BAB 11
Tante Puki melirik ke arahku ketika aku menyebut nama gadis itu. Aku hanya mengangguk, meng-iya-kan. Dia adalah Ariska, sahabat masa kecilku. Melihat bahasa tubuhku, Tante Puki memindahkan gandengan tangan pada pinggangku. Ia seolah mau menunjukan zona kekuasaannya bahwa aku ini adalah miliknya. Aku sama sekali tidak keberatan; wanita ini pun adalah milikku, kekasih (gelap)ku.
“Hai, Ris, nih kenalin kekasihku. Puk… Pu… Pup…” aku gelagapan. Tidak mungkin aku memperkenalkannya sebagai “Puki”, apalagi menyebut nama aslinya mengingat nama “Pupuh” sudah sangat familiar bagi Bu Ningnung, tantenya Riska.
“Hai.. aku Poetry. Ini siapa, yank?” Tante Puki mengulurkan tangan kepada gadis itu.
“Ariska,” aku dan gadis itu sama-sama berucap.
“Aku keponakannya Bude Ningnung. Senang bisa berkenalan.” lanjut Ariska lagi. Wajahnya mengumbar senyum yang dipaksakan, berbeda dengan wanitaku yang murah senyum dan nampak begitu senang bisa berjumpa dengan Ariska. Tante Puki malah langsung membungkuk untuk cipika-cipiki.
“Ini pacarmu, yah?” tanya Tante Puki sambil melirik pada pemuda di samping gadis itu. Seorang pemuda yang ketampanannya berada satu strip di bawahku.
“Eh iya.. Kenalin Poet, ini Iban, dia adalah….”
“Hai.. aku Poetry.” Tante Puki memotong dan langsung mengulurkan tangan.
“Iban.” balas pemuda itu.
“Iban.” ujarnya lagi sambil mengulurkan tangan ke arahku yang dari tadi hanya diam. Entah mengapa aku tidak menyukai pemuda ini.
“Kata, Rakata.” balasku singkat.
“Kamu nginep di sini, Ka?” Ariska akhirnya menyapaku, dengan tatapan mata yang sulit kuterjemahkan.
“Iyah. Mumpung Poetry ada di sini. Kangen.. hehehe… Kamu?” kekehku sambil mengusap rambut Tante Puki yang menjuntai di atas punggungnya.
“Aku.. aku…” Ariska gugup sambil melirik pada Iban, dan anggukan serta senyuman pemuda itu sudah menjadi jawaban bagiku.
“Yaudah aku dan Poetry pulang dulu, sekalian mau memperkenalkan Poetry pada Bu Ningnung.” ujarku.
“Oh.. oke. Ni aku dan Iban juga mau ke rumah kok.” jawab Ariska.
“Yaudah kalau begitu bareng aja. Kalian bawa kendaraan?” Tante Puki menyambut.
“Eh… kita jalan masing-masing aja, kebetulan kami juga bawa kendaraan.” kali ini Iban yang menjawab, ia langsung menolak tawaran Tante Puki.
“Yaudah kalau begitu, see you di rumah. Ayo, yank.” aku pamit dan melingkarkan lenganku pada pinggang Tante Puki. Kami pun sama-sama melangkah meninggalkan lobi hotel dan menuju kendaraan masing-masing.
Setibanya di mobil aku dan Tante Puki saling berbagi senyum dan kuberikan kecupan ringan pada tepi bibirnya, lalu kulajukan kendaraanku perlahan. Di benakku masih terbayang wajah tidak ramah Ariska, sekaligus tatapan misterius Iban pada Tante Puki. Aku harus waspada.
Tak memakan waktu seperempat jam, kami tiba di rumah dan disambut sosok bahenol Bu Ningnung. Ia menyambut kami -khususnya Tante Puki- dengan begitu ramah dan langsung menggandeng wanitaku untuk melihat-lihat seisi rumah, sampai akhirnya kami duduk bersama di serambi belakang. Iban dan Ariska belum juga datang, mungkin mereka mampir dulu ke tempat lain, atau ciuman dulu di jalan. Entahlah.. aku tidak ingin memikirkannya.
“Ayo diminum, nak. Duuuh.. hanya ada teh manis dan keripik.” ujar Bu Ningnung sambil menyajikan minuman dan cemilan.
“Ah ibu malah merepotkan.” balas ramah Tante Puki.
Bu Ningung pun duduk di sebelah kekasihku sambil tak hentinya memuji kecantikannya. Kami pun menikmati apa yang Bu Ningnung suguhkan sambil berbincang ringan untuk saling mengakrabkan diri.
“Eh sebentar.” ujar Bu Ningnung ketika terdengar hapenya yang ia letakan di dapur berdering.
Aku dan Tante Puki sama-sama mengangguk tersenyum.
“Sukaaaa.” pekik Tante Puki sepeninggalan Bu Ningnung.
Ia langsung mengamati suasana belakang rumah dan halaman yang luas. Ia pun langsung berdiri dan aku mengikuti langkahnya. Tubuh seksi Tante Puki dan bayangan kebinalannya tadi malam membuatku sedikit bergairah, langsung kepeluk dari belakang sambil mendaratkan kecupan pada kepalanya.
“Sayang.. malu ama Bu Ningnung.” ia menolak halus.
Tapi aku tidak peduli, kutekankan penisku pada belahan bokongnya. Jadilah.. Tante Puki mengamati dan mengagumi rumah baruku, sedangkan aku memesuminya.
“Ehem…”
“Eh…” kami menengok ke arah datangnya suara, kedua pipi Tante Puki memerah, sedangkan aku hanya cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
“Duh mesranya. Bukannya pada minum malah kangen-kangenan.” goda si pemilik suara yang adalah Bu Ningnung.
Kepalang tanggung, kukecup pipi Tante Puki di hadapan wanita itu, dan menggandengnya kembali ke tempat duduk. Wajah Tante Puki semakin memerah, sedangkan Bu Ningnung malah tertawa lebar.
“Telpon dari siapa, Bu?” tanyaku.
“Ariska. Ia menelpon katanya gak jadi pulang siang ini, ia dan Iban mau cari oleh-oleh dulu buat ke Bandung. Yaah maklumlah.. kayak kalian itu… mereka juga pasti lagi betah berduaan.” ujar Bu Ningung sambil tertawa.
“Oh.” singkatku, dibalas lirikan Tante Puki padaku. Ia seolah mau meyakinkan diri bahwa aku tidak cemburu pada gadis itu.
Aku sendiri merasa kesal pada Ariska, kalau memang tidak mau bertemu aku di rumah, ya sudah mendingan bilang dari tadi. Tidak perlu mencari-cari alasan untuk membeli oleh-oleh.
“Asalamualaikum.” belum juga kami melanjutkan obrolan, terdengar salam dari halaman rumah. Aku sudah hafal suara itu.
“Wualaikum salam. Masuk, pak. Kami sedang di belakang.” jawab Bu Ningnung. Ia pun menjawab tanpa menyambut siapa yang datang; sepertinya ia pun sudah hafal siapa yang datang. Tak seorang pun dari kami yang berdiri untuk menyambutnya.
Benar saja, tak lama kemudian muncul sosok pria bersarung. Lurah Cintung.
“Silakan duduk, Pak.” ujar Bu Ningnung, sedangkan aku dan Tante Puki hanya mengangguk ke arahnya.
“Eh ada tamu? Siapa ini?” ia mengabaikan sapaan Bu Ningnung melainkan langsung terfokus pada wanita jelitaku. Binar mesum ada di sana.
“Pacarku.” aku langsung memproteksi sebelum yang lain menjawab.
“Oh.. pacarnya Rakata. Cantik yah… wah.. wah… ckk.. ckkk…” aku sangat tidak suka melihat ekspresinya, apalagi ketika matanya berbinar dan jakunnya naik-turun karena menelan liur.
Seperti adegan sinetron, keduanya bersalaman. Pak Lurah menggenggam erat, sedangkan Tante Puki berusaha melepas dan terlihat risih.
“Bu..!” ujarku sambil melihat ke arah dalam rumah. Membuat Pak Lurah kaget dan mengikut arah mataku. Pun pula Bu Ningnung dan Tante Puki.
“Bu Ningnung tolong bikinkan kopi untuk Pak Lurah.” ujarku lagi. Maksudku memang tertuju pada Bu Ningnung, walaupun mataku melihat ke dalam. Namun usahaku telah sukses membuat jabatan tangan Pak Lurah terlepas.
“Iya, Nak Kata.” jawab Bu Ningnung sambil beranjak, sedangkan aku langsung menggantikan tempat duduknya, daripada Pak Lurah yang duduk di samping kekasihku.
“Mari Pak. Silakan duduk.” ujarku sambil menyembunyikan senyum karena melihat ekspresi Pak Lurah yang masih sedikit kaget dan kentang.
Seperti biasa, Pak Lurah langsung membanggakan jabatan dan rentetan gelar akademisnya di hadapan Tante Puki, sedangkan wanitaku hanya senyam-senyum sambil sekali-kali mengangguk. Tak lama kemudian, Bu Ningnung kembali sambil membawa segelas kopi hitam. Kami pun ngobrol berempat.
Jengah oleh lirikan-lirikan Pak Lurah pada Tante Puki dan Bu Ningnung, aku pun mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih serius. Mungkin kalau diajak mikir, mesumnya Pak Lurah bisa berkurang.
“Mumpung ada Pak Lurah di sini, sekalian ada yang mau saya sampaikan,” aku mengawali percakapan. “Saya dan kekasih saya mau minta ijin sekaligus memohon pendapat Pak Lurah. Kami berdua, dibantu Bu Ningnung, mau membuka usaha baru dengan menjadikan halaman belakang ini sebagai angkringan.”
Kujelaskan rencanaku di hadapan Lurah Cintung dan Bu Ningnung, sebuah rencana yang sudah kususun bersama Tante Puki pasca persetubuhan kami di hotel. Aku akan melibatkan warga dalam usaha ini, sekaligus juga membantu perekonomian para tetangga. Artinya, aku hanya menyediakan tempat, sedangkan menu angkringan berasal dari masakan para warga yang mau bekerjasama. Kujelaskan pula sistem bagi hasilnya.
“Bagus.. bagus… bapak setuju.” Belum apa-apa Pak Lurah langsung meng-iya-kan. Aku hanya mengernyit mendengarnya, sekaligus curiga ketika melihat senyum mesumnya yang agak misterius.
“Jadi bapak juga bisa sering-sering nongkrong di mari.” lanjut Pak Lurah, dan kini aku langsung tahu alasannya mengapa ia langsung setuju.
“Sayang..” ujarku pada Tante Puki.
Wanitaku mengerti, ia langsung mengambil alih pembicaraan dan menjelaskan konsep angkringan yang akan kami dirikan. Kini sifat aslinya sebagai wakil pimpinan sebuah perusahaan besar terlihat, penyampaiannya tegas dan lugas. Ia begitu nampak cerdas sehingga Pak Lurah pun hanya bisa terbengong.
Bu Ningnung tak kalah terpesonanya, namun ia hanya diam sambil mengangguk-anggukan kepala. Ekspresi senang terlihat di sana.
“Jadi, menu andalan kami adalah kopi hitam NeNeN dan beberapa menu andalan dari Bu Ningnung. Selebihnya kami akan melibatkan para tetangga dan warga.” Tante Puki mulai mengakhiri pemaparannya. Lanjutnya lagi, kami juga akan menyediakan satu ruangan untuk menghidupkan kembali batik khas kota ini, tapi sifatnya hanya menghidupkan, kami tidak akan memperluas usaha dengan merambah bisnis di bidang batik.”
“Bagaimana, Pak?” ujarku pada Pak Lurah. Aku merasa begitu bangga pada kekasihku yang bisa menjelaskan semua rencana kami dengan begitu lugas.
“Saya prinsipnya sih setuju. Sangat setuju malah. Tapi…” Pak Lurah nampak berpikir.
“Urusan perijinan dan katebelece nanti kita bicarakan berdua, Pak.” aku memotongnya dan aku mengerlingkan mata ketika ia membalas tatapan mataku. Senyum penuh arti pun terlihat di sana.
“Ah.. kalau masalah itu, saya percaya kepada Nak Kata. Oke, saya setuju. Masalah surat ijin mah gampang, nanti saya bantu, dan bapak jamin tidak akan mengalami hambatan.” tegas Pak Lurah.
Aku, Tante Puki, dan Bu Ningnung pun bernafas lega mendengarnya. Tanpa ada yang tahu, aku mulai berpikir keras agar ia tidak meminta Bu Ningnung sebagai imbalan untuk memuluskan usaha ini.
Selanjutnya perbincangan lebih terfokus antara Tante Puki dan Bu Ningnung, sedangkan aku dan Pak Lurah hanya menyimak sambil menikmati rokok masing-masing. Kedua wanita itu mulai mendaftar orang-orang yang bisa dilibatkan, dan juga daftar menu yang kira-kira mereka sanggupi. Radarku mulai bekerja begitu mendengar ada banyak nama ibu-ibu yang mereka sebutkan, semoga mereka bukanlah mbok-mbok yang sudah keriput.
“Kalau menghubungi mereka, nanti bapak bantu.” potong Pak Lurah.
Fix.. mereka bukan mbok-mbok semua, antusias Lurah Cintung sudah menjadi jawabnya.
“Ah Pak Lurah ini.. Bapak tidak usah repot-repot, biar saya saja dan Yaning saja yang menemui mereka.” sahut Bu Ningnung. Jawaban gesitnnya semakin meneguhkan keyakinan dan dugaanku.
“Asalamuaiakum. Bu… Bu Ningnung… Bapak ada di sini?” obrolan kami terputus.
Aku dan Bu Ningnung tersenyum penuh arti mendengar salam itu, drama sebentar lagi akan terjadi. Nampak Pak Lurah mulai pucat mendengar suara salam dan langkah istrinya yang mendekat.
BERSAMBUNG
0 Komentar