Cincin dari masa lalu part 44

 

BAB 44

Akhirnya… setelah semuanya bersalaman dan saling memperkenalkan diri, acara makan pun semakin meriah karena kehadiran mereka. Kini aku mengerti, mengapa tempat duduk kami kelebihan empat kursi kosong. Ternyata semuanya ini sudah direncanakan dan dipersiapkan. Rasa haru pun semakin melingkupi.

karena kehadiran Nur. Aku betul-betul salah tingkah karena kehadiran gadis ini. Ini adalah untuk pertama kalinya bagiku, Nur, Maya, dan Callista saling bertemu secara bersamaan. Nur sebetulnya bersikap biasa saja, tapi tetap saja aku tidak enak hati kepadanya, juga pada Maya dan Callista.

Perubahan besar terjadi pada Callista. Ia tidak lagi bersikap manja. Mungkin ia jaga diri karena ada Nur mahasiswanya. Hanya Maya saja yang masih manja dan sesekali menyuapiku.

Sekali-kali aku melirik Nur ketika Maya menyuapiku, senyumnya mengembang walaupun sorot matanya sulit kugambarkan.

Seusai makan, para gadis naik ke lantai dua untuk girls time, Bu Alya masuk kamar; aku, Pak Pras dan kedua sahabatku keluar untuk merokok. Kami tidak diperbolehkan untuk bantu-bantu membereskan ruang makan.

Di hadapan kami bertiga, Pak Pras menularkan jiwa bisnisnya. Ia banyak mengajari kami, dan memberi banyak masukan tentang rencana bisnis yang akan kami jalankan. Memang kami cukup kesulitan karena kami bertiga ada di kota, tapi berkat Pak Pras kami jadi punya ide-ide baru. Para pemuda yang masih ada di kampung adalah solusi yang akan kami beri pelatihan.

Bahkan Pak Pras menawarkan untuk memberi pinjaman modal, tapi kami tolak. Bukannya tidak butuh, tapi kami ingin usaha kami benar-benar dimulai dari nol. Yang kami butuhkan saat ini adalah skill dan jaringan. Untuk modal, kami sudah punya kopi dan luwak di hutan

Tak terasa, malam semakin larut, tapi kami belum ada keinginan untuk bubar. Kami terlalu antusias mendengarkan pengalaman-pengalaman Pak Pras dan juga berbagai ide dan masukannya. Adalah kehadiran Callista yang membuat obrolan kami terhenti.

“Wa, kamu dipanggil mamah.” ujarnya.

“Eh.. iyah.. ada apa ya?”

“Tahuu..!! Ayo!!”

Ia menarik tanganku. Aku pun mengangguk pada Pak Pras dan membuntuti Callista. Tapi setibanya di dalam, tidak ada siapa-siapa, hanya samar-samar suara Maya dan kedua temanku dari lantai atas.

“Mamahnya di mana, Calls.”

“Di kamar.”

“Eh..?? Lalu??”

“Dari tadi ah eh ah eh mulu, dasar gak peka!”

“Callista merengut.”

Aku menarik nafas panjang. Kini aku tahu kalau gadis ini telah berbohong.

“Dosen kok berbohong?” godaku ketika kutahu bahwa ia ingin berdua denganku.

“Biarin!!” ia merengut.

Lalu Callista menarikku menuju ke taman kecil tempat aku sembunyi di awal kedatanganku ke rumah ini. Dan…

Hmmmmmffff!!!

Callista tiba-tiba memelukku.

“Hiks.. hiks…” ia tersedu.

“Calls, kamu kenapa?”

Bukannya menjawab, ia malah semakin menangis. Kubalas pelukannya, rasa sayang ini datang, kasih ini menghampiri. Tiba-tiba aku merasa sakit melihat Callista bersedih seperti ini, aku terluka melihat manjanya yang seketika hilang. Kuelus rambutnya yang wangi, dan kukecup tipis kepalanya.

“Calls, please jangan seperti ini. Aku tak ingin kamu sedih.” gumamku

“Hiks.. hiks…”

Kudorong bahunya dan kuangkat dagunya. Hati ini rasanya tersayat melihat Callista bercucuran air mata. Tak ada galak dan judes, tak ada rajuk dan manja, yang ia punya hanyalah lara.

“Boleh aku lihat?” tanyaku.

“Hiks hiks.. maksudmu? Kamu mau lihat apa?”




Tanpa menjawab, kuulurkan tanganku dan kutarik tali kalung pada lehernya.




“Eh..!!” ia menggenggam pergelangan tanganku seakan mau mencegah agar aku tidak mengeluarkan kalungnya. Air matanya masih mengalir.




Aku memberinya seulas senyum untuk meyakinkan gadis ini. Kulanjutkan menarik tali kalungnya ketika genggaman Callista kembali mengendur.




Cliiing!!!




Bandulnya mengkilap terkena sinar lampu. Dadaku sesak… air mataku tiba-tiba mengembang. Sebuah cincin menggantung pada tali ini. Dan aku langsung tahu kalau Callista bukanlah gadis ritualku.




Semua tanya, semua misteri, semua kebingungan mulai terurai. Kalung ini persis seperti yang kupunya, hanya beda ukurannya saja. Hatiku seakan memberi tahu bahwa cincin ini milik seseorang yang sangat kukagumi, Rahadian Senja Prakasa.




Aku tersedak rasa haru. Aku telah menemukan pemilik pasangan cincinku, tapi di saat yang sama wajah Maya melintas membuatku merasa gamang.




“Kamu tahu tentang kisah cincin ini, Wa? Hiks hiks..” Callista tersedu.


“Aku akan menunggu sampai kamu siap menceritakannya.” kataku sambil memasukan kembali cincin itu melalui kerah kaosnya.


“Tapi aku tahu sumber cincin ini, dan suatu saat, aku akan menunjukkan misteri yang ada di baliknya.” kataku lagi.




Tanpa sungkan kuraih wajahnya, dan kuusap air matanya. Kukabarkan rasa sayang melalui sentuhan-sentuhan ini.




“Aku tidak mengerti.” lirihnya.


“Belum saatnya.” jawabku.


“Kamu jangan sedih, aku tidak kuat melihatmu seperti ini.” ucapku lagi sambil merunduk dan mencium keningnya.




Gadis ini memejamkan mata tanpa menolak sedikit pun. Kukecup lama sambil ikut memejamkan mata, maka genangan air mataku langsung meleleh.




Ingin rasanya aku menyampaikan kebenaran tentang cincin ini. Ingin aku menyampaikan bahwa aku mempunyai pasangannya. Ingin pula aku mengungkapkan perasaan-perasaan gundahku ketika aku sedang bersamanya; yang ternyata adalah perasaan cinta dan sayang. Tapi aku tidak mau terburu. Masih ada Maya. Aku masih harus berbicara lagi dengannya. Aku tetap sayang dia, sebagaimana ia masih menyayangiku.




Masih juga ada ritual yang harus kuselesaikan tanpa tahu dengan siapa, dan aku tidak yakin kalau Callista mau menerima semuanya itu. Aku tidak mau melakukan ritual dengan status punya seorang kekasih. Biar aku menyelesaikan ritualku, dan semoga kelak aku dan Callista bisa saling memiliki. Kalau pun tidak, setidaknya aku tahu bahwa aku telah mencintainya.




“Heii..” gumamku sambil mengamati muka murungnya.


“Ayo senyum.”




Callista menggeleng, meski tak lagi menangis.




“Jelek tahu kalau sedih gitu.”


“Biarin..” manjanya mulai kembali.


“Aku boleh menyampaikan sesuatu gak?” ujarku sambil mengusapi pelipisnya.


“Apah?”


“Cara menyembuhkan luka adalah dengan berani melihat dan tak takut membersihkannya. Cara melupakan pahitnya masa lalu adalah dengan cara mengingatnya. Pasti sakit.. pasti perih.. tapi ingatlah dan temukan maknanya di sana. Aku siap menjadi orang yang menjadi pendengar bagi kisah itu. Ceritalah..!!”




Callista menghela nafas panjang sambil menggeleng. Rasa sedih dan penolakannya untuk mengingat masa lalu, membuat ia lupa untuk menanyakan dari mana aku tahu kisah hidupnya berkaitan dengan cincin ini.




“Pasti akan ada orang yang bisa menggantikan pemuda itu, Calls.” ujarku.


“Gak mauuuuu!!! Kecuali…”


“Kecuali?”


“Nggak jadi!!” jawabnya, tapi jarinya malah menunjuk-nunjuk dadaku seolah mengatakan “pemuda itu adalah kamu.” Sebuah sikap bawah sadar, yang membuatku semakin yakin bahwa ia memang mulai -atau bahkan sudah- mencintaiku.




Kembali kuraih kepalanya dan kubenamkan pada dadaku. Kami pun berpelukan kembali. Tangannya terasa erat melingkari pinggangku.




“Terima kasih untuk semua hal indah yang sudah kalian persiapkan di hari ulang tahunku. Aku tidak akan pernah melupakannya. Aku bahagia.. tapi kebahagiaanku baru akan sempurna kalau kamu juga bahagia.”


“Wawaaa.. Hiks hiks…”


“Kok nangis lagi?”


“Kamu jangan ngomong gitu. Susah tahuuu…!! Hiks…”


“Buktinya tadi kamu bisa tertawa lepas. Kamu pasti bisa. Aku akan selalu ada untukmu.”


“Janji?”


“Iyah.”




Callista mendongak. Matanya yang sendu menatapku dengan wajah yang berdekatan.




Tatapan mata kami semakin dalam dan wajah kami semakin dekat, nafasnya yang tersengal menerpa wajahku. Dahinya mengernyit dan bibirnya sedikit bergetar. Kutatap lebih dalam untuk mencari kesiapan gadis ini sekaligus meminta ijin. Begitu matanya semakin redup dan bibirnya sedikit bergetar membuka, aku sudah tahu kalau ia begitu pasrah.




Cuuuuuuppp!!!




Kukecup lembut bibir indahnya. Lembut kurasakan meski tanpa balasan. Tiba-tiba tubuhnya luruh bagai tanpa tenaga, nafasnya tersengal. Segera kuraih pinggang dan bahunya agar ia tidak terjatuh.




Aku mengerutkan dahi karena heran atas perubahan bahasa tubuhnya. Kucoba menyangga tubuh Callista dan menahannya dengan pelukan erat.




“Jahaaat.” lirihnya, tapi tanpa kemarahan.


“Aku belum pernah ciuman tahu.”




Ia langsung menyembunyikan wajahnya pada dadaku, nafasnya masih tersengal, lututnya sedikit bergetar, meski ia sudah bisa menopang tubuhnya sendiri.




Aku terhenyak sesaat. Gadis seusia Callista belum pernah ciuman bibir, lalu dulu pacaran ngapain aja…?? Bahagia dan haru menjadi satu.




“Kamu sudah melakukan sesuatu yang selama ini kujaga, harusnya kamu tidak boleh seperti ini.” lirihnya. Ucapannya berupa protes, tapi nadanya sama sekali tak menunjukkan penyesalan.


“Kenapa? Karena merasa bersalah pada Maya?”


“Aku sangat sayang adikku. Aku tidak akan merebut kebahagiaannya.”


“Tapi kamu tidak bisa mengkhianati perasaanmu.”


“Iyaah.”




Sebuah jawaban polos. Callista seakan tidak sadar kalau ia sudah meng-iya-kan perasaannya sendiri. Usianya sudah lewat 24 tahun tapi masih begitu polos dalam urusan percintaan.




“Setelah purnama ketujuh, aku akan datang untuk melakukannya lagi. Dan pada saat itu, kamu tidak akan merasa telah mengkhianati Maya.”




Callista langsung melepaskan pelukan dan menatapku tajam.




“Aku tidak mengerti.”


“Tidak perlu dimengerti sekarang. Apakah kamu mau menungguku?”


“Mauuu..”


“Jaga ini untuk aku.” ucapku sambil mengusap tepi bibirnya, yang dijawab anggukan polosnya.


“Tapi ada syaratnya.” ucapku sambil mencolek hidungnya.


“Apah?”


“Setelah purnama ketujuh, kamu harus menceritakan semua kisah masa lalumu sambil tersenyum.”


“Uuuuh… syaratnya susaaaaah.” ia memanyunkan bibirnya.


“Mau nggaaaak?”


“Bantu aku.”


“Kan aku udah bilang kalau aku akan selalu ada untukmu.”




Cuuuup!!!




Ia mencium pipiku.




Kami berpelukan sekali lagi dengan sangat erat. Sepintas aku melihat bayangan putih yang berkelebat di ruang tengah. Tanpa Callista tahu, aku tersenyum. Sejak ritual kedua, ia memang semakin sering menampakkan diri meski kami tidak pernah saling berinteraksi atau berhadapan langsung.




“Kamu adalah hadiah ulang tahunku yang paling indah, meski aku belum bisa memilikimu.”


“Dan kamu adalah mahasiswaku yang paling jelek dan nyebelin karena…”


“Karena?”


“Telah mencuri hatiku.”




[POV Maya: Aku hanya bisa menangis melihat Sirna dan kakakku berpelukan. Kuurungkan langkahku, dan berbalik kembali ke atas. Bukan ke kamarku tempat Lia dan Nur berada, tapi menuju balkon. Aku langsung terduduk sambil memeluk lutut agar tidak terlihat oleh papah, juga oleh Rad dan Rayxy yang masih duduk di taman. Air mataku mengalir dan kuredam sebisa mungkin agar tangisku tidak meledak, hatiku menjerit dan luka ini kurasakan teramat dalam.]




Butuh waktu untuk merayu Callista agar ia mau melepaskan pelukannya dan meninggalkan tempat ini. Hari sudah semakin larut malam, dan aku tidak enak karena terlalu lama meninggalkan Pak Pras dan kedua sahabatku di taman belakang. Gadis ini akhirnya mau melepaskan diri setelah aku berjanji untuk menemaninya makan siang esok hari. Kami berdua memasuki rumah sambil bergandengan tangan. Aku melangkah ke arah pintu taman, sedangkan Callista menuju kamar orangtuanya.




“Mau ketemu, mamah.” ujarnya.




Begitu melewati tangga, seakan ada bisikan yang menyuruhku naik ke lantai dua. Perlahan aku menapaki anak tangga. Kudengar Nur dan Lia sedang ngobrol di dalam kamar Maya, sedangkan sang pemilik kamar tidak terdengar suaranya.




Seakan ada yang menuntunku, aku pun melangkah menuju balkon. Kalau tadi hatiku bagai tersayat karena melihat tangisan dan kesedihan Callista, kini aku merasa sesak dan perih karena melihat adiknya. Perlahan aku menghampirinya, sambil mengepalkan tangan untuk menahan kesedihan ini.




“Heiii.” ucapku sambil duduk di sebelahnya. Maya mendongak sambil segukan, air matanya begitu deras.


“Kamu kenapa, May? Siniih..!!”




Gadis ini tidak menjawab melainkan langsung memelukku. Tubuhnya terguncang karena menumpahkan kesedihan.




“Kamu melihat aku dan Callista di bawah?” aku mencoba menebak, dan aku pun tidak ingin membohonginya. Cepat atau lambat aku akan menyampaikan kalau aku dan Callista sudah berpelukan.




Maya tidak menjawab. Ia malah semakin membenangkan wajahnya di balik dadaku untuk meredam suara tangisan. Kubiarkan ia menumpahkan semua kesedihan dan beban yang ia rasakan, tanpa ia tahu, aku pun meneteskan air mataku. Aku terluka karena telah melukainya; aku sakit karena telah menyakitinya. Aku telah gagal membahagiakan orang yang sangat kusayangi, meskipun aku semakin tahu arti dari rasa sayang ini.




Kuusap air mataku agar tidak diketahui oleh Maya. Lalu kuangkat wajahnya saat pelukannya mulai mengendur dan isaknya berkurang.




Wajah kami berhadapan dekat, dan mata kami saling menatap. Kuusap pipinya yang basah. Ia malah memiringkan wajahnya agar telapak tanganku semakin menempel. Kukecup keningnya dengan lembut, lalu kulanjutkan mengeringkan wajahnya dengan jemariku.




“Aku ikhlas, Wa. Hiks hiks…”


“Maksudmu ikhlas, May?”


“Aku ikhlas kalau kamu mencintai Kak Calls.”


“Maaay!!!!”


“Gak usah pake galak juga kali, Wa.”


“Maaf. Kamu dengar dulu penjelasanku.”


“Aku juga ikhlas” potongnya


“… seandainya aku menjadi gadis ritualmu.”




Hatiku bagai teriris mendengar ucapan Maya, tapi yang meluap adalah rasa kesal dan marah. Andai saja Maya tidak sedang dalam situasi terpuruk seperti ini, mungkin aku sudah mengomelinya.




"Gak usah bahas tentang ritual itu lagi yah. Aku mohon.” ujarku sambil menyembunyikan rasa gundahku.




Maya kembali memelukku, “Aku sayang kamu, Wa. Sangat sayang… Aku belum bisa menerima bahwa kita bukan sepasang kekasih lagi hiks.. hiks…”




“Aku juga sayang kamu. Kamu tahu itu. Tapi kita sudah sepakat untuk menjalani hidup kita masing-masing sampai kita menemukan jalan hidup dan cinta kita.”


“…”


“Sudah yah.. kamu jangan sedih begini, aku sakit melihatnya.”


“…”


“Ini ulang tahunku loh. Kamu yang sudah membahagiakanku dengan membuat kejutan, jangan kamu rusak lagi oleh sikapmu sendiri yang seperti ini.” aku mencoba merayunya.


“Hiks.. hiks.. kamu nyebelin. Aaaarrrhhhh…” Maya memukuli dadaku pelan.




Kubiarkan ia meluapkan segala emosi-emosinya sambil mengelusi rambutnya. Maya mulai diam dan tenang ketika aku mengecup ubun-ubunnya cukup lama. Pelukannya terasa semakin erat.




[POV Nur: Gadis mana yang tidak terluka ketika melihat pemuda yang disayanginya sedang berpelukan dengan gadis lain? Itulah yang kurasakan. Bahkan luka ini terasa teramat dalam. Aku bahagia dan punya harapan ketika mendengar bahwa Sirna dan Maya sudah putus. Tapi yang kudengar dan kulihat sangat berbeda. Sakit.. teramat sakit hati ini. Bahkan menangis pun aku tidak bisa, mengeluarkan air mata saja aku sudah tidak mampu. Sakit hati dan cemburuku tidak bisa lagi digambarkan oleh isak tangis dan air mata. Kuurungkan niatku untuk mencari Maya dan berpamitan. Aku hanya bisa berlari ke dalam kamar dan memeluk Lia.]








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar