BAB 9
Aku dan Tante Puki duduk berhadapan di balkon kamar hotel yang cukup luas. Kami sudah sama-sama segar dan berganti pakaian; aku terpaksa membeli pakaian di sebuah distro kecil di kota ini. Yeaah… kencan kami di atas perahu rusak gara-gara kami tidak menyadari bahwa perahu telah terdorong oleh ombak dan membentur karang, cukup jauh dari anjungan. Yasudahlah.. yang penting kami tidak celaka, dan peristiwa itu akan menjadi pengalaman berkesan dalam hubungan kami. Aku juga sudah menelpon Bu Ningnung bahwa tidak akan pulang malam ini.
Wanitaku duduk di seberang meja dengan rambut tergerai karena terpaan angin malam. Ia nampak begitu cantik dengan gaun panjang berwarna hitam. Bahunya terpampang, dan bagian atas payudaranya terpajang. Di atas meja sudah terhidang sajian makan malam yang kami pesan pada pihak hotel. Suasana begitu romantis dengan sebatang lilin menyala di dalam kaca, sementara samar-samar terdengar hablur ombak di kejauhan.
Kami menikmati sajian makan malam dengan santai, tak hentinya kami saling pandang dan berbagi senyuman. Pancaran bahagia tergambar pada wajahnya, juga sebahagia perasaanku saat ini. Aku tidak mengusap bibirnya dengan tissue karena tidak ada yang tertinggal di sana, dan juga tidak belepotan. Tapi.. sekali-kali kami merunduk untuk saling menyuapi.
Cerita-cerita kecil saling kami bagikan. Aku bercerita pula tentang malam pertamaku di rumah baru, tentang keadaan rumah, tentang Bu Ningnung, tentang Yaning, dan juga kehadiran Ariska yang tak terduga.
“Semoga saja melalui mereka, kamu bisa melacak keberadaan orangtuamu.” lirih Tante Puki dengan suara lembut.
Aku mengangguk sambil menatap bola matanya yang indah. Lekat aku menatapnya, dan aku sungguh merasa teduh dan damai. Kemarahanku pada orangtua yang telah mencampakkanku selalu sirna ketika sedang berada bersamanya, ketika mendapat tatapan teduhnya.
“Aku kok jadi ragu untuk memulai usaha batik, ya Tan.” gumamku sambil meraih gelas wine.
“Kok tante?”
“Sayang.” aku meralat.
Seulas senyum indah ia berikan, bibirnya yang merah dan basah terlihat begitu lembut dan seksi.
“Jangan memulai sesuatu dengan karaguan. Jika masih ragu mendingan tidak usah, dan cari bentuk usaha yang lain.” lirihnya, lalu ia menelan suapan terakhir nasinya dan dilanjutkan dengan minum red wine yang terhidang.
“Kamu ada ide, sayang?” kuraih tangannya dan kugenggam, remasan-remasan kecil saling kami bagikan.
“Halaman belakang jadikan angkringan aja.” usul pun ia lontarkan.
“Kenapa harus angkringan?” aku menatapnya lembut.
“Ya kita harus membantu Bu Ningnung juga, biarkan dia yang megang, jadi kamu sebagai pemilik saja. Lagi pula kamu bilang kalau dia pintar masak…”
Aku menatapnya lekat, lalu kuangkat punggung tangannya dan kukecup lembut.
“Di samping itu kamu bisa memberdayakan para tetangga. Modalnya tidak perlu besar, hanya perlu menyediakan tempat dan menu unggulan saja, sisanya kamu bisa bekerjasama dengan para tetangga untuk membuat menu masing-masing. Ibaratnya mereka menitip makanan di angkringan, dan kamu bisa ngambil keuntungan satu atau dua persen.” lanjutnya sambil meremas tanganku.
Tante Puki benar. Aku bisa membantu warga dengan menampung masakan mereka, dan setiap orang bisa menitipkan menu yang berbeda. Mungkin dari pihakku, aku cukup membuka kedai kopi.
Aku juga berpikir, mungkin melalui mereka, dan juga melalui para pengunjung yang nongkrong, aku bisa menggali cerita-cerita tentang leluhur dan orangtuaku.
“Kok diam?”
Kuberikan senyumku dan kembali mengecup tangannya. Itu sudah cukup menjadi jawaban setujuku untuknya, senyum indahnya pun mengembang.
Sesaat lamanya kami hanya saling pandang dan meremas tangan. Sebuah kemesraan, sebuah ungkapan kasih sayang, yang sulit digambarkan atau diungkapkan.
Tiba-tiba aku mengingat sesuatu, dan bahagia ini ternoda oleh rasa luka.
“Kita bagaimana?” bibirku sedikit bergetar.
Tante Puki mengela nafas panjang, lalu dengan lembut ia melepaskan genggaman. Ia berdiri menatap ke kejauhan dengan tangan berpegangan pada pagar besi.
Sejenak aku hanya diam. Merasakan sakit di dalam dada seraya mengamati kemolekan tubuhnya. Mataku menyapu kemolekan yang ia miliki dari ujung rambut sampai ujung kaki. Payudaranya menonojol, terlihat dari samping; setengah pahanya terpajang karena belahan gaunnya tersibak angin.
Kuhela nafas, dan berdiri menghampirinya. Kupeluk dari belakang sambil mengecup bahunya yang putih mulus. Pinggulnya terasa kenyal dan tidak kendor, menempel pada paha dan selangkanganku.
Tante Puki memejamkan mata saat aku mengelus perutnya yang ramping, tangannya merambat mengusapi pipiku. Diam… kami hanya diam… larut dalam kemesraan.. saling mencurahkan rasa sayang, sekaligus gejolak perasaan karena biar bagaimana pun ada penghalang dalam hubungan ini.
“Aku sayang kamu.” lirihku.
Ia mengangguk dan membuka mata. Wajahnya menoleh dan kusambut bibirnya dengan kecupan lembut.
“Aku juga sayang kamu, Zo.” terdengar merdu dan tulus di pendengaranku. Ia bahkan sudah tidak menyebut dirinya “tante” lagi, melaninkan “aku”.
“Aku menginginkanmu, sayang, bukan hanya cinta dan tubuhmu, tapi seluruh hidupmu yang tersisa.” ujarku.
Air matanya berlinang, dan langsung berbalik memelukku dengan sangat erat. Tubuhnya sedikit bergetar karena isak tangisnya.
Kubiarkan ia menumpahkan perasaannya beberapa saat. Setelah agak tenang, kudorong bahunya, tanganku langsung terulur untuk membersihkan sisa air mata sekaligus membelai wajahnya.
“Aku juga… tapi…” kata-katanya terputus.
Entah apa yang dirasakannya, ia langsung mendekapku kembali dengan erat, namun kali ini sambil mencium bibirku. Nafasnya terasa begitu hangat dan dadanya naik turun karena tersengal.
Aku membalas lumatannya, bibir lembutnya menjadi sasaranku, kukulum bergantian antara yang atas dan bawah. Tubuh kami kian tersengat ketika ujung lidah kami bersentuhan, dan saling melilit, membelit, menggelitik.
Tanganku sendiri sudah berpindah pada kedua bongkahan pinggulnya yang sekal, dan langsung kuremas membuatnya mendesah dan sedikit melenting ke belakang. Posisi seperti ini membuat kemaluan kami bersentuhan dan saling menempel. Penisku langsung tegang maksimal.
“Yank.. uuuh…” lenguhnya, saat ciumanku turun menyusuri lehernya, kulitnya nampak meremang.
Ia nampak begitu terbuai oleh cumbuanku, remasan tangannya gelisah, dan kepalanya terus menggeleng tak mau diam. Aku mendongak, dan nampak tatapan matanya yang sayu, digigitnya bibir bawah.
“Sayaaang!!!” pekiknya ketika aku langsung mengangkat tubuhnya dan membopongnya ke dalam kamar.
Ia langsung menggelayut manja dengan tatapan mata yang sayu penuh harap. Rasa sepi dan rindunya selama puluhan malam tanpa kehadiran suami akan segera tertuntaskan, lebih-lebih melakukannya dengan orang yang tersayang.
Dengan lembut kubaringkan tubuhnya di atas kasur, wanitaku menatap sendu sambil memutar-mutar ujung rambutnya dan menggigitnya.
Aku bersimpuh untuk melepas kancing dan menanggalkan kemejaku, sementara mataku nanar memandang pahanya yang terpampang karena belahan gaunnya yang tersibak tidak beraturan. Putih dan halus, mulus tiada noda. Bahkan bulu-bulu halus pada betisnya memberi kesan seksi sekaligus menunjukan kebinalannya di atas ranjang.
Tante Puki membantu membuka kancing bajuku yang paling bawah, sedangkan aku melepas dari atas. Matanya berbinar dan digigitnya kembali bibir bawahnya ketika kemejaku akhirnya terlepas, memamerkan dadaku yang bidang. Kulempar sembarangan dan langsung menindih tubuh nan seksi di hadapanku.
Langsung kucari dan kulumat bibirnya, bersamaan dengan usapan dan remasan kasar pada paha kirinya. Wanitaku menggelinjang sambil berusaha mengimbangi cumbuanku.
Kutempatkan selangkanganku tepat di atas pangkal pahanya tanpa melepaskan lumatan, membuat Tante Puki menggelinjang hebat dan setengah menggigit bibirku. Cumbuan kami semakin panas, tangan kami mulai saling meraba dan meremas. Payudaranya tak luput dari remasan tanganku.
“Hassssh…” mulut kami terpisah karena sama-sama kehabisan nafas.
Mata kami kembali beradu pandang, bukan hanya rasa sayang yang kami kabarkan, melainkan juga gairah yang sudah membakar sukma.
Kukecup kembali bibirnya; kali ini hanya sekilas. Senyumnya mengembang, dan barisan gigi putihnya terlihat. Kali ini ia yang menarik kepalaku dan gantian dia yang mengecup, juga hanya sekilas. Jadilah kami saling mengecup tipis, seolah hendak meredakan gairah yang sudah sempat bergelora.
Ia terkikik kegelian ketika tanganku meremas payudaranya yang masih terbungkus gaun.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar