BAB 63
Untuk pertama kalinya aku dan Rere berdekatan, ia menunduk, dan sedih ini tiba-tiba melanda. Ayah seakan paham aka kecanggungan antara kami berdua, ia mencium ubun-ubun Rere, entah apa maksudnya. Mamah, Tante Nur, dan Tante Maya juga melakukan hal yang sama. Suasana berubah hening. Rere nampak tidak paham tetapi ia hanya diam tanpa bertanya akan maksud ciuman mereka.
“Rintangan keempat erat kaitannya dengan kesalahanku selama menjadi Iba, dan berdampak pada hubunganku dengan Rere.” aku mulai menjelaskan. Kugenggam erat besi tempat tidur seakan mencari pegangan dan kekuatan diri. Mamah yang melihat langsung mengambil telapak tanganku dan menggenggam erat.
“Pah..” kutatap Om Sulis dengan penuh sesal.
“Mah..” pada Tante Nur.
“Shhhh…” kudesiskan nafas berat.
“Re..” akhirnya aku memandang Rere, ia membalas sebentar. Tante Maya mengusapi punggung gadis itu. “Maafkan aku, karena aku harus menyampaikannya dalam kondisi seperti ini dan langsung di depan keluarga kita tanpa membicarakannya berdua terlebih dahulu.”
Rere mengangguk. Ia nampak tegar, walaupun tatapan matanya berubah hambar. Sadar bahwa Rere tidak keberatan, aku kembali menatap Om Sulis dan Tante Nur.
“Aku mohon maaf kepada papah dan mamah. Sebetulnya apa yang akan kusampaikan kepada papah dan mamah ini seharusnya aku bicarakan terlebih dahulu dengan Rere. Aku memang berencana begitu, tetapi kejadiannya berubah karena tiba-tiba kondisiku menjadi seperti ini.” kelopak mataku terasa panas, tapi kutahan. Ksatria tidak boleh menangis.
Perasaan seorang ibu tidak bisa dibohongi, tangan mamah menggenggam semakin erat. Tatapannya sangat meneduhkan.
“Selama aku menjadi Iba, aku sudah berkhianat di belakang Rere. Aku.. aku… selingkuh. Maafkan aku Pah.. Mah…” aku diam sebentar.
Hanya Om Fajar dan Rana yang terperanjat, sisanya hanya diam. Rere sama saja, menangis pun tidak.
“Reii.. apa sudah pasti?” sahut Inka dari tempat duduknya. Ia seperti belum bisa menerima jika aku mengambil keputusan sepihak tanpa mencari kebenarannya seratus persen.
Aku tidak menjawab. Fokusku kembali kepada Om Sulis dan Tante Nur.
“Aku tidur dengan dua orang perempuan, dan salah seorang di antaranya adalah… adalah.. sahabat Rere sendiri.”
Kudengar isak tangis, Rere tetap tidak bergeming. Lara hatinya sudah tidak bisa diwakili air mata. Kusampaikan juga siapa Salsa, yang ternyata masih memiliki pertalian saudara. Boleh dibilang, Salsa adalah adalah sepupu Opa Ardan. Lucu sih.. tapi memang begitu adanya. Tante Andini, istri opa, adalah sepupu Salsa. Mendengar penjelasanku, tak seorang pun yang tidak terkejut. Para wanita menangis semakin keras. Rere terlihat mengepalkan tangan dan menggigit bibir.
“Dan masalahnya bukan hanya itu…” kuusap wajahku beberapa kali. “Salsa mengaku hamil.”
Aku diam. Mamah memelukku. Rere menjatuhkan diri ke dalam pelukan papah dan mamahnya. Tangis semakin mengharu biru, memenuhi seisi ruangan.
“Re, maafkan aku. Aku juga mohon maaf kepada papah dan mamah.” ujarku setelah situasi sedikit tenang. Kudengar suaraku sendiri bergetar. Permohonan maaf kusampaikan juga kepada opa dan oma, kepada ayah dan mamah, dan kepada semua keluargaku yang kini hadir.
Om Sulis nampak kelu, ia hanya mengangguk. Pertahanan Rere akhirnya pecah, ia langsung menangis.. merintih… Tante Nur kembali berlinang air mata sambil memeluk putri semata wayangnya.
“Sebetulnya rintangan ketigaku adalah untuk menyelesaikan semuanya ini. Sawaka menantang keberanianku untuk jujur pada Rere sekaligus menyelesaikan hubunganku dengan dua wanita itu. Tapi aku sangat tidak menyangka kalau Salsa hamil.” kini suaraku lebih lancar.
“Rei…” ayah seperti mau menyampaikan sesuatu, tapi ia nampak kelu. Ayah nampak begitu mengasihiku sekaligus prihatin atas apa yang menimpa aku anaknya. Aku menggeleng pada ayah, aku belum selesai.
“Tapi.. kalau akhirnya aku berani menerima tantangan Sawaka sebagai rintangan ketigaku, itu bukan pertama-tama supaya aku lulus ujian. Aku tulus melakukannya.. aku bertekad untuk jujur pada Rere karena aku.. aku… maaf Re..” aku tidak enak kalau harus mengungkapkan perasaanku dalam situasi seperti ini, apalagi di hadapan banyak orang.
Tapi harus. Dan aku bertekad, aku akan menjadikan berkumpulnya keluarga saat ini sebagai titik patah sekaligus titik balik atas perjalanan hidupku.
“Maaf kalau aku mengatakannya di saat seperti ini, Re.” kulihat Rere mengangguk dalam tangisnya. “Sekali lagi.. aku melakukannya bukan demi rintangan, tetapi karena aku terlalu menyayangi Rere, dan aku tidak mau lagi berbohong pada orang yang kusayangi apapun resikonya.”
Lega.. seluruh beban hidupku terasa terlepas setelah mengatakan ini semua. Aku tahu, aku mengatakan rasa cintaku bukan untuk memohon Rere kembali, tetapi justru untuk mengakhiri hubungan kami.
Yang penting Rere sudah tahu perasaanku untuk siapa, juga keluarga besarku sudah tahu semua. Langkah hidupku akan lebih ringan sekarang, menatap masa depan bersama Salsa meskipun perasaan hatiku saat ini bukan untuknya.
Entah mereka sadar atau tidak, tetapi aku merasa lebih percaya diri sekarang. Aku tidak lagi menunjukan kemurunganku, kukabarkan semangat dan tekadku, meskipun dengan itu ada banyak orang yang harus terlukai hatinya.
“Kemarin waktu aku koma…” aku melanjutkan ceritaku. “Aku mengalami penampakan, di mana aku bisa melihat tubuhku sendiri yang sudah tidak bernyawa karena tembakan itu. Lalu ada dua orang yang datang dan menanyaiku: jika aku diberi kesempatan kedua, apakah aku akan memilih Rere atau Salsa?” sengaja aku tidak menyebutkan jika kedua orang itu adalah Inka dan Rana, aku tidak mau membuat urusannya menjadi panjang.
“…” semua diam menyimak.
“Dan aku menjawab dengan sangat yakin bahwa aku memilih Salsa. Sekali lagi aku mohon maaf.” kutatap Om Sulis, Tante Nur, dan juga Rere. Ketiganya nampak terkejut, tetapi Rere sudah berani membalas tatapanku meskipun sambil berlinang air mata.
“Alasanku jelas, bukan karena aku lebih menyayangi Salsa, bukan!! Kalau mau jujur aku sebetulnya hanya terbawa suasana waktu itu dan sama sekali tidak menyayangi Salsa. Tetapi janin itu.. janin yang ada dalam rahimnya, itulah yang menjadi alasanku memilihnya. Aku tidak bisa mengingkari anakku sendiri. Aku akan mencintainya, dan akan berusaha juga untuk menyayangi ibunya.”
“Dan tanpa kuduga, pertanyaan itu merupakan pertanyaan jebakan yang menjadi rintangan keempatku atau boleh dibilang rintangan ketigaku. Jawabanku memilih Salsa ternyata membuat aku lulus. Tapi…” aku tidak mau ada yang memotong ucapan panjang lebarku.
“Tapi, aku harus menyampaikan sekarang, walaupun itu terjadi ketika aku koma, sekarang di dunia nyata, jawabanku akan tetap sama. Aku memilih Salsa untuk alasan yang sama.”
“…” kembali terdengar isak tangis kaum perempuan. Rere menutup mulutnya sambil bersimbah air mata.
“Sekarang aku akan melanjutkan rintangan yang sedang kujalani, aku akan menyelesaikan hubunganku dengan dua wanita itu secara baik-baik, dan tentu saja ada kekecualian untuk Salsa, aku akan menghadap orangtuanya dan melamar gadis itu.”
Ayah berkaca-kaca bangga, mamah mengangguk sambil mengusap ai matanya. Ada senyum di sana, meski senyum itu keluar dari rasa pahit perasaannya. Kusampaikan juga permohonan agar jangan ada satu anggota keluarga pun yang ikut campur. Aku yang membuat persoalan, aku pula yang akan menyelesaikannya. Kuminta juga mereka untuk tetap pura-pura tidak tahu bahwa mereka adalah saudara sampai waktunya tiba.
“Ayah.. mamah… maafkan aku. Keputusanku sudah bulat. Maafkan aku karena telah mengecewakan ayah dan mamah.”
Kuambil tangan ayah dan menciumnya, ia malah memeluk dan menepuki punggungku. Setelah itu, kuambil tangan mamah, tetapi sebelum kucium, mamah memelukku sangat erat. Tangis sedihnya berubah menjadi tangis kasih sayang seorang ibu. Suasana pun kembali sedikit gaduh karena tangisan.
“Apapun yang terbaik untukmu, mamah tidak akan melarang, sayang. Mamah bangga pada tekadmu, ayahmu juga pasti bangga. Kamu sudah menjadi seorang ksatria. Hiikss.. kamu adalah anak lelaki mamah yang hebat.” bisik mamah dan hanya aku yang bisa mendegar.
Setelah mamah menumpahkan tangis haru-birunya, aku menyalami dan mencium tangan Om Sulis sambil meminta maaf. Kulakukan hal yang sama pada Tante Nur, ia pun memelukku sambil menangis.
“Pah.. Mah… maafkan aku karena telah mengecewakan papah dan mamah, maafkan aku karena telah melukai hati Rere. Maafkan aku karena telah mengambil banyak waktu Rere dari papah dan mamah karena Rere lebih sering bersamaku… walaupun akhirnya harus seperti ini…”
“Ini adalah kesalahan, tapi kamu tidak salah Rei.” Om Sulis akhirnya tersenyum sambil menepuki pundakku. Ia adalah panglima bintang tiga, dan ia tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang ksatria.
“Mamah tetap sayang kamu, Rei.” lirih Tante Nur.
“Terima kasih, Pah.. Mah…” aku tersenyum.
Kuulurkan tanganku pada Rere, dan ia menyambut bergetar. Untuk pertama kalinya setelah kejadian malam itu ketika aku jujur di hadapannya, aku bisa menyentuh Rere. Tangannya terasa dingin dan kaku.
“Re, maafkan aku.” Rere mengangguk, ia mulai mencengkeram tanganku.
“Lupakan janjimu… kamu cabut Re. Cabut janjimu.” aku memohon. Rere nampak terkejut sekaligus heran.
Ia menggeleng lemah, entah karena tidak paham akan maksudku atau karena menolak permintaanku. Entahlah! Aku akan mengajaknya berbicara lagi di kemudian hari.
“Aku pamit dari hidupmu sebagai seorang kekasih…” Rere menangis tapi tetap kugenggam tangannya, kali ini Tante Maya yang memeluknya dari samping.
“Tapi aku tidak akan pernah pamit sebagai saudara, dan aku mohon, kamu juga jangan melakukan itu. Kita tetap bersaudara. Jangan berubah, jangan menghindar, jangan lari lagi. Kamu mau, kan Re?”
Rere mengangguk sambil menutupi mulutnya. Air matanya semakin deras.
“Makasih, Re. Aku sangat menghargai itu.”
“Reeiiiii….” tiba-tiba Rere memelukku. Tangisnya keras, tubuhnya terguncang. Aku balas mendekap dan mau tidak mau air mataku berlinang.
“Kamu janji, Re, kamu boleh lari ketika kita masih menjadi sepasang kekasih, tapi jangan pernah lari sebagai suudara.” bisikku.
“Hiiiks… hiiiks….” Rere hanya bisa tersedu, tetapi anggukannya sudah cukup melegakanku.
“Maafkan aku.” ujarku, rasanya sesal ini tak cukup diungkapkan hanya dengan sekali minta maaf.
“Hiiiks… Reeeei… jangan minta maaf lagi hiiiks.. aku mohon.. sudah cukup. Aku sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kamu memintanya.” Rere meraung keras.
“Makasih.”
Kudorong tubuhnya, dan kuusap air matanya. Rere tersipu malu, ia menepis tanganku dan mengeringkannya sendiri. Tetapi tetap saja.. air matanya masih belum berhenti mengalir. Ada tawa kecil di sela isak tangis dan derai air matanya. Semuanya terasa menyakitkan, tetapi memberi ruang lega karena sudah saling terbuka.
Satu per satu aku dan Rere mendapat peluk dan cium. Rana yang biasanya pecicilan pun bersimbah air mata dan terlihat sangat sendu.
“Ini baru ksatria ayah.” bisiknya ketika memelukku.
“Makasih, Yah.”
Butuh waktu bagi kami untuk kembali ke suasana normal, butuh waktu untuk mengeringkan air mata lara. Butuh waktu untuk saling menerima kenyataan, tetapi semua mengerti dan mau menerima keputusanku, itu sudah cukup bagiku. Rere pun sudah tidak kaku lagi, di balik sedihnya ia sudah tidak lagi mengindari tatapanku. Ia mulai mencair. Haaah… isi hati Rere memang sangat penuh misteri. Tapi aku tidak berani bertanya, ia sudah bukan kekasihku lagi.
“Iiiih… tadi ketawa-ketawa, sekarang malah pada menangis. Keseeel…!!!” tiba-tiba Nzi menjerit sambil mengucek-ucek rambutnya sendiri.
Sikap adikku sukses membuat suasana sendu mencair. Oma Ewer tertawa paling keras sambil memeluk cucunya dengan gemas. Rana gak mau kalah, ia memeluk Oma Alya. Kakak tertawa dalam pelukan Kak Rega, ia mengerling padaku. Halaah.. pamer…!! Tapi tetap saja kakak juga tidak bisa menyembunyikan kesedihannya atas semua penuturanku.
Inka menawarkan siapa yang mau kopi, dan ia menyeduh sesuai pesanan. Perlahan tapi pasti suasana pilu pun berubah menjadi normal kembali. Candaan-candaan kecil mulai terdengar.
“Masih ada satu urusan lagi denganmu, Rei.” ucapan ayah mengangetkan kami semua.
“Apa itu, Yah?” aku terheran.
Semua mata memandang ayah. Tapi ia seperti tidak peduli, ayah malah menatap Rere.
“Buka kalungmu, Nak?”
“Kenapa, Yah?” Rere pun heran.
“Buka saja.” sambil mengulurkan tangan.
Mamah yang duduk di samping ayah tak kalah herannya. Ia menatap sambil mengusapi punggung ayah.
Rere pun melepas kalungnya atas bantuan Tante Nur dan memberikannya kepada ayah.
“Ini apa?” ayah menunjukan kalung itu padaku. Liontinnya berkilau karena cahaya lampu.
“Kalung, Yah.” jawabku polos, aku sudah tahu arah pertanyaan ayah. Si Suwir Jagad memang tidak bisa dikelabui.
“Ini apa?” ayah pura-pura marah.
“Yaaah..” mamah protes tapi ayah tidak peduli.
“Euuu.. hehe…”
Ayah mengembalikan kalung pada Rere sambil berkata, “Kamu teliti bandulnya, Nak.”
Rere heran tapi tetap melakukan perintah ayah. Ia membolak-balik dan meneliti liontinnya.
“Gak ada apa-apa, Yah, hanya ada rambutku keselip.” jawab Rere.
“Itu bukan rambutmu, Nak.” ujar ayah, lalu menatapku kesal.
Rere terperangah sementara geremengan terdengar, semua nampak heran.
“Kamu jelaskan, Rei!”
“Yaaaah…” aku memelas sambil cengengesan.
“Mau ayah bawain luwak?”
“Eh iyah.. nggak Yah… itu adalah rambut Mantili.” aku ketakutan.
“Haaaah?’ koor pun terdengar, aku hanya bisa cengengesan malu.
“Reeei?” kekasihku.. eh mantan kekasihku menatapku meminta penjelasan. Aku hanya garuk-garuk kepala.
“Terus kamu masih punya yang lain?” cecar ayah.
Kutunjukan bandul kalungku.
“Pantesan kamu terseok-seok terus dalam menjalani ritualmu. Ya ini penyebabnya.” ayah geram.
“Kok bisa Yah? Bukannya…”
“Iya, bagus untuk Rere tapi tidak bagus buat kamu. Kamu harusnya menyimpan kumis atau bulu Sawaka, bukan bulu Mantili.” ujar ayah. Kuyakin kalau hal ini kami bicarakan berdua, ayah tidak akan memakai kata ‘bulu’ atau ‘rambut’, tapi jembut.
Ayah pun menjelaskan bahwa perempuan boleh membawa rambut/bulu Mantili, sedangkan laki-laki hanya boleh membawa rambut/bulu Sawaka. Tidak boleh bersilang.
Mantili akan cenderung memberi dampak mesum jika miliknya dibawa atau dipegang laki-laki. Begitu juga jika ada perempuan yang membawa bulu Sawaka.
“Untung yang kamu pasang pada kalung Rere adalah rambut Mantili jadi yang Rere bawa adalah sifat postifnya. Mantili menjadi pelindung Rere. Coba kalau yang kamu pasang itu adalah bulu Sawaka. Kamu paham kan maksud ayah?”
Aku melotot kaget dan ketakutan sendiri. Fiiuh… fiuuuh… untung saja.
“Reiii..” Rere memekik antara senang dan kesal. Senang karena diam-diam aku sudah membuat Mantili melindunginya, tetapi juga kesal karena aku sangat ceroboh.
“Maaf, Re.” ujarku.
“Tapi makasih.” jawabnya.
Deheman pun terdengar, Rere terlihat malu sendiri.
“Kamu tidak akan mesum jika yang kamu bawa adalah bulu Sawaka.” tegas ayah sekali lagi.
“Tapi bukannya Sawaka juga mesum, Yah?” aku membela diri.
Groaaaaarrrr!!!!
Aku pun bungkam!
Akhirnya atas permintaan ayah, aku mengeluarkan rambut Mantili dari bandul kalungku dan memberikannya pada ayah. Sedangkan punya Rere dibiarkan begitu saja, ayah mengembalikan kalung itu pada pemiliknya.
Ayah memotong rambut yang kuberikan menjadi beberapa bagian. Ajaib tuh si Suwir Jagad, motong rambut kayak memotong buncis, hanya dipites begitu saja, padahal kukunya tidak panjang. Ayah pun memberikan potongan-potongan itu pada Inka, Rana, Kak Kekey dan Nzi. Ayah meminta mereka untuk menyimpannya dan memberikan beberapa petuah.
“Jadi setelah ini aku gak bakalan mesum lagi, Yah?” tanyaku polos.
Wuuuuttt. Bantal sofa melayang. Bungkus kacang terbang, kulit pisang nemplok, dan entah apa lagi.. aku hanya bisa berlindung dengan menarik selimut. Tawa setelahnya… suasana benar-benar cair kembali.
Ada yang beda. Rere mulai tersenyum lepas, ia bahkan memakai kembali kalungnya dengan sorot mata berbinar. Ia seperti sedang berbunga-bunga.. entahlah.. tapi ia kelihatan bahagia. Begitu sudah terpasang, ia menatapku sambil tersenyum. Ada binar cinta di sana, tapi kutepis pikiranku, mungkin aku hanya halusinasi.
“Makasih, Yah.” ujarku tulus setelah tahu dampak positif dan negatif atas apa yang kulakukan.
“Bilang makasih ama luwak. Kamu kan lebih dengerin luwak daripada ayah.” ujarnya dan aku auto tertawa. Yang lain juga tertawa, tetapi alasannya berbeda. Aku dan ayah sama-sama tahu karena batin kami saling berkomunikasi ketika aku masih koma, sementara yang lain menganggap bahwa ayah sedang bercanda dan menggodaku.
Begitulah… sore ini.. jarak antara tawa dan tangis sangatlah tipis… Hanya di dalam ruangan yang sama, hanya dalam waktu yang singkat… kami tertawa bersama, berderai air mata, dan tertawa lagi. Tapi rasa hati siapa yang tahu, aku pun sesungguhnya tetap merasa sedih karena kehilangan yang teramat sangat.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar