Cincin dari masa lalu part 35

 

BAB 35

TERSINGKAPNYA SEBUAH MISTERI

Malam semakin larut dan jalanan serta gang sudah sepi pertanda para warga sudah terlelap di bawah balutan selimut masing-masing, pun pula para penghuni kostan. Tapi tidak dengan aku dan kedua sahabatku. Pertemuan dan kebersamaan ini membuat kami seakan tak mengenal rasa kantuk. Ray tiba-tiba datang ke Bandung karena diterima kerja di FaF setelah setahun lebih bekerja di Bogor. Tadi sore aku sudah berbicara panjang lebar dengan Bu Ratih, dan ia setuju kalau Ray bisa ngekos di sini. Tapi karena kamar sudah penuh, maka diputuskan kalau ia akan menempati kamarku, sedangkan aku akan pindah ke bagian belakang rumah induk dengan menyulap sebuah gudang dekat dapur menjadi kamar tidur. Meski ruangan itu menyatu dengan rumah induk tapi tetap tidak punya akses ke dalam karena pintu gudang menghadap ke luar. Memang lebih luas walaupun tempatnya di belakang dan jauh dari kamar-kamar lain.

Sejak kejadian kemarin malam dengan Bu Ratih, aku mendapat perlakuan istimewa dengan boleh menempati ruangan itu. Pikiran melayang pada kejadian tadi sore...

Tadi sore sebelum berangkat jualan….

Kupandang Nur yang menenteng handuk dan baju ganti dengan wajah cemberut. Ia masih ngambek mendengar ceritaku bahwa aku pergi makan dengan Bu Callista, walau ia sendiri tidak menjelaskan alasan di balik kekesalannya. Meski begitu, ia tidak benar-benar marah dan menghindariku seperti dahulu; sikapnya lebih pada merajuk untuk meminta perhatian lebih.

Ia malah bersemangat ketika mendengar Bu Ratih memintaku untuk pindah kamar dan menempati ruangan bekas gudang di belakang. Tentu saja masih butuh waktu sekitar seminggu untuk bisa menempatinya, karena masih perlu dikosongkan dan dicat ulang. Sementara ini, biar Ray berbagi kamar denganku atau dengan Rad.

Setelah tubuh Nur menghilang ke belakang dan terdengar suara keran yang dikocorkan, aku dan Bu Ratih saling pandang dengan sorot mata yang berbeda. Tatapannya penuh kasih sayang dan berbinar penuh godaan. Bagi Bu Ratih, kejadian semalam seakan bukanlah sebuah kesalahan, padahal aku sudah ketakutan kalau ia akan berubah dan berbalik memusuhiku. Sementara di pihakku, melalui sorot mataku, kusampaikan rasa bingung dan sesal yang teramat dalam. Aku tak menampik kenikmatan itu, dan ada keinginan untuk mengulanginya. Tapi tetap saja nuraniku bekerja; aku merasa telah mencurangi suaminya, juga Nur yang telah begitu baik padaku. Di samping itu, pergumulanku semalam membuatku semakin ragu untuk mengejar dan mendapatkan kembali cinta Maya.

Bu Ratih seakan mengerti pergumulan batin yang sedang kurasakan. Ia pindah duduk ke sampingku dan menggenggam tanganku. Lagi.. bagai terhipnotis, aku malah membalas remasan tangannya sambil membalas tatapan sayunya.

“Ini bukan tentang benar atau salah, Wa; bukan pula tentang pengkhianatan atau dosa.” ucapnya lirih. “Tapi tentang sesuatu dari masa lalu.”

“Sebenarnya aku tidak mengerti, bu. Semuanya terjadi begitu saja, dan ibu seakan sudah menyiapkan semuanya, tanpa pernah memberitahuku.” jawabku, entah mengeluh atau protes.

“Maafkan ibu kalau telah membuatmu bingung atas sikap ibu selama ini, dan juga atas kejadian semalam. Ibu hanya butuh waktu untuk meyakinkan bahwa pemuda yang dimaksud adalah kamu.”

“Ini sebenarnya ada apa, bu? Dan bagaimana ibu bisa tahu kalau aku adalah pemuda itu? Aku ini siapa?”

Bukannya menjawab, Bu Ratih malah tersenyum penuh kesabaran. Sorot matanya berubah keibuan.

“Bu?” aku mendesaknya.

Bu Ratih mengusapi rambut panjangku dan memulai bercerita, “Semuanya berawal dari seorang tamu yang datang ke rumah ibu, namanya Cintung…”

Aku cukup terkejut mendengar nama itu. Bu Ratih pun menuturkan bahwa Cintung datang menyampaikan sebuah misi untuk melanjutkan tradisi leluhur kampungnya.

“Ia bilang,” ujar Bu Ratih, “Akan datang seorang pemuda ke kostan ibu, dan ibu harus bisa mengajaknya tidur pada saat purnama untuk membangkitkan sang legenda yang telah lama menghilang. Waktu itu, ibu sangat kaget mendengarnya, bagaimana mungkin seorang wanita bersuami seperti ibu harus tidur dengan lelaki lain. Tapi anehnya…”

Bu Ratih menarik nafas sebentar sambil memerhatikan ekspresiku yang keheranan, “Ibu tidak bisa menolaknya. Ibu malah merasa bangga bisa menjadi salah satu wanita terpilih dari misi Cintung.”

“Salah satu?” gumamku tanpa sadar, pikiranku melayang pada Ceu Ningrum.

“Iya, Wa. Ibu hanya salah satu dari tiga wanita yang Cintung pilih. Yang terakhir, ibu sendiri tidak tahu. Tapi menurut penuturan Cintung, ada tiga wanita yang harus kamu tiduri saat bulan purnama, yaitu seorang gadis perawan, wanita hamil, dan wanita menyusui. Ibu masuk kategori yang ketiga.”

Duaaaarrr!!!

Aku hanya bisa diam sediam-diamnya tanpa bisa berkata apapun, bahkan menggerakkan tubuh saja seolah tidak bisa. Melihat reaksiku, Bu Ratih memindahkan tangannya yang sedang mengelus rambutku, berpindah pada kedua pipiku bergantian. Sikap lembutnya membuat kesadaranku pulang dan bisa kembali mengungkapkan rasa penasaranku.

“Tapi semuanya ini untuk apa, bu? Dan siapa sang legenda itu?”

“Kamu harusnya tahu, Wa.” jawab Bu Ratih sambil tersenyum.

“Untuk apanya ibu tidak bisa menjelaskan, tapi sang legenda itu adalah Sawaka.”

Jegeeeer!!!!




Sebuah nama yang ada dan tiadanya sering menjadi buah bibir di kampungku kini diucapkan oleh Bu Ratih. Nama itu memang menjadi legenda di kampung Sawer, dan menjadi semacam pelindung kampung itu. Orang-orang percaya bahwa almarhum Senja adalah titisan sekaligus penguasa atas makhluk itu, walaupun tidak ada satu orang pun yang tahu kebenarannya atau bisa membuktikannya. Orang Sawer sendiri pun tidak.




“Jadi makhluk itu memang ada, ya bu?”




Bu Ratih mengangguk.




“Lalu kenapa Cintung memilih ibu? Secara ibu kan tidak berasal dari Sawer atau sekitarnya.” aku makin penasaran.


“Karena ibu pernah ke sana. Nur juga ikut dengan ibu waktu itu, karena kebetulan ia lagi libur sekolah.”




Aku terbelalak mendengarnya.




“Kematian Senja dan Sae bukan hanya menghebohkan Sawer dan sekitarnya, Wa. Tapi juga menjadi bahan berita di media lokal dan bahkan pernah dimuat pada koran nasional. Mengapa? Karena pada waktu itu Sawer sudah mulai menjadi destinasi wisata yang menjadi buah bibir di media sosial. Kopinya juga sangat terkenal dan disukai banyak orang. Kedua, Senja adalah anggota keluarga dari pemilik perusahaan besar, kalau gak salah Pino alla Pine, yang pabriknya sangat besar di daerah Banjar.”


“…” sambil mengamini cerita Bu Ratih walaupun pun ia salah mengucapkan.


"Nah, waktu itu ibu merasa penasaran untuk main ke sana, sekalian refreshing karena ibu sedang punya masalah keluarga, khususnya dengan suami.” wajah Bu Ratih berubah sedih, tapi ia seperti tidak mau menceritakannya padaku sehingga aku hanya menduga-duga sesuai informasi yang pernah disampaikan Nur.


“Jadi menurut penuturan Cintung, para wanita yang dipilih adalah mereka yang tahu tentang riwayat Sawer dan pernah ziarah ke sana. Tentu saja ada syaratnya untuk bisa dipilih, dan ibu sendiri tidak tahu kenapa bisa terpilih.”




Aku mengernyit sebentar, sambil mengingat Ceu Ningrum. Setahuku ia tidak pernah ke Sawer walaupun ia sangat menginginkannya. "Tapi kenapa ia juga didatangi dan dipilih cintung?" Aku membatin. “Mungkin karena ia sudah banyak tahu dari buku dan internet dan ia pernah memintaku untuk mengajaknya ke sana.”aku membatin lagi.




“Lalu yang dua wanita lagi siapa, bu?” aku berusaha menutupi perselingkuhanku dengan Ceu Ningrum.


“Hiihiiii… dasar…” Bu Ratih malah tertawa mendengar pertanyaanku.


“Bu? Kok malah tertawa sih?”


“Hahaha.. ya abisnya kamu malah pura-pura. Kamu pikir ibu tidak tahu?”




Drrrrttt…!! Drrrrttt…!!




Kali ini aku bukan seperti tersambar petir tapi bagai terkejut karena kesetrum. Bu Ratih ternyata sudah tahu hubunganku dengan Ceu Ningrum.




“Cintung sudah memberitahu ibu. Lagian.. kami yang terpilih, sejauh sudah menjalankan ritual saat purnama, pasti punya ikatan batin dan akan saling mencari.” Bu Ratih menjelaskan untuk menghilangkan rasa kaget dan maluku.


“Kamu jahat.. jadi selama ini ibu adalah orang yang kedua.” godanya sambil mengucek-ucek rambutku, sedangkan aku hanya bisa tersenyum kecut.


“Yang ketiga siapa, bu?” aku kembali pada rasa penasaranku.


“Kalau itu ibu sendiri tidak tahu, Wa. Kan ibu udah bilang, kami baru bisa saling memiliki ikatan batin kalau kami sudah melakukan ritual denganmu.”




Tiba-tiba aku tersentak karena menyadari sesuatu, ingatan ini sekaligus menimbulkan niat jahil untuk menggoda wanita ini.




“Begini, bu, para wanita dan gadis itu kan syaratnya sudah pernah ke Sawer atau setidaknya tahu tentang Sawer dan punya niat kuat untuk datang ke sana. Nah.. sekarang kan tinggal satu lagi nih bu.. perawan dan sudah pernah ke sana.. siapa lagi kalau bukan… bukaaan…”


“Wadaaaaauuuu. Sakit bu.” ucapanku berubah teriakan pelan saat Bu Ratih tiba-tiba mencubit pinggangku sambil mendengus kesal.


“Awas kamu!!” hardiknya.


“Yeee.. siapa tahu.. iyah.. iyah ampun, bu.” aku membatalkan kalimatku dan mengelak saat ia mau mencubitku untuk kedua kalinya.




Kudengar suara keran di kamar mandi sudah dimatikan, pertanda Nur sudah selesai mandi. Tidak banyak waktu lagi, maka kusampaikan sisa rasa penasaranku, dan itu adalah pertanyaan yang sangat penting karena menyangkut dengan diriku.




“Lalu kenapa pemuda yang dipilih Sawaka adalah aku, bu?”


“Karena kamu punya cincin itu.”




Tidak ada suara petir, tidak ada kejatan karena kesetrum, yang ada aku hanya bisa melongo. Sebuah jawaban yang sangat tidak kuduga sama sekali. Dan kenapa pula gara-gara cincin ini.




Aku hanya bengong melihat Bu Ratih yang berdiri dan pindah ke tempat duduknya semula untuk jaga-jaga kalau Nur tiba-tiba keluar dari kamar mandi. Ucapnya, “Jangan kamu sia-siakan pengorbanan ibu, dan juga Ningrum, yang telah melakukan hubungan badan di belakang suami kami masing-masing, kamu lanjutkan dan selesaikan misi ini. Ini bukan hanya masalah membangkitkan sang legenda, tapi ada tugas lebih penting yang harus kamu lakukan, dan kamu membutuhkan bantuannya.”




“Bu?”


“Ibu hanya menjalankan tugas, dan tugas kami berdua sudah selesai. Selebihnya kamu harus mencari salah seorang anggota keluarga Sawer di RSP yang akan membimbingmu pada ritual ketiga. Ritual ketiga lebih sulit karena selain harus menemukan gadis itu, kamu juga harus melakukan ritualnya di Sawer, bukan seperti yang kamu lakukan dengan ibu atau Ningrum.”


“Aku sudah ke RSP, bu. Tapi tidak ada petunjuk atau orang yang menjelaskan maksud dari semuanya ini.”


“Kamu ketemu siapa?”


“Ariya.”


“Mungkin bukan dia yang dimaksud.”


“Lalu siapa, bu?”


“Ibu sendiri tidak tahu. Kamu coba lagi sampai menemukan orang yang dimaksud.”


“Atau orang yang dimaksud adalah Bu Mae? Secara ia memintaku untuk menemuinya lagi.”


“Cintung sendiri ada di mana, bu?”


“Bukankah tadi malam ia datang saat kita bergumul di kamar.”


“Mmmaksud ibu? Tapi aku tidak melihatnya.”


“Kamu pasti melihat dia.”




Cekleeek!!!




Terdengar suara pintu kamar mandi dibuka. Bu Ratih pun mengalihkan pembicaraan bersamaan dengan munculnya Nur dari belakang, “Yasudah, Wa, ibu pikir semuanya sudah beres. Besok ibu akan manggil tukang untuk menyiapkan kamarmu. Tambahannya paling hanya mengganti pintu dan membobol tembok untuk bikin jendela.”




“Iya, bu. Terima kasih.”






Sekarang…






“Woooo!!!”


“Heeeii.. munyuk!!!”




Plaaaak!!!




Aku meringis saat ada yang menggeplak kepalaku.




“Si kampret.. malah bengong.” Ray memakiku yang rupanya sejak tadi malah melamun.


“Hehehe.. sorry.. aku…”


“Halah palingan mikir mesum lagi.” potong Rad sambil membuang abu rokok pada asbak.


“Bukan gitu, Rad, tapi…”


“Kamu masih inget dia, Wa?” Ray memotongku. Tebakannya mengapa aku melamun tidaklah benar, tapi pertanyaannya sendiri tidak salah dan jawabannya boleh dibilang benar juga.




Aku hanya mendesah sambil mencatut sebatang rokok dan menyulutnya.




“Sulit, Ray.” gumamku. Kuhisap rokokku terlebih dahulu, lalu lanjutku, “Untuk melupakan tidak bisa, Ray, tapi setidaknya sekarang sudah tidak sesakit dulu saat mengingat semua peristiwa itu.”


“Idem.” gumam pendek Ray.




Beberapa saat lamanya kami kembali saling diam sambil memainkan asap rokok masing-masing.




“Alasanku kerja ke Bogor sebetulnya untuk bisa melupakan semua kenangan tentang satu-satunya adik kesayangaku. Tapi sulit.. sampai akhirnya aku mencari pelampiasan dan mencari kesenangan dengan gonta-ganti pacar. Aku salah, Wa, semakin aku menyakiti hati cewek, aku malah semakin ingat adikku.”




Ray menampakan karakter aslinya yang sangat baik dan penuh kasih sayang kepada adiknya, dan juga kepada lawan jenis. Orang yang tidak mengenalnya hanya akan mencap bahwa seorang Rayxy adalah pemuda mesum, padahal di balik itu semua ada hal yang ingin ia kubur dan ia buang jauh-jauh.




Tanpa aku dan Rad minta, Ray pun menceritakan pengalamannya selama di Bogor. Sudah tiga kali ia pacaran namun selalu gagal. Alam bawah sadarnya selalu membuat Ray memperlakukan pacar-pacarnya sebagai adik daripada sebagai pacar. Ray tidak memungkiri bahwa ia juga pernah meniduri pacar terakhirnya, yaitu yang tadi pagi datang dan mendapratnya. Nama gadis itu adalah Syamida.




Betul kata Ray tadi pagi, dalam 1 x 24 jam ia akan kembali. Buktinya, baru juga beberapa jam, tepatnya tadi siang, Syamida datang dan mau diajak pergi makan bersama Rad dan Lia. Hubungan mereka memang putus nyambung, dan entah mengapa setiap pertengkaran besar selalu selesai dengan sendirinya.




Di antara kami bertiga, hanya Rad yang paling lurus hidupnya, dan tidak pernah aneh-aneh dalam menjalin relasi. Bahkan selama aku di Cimahi, aku tidak pernah melihat Rad dan Lia bertengkar.




Maka kepada Ray kuceritakan juga perjalanan hidupku selama setahun terakhir di kampung, juga setelah beberapa bulan di Cimahi ini. Atas permintaanku, Rad menceritakan kepada Ray tentang hubunganku dengan Maya yang harus kandas di tengah jalan, termasuk dua alasan penyebabnya, yaitu Ariya dan perselingkuhanku dengan Ceu Ningrum. Rad belum tahu tentang perselingkuhanku dengan Bu Ratih; dan aku masih memilih untuk merahasiakannya dari mereka berdua.




Keberhasilan, kegagalan, sakit yang aku dan Ray rasakan karena kehilangan orang yang sama, kegilaan dengan perempuan, kecewa serta sesal, juga kenangan akan keseruan persahabatan selama di kampung, dan banyak hal lagi… menjadi topik obrolan-obrolan kami. Banyak cerita yang kami bagikan tanpa penghakiman, malah sebaliknya terasa saling meneguhkan untuk melangkah lebih baik ke depan.




Sementara tersembunyi di dalam hatiku, aku merasa bahagia dengan bekerjanya Ray di FaF, meskipun hanya sebagai office boy. Kalau memang yang dikatakan Bu Ratih adalah benar adanya, dan aku harus membangkitkan Sawaka demi sebuah misi, Ray bisa menjadi orang yang bisa kujadikan sumber informasi tentang keadaan FaF dan keluarga sawer.




“Rad..” kataku pada Rad.


“Ray..” sambil melirik ke arahnya.


“Kita punya tetangga kampung yang hebat dan kita bisa merasakan efek positifnya, warga kampung kita terbawa hidup sejahtera. Tapi menurutku, kita masih bisa menjadi generasi yang bisa membangun kampung kita sendiri agar bisa seperti Sawer.”


“Maksudmu, Wa?” tanya Rad.


“Sawer maju karena kopi dan kegigihan para pemudanya kala itu. Kita juga bisa membangun Ewer dengan meningkatkan produksi kopi warga kita.” kusampaikan ideku.


“Aku setuju dengan idemu.” jawab Rad. “Tapi usaha kopi warga Ewer kan juga sudah berjalan baik sejak adanya KUD.”


“Iya, Wa, jangan kopi.” sahut Ray.


“Lalu?”


“Kita mulai dengan apa yang kita punya, dan dari apa yang warga butuhkan.” Rad mencoba mencari solusi.




Tik tok tik tok!!




“Susu.” Ray mencoba menyampaikan gagasannya.


“Hah??” aku dan Rad bersamaan.


“Ya usaha susu perah.”


“Gilaaa.. emangnya harga sapi murah!! Lagian di desa kita gak ada yang pernah usaha itu, dan proses pengolahannya susah.”


“Otakmu memang gak jauh-jauh dari susu.” gerutu Rad membuat kami tergelak.




Antara serius dan bercanda, berbagai ide pun kami munculkan, tapi akhirnya tidak satu pun yang bisa menjadi kesepakatan. Kulirik jam sudah jam tiga pagi, dan sudah berbatang rokok kami habiskan.




“Biar bagaimana pun tetap susah karena kita tidak ada di sana, kecuali kalau kita pulang kampung bareng-bareng.” Ray mulai kehabisan akal.


“Kata aku mah tetap kopi sih.” aku masih memaksakan ide awal.


“….”


“Tapi kopi luwak.” sambungku lagi.




Buuuk!!!




Rad meninju bahuku.




Pleeetaaak!!!




Ray menjitak kepalaku.




“Aaaaauu.. kalian pada kenapa sih?” Aku mengaduh kesal dan marah.


"Aing satuju!” seru Ray.


“Cocok, Wa.” ujar Rad.


"Masalah di kampung kita, dibanding sawer, adalah banyak careuh (musang, luwak) yang berkeliaran. Banyak warga yang rugi karena kopinya dimakan careuh, sehingga mereka menganggap careuh adalah hama. Apa yang dianggap merugikan, harus kita ubah menjadi menguntungkan.” Rad menjelaskan dengan antusias.


“Naah bener banget. Jadi kita malah biarkan saja seluruh kopi dihabisin oleh luwak. Hahaha…” Ray tergelak.




Maka bagi-bagi tugas pun kami lakukan. Rad akan survey tentang cara beternak luwak dan proses pengolahan kopi luwak. Aku bagian mencari koneksi dengan pengusaha kopi di Bandung, dan yang terpikirkan olehku langsung teh Rahma dan Ariya. RSP bisa menjadi solusi. Ray bagian penggembira yang hanya mengiyakan tapi tidak punya ide tambahan. Pentium otaknya turun karena efek mengantuk.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar