BAB 29
YANG PATAH TUMBUH
Kuhembuskan rokokku sambil menatap jalanan, kuabaikan senyum jail gadis di sebelahku yang tak hentinya melirik dan mengamati sikapku. Senyumnya selalu mengembang, antara geli dan prihatin, antara iseng dan penuh belas kasihan.
“Apaan, sih?” sadar akan sikapnya aku bergumam sambil menyenggol lengannya.
“Nggak.” jawabnya singkat kali ini ia sambil menatapku.
Mendapat perlakuan seperti ini, aku hanya mendengus sambil kembali menghisap rokokku. Mataku kembali terpaku pada jalanan yang pamer susu ngaceng (padat merayap susul mengusul ngegas kenceng).
“Hihihi…” ia sudah tak bisa menahan rasa gelinya.
“Nuuur!! Kamu nyebelin banget sih.” gumalku.
Ya, dia adalah Nur. Gadis yang menyusulku ke RSP karena tak kunjung kuberi kabar. Hapeku di silent sehingga telponnya tak kuangkat, dan pesannya tak kujawab. Dialah yang telah memberikan bahunya tempatku menumpahkan amarah dan kesal, rasa sedih dan tersakiti, juga tak berdaya atas situasi yang ada. Dialah yang memberikan pelukan ketenangan, dan menguatkanku dengan sikap manisnya.
Itulah peristiwa sejam yang lalu.. kini aku dan Nur sedang duduk di bangku panjang pinggir jalan Dago, setelah sebelumnya menikmati nasi bebek yang dibawakan oleh teh rahma dari 'mantili cafe n resto'. Kedua gadis inilah yang membuatku kembali bisa sedikit merasa lega atas kemarahan dan kesedihanku. Teh rahma malah menasihatiku agar bisa memahami Bu Callista karena ia memiliki luka yang sukar disembuhkan, sebuah pengalaman trauma yang membuatnya sering meledak tanpa kontrol. “Tapi hatinya sangat baik,” begitu katanya.
Setelah aku lebih tenang dan perutku mendapat asupan makanan, Nur menemaniku meninggalkan café untuk mencari angin segar sambil merokok. Kami belum mau pulang, karena masih menunggu Ariya yang belum juga selesai berbicara dengan Bu Callista.
“Habisnya… jadi cowok kok lembek.” ledeknya. Kini ia sudah kembali menjadi seorang Nur yang kadang ngeselin.
“Tahu ahhh…!!!”
“Idiiih ngambek. Hihi…”
Nur menguyel-uyel rambutku yang sudah mulai panjang karena sejak merantau belum pernah dicukur.
“Makasih!” ucapku tulus, tapi kubuat dengan suara datar.
“Apa, Wa? Aku gak denger.”
“Ma-ka-sih!”
“Hihi.. sama-sama.”
Kubuang puntung rokokku lalu menatap wajah Nur yang kini sedang ceriwis. “Makanya kalau ditawarin dianter itu gak usah nolak, buktinya kamu butuh aku sang gadis perkasa. Hahaha…” Kali ini ia kehilangan jaimnya, tawanya keras membuat para pejalan kaki melirik ke arah kami.
“Kamu ini kenapa, sih Nur? Ceriwis tahu!!!” gerutuku.
Ingin rasanya aku memeluknya dan menghilangkan tawanya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam dadaku. Tapi mana berani.. yang ada malah kena gampar.
Meski begitu, bagai ada aliran magnet yang mengaliri tangan kami berdua, ketika telapak tangan ini bertautan dan saling menggenggam. Nur sama sekali tidak menolak, meski tawanya seketika hilang dan membuang mukanya yang merona dengan memalingkan pandangan.
Kutarik nafasku dalam-dalam, kuungkapkan rasa syukur dalam diamku atas gadis yang selalu ada dalam setiap kesulitanku; juga kukendalikan perasaanku yang berdesir karena sentuhan ini.
Drrrrt!!!
Hapeku bergetar. Dengan enggan, kulepas genggaman tanganku untuk merogoh hape pada saku celana.
“Iya, téh?” jawabku.
“Kamu dan Nur di mana? Cepetan balik.”
“Ini kami lagi di depan, kok. Aku dan Nur langsung ke sana.”
“Ok. Aku dan Ariya menunggu kalian.”
“Siap, téh.”
“Nur?”
“Hmmm..”
“Ariya bakalan marah gak yah?”
“Mana kutahu, kan kita lagi nggak bareng dia.”
“Nuuur!!!”
“Hihi.. udah ah, cowok kok lemah. Hayo jalan, kamu udah dipanggil, kan?”
Aku hanya mendengus kesal sambil menyusul Nur yang sudah berdiri. Jujur, aku sangat takut seandainya kena marah Ariya karena telah menjadi penyebab hancurnya hubungan pemuda itu dengan Maya. Belum lagi, peristiwa tadi yang membuat situasi ruangan memanas karena kemarahan Bu Callista maupun pemuda itu.
Nur yang tahu akan kebimbanganku, kembali meraih telapak tanganku dan menggenggamnya. Meski kata-katanya sering angin-anginan, tapi sikapnya tidak pernah memupus ketulusan hati dan perhatiannya. Ia selalu peka pada setiap kecamuk perasaan yang kusembunyikan.
Kami pun bergandengan tangan sambil menyeberangi jalan Dago, lalu sedikit menyusuri Teuku Umar. Setibanya di depan RSP, kulihat mobil Bu Callista keluar dari parkiran. Dari sudut mataku, ia nampak menurunkan kaca mobil dan melihat ke arah kami berdua. Apa peduliku? Aku terus melangkah seolah-olah tidak melihatnya. Kueratkan genggaman tanganku, dan jalan kami semakin merapat.
“Jangan melirik.” bisikku pada Nur yang sepertinya juga menyadari keberadaan Bu Callista.
Kulebarkan langkahku untuk menghindarinya, dan sebuah bunyi klakson dari mobil di belakangnya membuat Bu Callista harus melajukan kendaraannya tanpa sempat menyapaku.
“Lain kali jangan gitulah, Wa. Biar bagaimanapun ia juga dosenmu.” omel Nur.
“Dosenmu.” sanggahku.
“Tapi kan akan menjadi dosenmu juga.”
“Aku bakal pindah kuliah.”
“Asal kamu berani menghadapiku.”
“Nuuuur!!!”
“…”
Nur hanya senyam-senyum melihat kekesalanku. Hadeuh… hati Maya bisa kuselami, tapi tidak segampang itu isi hati gadis ini.
Setibanya di cafe nampak teh Rahma sedang duduk berdua dengan Ariya. Aku mengangguk kaku pada mereka berdua, sedangkan Nur memperkenalkan dirinya kepada Ariya. Setelah selesai basa-basi, teh Rahma menarik tangan Nur meninggalkan aku dan Ariya, “Nur, yuks kamu bantu aku.”
“Eh.. bantu apa, téh?” jawab Nur kaget.
“Udah.. ikut aja.” jawabnya sambil mengerling.
Nur nampaknya mengerti kalau teh rahma ingin memberi kesempatan kepada aku dan Ariya, maka tanpa banyak tanya lagi ia membuntuti gadis yang baru dikenalnya itu.
“Duduk, Wa.” ucap Ariya dengan suara dalam.
Aku hanya mengangguk dan duduk di hadapannya. Kufokuskan mataku pada cangkir kopi yang sedang ia putar-putar di atas meja, tanpa sedikit pun berani melihat wajahnya.
“Bangsat kamu, Wa.” ucapan Ariya membuatku terhenyak.
Suaranya memang pelan agar tidak terdengar oleh pengunjung lain, tapi nadanya yang bergetar membuatku bagai merinding. Nyaliku ciut.
“Pengen banget gua nabok lu, bangke bangetlah.” lanjutnya lagi dengan bahasa anak muda kota, bukan ‘aku-kamu’ lagi.
Aku hanya diam tanpa berani melihat wajahnya. Kueratkan rahangku dan kukuatkan mentalku, aku harus siap menerima semua kemarahannya; bahkan mungkin segala jenis makian yang akan ia keluarkan. Telapak tanganku terasa basah, dan punggungku tiba-tiba berkeringat.
“Kamu masih menyayangi Maya?” nada suaranya berubah.
Mau tidak mau aku mendongak dan memberanikan diri balik menatap lawan bicaraku.
“Ar..?”
Hanya itu yang bisa kuucapkan saat tidak menemukan ekspresi kemarahan pada wajah pemuda ini.
“Hahahaha.” tiba-tiba tawanya terbahak.
“Ar…??” aku makin kebingungan.
“Cemen lu. Malu-maluin anak kampung Ewer.” lanjutnya lagi membuatku hanya bisa tersenyum kecut sambil garuk-garuk kepala.
“Kkkamu gak marah, Ar?”
“Ya marahlah.. secara lu udah ngambil cewek gua; mana kena damprat kakaknya pula.”
“Llla.. lalu?”
“Lalu apa? Lu aja belom jawab pertanyaan gua. Lu masih sayang Maya, gak?”
“Eh itu.. anu.. maaf, Ar. Aku sungguh-sungguh…”
"Heuup!!! Sudah-sudah, gua udah tahu semuanya kok.”
Ariya tertawa kecil sambil menyondongkan tubuhnya untuk menepuk bahuku.
Rasa heran dan lega bercampur menjadi satu, ketakutanku tidak menjadi kenyataan. Yang ada malah seorang pemuda yang bersahabat tanpa menunjukkan sikap sakit hati sedikitpun, apalagi dendam atau benci.
“Gini…” Ariya nampaknya sudah tidak tega melihat sikap salah tingkahku.
“Soal Maya… Kami pacaran sudah sekitar enam bulan, tapi hanya judulnya saja pacaran karena gua merasa bahwa Maya tidak sungguh-sungguh menyayangi gua. Selama ini ia seolah menyembunyikan sesuatu dari gua.” jelasnya.
Ariya menyeruput kopinya sebelum melanjutkan cerita, “Sampai akhirnya kemarin Maya memutuskan hubungan dan menceritakan semua alasannya. Jadi gua sudah tahu nama lu sebelum kita saling bertemu. Tidak ada sedikit pun yang Maya sembunyikan… lu tahu kenapa, Wa?”
Aku hanya menggeleng sambil menatapnya.
“Karena ia sangat menyayangi lu, bego! Pake banget!! Ia sudah menyayangi lu sejak pertemuan kalian ketika ayah Senja dan tante Sae meninggal.”
Duaaaarr!!!!
Aku hanya bisa melongo mendengarnya. Maya memang sudah pernah cerita, tapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan menceritakan semuanya pada Ariya. Ia rela memutuskan seorang Ariya yang tidak ada kekurangan sedikit pun hanya demi aku. Sebesar itukah cintanya padaku? “Berarti aku sudah benar-benar membuat hati Maya terluka atas pengakuan perselingkuhanku dengan wanita lain,” batinku.
“Napa? Nyesel lu?” ucap Ariya. “Tapi makasih, ya bro, lu berani mutusin Maya demi gua. Gua respect banget atas sikap gentle lu, apalagi sampai dibela-belain nyari gua ke sini.”
Suara Ariya terdengar tulus, sikapnya benar-benar sangat bersahabat.
“Aar.. maaf aku bingung.” keluhku. “Kok kamu tidak sakit hati sih? Atau marah gitu…? Apa kamu tidak menyayangi Maya?”
“Brengsek lu.” umpat Ariya, “Ya sayanglah!”
“Lalu?”
“Lah.. kalau dia gak sayang gua, terus gua mau apa?”
“Tapi.. tapi kan setidaknya kamu bisa mempertahankannya atau mengejarnya gitu.”
“Dasar blo’on. Kampungan…!!!”
Mendengar ucapan terakhirnya mau tidak mau membuat aku terkekeh, bahkan Ariya terbahak dibuatnya. Sebuah kata yang telah diucapkan mulut pedas seorang singa betina bernama Callista.
“Aku susah jelasinnya, Wa.” kini Ariya sudah kembali menyebut dirinya ‘aku’, bukan ‘gua’ lagi. “Tapi intinya, aku sangat belajar dari ayah dan tanteku, dan cinta sejatiku sepertinya memang bukan Maya. Tapi…”
“Tapi?” aku tidak sabar.
“Nanti kamu akan tahu sendiri.”
Fiuuuh… aku menghembuskan nafas.
“Maya…” Ariya mengembalikan topik pembicaraan pada gadis itu. “Ia memang seorang gadis yang menarik. Cantik, baik, supel, dan gak pandang bulu dalam bergaul… Tapi yaitu… cintanya bukan untukku. Sementara dari pihakku sendiri, setelah semakin dekat dan mengenalnya, aku mulai yakin bahwa ia memang tidak ditakdirkan untukku. Ia tidak memiliki kekurangan, Wa, tapi aku tidak bisa memaksakan cintaku sendiri, sama seperti dia yang tidak bisa memaksakan cintanya untukku.”
Ariya menghela nafas dan menyeruput kopinya.
“Ayah dan tante seakan sudah menyediakan jodoh untukku sendiri.” gumamnya seolah sedang berbicara sendiri.
“Pasti ‘Nji.” aku mencoba menebak.
Ucapanku barusan membuat Ariya kaget dan langsung melempar dadaku dengan bungkus rokok putihnya. Wajahnya celingukan seakan takut ada yang mendengar.
“Ssssstttt… kamu tahu dari mana?” Ariya menekan volume suaranya.
“Kalian kan sudah dekat sejak kecil.”
“Tahu dari mana??” Ariya menekankan kembali pertanyaannya.
“Ya dari buku yang ditulis ayahmu.. lagian aku kan kenal Nji saat sekolah di desa dulu.”
“Si monyong!!!” gerutu Ariya.
“Tapi si Nji gak tahu kalau aku punya perasaan istimewa padanya, Wa.” lirih Ariya sambil membenamkan punggungnya pada sandaran kursi. “Rasa sayang dia seperti sebatas adik pada kakak.. padahal… arrrghh…” Ariya kebingungan sendiri.
“Tapi kamu tidak bermaksud mempermainkan Maya, kan?” tiba-tiba aku semakin berani dan merasa akrab dengannya.
“Kurang ajar ya lu sekarang.” ujarnya tapi disertai dengan tertawa. “Ya kagaklah, aku kan memang tertarik pada pesona Maya. Tapi dalam perjalanannya, aku semakin tidak bisa menyangkal perasaanku pada Nji.”
“Sekarang kita punya tugas yang sama.” gumamnya.
“Apaan, Ar?”
“Aku mengejar Rinjani, kamu mengejar kembali Maya.”
Aku menarik nafas panjang mendengarnya. Tanpa sadar aku menyatut rokok milik Arya yang tadi ia lemparkan dan menyulutnya.
“Gak mungkin, Ar.” gumamku sambil menghembuskan asap rokok.
“Loh.. kenapa?”
“Sekarang Maya sudah membenciku.”
“Gak mungkin, Wa. Kamu liat sendiri Kak Callista begitu marah. Kamu pikir Maya mengurung diri karena putus denganku? Bukan, Wa!!! Itu karena kamu!!”
“…”
Bener juga kata Ariya, tapi bukankah di pertemuan terakhir, Maya begitu membenciku, dan bahkan sempat mengancamku segala.
"Kamu gak tahu apa yang terjadi denganku sehingga membuatnya begitu marah, ar." batinku sambil menghisap kembali rokokku.
“Yeaah… kita lihat saja. Aku tidak ingin terlalu memikirkan Maya dulu, Ar. Ia terlalu baik untukku…” ucapku sambil menerawang. Aku seakan sedang menyangkal perasaanku sendiri karena biar bagaimana pun aku selalu merindukannya. “Sekarang yang penting kamu, Ar, kejar dan jaga si Nji.”
Ariya ikutan diam mendengar ucapanku, walaupun kuyakin ia mengamininya.
Tik tok! Tik tok!!!
“Eh… tadi Bu Callista gimana, Ar?” aku memecah kebisuan dengan mengungkapkan rasa penasaran yang sejak tadi kutahan.
“Ya aku sempat marah tadi. Untung kamu pergi, kalau nggak, mungkin kamu juga bisa meledak.” gumamnya sambil menyulut sebatang rokok.
“Terus?”
“Ya aku jelaskan duduk perkaranya, sampai ia akhirnya minta maaf karena telah salah paham. Ia juga menyampaikan permohonan maaf padamu atas omongannya yang menyakitkan tadi.”
Aku hanya bisa diam. Ucapan Bu Callista seakan kembali terngiang, membuat rasa sakit ini menghampiri kembali.
“Kita sudah cukup dewasa untuk bisa berpikir, juga sudah cukup dewasa untuk bisa memaafkan.” kali ini kebijaksanaan seorang Ariya kembali muncul. Ia seakan mengerti kecamuk perasaanku. Aku hanya bisa mengangguk, meski hatiku bimbang mencerna perkataannya.
“Ingat, Wa..!!” suara Ariya terdengar dalam dan berwibawa. “Cinta boleh putus, tapi semangat jangan patah. Cinta boleh kandas, tapi jangan diakhiri dengan permusuhan.”
Aku sudah mengerti arah pembicaraan dan maksud nasihatnya, tapi aku hanya menarik nafas sambil menyenderkan tubuhku ke belakang.
“Aku tahu, itu akan sulit bagimu, tapi cobalah dekati Maya lagi. Aslinya dia baik, kok.”
“Susah, Ar?”
“Yang susah itu mendekati Maya dan mengajaknya berbicara, atau susah menghadapi perasaan dan ketakutanmu sendiri?”
Pertanyaan Ariya terdengar begitu menohok. Ariya betul, aku sebenarnya bukan takut pada Maya, tapi takut pada diri sendiri. Takut patah lagi, takut kecewa lagi, juga takut membuat Maya semakin terluka.
“Takut oleh yang kedua.” desahku sambil menerawang.
“Aku tahu kamu masih menyayanginya, kejarlah.. toh Maya juga sayang banget sama kamu.”
“Tidak semudah itu, Ar.” desahku. “Ok. Aku mengambil keputusan untuk putus dengan Maya karena aku tidak mau melukai kamu, tapi di balik itu ada alasan lain yang sulit untuk kujelaskan.”
“Gadis lain?”
Aku mengangguk, walaupun masalahnya tidak persis seperti itu.
“Si Nur.”
Aku menggeleng.
Ariya mendesah frustasi melihat sikapku. “Gini, Wa, seperti sudah kubilang, apapun itu… apa yang sudah dimulai dengan baik, jangan kamu akhiri dengan permusuhan. Kalau kamu tidak bisa bangkit dari keterpurukanmu, ya bantulah Maya untuk bangkit dari keterpurukannya.”
Ucapannya sukses membuatku menatapnya tajam sambil menegakkan posisi dudukku. Aku sangat tidak menyangka kalau pemuda seusiaku ini bisa jauh lebih dewasa dan bijaksana dari umurnya.
“Makasih, Ar. Akan kucoba walaupun sepertinya akan berat.” lirihku.
“Berat bukan berarti tidak bisa, bukan?”
Aku mengangguk mendengarnya, kuhisap rokokku dan menggelembungkan asapnya ke atas.
“Maaf, Wa, bukan maksudku mau menasihatimu, apalagi menggurui. Bukan itu! Tapi aku hanya berbagi apa yang aku dan keluargaku hidupi.”
Lanjut Ariya lagi, “Awalnya kami terpukul dan sangat kehilangan atas meninggalnya ayah dan tante. Hidup mereka seolah patah dan berakhir, hidup kami pun begitu adanya. Tapi kemudian kami sadar, bahwa cinta mereka telah menjadi warisan yang tak tergantikan oleh apapun.”
“Yang patah itu telah tumbuh, bertunas dalam keluarga besarku, dan akhirnya mengakar kuat dalam diri kami. Mereka tidak gagal, baik dalam hidup maupun dalam cinta mereka, melainkan sebaliknya malah bertumbuh abadi. Itulah warisan terbesar yang mereka tinggalkan.”
"Aku dengar dari teh Rahma, dulu tunanganmu meninggal karena jatuh dari tebing?” tanyanya dan dijawab oleh anggukanku.
“Saat itu mungkin hidup dan cintamu patah, tapi jangan mengering dan hanya menjadi kayu bakar yang akan mampir menjadi arang, lalu menghilang. Jadikan itu titik balik untuk bertunas dan tumbuh. Jadikan cinta kalian di masa lalu menjadi kekuatanmu di hari-hari mendatang yang masih panjang. Pun pula hubungan kalian dengan Maya.”
"Nuhun ar." Hanya itu yang bisa kukatakan, lidahku benar-benar kelu mendengar sharing hidupnya. Sementara jauh di dalam lubuk hatiku, aku mengamini semua ucapannya dan bertekad untuk mengikuti semua nasihatnya.
“Sudahlah. Yang sudah lewat biarkan berlalu; yang penting jangan saling membenci, termasuk membenci diri sendiri. Mangprang, Wa, mangprang… moving forward…"
Ariya sepenuhnya benar, meski menjalaninya tak semudah mengeluarkan kata-kata. Tapi aku bisa menangkap, bahwa apa yang ia katakan, itulah yang ia hidupi dan jalankan. Tak salah aku bisa mengenalnya. “Cintung telah mengarahkanku pada orang yang tepat,” batinku. Aku semakin yakin bahwa Ariya adalah orang yang dimaksudkan oleh Cintung.
[POV Cintung: “Bukan Ariya, Wa.”]
Obrolan pun semakin melebar, dan kami seolah dua sahabat lama yang baru bertemu kembali. Entahlah.. aku sendiri tidak mengerti mengapa kami bisa menjadi sedekat ini. Semua ketakutanku sirna seiring cairnya suasana di antara kami, terganti rasa persahabatan sambil berbagi makna pengalaman hidup. Meski begitu, aku tetap tidak kehilangan rasa sungkan dan seganku pada pemuda ini.
“Tadi bunda Mae pesan, supaya lusa kamu menemuinya di sini. Tadi ia langsung pulang dan hanya titip salam untukmu karena mau nganter Rica les.” tiba-tiba ia mengalihkan topik pembicaraan, dan yang dimaksud Rica adalah anak bungsunya yang imut-imut tadi.
Aku tercekat mendengarnya, jantungku tiba-tiba berdebar dan telapak tanganku kembali terasa dingin.
“Ada apa, ya Ar?”
“Dia sih udah cerita sekilas tadi. Tapi aku gak mau ikut campur, kamu temui bunda aja nanti.”
“Tapi..”
“Udah tenang aja.”
“…”
“Jangan sampai lupa, loh.” tegasnya.
Aku hanya mengangguk walau hatiku sendiri tidak yakin punya keberanian untuk menemuinya. Wanita itu terlalu memiliki keanggunan sekaligus keagungan yang menggetarkan.
“Satu hal pesanku.” kali ini Ariya berubah serius. “Siapapun kamu, aku titip keluarga besarku, keluarga besar Sawer.”
Duaaaarrr!!!
Mendengar ucapannya aku benar-benar terhenyak, kata-katanya terdengar sungguh-sungguh dan serius.
“Kkenapa, Ar?” tanyaku gugup. Bintik keringat menyembul di dahiku.
Tapi sebelum Ariya menjelaskan, seorang gadis berseragam putih abu-abu memasuki café dan berseru kepada Ariya, “Kak Aryaaa iiiih… kenapa gak jemput aku sih? Tadi katanya mau jemput.”
Aku terpesona sesaat pada paras cantiknya. "Semakin cantik saja." batinku sambil menatapnya yang setengah berlari menghampiri kami.
“Hehe… maaf, Nji. Aku ada tamu. Nihhh…” Ariya menjawab sambil menunjukku.
“Kak Sirna??”
“Hai Nji, apa kabar?”
“Ya ampuuun… kakak ada di Bandung?” serunya sambil menerima uluran tanganku.
“Hehe.. iya, Nji.”
Aku dan Rinjani saling bertegur sapa, meski begitu sikap tubuhnya begitu manja dengan memeluk leher Ariya dari belakang tempat duduknya. Kini aku benar-benar menyaksikan kemesraan mereka berdua, si gadis merajuk manja, dan si pemuda membujuknya penuh kesabaran. Tanpa Rinjani tahu, ada perasaan tersembunyi dalam diri Ariya. Sebuah cinta yang besar, yang mungkin adalah cinta sejatinya, seperti cinta yang dimiliki oleh orangtua angkat mereka, yaitu Senja dan Sae.
https://t.me/cerita_dewasaa
Aku dan Nur pulang menjelang maghrib. Ia benar-benar telah menjadi malaikatku yang membangkitkanku dari rasa sedih dan terpuruk, di samping sahabat baru bernama Ariya yang membangkitkanku dari rasa bersalah atas putusnya hubungannya dengan Maya. Pemuda itu bagai seorang malaikat yang tiba-tiba membangunkanku dari keterpurukan dan berbagai kegagalan; dari rasa sedih dan juga kekecewaan.
Namun di balik semua itu ada begitu banyak tanya yang tersisa. Ada begitu banyak hal yang memenuhi pikiranku. Pertama, Bu Callista. Menurut penjelasan Ariya dan juga teh Rahma, aku tidak boleh terlalu keras padanya, dan harus bisa menahan diri untuk tidak melawannya, karena ia aslinya adalah orang yang sangat baik dan lembut. Aku tidak pernah merasakannya memang, tapi sikapnya saat mulutku terbakar kopi panas sudah menampakkan sisi lain dari pribadinya. Menurut mereka, dan pernah disinggung Maya, ada sisi kelam masa lalu yang membuatnya seperti itu.
Kedua adalah Maya sendiri. Ariya meyakinkanku bahwa Maya sangat menyayangiku. Hal itu ia buktikan dengan memutuskan hubungannya dengan pemuda itu, meskipun status cinta antara aku dan Maya sendiri sudah patah. Penjelasan Ariya sangat bertolak belakang dengan sikap Maya di akhir pertemuan kami, saat aku memutuskan untuk mengakhiri kisah cinta kami; bahkan sejak itu, tak satu pun pesan WA-ku yang ia balas.
Ketiga adalah Nur. Sikap Nur hari ini sangat berbeda sama sekali. Ia begitu mengkhawatirkanku sampai dibela-belain menyusul ke RSP. Ia begitu tulus dan perhatian membangkitkanku dari keterpurukan dan rasa terpukul karena ulah Bu Callista, sekaligus begitu manja setelahnya. Sikapnya membuat perasaan lama yang pernah ada kini tumbuh kembali.
Keempat adalah tantangan Ariya padaku untuk menjadi pemuda yang berguna untuk Ewer. Ia mengatakan bahwa Ewer bisa menjadi seperti Sawer asal ada orang-orang yang punya hati mewujudkannya. Belum lagi ia memintaku untuk menjaga keluarganya, tanpa mau memberi penjelasan lebih lanjut.
Hari yang penuh emosi, juga membahagiakan karena persahabatan, sekaligus hari yang membingungkan!
Pelukan Nur pada pinggangku terlepas saat motor mulai memasuki gang. Ganjalan kenyal pada punggungku pun hilang. Begitu memasuki halaman, kulihat Bu Ratih sedang duduk seorang diri di teras rumah, sepertinya ia sengaja menunggu kami.
“Selamat sore, bu.” aku menyapanya duluan sambil menyantelkan helm.
“Malam, Wa. Kok jam segini baru pada pulang?” jawabnya ramah.
“Tadi ngobrol lama dengan yang punya café, bi.” Nur langsung menjawab dan diamini oleh anggukanku.
“Oh yaudah. Kamu mandi dulu dan langsung makan, tadi bibi masak urab.” katanya kepada Nur.
“Iya, bi.”
“Kamu juga makan di sini aja sambil nemenin Nur.” kali ini ditujukan kepadaku.
“Eh.. makasih, bu. Saya masih kenyang, lagian saya mau langsung bantu Kang Narto.
“Oh, gitu. Ya udah kalo gitu mah"
“Wa, aku masuk dulu ya.” pamit Nur.
“Makasih banyak, ya Nur.”
Ia mengangguk sambil tersenyum manis, senyuman yang begitu tulus tapi juga penuh arti. Gurat lelah tidak mampu menutupi kebahagiaan yang sepertinya sedang ia rasakan.
Aku menatap punggungnya yang memasuki rumah. Belum juga aku pamit pada Bu Ratih, ia sudah berkata duluan, “Wa, ibu mau minta tolong, bisa?”
“Minta tolong apa, ya bu?”
“Nanti kamu pulang jam berapa?” ia malah balik bertanya.
“Hmmm.. sekitar jam sebelas atau dua belas sih, bu.”
“Yaudah nanti ibu tunggu kamu.”
“Eh.. maksudnya, bu?”
“Hehehe.. nanti aja ngobrolnya. Sekarang kan kamunya mau ke alun-alun. Nanti malam kamu WA ibu kalau sudah nyampe kostan.”
“I.. iya, bu.”
Aku pun pamit untuk masuk kamar dulu dan mandi sebelum nyusul Kang Narto jualan martabak. Perasaanku tiba-tiba tidak enak karena sikap aneh Bu Ratih.
Karena waktu semakin beranjak, dan Kang Narto sudah menungguku di alun-alun, aku bergegas mandi dengan serba terburu. Setelah mandi dan berganti pakaian, kucari-cari sisir yang biasanya tergeletak di atas meja, tapi kali ini tidak ada. "Pasti si kupret, Rad." pikirku. Rad memang beberapa kali numpang nyisir di kamarku, karena sisirnya sendiri sering tercecer di mana-mana.
Kubuka laci, dan benar saja sisirku ada di sana. Namun mataku terpaku bukan pada sisir itu, melainkan pada kotak cincin. Ucapan Ariya kembali terngiang, dan spontan aku pun meraih kotak itu dan membuka isinya. “Sayang, yang patah bisa tumbuh, yang runtuh bisa bertunas. Doakan aku dari sana agar bisa tumbuh seperti yang dikatakan Ariya.” gumamku sambil mencium cincin yang pernah ia kenakan, lalu kukantongi tanpa mengembalikan pada kotaknya.
Tak mau berlama-lama, segera kusisir rambutku, dan kuraih jaketku. Setelah mengunci pintu, aku pun melangkah sambil tengadah. Nampak bulan sudah mulai muncul di ufuk timur, pertanda purnama telah datang.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar