Cincin dari masa lalu part 36

 

BAB 36










Seusai kuliah aku dicegat Karma di “markas” bawah pohon, Kubus dan Nurdin juga ikut serta. Intinya, Karma minta maaf atas kejadian kemarin. Ia keburu dibakar cemburu saat melihat aku dan Nur bergandengan tangan, padahal Nur sedang menarikku supaya buru-buru menghadap Bu Callista… Eh Callista… Nur rupanya cukup bisa menjelaskan kepada Karma, walaupun sepertinya Nur belum sadar bahwa dia sendirilah penyebabnya. Nur belum peka bahwa Karma menyukainya, sementara dari pihak Karma ia belum berani mengungkapkan isi hatinya.




Ah.. sudahlah yang penting kami tidak berseteru, itu sudah cukup bagiku. Toh malah pukulan Karma membawa berkah bagiku, aku bisa menjadi dekat dengan seorang dosen yang dianggap killer. Dan kabar ini sudah menyebar bukan hanya di angkatanku, tapi juga di kalangan anak-anak Fakultas Ekonomi. Aku pergi semobil dengan Bu Callista telah menjadi buah bibir, dan tak sedikit yang meledekku dengan meminta jimat yang kupunya sehingga bisa dekat dengan Callista.




Aku pun pamit kepada tiga temanku karena aku sudah janji menemui Bu Mae di kantornya. Karma malah bersedia mengantar sampai Dustira untuk mencegat angkot, sedangkan Nur sudah lebih dahulu pulang karena harus jagain Lintang dan membantu Bu Ratih masak. Nanti sore ada arisan ibu-ibu RT di rumahnya.




"Thanks, Kar.” ucapku pada Karma sambil menyerahkan helm.


“Yoi.. sekali lagi aku minta maaf ya.” jawabnya.


“Lupakan saja.”




Karma pun pergi dan kembali ke kampus karena mereka berencana main billiard di Brigif. Siang-siang main billiard adalah sesuatu banget, tapi begitulah mereka.




Cuaca cukup terik, sedangkan angkot jurusan St. Hall tak kunjung datang. Kuputuskan untuk merokok sambil berteduh di bawah pohon. Namun belum juga aku menyulutnya, tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depanku. Sebuah jazz silver yang sudah kukenal. Benar saja… begitu kacanya diturunkan nampak sosok Callista sedang menyondongkan diri ke samping sambil memanggilku.




“Wa, kamu mau ke mana?”


“Eh ibu. Mau ke Bandung, bu.” jawabku.


“Oooh…” jawabnya pendek.




Bu Callista langsung menegakkan kembali duduknya, tanpa menutup kaca jendela, juga tanpa melajukan kendaraan. Aku pun mendekat, dan nampak ia sedang merengut tidak senang.




“Ibu kok pulangnya lewat sini? Kan lewat tol bisa lebih cepat, bu.”




Tak ada jawaban, ia malah melengos melihat keluar jendela di sebelah kanannya. Sikapnya membuatku heran, baru juga kemarin baik, eh sekarang sudah judes lagi. Daaammmn… aku langsung sadar sambil menepuk jidat sendiri.




“Hai Calls, udah mau pulang ya? Kok gak lewat tol?”




Benar saja.. kali ini ia menengok sambil tersenyum.




“Nyebelin! Ayo naik!”


“Tapi…”


“Naiikkk!!! Mau ke Bandung, kan?”


“Eh.. iya Calls.”




Aku pun membuka pintu dan duduk di sampingnya. Semua gerak-gerikku tak luput dari pandangan matanya.




Kaca mobil pun tertutup dan tiba-tiba…




“Uuuuh capeeek.” Callista mengeluh, lebih seperti merengek, sambil merentangkan kedua tangan sehingga hampir menyentuh wajahku.


“Emangnya ngajar berapa mata kuliah hari ini?”


“Duaaa. Lima SKS.”


“Baru juga dua.. lah mahasiswa bisa tiga mata kuliah sehari.”


“Iiih.. kamu tuh yaaa.”




Wajahnya merengut sambil mengepalkan tangan kirinya dan mendorong pipiku. Sikapnya sangat lucu dan menggemaskan.. ah andai saja… Siapapun yang melihatnya seperti ini tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang dosen yang galak dan judes.




“Yuks jalan.” ucapku sekedar menutupi perasaanku yang tiba-tiba berdesir.


“Emang kamu mau ke mana sih, Wa? Pacaran ya?”


“Iyah… kenapa emang?”


“Huuuh!!! Kamu turun!!!”


"Atulah Calls.. tadi katanya suruh naik. Udah sekalian aja aku numpang sampai Pasteur.”


“Turuuun iiih!!!”




Callista tiba-tiba kesal dengan mata melotot.




“Beneran nih aku turun?”


“Iyaaah!!!”




Cekleeek!!




Aku pun membuka pintu dan pura-pura mau turun.




“Udah sana minggat. Pergi aja sanah… dan jangan pernah naik mobil aku lagi!” gerutu kesalnya.




Aku hanya diam sambil menurunkan kakiku dan bersiap untuk meninggalkannya, aku sedang benar-benar ingin mencobainya dan mau membuktikan apakah seorang Callista memiliki sifat seperti yang pernah kudengar dari Maya dan Lia.




“Wawaaaa!!!” Tiba-tiba ia menarik baju belakangku sehingga sedikit terjengkang, untung aku cukup sigap sehingga kepalaku tidak terbentur.


“Kamu tuh nyebelin banget sih!!! Dasar gak peka!!! Nyebelin!!!” gerutunya.




Aku hanya terkekeh melihatnya. Caranya memanggilku juga sangat aneh, baru kali ini aku dipanggil seperti itu.




“Iyah maaf.” ujarku sambil kembali menutup pintu dan memasang safety belt.


“Bodo!!”




Ia masih kesal sambil menyilangkan kedua tangan di atas perutnya, membuat kedua payudaranya terangkat dan menyembul. Kali ini aku tidak mendapat suguhan paha putihnya karena ia mengenakan celana panjang hitam.




“Maaf atuh Calls, aku kan cuma bercanda. Aku mau ke RSP.”


“Ngapain ke sana?” kali ini ia melihatku dengan penasaran.


“Mau beli kopilah, ngapain lagi.”


“Bohong!! Tadi katanya mau pacaran.”


“Hadeuuuh.. iya.. iya… aku mau ketemu Bu Mae, ada urusan. Lagian gimana mau pacaran, orang udah diputusin.”


“Baguslah.”


“Apa Calls?”


“Eh.. ng.. nggak. Baguslah kalau mau ketemu Bu Mae.”




Ia nampak gugup, dan kedua pipinya bersemu merah.




“Hayooo.. kok mukanya jadi merah gitu.”


“Wawa iiih…!!!”


“Apa? Wawa?”


“Bodo ah. Suka-suka aku mau manggil Sirna, Kuda, Sapi, Wawa.. kan aku yang manggil.”


“Nanti aku gak nengok dong kalau dipanggil.”


“Ya harus. Kan aku yang manggil.”


“Kalau tetep gak mau nengok.”


“Ya aku gak bakal restuin kamu ama adikku.”


“Emang sekarang boleh?”




Bukannya menjawab, Callista malah memindahkan perseneling dan melajukan kendaraan. Mukanya merah antara malu dan.. entah apa lagi.. sulit menggambarkannya, yang jelas ia seperti sedang berpikir keras penuh dilema.




Setelah cukup lama saling diam, kudengar Callista menghela nafas panjang.




“Kamu sudah kontak lagi dengan Maya, Wa?” kali ini suaranya terdengar serius dan dewasa.


“Belum.” singkatku. Sebenarnya aku ingin bilang bahwa Maya sendiri yang tidak pernah merespon setiap pesan dan telponku, tapi urung agar tak terkesan bahwa Maya yang salah.


“Ya cobalah, Wa. Kasihan adikku, ia lebih sering kelihatan murung, walaupun ia menyembunyikannya dari papa dan mamah.”


“…”




Kini sikap Callista berubah lagi, terdengar serius dan penuh penekanan. Ia seperti sedang berperan sebagai seorang kakak untuk Maya.




“Kamu masih sayang dia, kan?”


“Kan kemarin waktu makan aku sudah bilang.”


“Iya. Tapi kamu tidak ada usaha untuk memperbaiki hubungan atau gimana gitu.”


“Aku akan mencobanya, tapi untuk kembali lagi seperti dulu aku belum siap.”


“Kenapa? Maya masih sayang kamu loh.”




Aku hanya bisa menghela nafas mendengarnya. Andai saja aku bisa menjelaskan duduk perkaranya, tapi aku benar-benar tidak bisa. Biar ini menjadi rahasiaku dan para sahabat terdekatku.




Jelas aku masih menyayangi Maya, aku masih merindukannya di setiap malam sebelum tidurku. Tapi melihat wajah marahnya saat mendengar bahwa aku telah tidur dengan wanita lain, aku masih berpikir dua kali untuk memulihkan hubungan cinta kami. Aku tidak ingin Maya semakin tersakiti. Apalagi sekarang aku bukan hanya telah tidur dengan Ceu Ningrum, tapi juga dengan Bu Ratih; dan kalau memang benar, aku masih harus meniduri seseorang lain yang akan menjadi wanita ritual ketigaku. Aku bisa saja tidak harus jujur pada Maya, tapi aku terlalu menyayanginya sehingga membohonginya pun aku tidak tega. Biarlah.. aku menyimpan rasa sakit dan rinduku sampai aku menyelesaikan urusanku menjalankan titah seorang Cintung.




Kini, aku juga seakan bisa merasakan dilema seorang Callista. Ia seperti ingin membela dan melakukan apapun untuk kebahagiaan adiknya, tapi di sisi lain ia seperti tidak mau aku dekat lagi dengan Maya. Entah apa alasannya.. yang jelas aku bisa menangkap ekspresi itu.




“Wa! Kok diam?”


“Maafkan aku, Calls. Aku tidak bisa menjelaskannya. Yang pasti aku akan bahagia kalau Maya bahagia, dengan siapa pun ia menjalani hidupnya.”




Callista menarik nafas panjang tanpa sedikit pun melirik ke arahku. Meski begitu aku bisa melihat kalau air matanya berlinang, tapi aku memilih bersikap seakan tidak tahu. Kufokuskan untuk memandang ke depan, melihat kemacetan jalanan.




“Kembalilah, Wa.” suara Callista terdengar bergetar. Kulihat ia mengusap kedua ujung matanya.


“Maksudmu, kembali pada Maya?”


“Iyah. Aku mohon, jangan sakiti adikku. Hiks…”




Kali ini ia sudah tidak bisa menyembunyikan kesedihan dan air matanya.




“Aku ingin melihat Maya bahagia seperti semula, dan aku akan melakukan apapun untuk membuatnya bisa kembali seperti dulu.”




[POV Callista: “Sekalipun aku harus kehilangan kamu. Asal kamu tahu, sejak kemarin aku sudah yakin bahwa aku sayang kamu. Tapi demi adikku, aku rela tidak mendapatkan cintamu.]




“Bener kamu mau melakukan apapun untuk kebahagiaan Maya?” tanyaku.


“Aku berjanji.”


“Kalau begitu bantu aku untuk ketemu Maya.”


“Kamu yakin? Kamu mau balikan dengan adikku?” pertanyaan itu terdengar bimbang.


“Aku hanya mau membantumu untuk menjadikan Maya bahagia kembali, masalah apakah balikan atau tidak, jawabanku masih sama. Yang jelas aku tidak mau Maya terus-terusan murung apalagi mengurung diri.”


“Wa, masalahmu apa sih sehingga tidak mau balikan dengan adikku, padahal kan kalian saling menyayangi?”


“Maaf, aku belum bisa menceritakannya.”




Tik tok tik tok!!




“Yaudah nanti aku kabari.” akhirnya suaranya terdengar.


“Makasih.”




Hanya dalam hitungan perjalanan antara Cimahi - Bandung, aku sudah semakin tahu tentang karakter seorang Callista. Tadi ia begitu manja dan menggemaskan, sekarang ia begitu serius dan penuh perhatian, dan rela berkorban untuk adik kesayangannya. Sikapnya ini semakin melengkapi apa yang ia tampilkan di kampus sebagai seorang dosen yang cerdas, namun juga galak dan judes. Seorang gadis yang sangat multikarakter, walaupun aku tidak melihatnya sebagai sebuah penyakit atau kelainan. Aku sudah mendengar tentang masa lalunya, walaupun aku masih mencari waktu yang tepat, untuk mendengarnya sendiri dari gadis ini.




Mobil pun keluar pintu tol Pasteur. Kulirik Callista yang sedang menempelkan kartue-toll.




“Calls, berhenti di depan!” perintahku tegas.




Callista tidak menjawab, dan seperti tidak mau menepikan mobil.




“Berhenti!!” aku sedikit membentaknya, membuat ia terkejut dan refleks membanting stir ke kiri.


“Ini bahaya tahu!!” suaraku dalam dan tegas. Aku baru menyadari bahwa Callista berlinangan air mata tanpa suara, kalau saja aku tidak meliriknya aku tidak akan pernah tahu kalau ternyata ia menyetir sambil menangis.


“Kamu ini kenapa sih, Calls? Bahaya tahu menyopir sambil menangis.”




Callista hanya diam mematung. Ditariknya rem tangan, setelahnya bagai kaku seakan shock mendengar bentakanku, dan air matanya semakin deras.




“Maaf kalau aku membentakmu, tapi ini benar-benar bahaya Calls, aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu.”


“Hiks… hiks…”


“Calls.. Calls…” aku memanggilnya sambil menarik tangannya yang ia katupkan pada wajahnya.




Kugenggam erat sambil menatapnya tajam. Aku benar-benar heran melihat gadis ini begitu bersedih, padahal tadi suaranya terdengar begitu tegar dan tulus saat berbicara tentang adiknya.




“Calls, kenapa kamu tiba-tiba begini?”




Klik!!




Ia membuka kancing




safety belt -nya.




Hmmmmfff!




Tiba-tiba ia memelukku dengan tubuh terguncang, kurasakan bahuku basah karena air matanya.




Kuputuskan untuk diam dan membiarkan ia menumpahkan kesedihannya, yang kulakukan hanya membalas pelukannya. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa ikut sedih melihatnya seperti ini, kubalas pelukannya dengan erat. Kuberikan bahuku seakan memberikan seluruh adaku untuk menjadi tempatnya bersandar sekaligus memberikan perlindungan pada perasaannya yang sedang rapuh.




Kuusap rambutnya yang wangi dan halus. Perasaan sayang ini tiba-tiba datang dan aku tidak tega melihatnya seperti ini.




Lama dan lama… kami syahdu dalam pelukan. Bahkan ketika tangisnya terhenti, ia tidak mau melepaskan diri, pun pula aku. Dunia seakan terhenti dan hanya ada kami, saling berbagi dan menyalurkan desir-desir halus yang meremang di balik dada.




“Wa, aku.. aku sayang kk…”




[POV Caliista: “…kamu”]




Tubuhku tercekat, elusanku pada rambutnya terhenti. Jantungku berdetak keras menunggu kelanjutan kata-katanya yang masih terbenam pada bahuku.




“… Maya!!”




Fiuuuuuhhhh!!!




Entah harus lega atau sedih mendengarnya. Kini mataku yang malah terasa panas. Kesedihan ini menghampiri tanpa kutahu kenapa dan atas apa aku harus merasa seperti ini.




“Calls, aku janji akan berusaha membuat Maya bahagia kembali. Kamu sudah yah.. jangan seperti ini. Aku juga jadi sedih kalau melihat kamu seperti ini.”


“Jadi kamu mau balikan dengan adikku? Hiksss…”




Duuuh… ia ingin adiknya bahagia, tapi seakan tidak rela aku kembali menyatukan cinta kami.




“Bukan begitu, Calls.” lirihku sambil menarik nafas panjang. Kataku lagi, “Aku sudah bilang, aku belum berpikir ke sana, tapi untuk membuat adikmu bahagia bukan berarti harus dengan cara balikan lagi, kan?”




Callista langsung melepaskan pelukannya dan menatapku sendu. Refleks kuusap kedua pipinya yang sembab dengan ibu jariku, membuatnya tersipu.




“Caranya?” lirihnya.


“Aku belum tahu. Yang jelas aku juga tidak ingin melihatmu bersedih. Kalian berdua harus bahagia.”


“Kamu bisa membahagiakan aku dan Maya?”


“Kenapa tidak?”


“Apa mungkin?”


"Tidak ada yang mustahil, tergantung bagaimana kita menafsirkan "bahagia" itu dan juga bagaimana cara kita meraihnya.”




Callista tersenyum bimbang sambil meraih tanganku dan melepaskan dari pipinya. Sorot mata kami tetap terpaut dan jemari kami saling meremas.




“Udah yuks. Aku sudah terlambat.” ucapku.




Callista menggeleng sambil memanyunkan bibirnya. Sangat menggemaskan. Andai saja gadis ini adalah kekasihku pasti sudah langsung kulumat bibir bawahnya yang seksi.




“Ekspresinya jangan kayak gitu.” lirihku.


“Kenapa?”


“Makin cantik.”




Ucapanku sukses membuat Callista makin tersipu dan mendorong pipiku dengan telapak tangannya. Lebih tepatnya mengusap.




Ia menarik nafas panjang, teramat panjang, sambil menegakkan duduknya dan memasang kembali safety belt.




Kami pun melanjutkan perjalanan dengan kedua tangan saling bertautan, dan hanya saling melepaskan ketika ia memindahkan perseneling. Hanya sentuhan ini yang kami lakukan dalam sisa perjalanan, tanpa kata, tiada ucap. Semuanya sudah diwakili oleh sentuhan dan remasan.




Tatapannya teramat sendu ketika kami tiba, ada rasa enggan untuk saling berpisah.




“Aku nungguin kamu boleh?”


“Looh.. kenapa?”


“Iiih… gak peka.” kalimat terakhir hanya gerak mulut tanpa suara.


“Aku belum tahu akan lama atau tidak, Calls.”


“Kalau aku tetap menunggu?”




Aku menghembuskan nafas mendengarnya; kubalas tatapannya dengan bimbang.




“Sebaiknya kamu pulang. Kecuali kalau kamu mau makan siang di sini.”


“Ditemenin kamu?”


“Kan aku mau ketemu Bu Mae.”


“Siniih!” kutarik bahu gadis ini dan kupeluk lembut.




Tidak ada penolakan sama sekali, ia malah membalasnya.




“Kamu pulang aja ya. Besok kan masih bisa ketemu lagi.”


“Janji?”


“Iyaah.” kuusap-usap rambutnya dengan gemas.


“Nanti malam aku telpon kamu boleh?”


“Boleh aja, tapi aku jualan.”


“Setelahnya?”


“Keburu malam"


“Boleh gaaaak???”


“Iya.. iya boleh.”




Dan senyum termanis pun ia berikan, senyuman indah di akhir pertemuan kami hari ini. Sekali lagi aku pamit dan meninggalkannya, langkahku terasa ringan sambil membawa bayangan senyumannya di dalam benakku.










BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar