Sang pewaris part 62


Bab 62








“Gila nih orang apa kebo? Tidurnya lebih lama dari pada komanya.” Rana mendumal disusul banyak tawa.




Aku sudah tiga hari dirawat di rumah sakit, dan kerjaku hanya tidur. Mungkin sebagai akumulasi dari rasa lelah setelah dua hari tidak tidur sampai sebelum terjadi penembakan itu.




Aku hanya terjaga kalau dibangunkan perawat ketika mau dimandikan, tepatnya tubuhku dilap kain basah. Atau ketika makan dan minum ombat, atau ketika ke WC. Kadang-kadang ketika ada keluarga yang membezuk pun aku hanya bercengkrama sebentar dan tertidur kembali.




Bangunku yang agak lama adalah ketika polisi datang dan memintaiku keterangan. Penyerang itu masih misterius, kakak keburu panik melihatku terkapar sehingga tidak sempat melihat plat nomor mobil penyerang. Saksi di TKP tidak banyak membantu, karena mereka juga hanya kebetulan lewat. Suasana sekitar cukup sepi waktu itu.




Satu-satunya keuntungan, semua pihak bergerak sigap. Tidak ada media yang mencium kejadian itu. Jika saja ada media yang tahu akan runyam masalahnya karena aku adalah seorang pengusaha dan juga anak pengusaha besar; seorang penulis best seller pula. Mamah juga dikenal kalangan akademisi karena kiprahnya. Aku masih beruntung tidak mati, dan juga beruntung tidak ada kehebohan di kalangan yang lebih luas.




Rana menyuapiku ditemani kakak dan adikku. Di sofa, lebih mirip ruang keluarga, nampak orangtuaku ada di sana. Juga kedua oma dan opa. Ada juga Tante Maya dan suaminya, Tante Nur dan suaminya, dan eh.. ia ada di sana. Menatapku sendu, tetapi langsung menunduk ketika kutatap. Ekspresinya datar tapi sorot matanya menyiratkan rasa lega.




“Kak, kenapa sih waktu sadar kakak teriak-teriak kayak takut luwak gitu?” Nzi mengungkapkan rasa penasarannya yang selama ini ia pendam.


“Emang kakak teriak-teriak kayak gitu?” aku balik bertanya dengan polos.


“Iyaaaa. Jangan bohong.. waktu teriak-teriak ‘luwak’ sambil menunjuk aku, kakak sudah sadar, kan? Sengaja, kan?”


“Masa sih? Kakak gak inget tuh.”


“Halaaah..” Kak Kekey menyahut.




Kakak pun bercerita tentang kisah masa kecilku, dibumbui oleh mamah dan ayah. Aku berusaha menghardik tapi sia-sia. Aku merasa sungguh malu, terutama karena ada Rere.




Mereka senang dan tertawa terbahak-bahak, tak terkecuali Rere, sedangkan aku merasa teraniaya. Sangat memalukan!!




Keluargaku seperti sedang merayakan kesembuhanku dengan menjadikan kisah-kisah masa kecilku sebagai bahan obrolan dan candaan. Yah.. besok aku sudah boleh pulang.




Dokter dan tim medis, khususnya Tante Fuma, sudah berhasil mengangkat peluru dari tubuhku. Menurut kacamata medis, aku tidak mungkin bisa tertolong, tetapi kenyataannya aku masih hidup. Aku tahu.. penyembuh yang sesungguhnya adalah ayah.




“Udah aaah…” keluhku, aku sangat merasa malu.




Tawa pun semakin memenuhi seisi ruangan. Kehadiran Oma Ewer membuat cerita seakan tidak ada hentinya, dan Rana selalu mengeluarkan celetukan-celetukan pancingan.




Terdengar dua kali ketukan, dan pintu pun terbuka tanpa menunggu jawaban. Kak Rega dan Inka datang. Inka membawaku sekeranjang lengkeng dan jeruk bali kesukaanku. Aku pun terbebas dari segala olokan.




Salam dan cipika-cipiki saling mereka berikan. Terakhir mereka mendekat padaku. Kak Rega menampar kecil pipiku sambil tersenyun senang karena melihat kondisiku yang sudah semakin membaik lantas mengecup bibir kakak tipis, sedangkan Inka menoyor jidatku.




“Salam dari ayah dan mamah, mereka hari ini tidak bisa bezuk.” ujar Inka, lalu memeluk Rana dengan gemas.


“Hmmm.” aku hanya bergumam.


“Udah gitu doank? Bilang terima kasih, kek. Tuh lengkengnya dimakan?” Inka melotot dan aku hanya nyengir.


“Besok pulang, kan? Langsung masuk kerja aja, kamu kan ijinnya hanya tiga hari, pas tuh.. berarti besok harus sudah masuk lagi.” suaranya dibuat ketus.


“Kaaa..” aku memelas. Aku memang ijin tidak masuk kerja selama tiga hari untuk membereskan urusanku dengan Salsa dan Tante Wulan, tapi yang terjadi aku malah harus menghabiskan banyak waktu di rumah sakit.




Suara tawa kembali terdengar. Sinar kebahagiaan keluargaku kembali pulih, suasana cukup riang dan penuh obrolan dan canda tawa yang random. Aku hanya mendengarkan sambil disuapi lengkeng oleh kakak. Sebetulnya aku ingin disuapi oleh Rere tapi.. yasudahlah… Anggota keluargaku juga sepertinya paham, tak seorang pun yang menyinggung tentang hubungan kami berdua.




“Mumpung ngumpul, sekalian kita rapat keluarga.” ujar ayah yang tiba-tiba serius.




Semua terdiam dan semua mata memandang ke arahnya. Rana pintar, ia memanfaatkan kesempatan untuk mengecup ujung bibirku. Aku mendelik dan ia membalas dengan barisan giginya yang putih.




“Tentang pertunangan Kekey dan Ega, dan tentang Rei.” sambung ayah.




Waduuuh!!! Jangan sampai ayah membahas hubunganku dengan Rere, aku belum siap, urusanku dengan Tante Wulan dan Salsa belum beres. Mereka malah mungkin kembali marah karena aku menghilang kembali.




Aku menatap ayah sambil memelas, tapi ayah pura-pura tidak peduli. Ayah pun meminta pendapat kepada oma dan opa tentang acara pertunangan Kak Kekey dan Kak Rega. Juga terbuka menampung usulan dari yang lainnya.




“Kalau acara pertunangan sih terserah kamu saja, Wa.” ujar Oma Ewer, lanjutnya, “Tapi untuk pernikahannya tidak boleh melanggar tradisi leluhur. Di mana pun kalian berada, ke mana pun kalian merantau, pernikahan harus tetap dilaksakan di kampung. Kalau tidak di Sawer, ya di Ewer.”




Semua mengangguk paham. Ayah memang pernah menyampaikannya, dan tidak ada yang keberatan.




Opa Ardan melanjutkan penuturan Oma Ewer dan memberi beberapa penjelasan tambahan. Opa juga meminta Kak Kekey dan Kak Rega untuk ziarah ke malam Senja-Sae sebelum pertunangan dilaksanakan. Kakak dan calon iparku mengangguk.




Iseng kutepis tangan mereka berdua yang rupanya sudah saling menggenggam. Kakak melotot kesal, walaupun kutahu hanya pura-pura. Kak Rega lebih kupret lagi, setelah tangannya kupisahkan, ia malah memeluk bahu kakak dan mengusapi kulit lengan atasnya. Kulihat ia menahan senyum.




Mereka berdua membuatku iri. Ingin rasanya aku meminta Rere mendekat dan aku tiduran di atas pangkuannya. Tapi.. ah.. kenapa aku merasa sedih.




Kak Kekey sih mengusulkan acara pertunangan dilaksanakan secara sederhana di rumah dan ditutup dengan makan malam. Tante Maya tidak setuju, ia mengusulkan supaya dibuat acara yang lebih meriah. Om Suis dan Tante Nur mengamini.




“Ayaaah…” ujar Nzi. Ia menatapku sebentar dan aku mengangguk.


“Aku dan Kak Rei jadi EO-nya yah.”


“Kok pake EO segala, kan hanya acara tunangan?” tanya ayah.


“Ih ayaaah. Bukan ‘hanya’ iiih… penting tahu… Pokoknya harus pake EO. Aku dan Kak Rei yang menentukan tempat dan acaranya.” rajuk Nzi. Haha.. ayah mana bisa membantah kemauan si bungsu.




Nzi pun membeberkan rencananya. Ujubuneh.. semuanya seperti sudah terekam di kepala, padahal ia sendiri belum membicarakannya denganku, tapi keren sih dan diam-diam aku setuju.




“Jadi.. karena acara akadnya akan dilaksanakan di Sawer atau Ewer seperti ayah bilang, maka pertunangannya jadi murni hajatan kita, pihak perempuan.” jelas Nzi.


“Kan nanti juga pasti akan diadakan pesta pernikahan di Bandung, Nak.” Hrrr.. ayah benar-benar pilon dalam hal ini, jelas-jelas anak sulungnya akan menghadapi event spesial tapi malah seperti belum paham juga.


“OK, Yah?” adikku memutar-mutar kedua bola matanya, tanpa menanggapi ucapan ayah.




Ayah mendengus dan menatap mamah, mamah mengangguk sambil tersenyum, ayah pun akhirnya juga menganggukan kepala.




“Yihaaaa…” seru Nzi kegirangan.


“Jangan bikin acara yang aneh-aneh loh, Dek.” kakak terlihat khawatir.


“Pokoknya kakak tenang saja.” jawabnya.




Kak Rega berbisik pada Nzi, entah menyampaikan apa, tapi langsung ditanggapi kerlingan mata dan dua jempol dari adikku.




“Dek? Sayang?” kakak curiga.




Kak Rega hanya tertawa, ia memeluk pinggang kakakku tanpa malu dan sungkan. Cinta memang tidak harus disembunyikan. Eh.. ya pokoknya gitu.. gak boleh ditutup-tutupi.. ini lagi membahas tentang cinta mereka, bukan tentang aku dan…




“Pokoknta, kakak terbaik harus mendapatkan yang terbaik.” ujar Nzi disambut senyum-senyum haru yang mendengarnya.


“Adekkk…” seru kakak, matanya berkaca-kaca. Tangannya terentang untuk memeluk Nzi tetapi Kak Rega menahan pinggang ramping kakak.




Sejenak keseruan kecil terjadi, gelak kecil, ada deheman menggoda, ada senyum-senyum haru dan bangga. Ada juga pancaran iri. Akhirnya Kak Rega memeluk bahu kekasih dan calon adik iparnya.




“Aku boleh join jadi panitianya, Nzi.” tanya Inka.


“Aku juga.” sambung Rere.




Nzi ceriwis sambil mengacungkan kedua jempolnya.




“Nziii aku jugaaa.” Rana tak mau kalah. Tapi…


“Pah, Mah, aku boleh tinggal di Bandung dulu yah?” Tante Maya hanya mengerling memberi kode supaya membujuk Om Fajar.


“Makasih papahku sayang.” ia menjauhi tempat tidurku dan mendekati ayahnya. Kecupan ia berikan pada pipi Om Fajar.


“Papah belum jawab loh, sayang. Nanti kalau papah dan mamah kangen kamu gimana?” Om Fajar keberatan.


“Muaaaach.”




Semua tertawa, dan Om Fajar hanya menguyel-uyel rambut pendek Rana dengan gemas. Ada kemesraan tersamar antara Om Fajar dan Tante Maya, mereka saling tatap seolah saling mengabarkan rasa bangga pada putri tunggal mereka. Seperti saling mengatakan: anak kita.




Nzi melirik ke arahku dan kuacungkan jempol. Rupanya tingkah kami dilihat oleh Kak Kekey, ia pun menggeleng. Bahagia.. bangga… sekaligus gemas terpancar pada wajah kakak. Satu yang pasti.. ia mencintai kami berdua, seperti aku dan Nzi juga mencintainya.




Akhirnya semua sepakat kalau Nzi dan aku yang akan mengatur acaranya, dibantu oleh Inka, Rere, dan Rana. Ini tim kecil, tetapi masih banyak lagi yang akan terlibat yaitu teman-teman dan tim youtubenya adikku.




Diam-diam aku berdoa dalam hati agar aku bukan hanya bisa merayakan pertunangan kakak, tetapi juga pernikahannya. Pada saat hari bahagia itu tiba, aku berharap aku tidak sedang di Anta.




Oma Ewer dan Opa Ardan masih memberi beberapa wejangan berkaitan dengan tahapan pertunangan dan perkawinan kakak nantinya, intinya tradisi leluhur Sawer dan Ewer harus dipertahankan walaupun kami sudah hidup di zaman tik tok dan gocrot.




Ayah pun berterima kasih dan melanjutkan tema obrolan, kali ini ayah sambil menatapku.




“Sekarang tentang Rei.” gumam ayah dengan suara dalam.


“Yah?” aku memelas.




Ayah seperti tidak menanggapi, wajahnya tetap serius. Aku hanya bisa menghela nafas. Kasurku bergerak, Nzi naik ke atas tempat tidur dan berbaring sambil setengah memelukku. Inka mengambil telapak tanganku dan mengusapinya.




Meski disentuh oleh dua gadis di samping kiri dan kananku, aku merasa dingin. Aku benar-benar tidak siap jika harus membahas tentang hubunganku dengan Rere di hadapan keluarga besar tanpa menyelesaikannya berdua terlebih dahulu.




“Rei, sekarang kamu jelaskan tentang perjalanan ritualmu? Kamu jelaskan biar semua mendengar, sudah tidak ada lagi rahasia di antara kita semua.” ayah menatapku.




Aku menghela nafas, ternyata ayah tidak sedang membahas tentang hubunganku dengan Rere. Tapi aku juga malu, ini sama saja aku harus membuka aibku sendiri, khususnya yang berkaitan dengan alasan rintangan ketigaku. Aku tidak punya pilihan…




Aku pun bercerita, meskipun oma, ayah, dan mamah sudah tahu. Intinya aku sudah melewati dua rintangan.








“Kamu sudah melewati tiga rintangan, Rei.”


“Hah? Bukannya baru dua.”


“Iya, tapi sekarang sudah tiga.”




Aku hanya melongo sambil melirik ke arah jendela. Tidak kulihat Sawaka, tapi suaranya terdengar jelas dari arah sana.




“Groaaaarr… hahaha… kamu sudah melewati rintangan keempatmu, tapi yang ketiga belum. Kalau kamu gagal, berarti rintangan keempat juga akan dianggap gagal.” jelas Sawaka.




Kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Sepertinya Sawaka sedang sewenang-wenang dan memberikan alasan yang tidak masuk akal. Apa dia tidak bisa berhitung? Bagaimana mungkin aku sudah menyelesaikan rintangan yang keempat, padahal yang saja ketiga belum.




“Tolong jelaskan.” aku sewot, tetapi percakapan ini tentu saja adalah percakapan batin.




“Kamu sudah memilih untuk menikahi Salsa dan bertanggungjawab atas janinmu. Itulah rintangan keempatmu.” jelas Sawaka.




“Tapi aku belum melamar Salsa di hadapan orangtuanya.” ujarku. Aku merasa senang sekaligus heran. Bukan heran sebenarnya, sesak dan sakit hati. Melewati sebuah rintangan itu menyenangkan, tetapi bahwa harus menikahi orang yang tidak dicintai sangatlah menyakitkan.




“Bukan.. bukan masalah itu. Kamu ingat percakapanmu dengan Inka dan Rana waktu kamu masih koma? Kepada dua gadis itu kamu mengatakan untuk tetap memilih Salsa dan menikahinya walaupun hatimu sebetulnya hanya mencintai Rere. Selamat kamu lulus, Rei!”




Kupret!!! Aku sangat tidak menyangka bahwa kehadiran Inka dan Rana merupakan bagian dari rintanganku. Aku bangga juga sih kenapa aku bisa menjawab seperti itu, aku juga senang karena berhasil melewati sebuah rintangan tanpa kuduga. Tapi.. dada kiriku sakit, bukan karena luka bekas peluru. Ini lebih menyakitkan daripada itu.




Ketika aku sedang koma, aku memang mengambil keputusan itu dengan sangat bahagia, tetapi situasinya berbeda dengan sekarang. Aku merasa sedih, aku masih takut kehilangan Rere.




“Kamu sudah memilih Salsa, Rei. Sekarang buktikan itu di dunia nyata agar rintangan ketigamu bisa kamu lewati dengan sempurna.”




Sawaka pun menghilang, batinku mengatakannya.








“Sayang..” ujar mamah lembut sambil menyentuh lenganku. Sorot matanya teduh, namun nampak mengkhawatirkanku yang tiba-tiba bengong. Rupanya Tante Maya juga sudah berdiri berseberangan dengan mamah. Ia juga terlihat khawatir dan langsung mencium keningku seolah ingin memberiku kekuatan dan mengembalikanku dari lamunan.


“Kak.. wooiii…” kurasakan Nzi mengguncang tubuhku karena aku hanya mengerjap-ngerjap.


“Uuuhh… Dek, sakiiit…” sambil memegangi dada kiriku yang masih diperban.


“Eh.. maaf, kak. Abisnya lagi cerita malah tiba-tiba bengong.” Nzi merasa bersalah.


“Sayang?” mamah menatapku.


“Eh.. uuuh.. itu.. maaf…” aku gugup. “Tadi Sawaka tiba-tiba datang,” ujarku.




Semua mata memandang ke arahku. Kaget… heran… khawatir… penasaran… semua ada.




“Gak apa-apa, ia membawa kabar gembira.” ujarku lagi.




Helaan nafas lega pun terlihat dari semua orang. Tak terkecuali Rere, ia nampak begitu manis dalam diamnya. Ia juga sudah tidak lagi menundukan wajah ketika tatapan kami beradu.




“Kabar gembiranya adalah…” aku menerima suapan lengkeng dari Rana. Setelah menelan kulanjutkan, “Barusan Sawaka bilang bahwa aku sudah melewati tiga rintangan, jadi tinggal empat lagi, dan jika yang sedang kujalani sekarang bisa kuselesaikan, maka sisa tiga rintangan lagi akan kujalani di Anta.”




Ayah dan mamah nampak terbelalak, begitu juga Tante Maya dan Tante Nur. Yang lain hanya bengong.




“Sekarang kamu jelaskan dari awal, Rei, biar semuanya tahu.” ujar ayah. Aku mengangguk walaupun aku masih gamang karena secara tidak langsung ceritaku akan bersinggungan dengan kisah cintaku bersama Rere.


“Rintangan pertamamu apa, Rei?” Om Fajar penasaran.


“Aku harus bekerja di rumah tanpa boleh ketahuan.” jawabku.




Tawa hambar terdengar dan senyum kecut terlihat. Om Sulis adalah satu-satunya orang yang belum tahu kalau Iba dan Rei adalah orang yang sama, ia nampak sekali terkejutnya.




Kali ini mamah yang menjelaskan bagaimana aku menjadi karyawan di rumah sendiri. Orang-orang yang terkait saling bersahutan menceritakan pengalaman mereka dengan sopir ganteng bernama Iba. Ada keseruan tersendiri, ada kepahitan yang sekarang malah menjadi bahan tertawaan. Aku juga lega, tidak ada kisah antara aku (Iba) dan Rere yang mereka singgung. Mereka semua cukup tahu untuk menjaga perasaan kami berdua.




Sementara mereka saling mengenang dan bercerita, aku berpikir keras untuk mencari cara dalam menyampaikan rintangan kedua dan keempatku yang sudah kulalui. Haiish.. otakku buntu dan sudah tidak mungkin lagi aku bisa berkelit. Aku tidak akan bisa berbohong. Eh.. tapi masih ada celah. Kuputuskan untuk sedikit menyamarkan rintangan keduaku, biar nanti aku jujur dan cerita apa adanya kepada ayah, mamah, dan para wanita ritual sebelumnya saja.




Setelah semunya bernostalgia dan nampak pada paham, kusampaikan rintangan keduaku. “Rintangan kedua adalah aku bersemedi di Anta dan digoda oleh lima sosok siluman yang menyerupai perempuan cantik, dan mereka berusaha mengajakku tidur bareng.”




“Lalu?” goda Tante Maya.


“Ya lulus, buktinya aku bisa melanjutkan ke rintangan berikutnya.” jawabku malu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka seandainya mereka tahu bahwa para wanita yang dimaksud menyerupai mamah, kakak dan adikku, juga Inka, dan Rere.


“Bukaaan.. kok kamu bisa lulus, sayang? Hebat kamu.. biasanya kan mesum…” Tante Maya semakin menggoda. Kedua pipiku sontak terasa panas.




Aku bahkan tidak berani melirik Rere, kusembunyikan wajahku ke dalam pelukan Rana yang dari tadi selalu berada di dekatku dan sekali-kali menyuapiku lengkeng.




“Ontaaaa… cerita iiih.” tapi Rana malah memperkeruh suasana, aku semakin merasa malu.


“Aku tahu kenapa bisa lulus.” kakak langsung menyahut sambil memeluk lengan kekasihnya.


“Apa itu, kak?” tanya Tante Nur.


“Pasti karena Rei punya cinta yang sangat besar pada… eh… benar, kan dek?” kakak nampak gugup sambil menatapku.




Sebetulnya tanpa menyebut nama pun semua orang akan paham siapa gadis yang dimaksud kakak. Aku tidak tahu ekspresi mereka, selain mendengar ada deheman-deheman. Aku semakin menyembunyikan wajahku pada pinggang Rana. Dan sikapku sepertinya sudah menjadi jawaban kalau yang dikatakan kakak adalah benar.




“Yang ketiga, Rei?” kali ini Inka yang bertanya, ia sungguh paham, dan langsung ingin menutupi kecanggunganku.




Tapi justru ini yang paling berat, aku harus membuka aibku. Di sini ada Rere dan orangtuanya, yeah.. meskipun Tante Nur sudah tahu. Dan tidak mungkin Tante Nur tidak cerita kepada Om Sulis suaminya.




“Sayang, sudah cerita saja. Tidak usah malu.” ujar mamah.


“Dan ayah tidak bemaksud mempermalukanmu, ayo.. jadilah seorang ksatria.” sambung ayah.




Aku pun membalikan badan. Kuminta Rana supaya menegakan bagian kepala tempat tidur. Kini aku tidak lagi setengah berbaring, melainkan duduk.




Ayah memintaku menjadi seorang ksatria, tetapi rasanya aku malah menjadi seorang pengecut ketika harus berbicara di depan keluarga besarku. Aku berlindung di atas kebersamaan, bukan menghadapinya secara personal.




Tante Nur mendekat. Ia juga paham perasaanku. Ia menggengam telapak tanganku seolah memintaku supaya yakin dan tidak perlu takut.




Aku menghela nafas. Kini aku sudah tidak pilihan, keputusan harus kusampaikan, termasuk alasan yang ada di belakangnya. Kuminta supaya ayah mendekat. Kuundang juga Rere dan kedua orangtuanya. Kakak, adik, dan kedua sepupuku paham. Mereka menjauh dan duduk di atas sofa, hanya Tante Maya yang tetap berdiri di sampingku.










BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar