Enzo part 8


BAB 8






Aku disambut di sebuah dealer mobil tanpa banyak pertingsing, Tante Puki dan Ndul telah mengurus segala sesuatunya jauh sebelum kedatanganku ke kota ini. Maka Pajero Sport dengan nomor R 27 SP pun sudah bisa kubawa dalam waktu singkat. Sengaja aku memilih nomor itu karena mengingatkanku pada seorang pujangga mesum favorit di kota asalku.




Bermodalkan google map, aku pun segera menuju Hotel Cemerlang, satu-satunya hotel bintang empat di kota ini. Tante Puki sudah menungguku di sana. Setelah memarkirkan mobil, aku pun langsung menuju lobi. Dan… ia sudah ada di sana, sedang duduk di atas sofa sambil memainkan gadgetnya.




“Sayaaang.” suaranya setengah terpekik menyambut kehadiranku.




Dengan penampilannya saat ini, siapapun tak akan menyangka bahwa usianya sudah di atas kepala empat dan sudah bersuami. Tante Puki hanya mengenakan t-shirt putih bertuliskan “ENZ” sedangkan bawahannya mengenakan jeans ketat setengah betis. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai, seolah menjadi latar bagi wajahnya yang cantik.




Aku tahu semua yang ia kenakan adalah branded terkenal, tapi pilihannya untuk mengenakan pakaian kasual seperti ini memberi kesan anggun dan sederhana.




Aku merasa kelu, tak bisa berkata apa-apa, pesonanya menyihirku, dan rasa senang atas perjumpaan ini tak terwakili oleh bahasa apapun. Kusambut tubuhnya dan kudekap erat. Pun pula Tante Puki, ia mendekapku tak kalah erat. Kami tak peduli pada beberapa pasang mata yang melihat ke arah kami. Kami saling menumpahkan rasa rindu.




Kupeluk erat tubuh sintalnya sambil menghirup wangi parfum kesayangannya. Kukecup keningnya ketika pelukan kami terurai, dan pipinya bersemu merah di antara senyum bahagia yang terpancar.




Tak perlu tanya tentang kabar masing-masing, tak perlu basa-basi tentang perjalanan, perjumpaan ini jauh lebih membahagiakan.




Kuberikan kecupan sekali lagi, kali ini pada pipi kanannya. Senyumnya selalu terulas dan sinar matanya menggambarkan kebahagiaan.




“Kita jalan.” ujarku setengah berbisik mesra.




Tante Puki mengangguk lalu mengapit lengan kiriku, dan kami melangkah meninggalkan hotel.




Setibanya di dalam mobil kami kembali berpelukan, dan sudah tidak sungkan lagi berbagi belaian serta ciuman. Seluruh rasa sayang dan rindu saling kami kabarkan melalui sentuhan-sentuhan lembut dan mesra.




Masih tanpa banyak kata, kustarter mesin dan melajukan mobilku, sedangkan ia tetap bermanja dengan merebahkan kepalanya di atas bahuku. Sekali-kali kukecup bibirnya ketika ia mendongak.




“Kita mau kemana?” ujarnya pelan.


“Ke pantai. Lihat sunset sambil nunggu makan malam.” jawabku.




Dan kecupan basah kurasakan pada pipiku. Sikapnya sudah tidak menunjukan bahwa ia adalah tanteku, melainkan berubah manja layaknya seorang gadis yang sedang dimabuk asmara.




Tak sampai setengah jam kami sudah tiba di Pantai Caruban. Semesta nampak mendukung, suasana sore cukup cerah, dan tidak terlalu nampak banyak pengunjung. Kami melangkah meninggalkan parkiran dengan selalu berdempetan, kulit kami enggan dipisahkan. Kugandeng pinggangnya yang ramping, dan ia menumpangkan telapak tangannya pada pundakku. Senyum kami tidak hentinya terpulas, dan sorot mata kami saling berbinar ketika beradu pandang.




Kemesraan di antara kami berdua membuat beberapa pasangan muda-mudi saling pandang penuh arti, dan mereka pun akhirnya tak malu saling untuk bermesra seperti aku dan Tante Puki.




Meski berada di pantai, aku tidak ingin langsung mengajaknya bermain air atau sekedar berjalan menyusuri pasir. Inginku adalah menanti senja bersamanya, menikmati tenggelamnya matahari hanya dengannya, menunggu gelap semesta hanya berdua, meski tak ada maksud untuk menyuwir di sini. Kubimbing tubuhnya menuju sebuah hutan pinus yang tak jauh dari pantai.




Tante Puki menarik tanganku menuju sebuah ayunan di antara pohon pinus. Ia pun duduk sedangkan aku berdiri di hadapannya. Ia langsung mendekap pinggangku dan membenamkan kepalanya pada dadaku. Kupeluk erat untuk menahan agar ayunan tak bergoyang.




“Kenapa baru sekarang, sayang?” suara itu cukup pelan seperti ditujukan pada diri sendiri. Ia seakan menyesali kenapa baru kali ini kami saling mengungkapkan rasa sayang yang selama ini sama-sama kami sembunyikan.




Aku merunduk dan kukecup kepalanya lembut. Kupejamkan mataku untuk meresapi sentuhan bibirku pada rambutnya, sekaligus seakan mencurahkan perasaan sayangku padanya. Aku tak peduli kalau ada rentang usia yang cukup jauh di antara kami, aku tak peduli ia sudah bersuami; peduliku hanya satu: aku menyayanginya. Itu saja!




Dan ia merasakannya. Pelukannya begitu erat, seolah enggan terlepas.




Awalnya aku murni mengungkapkan rasa sayang, tapi sadar bahwa wanita yang ada dalam dekapanku adalah wanita molek yang dulu hanya bisa kujadikan bahan fantasiku, tiba-tiba dadaku bergemuruh, dan ada yang menggeliat di balik celanaku. Wanita ini kini sudah menjadi milikku. Tak perlu lagi membayangkannya, ia nyata bagiku, dan rela memberikan seluruh dirinya.




Suhu tubuhku terasa menjadi panas, nafasku mulai pendek. Tante Puki tentu saja adalah wanita yang sudah berpengalaman, ia bisa merasakan perubahan aura tubuhku. Pelukannya terurai dan wajahnya mendengok, ada senyum dikulum di sana, dan pipinya sedikit merona entah karena apa.




Kuawasi kondisi sekitar melalui pendaran sorot mataku, setelah merasa aman dan tidak ada orang, kubalas tatapannya yang kini sudah berubah sendu. Bibirnya sedikit terbuka dengan nafas yang juga mulai tersengal.




Aku merunduk, ia mendongak; aku membungkuk, ia tengadah. Nafas hangatnya menerpa wajahku, tercium harum dan membangkitkan gairah. Sejenak aku terpaku, terpesona oleh kecantikannya. Dadaku berdesir, jantungku berdetak lebih kencang. Perlahan aku merunduk. Bibir kami semakin dekat, nafas kami beradu, seiring redupnya sorot matanya.




Cuuuuppp.




Bibir kami bersentuhan tipis, sangat tipis, sejenak kami saling terpaku dan terdiam. Kutekan dan kudiamkan lagi beberapa detik. Sangat lembut kurasakan. Bibir kami sama-sama bergerak, bukan mencumbu, tapi bergetar oleh sentuhan yang menghanyutkan.




Kurasakan ia meremas bahuku, sambil sedikit memiringkan wajah. Aku mengerti, kuputar wajahku berlawanan arah. Bibir kami semakin lekat.




Tanpa komando, kami sama-sama mulai saling mengulum dengan lembut, saling menebarkan kasih sayang, saling menghirup nafas cinta yang terpendar dalam derasnya nafas. Bibirnya begitu lembut, nafasnya begitu wangi, dan dengus resahnya melenakan.




Perlahan tapi pasti kami mulai saling mengulum dengan mata terpejam, lalu saling menjaga jarak beberapa inchi sambil membuka mata dan berpandangan sendu, dan mengulum lagi. Begitu seterusnya… Indah.. terasa indah…




Mmmmh…




Lenguhan halusnya terdengar ketika akhirnya aku tidak bisa menahan diri lagi, bibirnya langsung kulumat dengan gemas sekaligus penuh gairah. Ia membalas. Kulumat bibir bawahnya, ia menghisap bibir atasku, puas begitu, lalu saling berganti bibir.




Kujulurkan lidahku untuk menyisir bibirnya, namun ia melakukan hal sama. Tubuhku sedikit bergetar seiring sengatan perjumpaan ujung lidah kami. Menggiurkan, menghanyutkan, membuatku terbuai, lupa akan keadaan.




Kini bukan lagi lumatan yang kami lakukan, tapi sudah berupa cumbuan panas. Lidah kami saling membelit, saling menggelitik, saling melilit, dan sekali-kali saling menyapu rongga mulut.




Gairahku langsung berkobar, tanganku gelisah mengusapi rambut dan punggungnya; sekali-kali meremas. Kukejar terus bibirnya agar ciuman kami tidak terlepas, dan ia nampak kewalahan. Tubuhnya terdorong, terus kukejar, bahkan tanganku mulai merambat pada bagian dadanya.




Kugapai gundukannya yang begitu kenyal, langsung kuremas pelan. Tante Puki memekik geli, tubuhnya menggelinjang, dan…




“Hiyaaaaa.” ia memekik, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terdorong ke belakang.




Ciuman kami terlepas dan ia berusaha menggapai apapun yang bisa ia raih agar tidak terjungkal. Sikap paniknya malah menjadi petaka, pinggulnya yang duduk di atas ayunan terdorong ke depan.




Hmmmfff… aku mengejan ketika penisku yang sudah tegang terhantam tepi papan dudukannya. Kutahan rasa ngilu ini, dan sigap merunduk untuk menahan tubuh wanitaku. Namun tanganku salah sasaran, aku menahan dengan menggenggam payudaranya, sehingga Tante Puki makin kaget. Satu tangan meraih bahuku, dan satu tangan meraih tali ayunan. Akibatnya, pinggulnya semakin terayun ke depan dengan punggung terjengkang; tangannya meraih dan menarik tubuhku.




Bruuuuk…!!!




Tubuh kami sukses nyungsep di atas tanah, dan aku hanya berhasil menahan kepala belakangnya agar tidak terbentur, sisanya kami terjerembab saling menindih. Ayunan pun terdorong oleh kakinya.




“Maaf, sayang lirihku.” sambil berusaha bangkit agar ia tidak terhimpit berat badanku.




Buuuuk!!! Belum juga aku berhasil menegakan badan, kepala belakangku terbentur papan ayunan. Aku kembali ambruk, wajahku nyungsep di antara belahan payudaranya. Nyeri kurasakan, mataku sedikit berkunang-kunang. Kuputuskan untuk tetirah pada bantalan empuk payudaranya dengan nafas tersengal.




“Uhhh… sayang aaah…” keluh wanitaku yang dilanjutkan oleh kekeh renyahnya setelah berhasil menguasai keadaan dan menyadari kebodohan yang kami lakukan.


“Sayaaang…” keluhnya lagi ketika aku tak bergeming.




Klik.. klik…




Kudengar jepretan kamera DSLR. Aku segera mendongak, nampak sepasang muda-mudi sedang mengabadikan kekonyolan kami sambil cekikikan.




“Hei!!” teriakku.




Namun keduanya langsung berlari sambil terbahak. Aku berusaha bangkit untuk mengejar, namun urung ketika Tante Puki menahan ujung bajuku sambil berusaha bangkit.




“Udah biarin aja. Hihi…” ujarnya.




Kubantu Tante Puki untuk berdiri, dan kami pun sama-sama tertawa menyadari kebodohan ini.




“Maaf, sayang.” ujarku sambil membersihkan dedaunan pinus pada rambutnya.


“Dasar.” ia masih terkekeh dan mencubit pipiku gemas.


“Uuuuh…” keluhku. Rasa ngilu pada penisku kembali kurasakan, ditambah lagi nyeri pada kepalaku.


“Kenapa, sayang?” ekspresinya berubah khawatir. Tangannya terulur pada bekas benturan di kepalaku.




Aku tidak menjawab, kepala bawah jauh lebih sakit dari pada kepala atas. Segera kususupkan tanganku ke dalam celana untuk mengusapi batang ‘si kentang’ yang terasa ngilu.




“Sayaang, malu tahuu.” ujar Tante Puki sambil celingukan karena takut ada yang melihat ulahku.




Aku tak peduli, batangku harus diselamatkan, jangan sampai cidera sebelum pertandingan yang akan segera dilaksanakan nanti malam. Kupijat, kuurut, kuelus… sial.. dianya malah bangun lagi. Ringis sakit pun berubah nikmat.




“Tuh kan.. kan.. kaaan… mesum kaaan.” Tante Puki cemberut sambil mencubit lenganku keras-keras.


“Sakiiit sayang.” keluhku sambil mengeluarkan tanganku dari dalam celana. Langsung kuulurkan untuk mengelus pipinya, namun ia cegah.


“Joroook. Lap dulu.” protesnya.




Aku tak peduli, malah kuarahkan telapak tanganku pada mulutnya agar ia ciumi. Tante Puki meronta, dan berlari, kukejar. Renyah tawa saling kami lontarkan sambil berlarian di antara batang-batang pohon pinus. Kami mempraktekan adegan sinetron dalam kehidupan nyata kami.




Ada kepuasan tersendiri ketika aku berhasil menangkap pinggangnya, dan berhasil menahan rontaannya. Gelak tawanya semakin keras, dan diakhiri tatapan sendu, berlanjut lumatan panjang dalam ciuman yang takkan terlupakan.




“Yank, naik perahu yuk.” ujarku sesaat setelah cumbuan kami terlepas.


“Gendong!” sambil merentangkan tangan.




Wanita paruh baya ini berubah manja layaknya gadis yang baru pertama jatuh cinta. Langsung kuberikan punggungku dan ia langsung meloncat sehingga aku terdorong satu langkah ke depan. Hadiah kecupan pada pipi pun ia berikan.




Kugendong tubuh wanitaku menuruni bukit kecil, menuju pantai. Susah payah aku melangkah karena Tante Puki tidak mau diam, ada saja ulahnya. Entah menciumi pipi, entah mendekap leher terlalu kuat, entah menggesekan betisnya pada penisku.




Aku menyeberangi hamparan pasir menuju sebuah anjungan, sedangkan di barat nampak langit sudah memerah dan cincin semesta mulai turun hendak tetirah.




“Turuuun.” majanya.




Aku pun melepaskan gendongan. Sejenak kami saling pandang sambil memberikan senyum bahagia. Tanpa malu pada orang-orang, kami saling memberi kecupan kecil dan diakhiri oleh pelukan mesra.




Kami benar-benar dimabuk asmara. Kaki kami melangkah pelan dengan tubuh rapat karena tangan yang saling melingkar pada pinggang. Kami terus melangkah menyusuri anjungan dengan arah pandangan selalu tertuju pada merahnya langit senja.




Aku memang sudah menyiapkan semuanya sebelum menjemput Tante Puki ke hotel. Segera kupapah wanitaku menuruni tangga di ujung anjungan, dan menaiki perahu yang tertambat.




“Yank?”




Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. Kubantu wanitaku untuk menaiki perahu sampai bisa duduk dengan nyaman. Setelah melepaskan tali, aku segera duduk dibelakangnya untuk mengayuh dayung. Betapa indah.. ketika ia merebahkan tubuhnya pada dadaku, sedangkan tanganku mendayung dengan pelan.




Kuarahkan perahu agak ke tengah, lalu kuhadapkan ke arah barat. Cincin semesta sudah membulat merah, perlahan turun seakan hendak mencium garis bumi. Sementara gelombang kecil berkejaran, berkemilau oleh sorot sinarnya.




“Sukaaaa.” lirihnya sambil mendongak.




Kulingkarkan tanganku pada pinggangnya sambil mengecup bibirnya. Sejenak kami saling mencumbu, lantas kembali fokus menikmati indahnya sajian alam. Hanya sentuhan-sentuhan dan belaian kecil yang kami lakukan, sisanya kami larut dalam kekaguman pada pesona semesta.




Kukabarkan rasa sayangku dengan memeluknya semakin erat dan menempelkan pipi kami masing-masing. Kami bermesra dalam diam, tanpa mengalihkan padangan pada keindahan yang semesta suguhkan.




Sejenak pikiranku melayang, mengingat sebuah goresan pena dari penulis mesum yang kukenal:








Matahari kian membulat merah dan memberi bias emas pada hamparan laut yang bergelombang. Langit dan laut seakan bersatu, bersentuhan, dan beradu rindu sebelum berpisah menjemput malam; dunia atas dan dunia bawah saling bercumbu dalam ciuman berupa bentangan garis panjang di ujung pandangan. Dan gelombang seakan menjadi deru rasa yang menggelorakan gairah semesta.




Aku duduk sambil menekuk lutut sebagai sanggaan daguku, sementara kedua tangan melingkar dan memeluk kedua betis. Mataku enggan berkedip memandang pesona ‘perkawinan’ alam di hadapanku. Sebentar lagi mereka akan hilang, cumbu mereka akan diselimuti malam, ‘percintaan’ mereka akan ditemani kemerlip bintang.




Debar jantungku seakan menjadi irama yang mengidungkan kekaguman pada semesta, sekaligus kabar perih atas nasib diri. Semuanya akan menjadi sempurna kalau aku menikmati keindahan ini dengan orang yang selalu kusayang, semuanya akan utuh ketika kami mengantar pulang siang sambil memeluk sebuah tubuh yang selalu menggelayut dalam setiap rasa rinduku.




Aku hanya bisa merekatkan gigiku saat apa yang kurasa dan kupandang berubah beda. Yang kupandang adalah harmonisnya alam, tapi yang kurasa adalah perih karena terkoyaknya kasih sayang.




Langit dan laut saling meminang, keduanya diikat oleh cincin merah semesta. Matahari membulat sempurna di tengah garis antara langit dan laut, antara dunia atas dan bawah, antara keabadian dan kefanaan.




Seperti matahari yang menyatukan langit dan laut saat terbenamnya, demikianlah mimpi dan harapku, aku ingin menjadi saksi kebahagiaan pelaminan orang yang paling kusayang, sebelum aku memenuhi undangan yang takdir berikan. Aku ingin menjadi terang baginya, sebelum terbenam untuk selamanya.




Semesta,


Aku pulang.


Terimalah nyawa dan ragaku, semoga masih ada maaf yang kau anugerahkan atas hidupku di masa lalu.








Aku mendesah pelan. Aku bersyukur bahwa kidung itu bukanlah milikku, senja tidak menjadi kisah pedih bagiku. Sebaliknya, menjadi momen indah yang dapat kunikmati bersama kekasih dan pujaan hati. Senja boleh selalu sama, tapi kisah para penikmatnya senantiasa berbeda. Dan senja ini… aku bahagia.




Kulihat matahari tinggal setengah, sisanya sudah tenggelam seakan ditelan tepi bentangan laut. Aku dan Tante Puki saling melirik, saling pandang, lekat tanpa bosan. Rasa sayang saling kami kabarkan.




Langsung kukecup bibirnya dan kukulum lembut. Ia membalas tak kalah lembut. Kemesraan kami bagikan. Kami hantar kepulangan sang surya dengan cumbuan hangat dan syahdu.




Alam pun mulai meremang, semesta mulai sunyi, selain hablur ombak yang terdengar. Aku masih enggan pulang, kuperdalam cumbuan, dan ia membalas. Lumatan demi lumatan kami berikan, merahnya matahari kini terganti merahnya gairah dalam hati.




Kutarik kaosnya yang ia masukan ke dalam celana. Tanganku menyelusup, menyentuh kulit perutnya yang halus. Kurasakan ia sedikit bergetar dalam ciumannya, tangannya berpindah pada punggung telapak tanganku meski tanpa sungguh-sungguh berniat untuk menolak.




Aku semakin hanyut dalam sensasi sentuhan yang kurasakan, juga dalam setiap cumbuan yang semakin syahdu. Setelah jemariku puas melingkari pusarnya, telapak tanganku semakin naik. Tante Puki semakin gelisah dalam cumbuannya, lidahnya makin bergerak liar.




Kurasakan tepian BH-nya yang merekat erat. Tanpa ragu langsung kutelusupkan jemariku, dan gundukan kenyal mulai kurasakan.




“Mmmh.. shhh…” Tante Puki mendesah di sela ciumannya.




Tanganku semakin merambat naik. Kudorong tepian BH-nya oleh punggung tangan sedangkan telapak tangan mulai menggenggam bagian bawah payudara dara kenyal wanitaku. Aku sangat menikmati sensasi sentuhan ini, tanganku mulai meremas, dan jemariku bergerak liar mencari puting susunya.




“Mmmmh..” lenguhnya lagi hingga ciuman kami terlepas. Nafasnya tersengal dan pandangannya begitu sayu.




Kesempatan ini kugunakan untuk memasukan tanganku yang satunya. Kaosnya sudah semakin tersingkap ke atas. Kutarik pula pembungkus payudaranya melewati dua gunungannya besar yang menjuntai.




“Aaaah…” pekiknya ketika aku berhasil meraih kedua putingnya bersamaan. Tegang kurasakan.




Langsung kujepit di antara dua jari sambil mengintenskan remasan. Tante Puki semakin gelisah dan desahannya semakin kerap. Ia turut meremasi punggung tanganku sehingga telapakku semakin tertekan pada payudaranya.




Aku pun merunduk dan menempatkan daguku di antar pundak dan lehernya. Aku ingin melihat apa yang sedang kuremas. Bukan hanya tangan ini yang ingin menikmati, tetapi mataku juga ingin memandang keindahan payudaranya.




Mataku terasa nanar, ketika di antara keremangan aku bisa melihat payudaranya yang besar dan indah. Menyembul mulus karena genggaman dan remasanku.




Aku terbakar gairah. Selangkanganku terasa sakit karena ‘si kentang’ menggeliat dan tegang maksimal. Kepalanya terasa cenat-cenut, sepertinya ia sudah tidak tahan ingin nyelup.




Aku ingin menuntaskan hasratku saat ini juga. Kuciumi lehernya sambil terus meremas, duduknya kian gelisah sehingga perahu mulai bergoyang, bibirnya mencari mulutku untuk mencumbu.




Cuuuup!!!




Bibir kami beradu dan langsung saling melumat dengan panas. Kesyahduan ini membuat kami lalai, gairah ini membuat kami abai. Kami terhanyut dalam gairah yang ada, tanpa sadar pada dunia sekitar.




Byuuuur!!!! Braaaak!!!!






Perahu cinta kami membentur sebuah penutup cerita: BERSAMBUNG….



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar