BAB 61
Eh.. aku jadi penasaran, kok ayah kelihatannya paling tenang ya. Sedih sih iya, tetapi sepertinya ayah tidak merasa takut. Ia juga tidak banyak berbicara dalam diamnya. Ia malah lebih sibuk menenangkan mamah, kakak, dan Nzi. Bukan tidak peduli pada Rere, tapi Rere lebih banyak ‘diabaikan’ karena ia hanya mematung diam dan tidak sehisteris mamah dan kedua saudariku.
“Kalau kamu sampai tidak bangun…” akhirnya aku bisa mendengar suara ayah. “Ayah akan membuang mayatmu ke hutan dan ayah biarin kamu jadi makanan harimau liar.”
“Hehe.. gak mungkin, Yah. Harimau itu temanku. Nih malah mereka mengawalku.” aku terkekeh sendiri.
“Kalau gitu, ayah buang kamu ke kandang luwak.”
Eh.. eh… kok aneh? Kok ayah bisa mendengar suaraku. Waduuuh!!!
“Jangan, Yah, waktu kecil kan aku pernah dicakar luwak di belakang rumah oma. Sakit yah.. apalagi ujung penisku sampai berdarah.” aku mengetes apakah ayah memang bisa mendengarku atau tidak.
“Ya salah kamu sendiri. Habis dimandiin bukannya pake baju, malah lari-lari telanjang dan masuk kandang luwak.” nah kaaan.. ayah memang bisa mendengar suaraku.
“Hehee.. abisnya… Kak Kekey bawa-bawa pisau katanya mau sunat aku, ya aku lari.”
“Ya itu karena kamu sendiri yang susah diatur, disuruh mandi saja susah banget. Akhirnya bukan kakakmu kan yang menyunat, tapi luwak. Sampai-sampai kulupmu sobek. Bikin susah saja. Niat liburan malah bikin acara sunatan gara-gara kulup penismu sudah sobek duluan.”
Aku pun tertawa mendengar penuturan ayah. Aku jadi teringat kembali peristiwa itu. Umurku mungkin baru empat atau lima tahun. Aku menangis meraung-raung karena pepen junior dimangsa cakaran luwak, dan oma langsung memanggil dokter waktu itu. Jadi deh.. aku disunat sekalian, karena percuma kalau dijahit juga toh ujung-ujungnya akan dipotong juga pada saat sunat. Sore itu juga kulup pepen junior sukses jadi kikil.
Kini aku menjadi bandar kopi luwak bahkan exportir kopi luwak tetapi sangat takut dengan luwak. Aku trauma sejak peristiwa itu.
“Cepet pulang, ayah kasih batas waktu sebelum lewat tengah malam.”
“Tapi Yah.. aku betah di sini. Gak ada sedih, gak ada kecewa, apalagi sakit hati. Damai. Aku bahagia di sini.”
“Kamu mau mayatmu ayah buang ke kandang luwak?”
“Eh jangan, Yah.”
Haiiish.. aku jadi bimbang. Aku gak mau bertemu makhluk bernama luwak. Ayah tidak berbicara lagi, tapi ultimatumnya tetap terngiang. Luwak.. luwak… luwak… itu sangat menakutkan.
Eeh.. kenapa Rere diam saja? Kenapa juga ia masih di situ? Bukankah ia tidak mau bertemu aku lagi. Aku berusaha menajamkan pendengaran, tetapi sulit bagiku untuk menembus batinnya. Aku mencoba fokus, bahkan aku turun dari ayunan agar bisa mendekat.
“Re, hai.. hallo… ini aku.” seruku sambil mengibas-ibaskan tangan di depan wajahnya. Aku berharap ia bisa mendengar suaraku seperti ayah. Sia-sia.. Rere masih tidak bergeming.
“Re..? Sayang…!!! Cinta… ini aku.”
Rere tetap tidak bergerak, tetapi tangannya selalu menggenggam bandul kalung, dan tatapannya sendu pada arah tubuhku yang tetap terbujur di atas batu.
Aku pun menyerah dan kembali duduk di atas ayunan. Kupejamkan mata untuk menikmati semilir angin dan hangatnya matahari senja. Damai.. teramat damai. Indah dan membahagiakan.
Sebetulnya aku masih berharap bisa mendengar suara Rere tetapi sia-sia.
“Groaaaaarrr!!!” pengawalku yang bernama Sabilulungan mengaum keras, dilanjutkan dengan geraman-geraman kecil. Aku paham maksudnya, sekarang aku seperti bisa berkomunikasi dengan segala jenis makhluk.
“Tapi bagaimana caranya?”
“Grrrrr.. grrrrr….”
Kupandang Rere, lantas fokus menatap tangannya yang mengepal menggenggam liontin kalung. Rasanya mataku menyala.. entahlah.. aku kan tidak bisa melihat bola mataku sendiri. Aku terus fokus.
“Aaaau…” jerit Rere.
“Kenapa, sayang?” mamah kaget.
Rere mengibas-ibaskan tangannya kepanasan. Sejenak fokus pada tubuh kaku milikku teralihkan pada Rere. Kekasihku menjelaskan apa yang ia rasakan. Adalah ayah yang paling peka. Ia meminta Rere melepas kalungnya.
“Kenapa, Yah?” selidik mamah.
Ayah tidak menjawab, ia mengamati liontin dengan teliti. Senyum ayah terulas. Ia menemukan sesuatu, yang bahkan Rere pun mungkin tidak pernah menyadarinya. Aku memang menyelipkan gulungan pendek rambut Mantili di antara lingkaran emas yang menjepit liontin itu. Aku ingin harimau betina itu selalu menjaga Rereku, satu helai lagi kupasang pada siung harimau yang menjadi bandul kalungku.
Dengan kemampuannya, ayah melepaskan rambut itu. Rere terbelalak, terbukti bahwa ia tidak pernah mengetahuinya.
“Sudah, ini ayah simpan saja.” ayah tidak menjelaskan apa-apa, hanya mamah yang kelihatan paham, yang lain tidak.
Fokus mereka kembali teralih pada tubuhku. Rere sudah tidak berdiri lagi, ia duduk di samping ayah. Kulihat ayah mengusapi punggungnya seperti sedang memberi kekuatan kepada kekasihku.
Dan…
Sekarang aku bisa mendengar suara hati Rere. Aku bisa menembus batinnya.
“Bangun, Rei. Sadar.. ayo sadar, sayang.”
Eh Rere memanggilku sayang. Hehe udah cantik gemesin lagi. Jadi pengen meluk.
“Aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kamu tidak bangun. Hiiiks…”
Ternyata selama ini Rere juga menangis, tetapi penderitaan dan rasa lukanya sangatlah dalam sehingga mengeluarkan air mata saja sudah tidak bisa. Hrrrr… tapi kok tetep galak ya. Gadis yang aneh. Tapi.. tapi.. aku sayang dia karena dia galak. Lebih galak daripada mamah dan kakak, lebih manja daripada mamah dan Nzi, lebih sayang daripada… eh kalau soal itu sepertinya sama deh.
“Aku sayang kamu. Sangat sayang…”
Cieeee… aaah ada yang jujur niye. Jadi selama ini menghindar bukan karena benci ya? Rei memang layak kamu sayangi, Re. Aku kan ganteng… kang pepen juga tangguh… aku juga sayang kamu.
“Bangun!!! Hiiiksss.. ingat janjiku. Kamu masih ingat? Aku tidak akan pernah menikah dengan siapapun kecuali dengan kamu.”
Ah untung aku sudah berada di alam lain jadi aku tidak mendengar kata jedeeer. Aku malah tertawa mendengarnya. Aku senang.. aku bahagia… terlepas dari pengkhianatan yang telah kulakukan di belakang Rere, ia masih menyayangiku, bahkan masih memegang janjinya.
Eh…? Masa Rere akan jomblo seumur hidup? Kami kan sudah beda alam. Duh Re.. makanya jangan mudah mengumbar janji.. jadi susah kan kamunya. Aku sih di sini jomblo juga tidak apa-apa, semuanya sangat menyenangkan.
Aku terus memasang kuping, tetapi tidak ada lagi yang bisa kudengar dari suara batin Rere. Meski begitu auranya berbeda, meski sedikit kata sepertinya ia yang paling merasa sedih. Laranya sudah lagi tanpa kata.
“Reiiiiii.” tiba-tiba terdengar pekikan dua orang gadis di belakangku. Aku kembali menjejakan kaki dan turun dari ayunan. Kulihat Inka dan Rana menghambur ke dalam pelukanku, wajah mereka bersinar.
“Hehehe.. kalian ada di sini juga?” kekehku sambil merentangkan tangan. Kudekap dua gadis cantik yang memiliki kekhasan masing-masing ini.
“Iyalah.” jawab mereka kompak.
Sambil memelukku, Inka dan Rana melihat ke arah kerumunan keluargaku. Mereka tersenyum.
“Kamu sayang Rere?” tanya mereka bersamaan.
“Iya. Sangat malah.”
“Kamu sayang Salsa?” lagi bersamaan.
“Hmmm… tidak!!”
“Kalau kamu kembali ke dunia, lalu siapa yang akan kamu pilih untuk dinikahi?” masih serempak.
“Salsa.”
“Kenapa?” tetap kompak.
“Ia mengandung anakku. Aku sayang anakku.”
“Tapi kan kamu tidak sayang ibunya?”
Aneh sekali. Apapun yang mereka katakan selalu bersamaan, dan tidak ada sedikit penekanan pun yang berbeda.
“Aku akan tetap menjaga ibunya, aku akan melindungi dan berusaha membahagiakannya. Aku akan membuatnya selalu tertawa.” jawabku tegas.
“Walaupun hatimu bukan untuk dia.”
“Iya. Dan istriku tidak boleh tahu kalau di hatiku tetap ada wanita lain yang paling istimewa selain dia. Akan kusimpan seumur hidupku.”
“Pengorbanan seumur hidup?”
“Ya. Istri dan anakku harus bahagia, biar aku berkorban tanpa mereka tahu.”
“Baiklah, kamu telah membuat keputusan. Semoga kamu juga bisa bahagia dengan pilihanmu.” ujar keduanya.
Inka dan Rana pun melepas pelukan. Inka melangkah dan menaiki punggung Sabilulungan dan Inka menaiki punggung harimau satunya yang bernama Dasar Gotongroyong alias Oyong.
Kedua harimau itu berdiri, lantas mengaum keras. Sreeeet.. wush… berlari kencang menjauhiku, menyusuri sabana yang membentang luas. Semakin kecil dan kecil.. menjauh lantas hilang.
Kehadiran Inka dan Rana membuat perhatianku pada keluargaku teralihkan untuk sementara. Ketika kembali melihat ke arah mereka, ternyata ayah dan mamah sedang bertengkar. Rupanya mamah sedang memaksa ayah supaya mengeluarkan kesaktiannya supaya membangunkanku.
“Mamah tenang yah. Rei pasti selamat, dan kita biarkan semuanya berjalan natural. Rei perlu mengalami proses walaupun kita tidak tahu siapa pelaku yang menyerang anak kita.”
“Ayah.. mamah mohon.”
“Mah, percaya pada ayah.”
“Wawa!! Buruan sembuhkan Rei!” kali ini mamah benar-benar tidak mau mendengarkan ayah, ia malah membentak sambil menangis.
Mamah memukuli ayah. Ia benar-benar panik sekaligus marah. Eh jangan… kalau mamah marah sampai-sampai memukuli seperti itu, ayah gak bakalan dapat jatah nyuwir. Kasihan ayah.
Aku memang sudah mati rasa, satu-satunya perasaan yang kupunya adalah bahagia. Jadi apapun yang kulihat dan kudengar tidak lagi menggangguku. Awalnya aku tidak berniat menghentikan ayah dan mamah, tetapi dari belakangku terdengar suara berisik. Seperti jeritan tapi bukan… aku seperti hafal.
Aku pun menengok, dan kulihat ada ratusan bahkan ribuan luwak berlari ke arahku. Seperti laron tapi menapak. Aku pun panik. Aku langsung berlari kencang ke arah ayah dan mamah sambil berteriak-teriak ketakutan. Ah.. selain bahagia ternyata aku juga masih bisa merasakan takut.
“Mamaaaaah… hash hash…” teriaku sekencang-kencangnya.
“Sayang? Kamu sudah sadar, nak? Hiiiiks….”
“Kakaaaak…”
“Adeeeek….”
“Sayang…”
Yang terakhir terdengar lirih dan nyaris tidak terdengar.
Aku membuka mata. Hanya ada bayangan-bayangan hitam yang dikelilingi kunang-kunang.
“Sayang, kamu sudah bangun. Ini mamah, nak.” bayangan yang sedang mengusapi wajahku langsung memeluk dan menciumi wajahku sambil berderai air mata.
“Mah… hash… hash… banyak luwak, Mah. Toloooong….”
“Sssssttt… tidak ada apa-apa, sayang. Hiiiksss.. kamu sudah sadar.”
Terdengar isak tangis, bedanya bukan lagi isak sedih tapi bahagia.
“Luwak, Mah. Ayah toloooong.”
Kurasakan bayangan hitam yang mengaku mamah memeluku sambil menangis. Ia memberikan dada empuknya sebagai tempat perlindungan. Aku sedikit merasa tenang. Kubuka mata semakin lebar meski nafas terus tersengal. Kupusatkan pandangan meski kepalaku tiba-tiba terasa pening.
Bayangan-bayangan hitam pun memudar dan berubah menjadi orang-orang yang kusayangi. Sisanya hanyalah putih.
“Mah, gak ada luwak kan?”
“Hiiks.. gak ada, sayang. Kamu tenang yah.”
“Aku di mana, Mah?”
“Di rumah sakit, nak. Hiiiks.. mamah senang kamu sudah sadar.”
Sentuhan demi sentuhan kurasakan tetapi hanya mamah yang mendekapku, ia seperti tidak mau memberi kesempatan kepada yang lain untuk memelukku. Mamah terlalu bahagia. Meski kepalaku pusing dan terasa sedikit mual aku sudah mulai sadar sepenuhnya. Aku meringis karena dada kiriku sakit. Kuabaikan.. kupandang Nzi.
“Mah.. itu mah… ada luwak mah. Aku takuuut…” sambil menunjuk-nunjuk Nzi. Aku sudah sadar dan aku ingin mengerjainya.
“Kakaaaak. Hiiiks….” Nzi histeris antara kesal dan bahagia.
“Maaaah….” pekikku pura-pura ketakutan ketika Nzi malah ikut memeluk.
“Sayang, kamu menjauh dulu.” mamah sedikit membentak adikku.
Tapi Nzi tidak peduli. Ia semakin memelukku. Kepalaku kini terbenam di dasar lembah empat bukit yang terasa empuk. Eungap… tapi enak… nyaman. Untung tidak ada luwak pada bukit-bukit itu.
“Adek eungaap. Uuuuh…” akhirnya aku kehabisan nafas juga.
“Hah? Kakak sadar, tadi ngerjain aku yah? Kakaaaak…”
“Aaaaaaau.. aku menjerit. Kali ini benar-benar sakit. Nzi mengguncang tubuhku sehingga dadaku sangat nyeri sepertinya ada luka di sana.
Tak lama kemudian terdengar langkah sepatu yang masuk ruangan. Seorang dokter dan perawat. Aku terlepas dari pelukan mamah dan Nzi. Isak tangis masih terdengar.
“Anak bandel, akhirnya sadar juga.” celoteh pemilik tubuh montok yang sedang memeriksa keadaanku. Yaaah.. rupanya dokter yang merawatku adalah Tante Fuma, anaknya Oma Tiurma.
Aku meringis saja. Sambil berusaha memegang dada.
“Jangan banyak gerak dulu.” ujar si tante.
“Ini berapa, Rei?” Tante Fuma mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya.
“Dua.”
“Ini?”
“Tujuh.”
“Ini?”
“Dua.”
“Kalau ini?”
“Tujuh.”
“Fix. Keponakan tante sudah sadar.” ia pun memukul jidatku dengan stetoskop. Ia nampak gemas karena berapa pun jari yang ia tunjukan, aku selalu menjawab dengan dua angka itu. Kudengar ada beberapa kekeh tawa di sela isak tangis.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, tetapi kepalaku sangat pusing.
“Jangan banyak mikir dulu, nih minum obatnya.” aku pun disuapi obat oleh Tante Fuma. Mungkin ia tahu karena keningku mengkerut.
Kudengar percakapan, dan samar-samar Tante Fuma pamit. Aku sangat ngantuk, dan langsung hilang ingatan. Gelap… terlelap…
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar