BAB 10
Kutarik tubuh Tante Puki supaya duduk dan kuturunkan tali gaunnya sambil sedikit menahan nafas. Jantungku kembali berdetak kencang melihat bahu dan dada atasnya yang tanpa noda. Sembulan payudaranya membuatku menelan liur, dan aku sedikit tersentak ketika gaun itu sudah turun ke pinggangnya. Nafasku menjadi berat dan pandanganku nanar.
Dalam usianya sekarang, payudara Tante Puki tetaplah mengkal, tidak terlihat kendor. Sadar akan keterpesonaanku, Tante Puki hanya menatapku sendu sambil meyibakkan rambutnya ke belakang. Aku sedikit merunduk hingga pipi kami menempel, sedangkan tanganku melepaskan kaitan BH-nya. Hal sederhana, namun terasa begitu sulit kulakukan. Tanganku sedikit bergetar.
Klik.
Kuselesaikan pekerjaanku, dan kain penutup terakhir bagian atasnya itu terlepas. Langsung kulempar ke pojokan kasur.
Aku kembali terperangah ketika menjaga jarak. Payudaranya sangat sempurna, sama sekali tidak layu, melainkan mancung menggunung. Puntingnya pun tidak hitam, melainkan kecoklatan. Terlihat cukup tegang.
Tanganku terulur untuk menjamahnya, namun Tante Puki langsung berbaring seakan ingin menggoda. Parasnya begitu cantik dan seksi, apalagi ketika ia menggigit tepi bibirnya. Bukan hanya itu, ia malah menangkupkan tangan pada kedua payudaranya seakan ingin melindungi pucuknya dari binar mataku.
Aku menghela nafs berat. Gairahku kian terbakar, nafsuku memuncak. Dengan sedikit bergetar kuraih gaunnya dan kupelorotkan. Tante Puki mengerti, ia mengangkat pinggulnya. Perasaanku semakin tidak karuan ketika tepi celana dalam mininya mulai terlihat. Melingkar ketat.
Sepintas aku bisa melihat gundukan di tengah selangkangannya, sebelum ia merapatkan pahanya. Ada bintik basah di sana. Kini mataku disuguhi dua paha Tante Puki yang putih dan mulus. Pori-porinya yang meremang nampak begitu seksi. Lagi-lagi tanpa noda…
Gaun pun melorot melewati lututnya, kini pemandangan betisnya yang kulihat. Sedikit berbulu halus, membuat nampak begitu indah dan menggiurkan. Aku dimabukan oleh seluruh bagian tubuhnya yang tanpa cela.
Pluuuuk…!!! Pada akhirnya semuanya terlepas dan kulemparkan sembarangan. Aku kian tidak sabar untuk menjamahnya. Namun Tante Puki menahan dadaku dengan telunjuknya ketika aku hendak menindih dan mencumbunya. Kepalanya sedikit menggeleng.
Tak perlu perintah, kulepaskan pakaianku, aku tahu apa yang menjadi maunya. Ia nampak menikmati pemandangan di depan matanya. Nyaris tak berkedip ia melihatku menanggalkan pakaian, bukan hanya baju, melainkan juga celana panjang. Kini kemaluanku sudah menggurat besar terbungkus celana dalam, bagian karetnya sedikit terbuka karena sundulan kepalanya.
Aku tahu, sorot mata Tante Puki menggambarkan birahi yang tinggi, sebagaimana aku juga merasakannya. Aku sudah tak sabar, sekalian kuloloskan celana dalamku. Kulihat mulut Tante Puki menganga dengan mata terbuka lebar. Pandangannya lekat pada jagoan kebanggaanku yang menjulang keras. Wajahnya memerah terbakar birahi.
Aku mengangkanginya dan langsung merunduk, tujuanku kali ini adalah langsung pada kedua payudaranya. Lagi-lagi ia menahan. Kupandang tak sabar. Senyum nakalnya tergambar.
Aku mengerti ketika ia menunjuk pipinya. Aku tersenyum gerah. Kukecup pipinya yang kiri, ditunjuknya pipi kanan, kukecup pula sesuai inginnya. Dengan manja ia menunjuk keningnya pula, dan kukecup di sana. Kali ini cukup lama hingga Tante Puki memejamkan mata sesaat seakan sedang meresapi rasa sayang yang kuberikan.
Matanya kembali terbuka ketika aku mengangkat wajah. Sorot sayu kami beradu, nafas kami saling hangat menerpa. Dan…
Cuuuup!!!
Bibir kami bertemu, lembut pada awalnya, namun langsung saling melumat tanpa kendali. Aku ambruk. Payudaranya terhimpit, putingnya terasa menggelitik. Bahkan penisku sudah melintang vertikal di atas celana dalamnya. Lembab kurasakan.
“Mmmmh…” lenguhnya. Ketika ciumanku turun pada lehernya. Kukecupi lembut, dan kususuri lipatannya dengan ujung lidahku. Kepalanya menggeleng kiri-kanan, dan tangannya meremas punggungku.
Bukan hanya mulut dan bibir ini, tanganku mulai mengusapi tepian pahanya, membuat Tante Puki menggelinjang dan mendesis. Ciumanku semakin turun, sedangkan tanganku naik pada pinggangnya.
“Eeemh… zsshh….” lenguhannya kian kerap.
Pencapaianku akhirnya tiba. Kukecupi puhu payudaranya yang sedikit lembab karena keringat birahi, sedangkan tanganku meremas bagian bawahnya membuat payudara indah itu terangkat dengan puting menantang.
Dalam sekali gerakan aku langsung mencaplok putingnya sambil meremas keras.
“Aaaaah….” Tante Puki mengerang. Dadanya terangkat dan remasannya pada bahuku makin kuat.
Aku hanyut. Aku larut. Payudaranya menjadi kesukaanku, dan lenguhannya adalah musik birahiku. Kukulum kedua putingnya yang mengacung runcing, kuremas gundukannya tiada henti. Bukan hanya mengerang, tubuh Tante Puki pun mulai gelisah dan menggelinjang-gelinjang.
Gerakannya membuat kelamin kami saling menggesek dan menghimpit. Aku mulai limbung oleh kobaran birahi. Kuangkat payudaranya, dan ciumanku turun pada sela bawah payudaranya. Kulakukan bergantian kiri dan kanan. Puas dengan itu, bibirku merambat kian ke bawah. Seluruh inchi tubuhnya menjadi kegemaranku untuk kucumbu dan kukecupi. Sekali-kali kusapu dengan lidahku.
Ketika aku hendak menurunkan celana dalamnya, Tante Puki malah membalikan badan dan menelungkup; ia seolah malu. Namun aku semakin bergairah melihat ulahnya, lebih-lebih tubuh belakangnya. Kemaluanku mendongak dan bergetar-getar.
Punggungnya begitu mulus, indah dan seksi. Garis melingkar bekas cetakan BH memberi keindahan tersendiri. Belum lagi punggungnya yang lebar dan kenyal, celana dalamnya nampak ngepres.
Aku menghela nafas sesaat sebelum akhirnya kupelorotkan celana dalamnya, kuloloskan dan kulempar tanpa arah. Ada lapisan yang menyempil saat ia mengangkat pinggulnya. Basah menggiurkan. Langsung keremas kedua bongkahan pinggulnya, membuat Tante Puki menggelinjang, sepertinya sambil menggigit bantal.
Puas menggerayangi dan menciumi tubuh belakangnya aku langsung menindih tubuh Tante Puki, “si kentang” yang tegang menyelip dalam belahan pantatnya, membuat ia menggelinjang. Kedua tanganku menyusup ke bawah, meremasi payudaranya. Kuciumi juga tengkuknya.
Entah dapat tenaga dari mana, ia menggelinjang hebat sehingga aku terguling ke samping. Nampak wajahnya basah karena keringat, jentik keringat menyebul pada tepian rambutnya. Dengan senyum nakal ia langsung menuju pada selangkanganku.
“Aaaah…” erangku ketika tangan halus itu langsung menggenggam batangku dengan jempol diusap-usapkan pada kepalanya. Bulu kudukku seakan meremang, geli dan nikmat beraduk pada pangkal pahaku.
Remasan-remasan kecil membuatku meringis dan bergetar halus. Nafasku tersengal. Ramasanku berubah menjadi kocokan dan…
Aku menahan nafas beberapa saat ketika bibir lembut Tante Puki mengecup kepala “si kentang”. Lembut bibirnya terbuka dan rasa nikmat ini belum selesai… lidahnya menjalari seluruh kepala penisku.
Refleks tanganku menjambak rambutnya dan mengikuti irama kepalanya yang naik-turun seiring sepongan yang ia lakukan. Bahasa tubuh dan getar nikmat ini membuat Tante Puki kian bersemangat. Ia seolah sedang punya mainan baru yang menggemaskan. Perpaduan antara menyepong dan menjilati seluruh batang penis ia lakukan, sekali-kali jemarinya juga meremasi buah pelirku. Nikmat ini tak terkira… aku tidak ingin kalah. Tak mau layu sebelum menyuwir. Kualihkan pikiranku untuk memecah konsentrasi. Siaaal!!! Yang muncul adalah gambaran tubuh bahenol Ibu Ningnung dan istrinya Pak Lurah. Sontak saja aku semakin bergairah.
Haiiishhh…
Dengan lembut kutahan kepala Tante Puki agar mengakhiri aksinya, untungnya dia mengerti. Wanita telanjang ini merayap ke atas sambil mengusapi lelehan air liurnya. Sejatinya ia mau menindihku, tapi ada pekerjaan yang harus kulakukan terlebih dahulu, yaitu menyuwir jembut vaginanya.
Kutahan bahunya dan kudorong lembut ke samping. Kukecup bibirnya tipis. Setelahnya aku merunduk menuju lubang rahasia kenikmatannya. Tante Puki mengerti, ditekuknya kedua lutut sambil melebarkan pahanya. Pandanganku langsung tertuju pada gundukan hitam di atas vaginanya. Bulu kemaluannya tipis dan tercukur rapi, membuat penyuwiranku tidak akan maksimal. Namun demikian, gundukan imut vaginanya membuat birahiku membuncah. Apalagi nampak lembab dan basah.
“Aaaaah sayang.” pekik Tante Puki tertahan.
Aku sudah mengendusi bulu-bulu halus vaginanya. Sengaja kuhembuskan nafasku kencang, untuk membuatnya semakin bergairah, sekaligus melepaskan sesak di dalam dada yang terhimpit oleh birahi.
Kuusap bulu-bulu lembut itu dengan telapak tanganku, kupadukan dengan mengusap ke atas dan ke samping. Puas dengan itu, kini lidahku yang mengambil peran. Jembutnya kusapu-sapu sehingga basah. Kukeringkan dengan telapak tangan, dan kusapu lagi dengan lidahku. Entah berapa kali… aku tidak tahu…
“Aaaauuuu…” Tante Puki memekik lagi ketika jemariku membuka lapisan vaginanya. Merah merekah, basah merona. Klitorisnya seksi menyempil.
Tidak menggelambir, malah terkesan imut dan seksi, seperti perabotan perawan.
Lidahku langsung terjulur menyusuri bibir luar vaginanya, membuat Tante Puki blingsatan dan meremas apapun yang bisa ia raih, tak terkecuali rambutku. Bahasa tubuhnya yang keenakan membuatku kian bersemangat. Lidahku terjulur pada pintu lubang kewanitaannya yang nampak berkedut-kedut dan merembeskan cairan basah.
Kucucuk-cucuk gemas, lalu kusapukan lidahku pada bibir dalamnya yang kemerahan. Daging merah yang sungguh segar. Nanti akan kubaluri dengan cuka berupa spermaku.
“Hiyaaa… sayang….” Tante Puki memekik kembali. Kali ini cukup keras, memenuhi seisi kamar.
Aku tak peduli. Aku langsung asik menjilati dan mengemut klitorisnya. Kutahan pahanya yang tidak bisa diam. Kepalaku ngilu karena rambutku dijambak.
“Haaashhh… hasssh… uuuuh… aaah… uuuudah sayang.” Tante Puki memelas.
Aku pun bangkit dan mengangkangi tubuh polos di bawahku. Sangat menggairahkan kulihat. Apalagi ketika melihat ekspresi wajahnya yang keenakan sekaligus mendamba nikmat yang lebih dan lebih lagi.
Aku langsung melumat bibirnya sambil meremas payudaranya dengan tangan kiri.
Kurasakan paha Tante Puki semakin melebar, dan penisku sudah mencucuk bibir lubang basah. Kami sama-sama mengernyit dalam ciuman kami. Nikmat… sangat nikmat.
Seperti tak sabar, Tante Puki meraih penisku. Sesaat ia menggenggam erat sambil menyapukan kepala “si kentang” di sekitar permukaan vaginanya. Nafasku berpacu, jantungku berdetak kencang.
Cluup.
Kepala penisku mulai diarahkan pada lubang nikmatnya. Terasa diemut oleh kedutannya, serasa disambut oleh cairan basahnya.
Cleeeeb!!
Cumbuan kami terhenti.
Cleeeeb!!!
Bibir kami terpisah.
Cleeeeb!!!!
Keringat menjentik.
Cleeeeb!!!!!
“Aaaaaah…” erang kami bersahutan.
Penisku terhisap vagina sempitnya. Baru masuk setengah, tapi nikmatnya sudah full tank.
Kuangkat kembali, kutekan pelan, kuangkat dan kutekan lagi… Tubuhku langsung berpeluh.
Cleeb!! Cleeeb!!! Cleeeeeb!!!!
“Aaaarrrrhhhh… haaaaahhhh….” Tante Puki mengabarkan rasa nikmat.
Sedangkan aku menahan nafas sejenak ketika penisku sepenuhnya amblas. Terasa disedot dan diremas, ujungnya terasa geli karena menyentuh lapisan halus di dalamnya.
Kubuka bibirku. Nafas dari hidung saja tidak cukup untuk bernafas.
“I love you.” ujarku terbata-bata.
“Love you too, Nzoku sayang.” suaranya serak.
Setelah saling mengabarkan rasa sayang, aku langsung memompa penisku. Tubuh Tante Puki muncul tenggelam di dalam kasur yang terlampau empuk. Aku menekan, ia menyambut; aku memompa, ia bergoyang.
“Eeemh.. eeemh… eeeemhhh…” refrein nikmat birahi keluar dari mulutnya seirama dengan pompaan penisku.
Rambut di pelipisnya basah oleh keringat, pun pula leher dan belahan payudaranya.
“Ah sayang… uuuh…” ia semakin gaduh sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Sssh…” hanya desisan yang keluar dari mulut. Aku terlalu menikmati.
Aku terus memompa dan mempompa, sekali-kali berhenti ketika Tante Puki memutar pinggulnya membuat penisku bagai dipelintir di dalam jepitan vaginanya. Ngilu.. namun sungguh nikmat.
Tante Puki rupanya tipe wanita yang gaduh ketika bercinta. Erangan dan desisan tak hentinya keluar dari mulutnya. Sekali-kali menjerit. Suaranya yang serak-serak basa karena dorongan birahi membuatnya begitu seksi.
Aku terus memompa dengan irama yang cepat, namun Tante Puki adalah seorang wanita yang sudah berpengalaman, tidak mudah untuk kukalahkan. Padahal aku sendiri sudah bersusah payah untuk tidak keluar duluan.
“Eeemh.. eeemh… eeeemhhh… sssh… gantian sayang.” ia meminta.
Segera kucabut penisku dan membaringkan diri di atas kasur, sedangkan Tante Puki langsung bangkit dan mengangkangi penisku. Aku disuguhi pemandangan yang begitu menggiurkan. Payudaranya menggelantung, mengkilap karena keringat. Sedangkan bibir vaginanya terbuka, membentuk lubang kecil. Lelehan cairan keluar di sana.
Dengan bertumpu pada satu tangan yang ia tumpangkan di atas dadaku, Tante Puki mulai mengarahkan penisku pada lubangnya dengan tangan satunya. Cleeeb… bleeeessss… langsung amblas sepenuhnya.
“Aaaah… uuuh… aah aaah aaaah…” Tante Puki langsung memompa pinggulnya. Bibir seksinya senantiasa terbuka dan mengeluarkan suara-suara erotis.
“Ah.. aaah… oooohhh…. iyaaa aaah…” lagi dan lagi. Apalagi ketika aku mulai meremas kedua payudaranya yang menggelantung indah. Sekal-kali kupelintir putingnya.
Tante Puki tidak bisa diam. Kadang menunduk, kadang menggelengkan kepala sambil memejamkan mata, kadang juga mendongak-setengah melenting ke belakang. Sedangkan di bagian bawah, penisku benar-benar diservis oleh genjotan dan goyangannya. Dinding-dinding vaginanya yang terus meremas membuatku kian gelagapan.
“Mmmh.. sayang…” ucapku sambi mencengkeram pinggulnya yang sedang naik turun.
Tante Puki sepertinya mengerti akan apa yang kurasakan. Goyangan dan geolan pinggulnya makin kerap, sedangkan ceracauannya semakin menghirukan seluruh ruangan.
“Mmmh… aaah.. sayang… aku sayang.. sayang kamuh… aaaah… sssh… oooh… aku sudah menginginkan ini.. aaah.. dari dulu. Aaah.. ah.. ah…” racaunya dengan goyangan yang tak terkendali, sepertinya ia pun sedang menuju puncak kenikmatan.
“Penis.. kontol.. aaah… kontol kamuh.. aaah.. aaah.. aaah… memek aku… aaah.. sayang….” suaranya tidak karuan, membuat aku kelabakan karena pertahananku hampir jebol.
Gerakan Tante Puki kian liar tak kendali. Aku tahu.. ini sudah saatnya. Kuimbangi seluruh pompaan dan goyangannya sambil juga ikut mengerang. Ada yang mendesak di dalam kantong kemihku, terdorong ke dalam batangnya. Terasa kian mengembang dan seakan mau pecah.
“Sayang.. ohh… sssh….” aku mengabarkan kenikmatan.
“Iyah sayang.. aaaaah… aku juga… aku mauuuh… aaah….” balasnya.
Plok.. plok… plooook…
Bunyi peraduan kelamin kami kian memanaskan biarahi di antara kami berdua.
“Enzoooooo… aaaaah…. oooooh…. ini… enaaak sekali… aaah… aaaah…. Nzo sayangku… uuuuhhh… aaaaah…”
“Tanteee… sayang… aaah…”
Tiba-tiba penisku diremas kuat bagai diperah. Apa yang kutahan-tahan akhirnya meledak juga. Ada dorongan deras dan kencang.. croooottt… crooootttt…. aku mencapai klimak. Bersamaan dengan itu ada cairan hangat yang menyemburi kepala dan batang penisku.
“Aaaaarrrhhh… sayang ooooh….” Tante Puki melolong, dan tak lama kemudian tubuhnya ambruk di atasku.
Kurasakan ia bergetar hebat, sedangkan aku sendiri berkejat-kejat seiring dorongan spermaku di dalam vaginanya. Nikmat.. teramat nikmat… puas… terlampau puas… aku bahagia, perjakaku telah kuberikan pada wanita yang amat kusayangi. Kukecup keningnya.. dan selebihnya aku tidak ingat apa-apa, aku langsung tertidur pulas.
https://t.me/cerita_dewasaa
Kugandeng kekasihku meninggalkan kamar menuju lobi hotel. Tante Puki selalu mengumbar senyum bahagia, dan sikapnya selalu manja. Kami melangkah bersisian dan ia mengapit lenganku, sekali-kali kami saling melirik dan saling melemparkan senyum. Bahkan ketika berada di lift kami saling berciuman lembut.
Hari sudah menunjukan jam sepuluh. Kami tidak kesiangan, kami sudah bangun sejak pagi. Namun kami sama-sama dimabuk asmara, tak hentinya bermesra, tak puasnya bercinta, baik di atas tempat tidur, di sofa, maupun di kamar mandi. Bahkan kami harus mandi dua kali ketika aku menyebutubuhi kembali ketika ia sedang berpakaian. Dan baru sekaranglah aku dan Tante Puki keluar kamar, setelah sempat sarapan yang kami pesan. Tujuan kami berdua adalah tempat tinggalku.
“Yank.” aku berbisik.
“Iyah?” manjanya.
“Kamu sudah makan?”
“Ih apaan sih, Nzoku, tadi kan kita makan bareng?”
“Kamu sudah minum?”
“Sayaaang? Kan tadi udah.”
“Kamu udah puas?”
“Banget. Puas banget. Makasih, sayang.”
“Kamu sudah sayang aku?”
“Enzooo…”
Tante Puki langsung berhenti dan mengecup pipiku. Ia tidak sungkan pada beberapa pasang mata yang sedang memperhatikan kami.
“Jawabannya?”
“Banget. Sayang banget.”
“Aku juga sayang kamu.”
Sebuah kecupan kembali ia daratkan, kali ini pada tepi bibirku. Wanitaku semakin manja, ia tidak lagi mengapit lenganku, melainkan melingkarkan tangannya pada pinggangku.
“Kata!!!”
Eh.. aku menengok ke arah datangnya suara, pun pula Tante Puki.
“Hai, Ris. Kamu ada di sini juga?” sambil melirik pada pria di sampingnya.
Kulihat ada binar marah pada bening kedua matanya, sedangkan Tante Puki bergantian melihat ke arahku dan ke arah Ariska. Wajah wanitaku berubah, gurat cemburu tergambar di sana.
Daripada bikin adegan berantem, mendingan BERSAMBUNG….
Report content on this page
0 Komentar