BAB 6
Hampir tengah malam aku baru kembali ke rumah, namun aku urung membuka pintu pagar ketika melihat sebuah tulisan pada pintu rumah tetangga.
Drs. Cintung Icik Kiwir, BA., S.Col., S.Tel., S.tmj., S.Mes.
Lurah Desa Weton, Kecamatan Wetan, Kabupaten Kulon.
Aku tersenyum membacanya, hari gini masih ada saja pejabat yang bangga dan suka pamer dengan rentetan gelar akademisnya. Aku juga mencoba menebak gelarnya yang terakhir, namun sekeras apapun aku berpikir, aku tidak menemukannya.
“Apa Sarjana Mesum ya?” tanyaku dalam hati. Kalau memang demikian, berarti kemesumannya melampaui semua gelar yang lain.
Cepat atau lambat aku pasti harus menemui dan mengenalnya, sudah kewajibanku sebagai warga baru untuk melapor kepada pejabat setempat.
Aku pun membuka pintu pagar secara perlahan agar tidak mengganggu orang rumah yang mungkin sudah memasuki alam mimpi masing-masing; dan secara perlahan pula aku menutup dan menguncinya.
“Dari mana kamu?” aku urung memutar gagang pintu ketika pintu itu terbuka sendiri dari dalam dan sosok Ariska muncul.
“Abis jalan-jalan, kenapa?” heranku.
Kulihat sikapnya sedikit berbeda, lebih perhatian, meski tetap saja juteknya tetap dominan.
“Kamu nungguin aku, yah?” tanyaku.
“Nggak! Siapa kamu sampai aku harus nungguin kamu selarut begini?”
“Oh..!!”
Tak acuh aku masuk, niatku adalah langsung tidur. Aku sudah malas berurusan dengan gadis ini, daripada malah membuat keributan dan membangunkan yang lain.
“Hei! Mau ke mana?” ia mencegah.
“Mau tidur. Ngantuk.”
“Oh..!!”
Kali ini dia yang bergumam singkat. Tanpa peduli aku terus berjalan menuju kamarku.
“Eh?” aku heran ketika Ariska membuntutiku sampai ambang pintu.
“Aku mau ngomong.” ketusnya.
“Hmm.. berarti bener kan kalau kamu nungguin aku?”
“Kalau nggak, ya nggak!!”
“Ohhh…”
Aku berlagak mau menutup pintu kamar dari dalam.
“Iyah, aku nungguin. Puas?!” Ariska keki.
“Nah gitu donk. Apa susahnya sih ngaku?” aku masih bersikap cuek.
“Bisa gak kita ngobrolnya secara baik-baik?”
“Lah yang sejak tadi sore nyolot terus siapa?” aku menatapnya tajam.
“….”
“Lagian apa sih salahku, sampai segitunya kamu membenciku?” ujarku lagi sambil kali ini berdiri berhadapan dan menatapnya tajam.
“….”
“Yaudah… kamu mau ngomong apa?” kini malah aku yang bingung sendiri karena Ariska banyak diam.
“Gak jadi!” tiba-tiba Ariska berjingkat meninggalkanku sambil mengusap wajahnya sendiri seolah membersihkan sesuatu.
Kupret! Maunya nih cewek apa sih! Aku dibuat keki sendiri. Sambil mendengus kesal, aku pun masuk kamar dan menguncinya dari dalam.
Kuraih smartphone yang masih tergeletak di atas kasur sejak sebelum mandi tadi sore. Nampak ada puluhan notif yang masuk. Kurebahkan tubuhku sambil membuka tombol lock. Banyak pesan dan miscall dari Tante Puki, juga panggilan tak terjawab dari Ndul.
Hampir semua isinya menanyakan kabar dan keberadaanku, tidak ada sesuatu yang penting dan urgent. Kukirim pesan kepada Ndul, hanya contreng satu. Kutelpon Tante Puki, tidak aktif. Shhh.. sepertinya mereka sudah pada tidur. Waktu memang sudah menunjukan jam 00.27.
Aku memang merasa lelah, tapi ketika mencoba memejamkan mata, tetap saja tidak bisa tidur. Aku hanya gulang-guling di atas kasur. Kebiasaan… selalu susah tidur di tempat baru, apalagi baru hari pertama kedatanganku ke rumah ini sudah ada masalah yang langsung mengganggu pikiran.
“Tidur, Nzo, kamu harus menyiapkan banyak energi untuk besok.” aku menyemangati diri sendiri, mengingat besok sore aku harus menyambut Tante Puki. Tapi tetap saja aku tidak bisa tidur.
Haiiish… sepertinya aku butuh mood booster. Kuputuskan kembali keluar kamar untuk ngopi dan merokok di serambi belakang. Setelah menyeduh kopi hitam di dapur, aku pun melangkah menuju serambil belakang sambil menenteng mug batik berwarna hijau (berisi kopi) dan mengapit sebatang marlbor merah yang sudah kusulut.
“Hiks.. hiks…”
Belum juga aku duduk, tiba-tiba bulu kudukku merinding. Dari bawah pohon sawo terdengar suara tangis seorang perempuan. Rasa takut dan penasaran bercampur menjadi satu. Aku ingin lari dan kembali ke kamar, tapi di sisi lain aku juga penasaran pada sumbernya suara. Tak bisa mengambil keputusan, akhirnya aku pun hanya mematung.
Kupertajam pendengaranku, dan kufokuskan penglihatanku pada arah datangnya suara. Hanya gelap yang kusaksikan, sedangkan suara tangis itu semakin jelas terdengar. Cukup heran juga bahwa rumah ini ada “penghuninya” karena Bu Ningnung tidak pernah bercerita apapun.
Akhirnya rasa penasaranku mengalahkan rasa takut. Kuhisap rokokku dan melangkah perlahan mendekati sumber suara. Jantungku berdegup kencang, dan penisku meringkuk ketakutan. Aku sudah bersiap membanjurkan kopi seandainya itu adalah suara kunti penghuni sawo.
Aku mengendap perlahan sambil menyesuaikan pandangan di tengah kegelapan karena lampunya dimatikan, dan suara tangis itu semakin jelas terdengar. Jantungku makin dag dig dug der daiyaa…
Kreeek!! Tanpa sengaja aku menginjak ranting kecil, membuat suara itu berhenti. Aku menahan nafas sambil waspada. Kutajamkan pula pendengaranku.
Kreeek!! Kali ini suara itu muncul dari arah suara tangisan tadi.
Awalnya aku sudah mau mendekat ke arah datangnya suara, tapi urung ketika menyadari kebodohanku sendiri. Segera kubuang puntung rokok dan kukeluarkan smartphone untuk menyalakan senter.
Byaaar… gelap gulita berganti terang. Nampak sosok Ariska ada di sana, ia sedang berjingkat seperti mau sembunyi, tapi urung ketika aku keburu menyalakan senter.
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku.
“Nggak ngapa-ngapain!”
“Lalu kenapa gelap-gelapan?”
“Karena gak ada lampu?”
“Terus kenapa nangis?”
“Siapa yang nangis?”
“Kamu!”
“Nggak yah!!!”
“Bohong kamu.”
“Ooooh!”
Aku hanya melongo ketika dengan cueknya gadis itu melintas di hadapanku, dan melangkah menuju ke arah serambi. Aku tidak salah, ada sembab di matanya, jadi tadi itu adalah suara tangisannya, bukan suara kunti.
Aku pun membuntuntunya. Ariska duduk di undakan serambi sambil memeluk lutut dan membuang muka untuk menghindari beradu sorot mata denganku. Kuputuskan untuk duduk di kursi jati, tak jauh dari tempatnya duduk.
Kuseruput kopiku dan meletakan mug-nya di atas meja, kusulut batang kedua rokokku sambil menerawang melihat ke arah kegelapan pohon sawo.
Ingin aku bercakap-cakap dengan Ariska, tapi sikap judes dan ketusnya membuatku lebih memilih diam. Dan kami pun hanyut dalam pikiran masing-masing.
Tik tok tik tok.
“Aku tahu kamu penakut, tapi kamu punya akal menghadapinya. Siapa kamu? Kenapa mirip dia?” ia nampak bosan hanya saling berdiam diri.
“Heh? Dia siapa?” mendengar suaranya yang pelan dan tidak ngegas, aku pun menanggapi dan menatap punggungnya.
“Kenapa sosokmu mengingatkan aku pada dia?”
“Siapa?”
“Kenapa aku harus bertemu kamu di NeNeN Cafe.. di kereta.. dan akhirnya di sini?”
“Heh?”
“Kenapa aku harus berurusan dengan kamu?”
“Aku tidak mengerti kamu sedang ngomong apa.”
“Kenapa kamu itu menyebalkan?”
“Aku?”
“Kenapa sejak melihatmu pertama kali aku sudah antipati dengan caramu melihat perempuan, aku ingin membencimu, tapi susah sekali untuk bisa membeci kamu?”
“Ris?”
“Kenapa kamu mesum? Waktu ngeliat aku pertama kali di cafe.. di kereta… bahkan tadi aku memergokimu sedang phone sex.”
“Heh? Kamu jangan nuduh…”
“Siapa kamu? Kenapa aku harus berurusan denganmu? Kenapa kamu memilih pindah ke kota ini, dan kenapa kamu membeli rumah kami?”
“….”
Aku capek menanggapi. Apapun jawabanku selalu tidak ia tanggapi dan ucapannya hanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya bukan ditujukan padaku, tapi pada dirinya sendiri.
Kuseruput kopiku kembali, pandanganku beralih pada Ariska yang sudah berdiri dan pindah duduk pada kursi di hadapanku.
Kupandang wajahnya, tapi ia tidak membalas, melainkan lebih memilih tengadah menatap atap. Nafas panjang ia hembuskan beberapa kali.
“Kenapa kamu membeli rumah ini dan pindah ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap tanpa melihat ke arahku.
“….”
“Kenapa?”
“….”
“Jawab!!”
“Eh.. kirain tidak harus dijawab, habisnya dari tadi kamu hanya nanya-nanya melulu dan seperti tidak butuh jawabanku.”
“Jawabannya?” kali ini ia menatapku, sorot matanya lebih menunjukan ekspresi sedih dan sendu, daripada rasa ingin tahu dan penasaran.
“Kenapa kamu keukeuh ingin mempertahankan dan membeli kembali rumah ini?” aku tidak menjawab, melainkan balik bertanya.
Ariska diam dan menunduk.
“Apakah benar karena kamu tidak ingin Bu Ningnung dan Yaning terlantar? Hanya karena itu?”
Ariska membalas tatapanku dan menggeleng lemah. Lama aku menunggu sampai akhirnya ia berujar, “Itu benar, dan tadi Bude udah cerita kalau kamu memperbolehkan beliau tinggal di sini. Makasih ya, aku sangat berterima kasih padamu. Bukan aku tidak mampu untuk mencari rumah baru bagi mereka, tapi rumah ini sangat penting bagi keluarga kami.”
“Sangat penting juga bagiku.” dalam hati. Kutatap Ariska yang kali ini menampakan sisi kelembutannya sebagai seorang gadis. Ucapannya terdengar tulus. Kucoba menebak isi hatinya yang sesungguhnya dengan melihat (buah) dadanya, dan ia sigap menutupi dengan selendang kain.
“Tapi…”
Aku urung berujar ketika Ariska melanjutkan kata-katanya.
“Alasan lain yang membuat aku kecewa rumah ini dijual adalah…”
Tik tok tik tok.
“… karena rumah ini sangat berarti bagi… bagi… hiiiks… Enzo!”
Andai saja ini adalah cerita di TV mungkin aku sudah terbatuk, tapi tidak dalam ceritaku kali ini. Aku lebih memilih menebak ukuran bra nya daripada terbatuk karena kaget. Eh.. aku sedih loh mendengarnya. Hatiku terasa diremas dan sakit.
“Enzo.. siapa dia?”
“Dia adalah sahabat terbaikku ketika masa kecil dulu. Sejatinya rumah ini adalah rumah keluarganya, dan kami sering bermain bersama di bawah pohon sawo itu. Ia sangat mencintai rumah ini.. ia suka tinggal di sini.”
“.…”
“Sampai akhirnya, entah bagaimana, almarhum kakekku membeli rumah ini. Orangtuanya pergi pindah ke kota lain. Sedangkan Enzo.. aku tidak mengerti… ia tidak ikut.. melainkan malah dijemput kerabatnya dan pindah ke Bandung.”
“….”
“Usiaku masih tujuh tahun ketika ia pergi. Dan aku masih ingat… sangat ingat… Enzo menangis karena harus pergi dari rumah ini. Bahkan beberapa malam sebelum kepergiannya, ia sering menyendiri dan menangis di bawah pohon sawo itu.”
“Dan.. hiks… ia pergi di suatu malam tanpa pamit padaku. Hiiiks…”
Aku hanya diam sediam-diamnya, bahkan rokokku sampai mati sendiri tanpa kuhisap, kopiku dingin sendiri tanpa kumasukan ke dalam kulkas.
“Aku selalu menunggunya, tapi ia tidak pulang. Ketika aku dewasa, aku selalu mencarinya, tapi tidak kutemukan.” ujarnya lagi sambil mengusap air matanya.
“Kini yang ingin kulakukan adalah menjaga rumah ini untuknya, tapi itu pun aku tidak bisa.”
Ingin aku menitikan air mata mendengarnya. Tapi kutahan sedemikian rupa, kuhabiskan kopiku yang sudah dingin itu. Ada rasa sedih dan haru mendengarnya, aku ingin mengaku bahwa akulah pemuda itu dan menghambur memeluknya. Tapi ada rasa lain yang membelenggu, yaitu amarah karena kakeknya telah membeli rumah ini dan mengusir orangtuaku. Ada juga amarah karena ayah dan ibuku tidak membawaku ikut serta kala itu, melainkan meninggalkanku begitu saja, sehingga orangtua Tante Pukilah yang menjemputku, merawatku, dan membesarkanku.
“Maaf.” gumamku lebih ditujukan pada diri sendiri. “Lalu kenapa waktu ketemu di NeNeN kamu menyangka bahwa aku adalah Enzo?”
Ariska menghembuskan nafas panjang dan menatapku sendu, “Sulit kukatakan. Tapi akhirnya aku yakin bahwa kamu bukanlah dia, Enzo tidak mesum.”
“Tadi katanya mesumku mirip dia?”
“Eh iya sih.. tapi.. tapi… ah gak tahu deh.”
“….”
“Makasih, Ka.” suaranya terdengar sungguh-sungguh dan tulus.
“Untuk?”
“Kamu telah mengijinkan bude dan Yaning tetap tinggal di sini. Kelak kalau seandainya kamu ingin melepas kembali rumah ini, tolong beritahu aku, apapun yang terjadi… berapapun harga yang kamu minta… aku akan sekuat tenaga membelinya. Demi Enzo!”
Fix.. sekarang aku benar-benar menangis, meski tanpa air mata. Aku terisak dalam diamku, dalam gejolak perasaan yang paling dalam.
“Aku janji. Aku akan selalu ingat itu, dan aku akan merawat rumah ini demi kamu dan Enzomu.” suaraku sedikit bergetar dan terbata.
“Dan satu lagi…” sorot mata Ariska kembali tajam.
“Jangan mesumi Bude dan Yaning. Awas kamu!!!”
Aku hanya mengangguk pelan tanpa berani melawan tatapan matanya. “Kalau yang ini berat, Ris. Keduanya sangat menggoda. Eh.. kamu juga menggoda sih.”
“Besok kamu kosong gak?” tanyanya lagi.
“Hmm.. nggak juga sih. Pagi mau ketemu ketua RT dan lapor, sekalian ketemu Pak Kades juga, tadi kulihat kalau rumahnya ternyata bertetanggaan. Sore aku ada acara juga, aku mau…”
Aku sedikit ragu.
“Oh gak apa-apa kalau kamu ada acara, tadinya aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Emangnya sore mau ke mana?”
“Pacarku mau datang, dan kami mau jalan.”
“Oh.”
Ariska langsung berdiri dengan ekspresi yang sulit kugambarkan. Ujarnya ketus dan datar, “Malam, Ka, aku tidur duluan ya!”
“….” selain anggukan kecil.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar