“Iba, sudah hentikan!” pekik Salsa sambil berjongkok dan memeluk pemuda itu.
“Gimana? Masih mau menikahi dia?” Rana cengengesan sambil mengerling. Ingin rasanya kucoblos vaginanya dengan jari tengahku.
Aku merongos pada sepupuku, tapi dasar Rana, ia malah menutup mulut untuk menahan tawanya. Ia seolah puas karena bisa meledekku.
Kutarik lengan Salsa supaya berdiri, aku membutuhkan penjelasannya. Gadis itu meronta dan tetap memeluk Dante.
“Lepasin aku, Sa, biar aku saja yang jelasin.” ujar Dante. Ia pun berdiri dibantu oleh Salsa.
“Maaf, Ba, aku bisa jelaskan.” Dante menatapku sebentar lalu menunduk ketakutan.
“Maafkan aku juga, Sa..” kali ini ia melirik pada Salsa. “Sebenarnya aku sudah tidak menyimpan videomu, Iba sudah menghapusnya.”
“Apa? Jadi Iba tahu video itu?” kali ini Salsa yang terbelalak. Tangannya langsung mengusapi air mata dengan kasar.
“What!!! Kalian maen bokep? Berapa menit? Gua liat donk!” bener-bener tidak diayak tuh mulut si Rana.
Kesal, sewot, geram, gemes… ah entah apa lagi. Rana benar-benar mengacaukan suasana dengan tingkahnya. Dante malu, Rana tersipu. Rana malah cengengesan, dan baru diam ketika aku merongos.
Dante pun menjelaskan duduk perkaranya. Ia menjelaskan pada Salsa bahwa aku memergoki perselingkuhannya dengan seorang wanita (tanpa menyebutkan nama), dan aku menemukan video-video yang biasa ia pakai untuk memeras para pemilik sumur lendirnya. Tak lupa ia juga menyampaikan bahwa aku bukan hanya berhasil menghapus, tetapi juga memblok semua akun pribadinya.
“Jadi kamu bohong? Kenapa kamu bilang bahwa kamu masih menyimpan video itu?” kali ini kemarahan Salsa ditujukan pada Dante.
“Maafkan aku, Sa.” Dante menunduk.
Plaaaak!!!
Tamparan Salsa pun mendarat. Dante hanya bisa merintih tanpa memberikan perlawanan.
“Hiiiks… maafkan aku, Ba.” kali ini Salsa menatapku sambil kembali mengeluarkan air mata.
“Benar kamu sudah melihat dan menghapus video itu?” tanyanya. Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Salsa.
“Hiks hiks… maafkan aku. Selama ini aku memang masih sering jalan dengan Dante dan bahkan.. bahkan… hiiiiks…”
Bangsat!!! Nafasku langsung tersengal, aku sudah paham apa yang akan disampaikan oleh Salsa.
“Aku dan Dante beberapa kali tidur bareng.” lanjut Salsa. Benar dugaanku. Emosiku semakin meluap, tapi berusaha kutahan.
“Tapi aku terpaksa, Ba, hiiiks… aku menuruti kemauan Dante karena aku takut hiiks… ia masih mengaku menyimpan video itu dan mengancamku untuk menyebarkannya.” jelas Salsa.
“Benar apa yang dikatakan Salsa, hah?!” aku melotot kepada Dante, dan pemuda itu mengangguk sambil mundur satu langkah.
“Jadi ini alasannya kamu menelponku dan bilang agar aku tidak menemuimu dulu?” aku kembali bertanya pada Salsa dan dijawab anggukan.
Fixed!!! Salsa tidur dengan Dante ketika aku sudah menyatakan tekadku untuk menikahinya. Kalau dulu aku mencoblos vaginanya, sekarang rasanya aku ingin mencoblos mulut Salsa dengan tinjuku, atau kuikat giginya dengan jembut Sawaka dan kuperotoli hingga ompong. Mujur baginya karena ia perempuan. Lagi pula aku tidak bisa menyalahkan Salsa sepenuhnya, ia diancam oleh Dante.
“Dan kamu masih melakukannya meskipun ada janinku di dalam rahimmu, atau jangan-jangan itu bukan anakku?” aku terengah-engah karena amarah yang mau meledak.
“Hiiks.. iya, Ba.. hiiiks… sejak kamu menyatakan mau menikahiku, aku masih tidur dengan Dante, tapi itu juga karena aku diancam. Hiiiks… maafkan aku.”
“Brengsek kamu, dante!!” kali ini Salsa membalikan badannya, dan menatap dante dengan penuh amarah.
Wuuut.. plak.. plaaak… sreeeet… dukk… plak… gubraaaak!!!
“Auuuu… aaaaam.. puuun, Saa!!”
Dante pun ambruk terkena tamparan, cakaran, pukulan, dan tendangan pucuk sepatu heel Salsa. Ia sama sekali tidak melawan, mungkin karena takut padaku dan Rana. Ia hanya bisa merintih dan meminta ampun sambil membekap mulutnya sendiri yang mengeluarkan darah segar.
“Brengseeeek!!!” Salsa semakin kalap, tetapi kali ini Rana yang bergerak. Ia menarik tubuh Salsa.
Salsa meronta sambil menjerit-jerit, tetapi tenaga Rana lebih besar. Salsa pun menangis di dalam pelukan Rana.
Kutarik tubuh Dante supaya berdiri, ia pun semakin ketakutan.
“Kalian datang ke sini pake mobil siapa?” sambil memelototinya.
“Uuuh.. ampun, Ba. Pake mobilku.” jawabnya.
“Na, bawa Salsa ke mobil. Biar Dante menjadi urusanku.” ujarku tanpa menengok. Aku tetap menatap Dante dengan geram. Untungnya Rana melakukan perintahku, dan Salsa menurut.
“Kamu tahu kalau Salsa sedang hamil muda, kan?” geramku pada Dante setelah kedua gadis itu menjauh.
“Iya, Ba. Salsa cerita padaku, makanya aku tetap memanfaatkan dia karena aku ingin balas dendam padamu.” jawab Dante.
Hampir saja tinjuku kembali menghujami wajahnya, tetapi Dante menyilangkan kedua tangannya.
“Tapi dengarkan aku dulu, Ba.” ia memohon.
“Salsa membohongimu. Ia tidak hamil!”
Jedeeeerrrr!!!
[Mamang: “Sial!! Benar tebakan suwirers kalau Salsa tidak hamil. Kupret.. mamang terpaksa harus membukanya sekarang!!”]
Nafasku semakin terengah. Kali ini bukan karena amarahku saja pada Dante, tetapi juga shock mendengar ucapan yang keluar dari mulut si bangsat ini.
Kusulut rokokku dengan gelisah. Mataku tetap tajam menatap Dante. Ia paham maka ia pun menjelaskan.
Intinya, Dante sudah kehilangan segalanya. Tante Wulan mengambil alih coffee shop yang pernah ia dihadiahkan, dan benar-benar mengenyahkan Dante dari hidupnya. Dante pun berusaha kembali mendekati Salsa, tetapi gadis itu menolak karena mengaku sudah punya pacar.
Begitu tahu bahwa pacar Salsa adalah aku (Iba) maka Dante pun merasa punya kesempatan untuk balas dendam. Ia pun memanfaatkan Salsa dengan menjadikan video sebagai ancaman, meskipun sejatinya ia sudah tidak lagi memiliki filenya.
Suatu sore, usai persetubuhan Salsa menangis dan merasa menyesal karena sudah mengkhianatiku. Gadis itu memohon-mohon pada Dante supaya menghapus file itu dan tidak menyebarkannya.
“Ia sangat mencintaimu, Ba, maka ia mengaku hamil karena takut kehilanganmu.” ujar Dante.
Apa dayaku? Menghajar kembali Dante? Mencaci maki Salsa? Aaarrrhhh.. aku malah pusing sendiri. Salsa menyayangiku itu bisa kuterima karena wajah ganteng Iba hanya satu strip di bawah Rei; tetapi bahwa ia membohongiku, itu yang tidak bisa kuterima. Kini sperma yang sudah dimuntahkan kang pepen tidak bisa disumpelkan kembali, sama halnya bubur yang tidak bisa diolah lagi menjadi nasi. Dante memang keparat, tapi aku juga harus mengapresiasi kejujurannya. Aku menjadi tahu kebohongan Salsa, kebenaran yang sesungguhnya kini terkuaklah sudah. Kalau yang disibak adalah paha perempuan itu pasti mendebarkan dan enak, lah ini yang tersibak adalah kebenaran yang menyakitkan.
Dan.. aku sudah telanjur kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupku: Rere!! Yeah memang.. walau Salsa tidak mengaku hamil pun belum tentu Rere mau menerimaku kembali. Menghamili perempuan lain atau tidak, toh nyatanya kang pepen sudah menyundul-nyundul dinding rahim Tante Wulan dan Salsa. Tapi asli enak, akibatnya saja yang tidak nikmat. Entahlah.. kenapa perbuatan nikmat malah dianggap laknat.
“Aku mohon.. maafkan aku, Ba.” Dante memelas.
“Aku maafkan dengan satu syarat.”
“Katakanlah, aku akan menuruti permintaanmu.”
Kusulut rokokku sebelum menjawab. Kutatap mata Dante dengan tajam, aku mencari kesungguhan penyesalannya.
“Jauhi lingkaran keluarga Bang Rei!! Kamu tahu kan siapa dia?”
Setelah Dante mengangguk kulanjutkan ucapan bernada ancaman, “Kamu sudah main api dengan adiknya dan kamu beruntung aku tidak memberitahu Bang Rei sehingga nyawamu masih aman. Dan asal kamu tahu, Salsa masih saudara Bang Rei.”
“Aaampun, Ba. Jangan memberi tahu dia.” Iba ketakutan.
“Minggat kau!!” bentakku.
Dante pun manggut-manggut seperti kepala penis yang habis kencing dan sedang mengeluarkan tetesan terakhir. Darah dari hidungnya memang menetes. Ia meninggalkanku sambil terhuyung, berjalan entah kemana, mungkin mobilnya tidak diparkir di basement ini.
“Anjiiiiiir….” aku meringis. Dadaku terasa sakit lagi, mungkin karena terlalu banyak gerakan ketika memukul dan mencengkeram kerah baju Dante. Kalau tadi beringas, kini aku nyengir kesakitan. Untung aku tidak habis nyuwir, sehingga tidak mungkin ada jembut yang terselip pada sela cengiranku.
Aku berjalan sambil memegangi dada kiri. Tetapi ketika sudah dekat mobil kutegakan langkahku, kusembunyikan rasa sakit, kuhisap rokokku bak pahlawan yang baru pulang dari medan tempur. Padahal sebetulnya yang membuat Dante babak belur adalah Rana dan Salsa.
“Iba, lu yang nyopir yah.” kaca mobil turun dan kepala Rana nongol. Rupanya Rana dan Salsa duduk di kursi tengah, dan kulihat tampang Salsa sangat semerawut, juga masih menangis.
“Sebatang rokok dulu.” jawabku dingin. Anjiir.. ni dada malah makin sakit. Kupret memang.
“Buruan Onta!!”
“Iyaa, sabar dikit napa.”
“Haiiish..!!”
Aku tak peduli. Kuhisap rokokku dalam-dalam. Setelah urusanku dengan Dante selesai, kini masih ada Salsa. Aku berusaha menenangkan diri, menyabarkan diri. Aku sedang menjalani misi rintangan, aku tidak bisa najong gadis ini begitu saja. Lagipula ia masih anggota keluargaku.
Kulihat Rana kembali fokus pada Salsa; entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya Salsa semakin menangis. Aku fokus dengan rokokku. Terasa nikmat. Pantesan perempuan suka ‘merokok’ karena memang enak.
Setelah habis kubuang puntung, kuinjak, dan masuk ke dalam mobil. Duduk. Mematung diam.
“Ni si onta malah kayak orang bego. Ayo jalan, anterin Salsa dulu.” Rana ngomel.
“Hmmm…”
“Nah kan.. kesambet arwah Dante lu?” Rana nyablak.
“Tuh makanya jangan suka mainin cowok, Sa. Lu lihat kan akibatnya?” ujar Rana.
“Halah kayak situ…”
“Apa?!” Rana membentak dan memotong ucapanku.
Ciut dah kalau sudah begini. Bukan tidak mungkin kepalan tangannya yang tadi membuat Dante bonyok malah bisa menjadikanku sebagai korban kedua.
“Jalaaan!!!” sepupuku semakin tidak sabar.
“Sabar.” aku geram.
“Sa..” kali ini ucapanku ditujukan pada Salsa, kutatap wajahnya melalui spion.
“Aku tidak mau banyak tanya lagi, sekarang kamu jelaskan!” suaraku datar.
“Hiks.. hiks…” jiah dia malah menangis semakin keras.
“Jadi gini, Ba, tadi salsa cerita kalau…”
“Diam!!” kali ini aku membentak Rana, tak peduli seandainya dia menghajarku. Untungnya tidak.
“Aku ingin mendengar dari mulut Salsa sendiri.” sambungku dengan wajah tanpa ekspresi. Padahal aslinya ingin merintih karena dadaku perih dan senat-senut.
“Yeee.. gua kan cuma mau bantu, noh liat sendiri si Salsa malah mewek.” kupret nih cewek, disuruh diam malah nyerocos.
“Mboy!! Kalau kamu gak diam, aku suwir mau?!” aku sewot.
“Maaaaau. Kamu mau nyuwir sekarang? Nih…” kupret, Rana malah bergeser agak ke tengah dan menurunkan resleting jeansnya.
Buuk!!! Tiiiitttt!!! Pukulan tanganku malah membuat klakson berbunyi. Rana pun cengengesan sambil menaikan kembali resletingnya.
Entah apa yang dipikirkan Salsa ketika melihat tingkah Rana, tetapi ia masih tetap menangis.
“Aku baru mau jalan kalau sudah mendapat penjelasan darimu, Sa.” aku bersiteguh dengan pendirianku.
“Hiks.. hiks…”
“….”
“Hiiiks.. maafkan aku, Ba. Aku sayang kamu tapi hiiks.. seperti yang sudah kuceritakan tadi, Iba.. Iba… dia mengancamku. Ia menyimpan video aku dan dia.” akhirnya Salsa bisa bercerita di sela isak tangisnya.
“Tentang kehamilanmu?!” aku tidak mau panjang lebar, toh urusan video sudah jelas.
“Hiiks.. maafkan aku.”
“Itu sama sekali tidak menjelaskan, Sa!” suaraku agak meninggi.
“Ontaa, sabar.” kali ini suara Rana lembut sambil mengusapi bahuku. Sepupuku yang satu ini memang makhluk teraneh.
“Aku tidak hamil, Ba. Hiiks.. aku sudah membohongimu karena aku.. aku.. hiiiiiiksssss…” Salsa menangis keras.
Aku tidak perlu mendengar penjelasan lebih lanjut. Dante tidak berbohong, dan kini Salsa juga sudah jujur.
Kulihat Rana memeluk Salsa, kali ini mulutnya terkunci dan tidak nyablak lagi. Kumundurkan mobil dari parkiran dan melaju keluar dari area. Tujuanku adalah rumah Salsa.
Suana di dalam mobil hanya sunyi, kecuali isak tangis Salsa yang terdengar, dan sekali-kali suara Rana yang menenangkan. Aku bungkam. Membuka mulut malah hanya akan membuatku meluapkan amarah.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar