Enzo part 7


BAB 7








Aku keluar kamar dalam keadaan segar, setelah sebelumnya mandi terlebih dahulu. Waktu sudah menunjukan jam sepuluh pagi, dan sepertinya tak seorang pun yang berani membangunkanku.




“Pagi, Bu.” sapaku kepada wanita jelita yang sedang menyeduh kopi. Ia sudah mengenakan pakaian khasnya berupa kain jarik dan kebaya.


“Pagi, Nak, maaf ibu tidak berani membangunkanmu, sepertinya capek sekali. Memang semalam pulang jam berapa?” sapanya begitu ramah.


“Hehe.. pulang sih sekitar jam satu, Bu, tapi lanjut ngobrol dengan Riska.” aku menjawab sambil celingukan mencari keberadaan gadis itu; bahkan Yaning pun tidak nampak batang pahanya.


“Yaning udah berangkat kuliah, tadi dianter Riska. Riska katanya mau sekalian ketemu teman masa kecilnya.” Bu Ningnung mengerti apa yang sedang kucari.


“Yaudah ibu sekalian seduhin kopi buat Nak Kata, kebetulan di belakang ada Pak Lurah Cintung.” ujarnya lagi.


“Oh ada Pak Lurah toh, padahal rencananya aku mau sowan siang ini. Kebetulan kalau begitu.” ujarku sambil melirik tonjolan sekal payudara Bu Ningnung, lalu melangkah menuju serambi belakang.


“Salkum, Pak Lurah.” sapaku sopan pada pria yang sedang duduk membelakangi arah kedatanganku. Seorang pria setengah tambun dengan rambut hanya lebat di bagian belakang.


“Kumsalam.” pria itu menjawab salamku dan menengok.




Aku mendekatinya sambil mengamati perawakan pria itu. Ia hanya mengenakan kaos dalam ketat sehingga perut buncitnya nampak membulat, sedangkan bawahannya hanya mengenakan sarung kotak-kotak yang sudah agak lusuh. Kuulurkan tanganku untuk menyalaminya, tangannya terasa kasar dan kapalan.




“Kamu pasti Kata.” ujarnya.


“Betul, Pak Lurah, saya baru datang kemarin sore, maaf belum sempat berkunjung ke rumah Pak Lurah.” jawabku sambil duduk berhadapan.


“Nama lengkapmu siapa?”


“Rakata, Pak Lurah.”


“Oh nama yang bagus. Saya Drs. Cintung Icik Kiwir, BA., S.Col., S.Tel., S.tmj., S.Mes., lurah di sini selama 17 tahun.” jawabnya bangga.


“Iya, Pak. Maaf saya panggilnya Pak Lurah saja, atau Pak Dokterandes?” sambil menahan senyum.


“Hahaha..” ia terbahak. Dan obrolan kami terhenti ketika Bu Ningnung datang membawa dua cangkir kopi.




Kompak kami sama-sama melirik ke arahnya, dan mengamati goyangan payudaranya yang nampak terbungkus ketat di balik kebaya coklat yang Bu Ningnung kenakan. Kulihat jakun Lurah Cintung seperti naik turun.




“Aku punya saingan.” perasaanku memberi warning.


“Makasih, Bu.” ujarku sekedar untuk menyadarkan Lurah Cintung yang jelalatan.


“Kayak dengan siapa aja.” jawab Bu Ningnung sambil berlutut untuk meletakkan cangkir.




Kulihat Lurah Cintung tak bergeming, dan mata besarnya nampak semakin terbuka ketika belahan payudara Bu Ningnung terpampang.




Kulirik Lurah Cintung dengan kesal, dan aku semakin jengkel ketika sarungnya bergerak di bagian selangkangan, seperti ada yang mengacung di dalamnya. Kalau aku bukan pendatang baru, mungkin sudah kujepret ujungnya pake karet, atau kuelus-elus jidat licinnya pake swallow.




“Silakan diminum, Pak Lurah.” Bu Ningnung sadar akan mata jelalatan Pak Lurah, dan ia langsung berdiri.


“Nak Kata, silakan diminum. Ibu masuk dulu untuk nyiapin sarapan. Pak Lurah mau ikut sarapan sekalian?” ujarnya lagi sambil menangkupkan baki di atas dadanya.


“Iya, Bu.” singkatku sambil menyalakan marlbor.


“Eh itu.. anu.. apa itu.. saya sudah sarapan sih, tapi boleh deh sarapan lagi.” ingin kulempar jidatnya pake zippo begitu aku mendengar jawabannya. Tapi biar bagaimana pun dia adalah pejabat di sini dan aku harus bersikap sesopan mungkin.




Aku dan pak lurah sama-sama mengantar kepergian Bu Ningnung ke dalam rumah dengan mata yang sama-sama terpaku pada pinggulnya yang bergoyang di balik balutan ketat kain yang ia kenakan.




“Silakan diminum, Pak Lurah.” aku lebih dahulu bisa menguasai kemesuman.


“Eh.. anu… iyah, makasih.” jawabnya sambil mata mengerjap-ngerjap, mungkin untuk mengusir pikiran mesumnya.




Kami sama-sama menyeruput kopi, dan tanpa permisi Pak Lurah langsung menyatut rokokku.




“Gelar boleh banyak, tapi rokok aja gak modal.” batinku sambil menghisap rokokku sendiri.




Akhirnya aku dan Pak Lurah ngobrol santai untuk saling memperkenalkan diri. Kusampaikan tentang siapa aku dan tujuanku pindah ke kota ini, sedangkan ia begitu membanggakan jabatannya yang sudah belasan tahun menjadi lurah, dan juga rangkaian gelar yang ia dapatkan. Sebetulnya Lurah Cintung adalah orang yang ramah dan lucu, suka bercanda; bicaranya ceplas-ceplos mengarah ke saru. Tetapi sikapnya pada Bu Ningnung tadi membuatku ekstra hati-hati.




“Bapak sih sering nongkrong di mari untuk ngopi.” ia mengatakan sendiri tanpa harus kutanyakan. Fix.. ia datang bukan untuk ngopi tapi untuk memesumi yang membuatkan kopi. Apalagi ia hanya datang saat Bu Ningnung sedang seorang diri di rumah.




Tak lama kemudian, Bu Ningnung muncul kembali untuk mengundang kami sarapan. Aku sedikit bernafas lega ketika kali ini ia menutupi lehernya dengan selendang. Setidaknya Lurah Cintung bisa sadar diri pada umurnya untuk tidak mengambil jatah mesumku.




Kami bertiga pun beriringan menuju ruang makan. Belum juga kami duduk, terdengar suara pintu depan terbuka.




“Salkum. Bu.. Bu Ningnung..” terdengar suara cempreng terdengar dan tiba-tiba raut muka Pak Lurah berubah pucat.


“Iya, Bu. Mari masuk, Bu Kecup.” jawab Bu Ningnung.


“Suamiku ada di sini gak, Bu?”




Belum juga dijawab, sesosok wanita montok muncul di ambang pintu. Ia hanya mengenakan daster yang nampak basah seperti baru selesai mencuci atau menjemur pakaian. Tali BH hitamnya terlihat, dan payudara atasnya terpajang nyaris seperempatnya. Nampak kuning langsat dan seksi karena basah.




Bibir merahnya langsung berubah datar dan matanya melotot ketika melihat Lurah Cintung berada bersama kami.




“Oalaaah.. ngapain toh, Pak, ada di sini? Apa jatah di rumah masih kurang?” hardiknya.




Kulihat Bu Ningnung hanya senyam-senyum, Lurah Cintung gelagapan, sedangkan aku fokus pada pahanya. Wanita itu nampak mengangkat ujung dasternya agar langkahnya bisa panjang.




“Ini Bu.. bapak.. bapak hanya numpang sarapan… eh bukan… bapak ke sini untuk nemuin Nak Rakata, penghuni baru di rumah ini.” Pak Lurah nampak gelagapan.


“Alasan saja! Dasar gatel! Mesum!! Apa jatah di rumah masih kurang?! Pasti ke sini untuk mesumin Bu Ningnung, kan? Sadar, Pak, sadar. Inget umur!! Tadi malam aja hanya kuat satu setengah ronde, ini masih mau cari yang lain. Sarapan apaan? Nemuin tamu apaan? Palingan hanya mau sarapan mata ke sini.”




Buset dah.. perempuan itu nampak begitu cerewet dan galak. Payudaranya nampak turun naik karena amarah.




“Ayo, pulang Pak!! Lain kali Bu Ningnung gak usah bukain pintu kalau bapak datang ke sini!” galaknya sambil melirik ke arah Bu Ningnung.




Anehnya Bu Ningnung nampak tenang saja, ia seperti sudah biasa menyaksikan adegan seperti ini.




“Tenang dulu toh, Bu, ini malu ama Nak Rakata.” Pak Lurah berusaha menenangkan wanita yang ternyata istrinya ini.


“Ayo pulang!!” sambil menjewer telinga suaminya dan menariknya keluar ruang makan.




Pak Lurah pun terhuyung sambil tangannya sibuk membenahi sarungnya yang hampir melorot karena nyangkut pada ujung kursi. Wajahnya meringis kesakitan.




“Sudah toh, Bu, kasihan Pak Lurahnya.” Bu Ningnung mengingatkan.


“Yang kasihan itu punyaku, Bu, jarang ditengok. Si bapak sukanya nengokin yang lain!!” entah sadar atau tidak ia berkata begitu, namun terdengar lucu di telingaku. Andai bukan istri Pak Lurah mungkin aku bersedia menengokinnya setiap hari. Ah lupakan… kan nanti sore aku akan menengok Tante Puki, lagian punya Bu Ningnung aja belum kutengok. Ooops!!!


“Eh…” istri Pak Lurah nampak sadar. Ia melepas jewerannya dan mendorong suaminya keluar ruang makan, wajah galaknya berubah ramah sambil memandang ke arahku.


“Ini yah penghuni barunya? Siapa namanya, Nak? Selamat datang ya.” sambil mengulurkan tangan.




Kusambut tangannya sambil tersipu, “Nama saya Rakata, Bu.”




“Oalah nama yang ganteng.. eh bagus… Perkenalkan nama ibu Kecup, Kecup Basiah, istri Pak Lurah.” balasnya sambil membenahi rambutnya sehingga lehernya terpajang.


“Iya. Senang bisa, berken…”




Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba Pak Lurah menarik lengan istrinya, kali ini ia yang berubah galak.




“Bu, ayo pulang!!”


“Eh.. ko sek toh, Pak.” Bu Kecup kaget.


“Pulang!! Bu Ningnung.. Nak Rakata… kami permisi!!” ketus Pak Lurah sambil menarik lengan istrinya.




Aku mengikuti keduanya meninggalkan rumah, sedangkan Bu Ningnung hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum saja. Ia lebih memilih tetap berada di ruang makan.




Aku mengawasi mereka dari emper rumah. Nampak Bu Kecup meronta dan memarahi suaminya yang terus saja menarik lengannya.




“Lepasin, Pak! Apaan sih? Ada juga aku yang harus marah, punya burung kegatelan.” protes Bu Kecup.


“Iya, karena gatel, bapak minta digaruk. Ayo cepet pulang makanya.”


“Beneran, Pak?”


“Iya. Ayooo..!!!”




Bu Kecup pun setengah meloncat memeluk suaminya lalu keluar dari pintu pagar. Sungguh pasangan yang aneh. Setelah ini mereka pasti ganas saling menggaruk, apapun yang mereka garuk itu.




“Ayo, nak, sarapan dulu. Mereka mah sudah biasa seperti itu.” sambut Bu Ningnung ketika aku kembali ke ruang makan.




Aku hanya terkekeh mendengarnya, dan aku pun makan dengan lahap di bawah pandangan mata Bu Ningnung yang teduh dan penuh keibuan. Dari bibir manisnya mengalir cerita tentang kehidupan keluarga tetangga kami yang satu itu. Pak Lurah dan Bu Kecup memang sering ribut, tapi konon lebih ribut lagi kalau sedang di tempat tidur, bahkan bisa sampai terdengar ke rumah tetangga.




Tak hentinya aku tertawa mendengar ceritanya, dan aku suka melihat wanita di hadapanku ini cekikikan, ia nampak begitu ceria dan terlihat lebih muda.




Cukup lama kami saling ngobrol di ruang makan, dan masih berlanjut ke ruang cuci piring. Aku membantunya, meskipun berkali-kali Bu Ningnung menolak. Entah kenapa, aku merasa begitu nyaman berada di dekatnya.




“Sekali-kali, undang Bu Pupuh kemari, Nak.” ujarnya sambil menaruh piring terakhir pada rak.


“Loh, ibu belum pernah ketemu?” tanyaku.


“Belum. Selama ini hanya berbicara di telpon. Kemarin waktu proses jual-beli rumah, selalu asistennya yang datang kemari. Namanya Ganda. Nak Kata kenal, kan?”


“Oh kenal banget, Bu, dia adalah orang kepercayaan Tante Pupuh, sekaligus juga sahabatku.” jawabku.




Mendengar penjelasan Bu Ningnung, otakku langsung berputar, tidak ada salahnya aku mengajak Tante Puki ke rumah dan mengaku sebagai pacarku, toh Bu Ningnung tidak mengenalnya.




“Bu, nanti sore saya pergi dulu, ya bu. Mau ambil mobil sekalian mau jalan ama pacarku.” ujarku. Kami sama-sama berjalan menuju ke emper belakang, dan duduk berhadapan.


“Oalah… pacarnya orang sini, toh? Kenapa gak diajak ke rumah aja, biar ibu juga kenal.” jawabnya antusias.


“Hehehe.. bukan orang sini, kok Bu, dia orang Bandung juga. Cuma kebetulan ia sedang ada kerjaan selama dua hari di sini.” jawabku.


“Oh.. gitu.. ajak mampir ke sini aja, biar ibu juga kenal.” pintanya lagi.


“Iya, Bu, nanti saya ajak.”


“Duh seneng deh.. pasti dia gadis yang baik dan cantik.” Bu Ningnung antusias, dan aku hanya terkekeh mendengarnya, sambil mengamini yang ia katakan.




Obrolan kami semakin meriah ketika Yaning datang dari kuliahnya. Ia begitu ramai dan setiap omongan yang ia lontarkan selalu terdengar renyah. Entah mengapa, kami bertiga bisa begitu cepat akrab dan merasa dekat; seperti satu keluarga yang sudah saling mengenal.




“Riska mana?” aku sadar akan gadis itu.


“Kak Riska tadi dijemput temannya ke Pati dan baru pulang malam.”


“Pasti bareng Aetel.” tanya Bu Ningnung.


“Iya, Bu, tapi mereka bertiga kok, bareng Mas Saldo.”


“Oh syukur deh kalau ada Saldo, semoga mereka berjodoh.” gumam Bu Ningnung.




Aku mengerutkan dahi mendengar nama itu, jauh di dalam lubuk hatiku ada rasa cemburu yang menggeliat.










BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar