Cincin dari masa lalu part 28

 

BAB 28








Aku hanya terpaku pada sosok pemuda yang kegantengannya melebihiku (tapi tidak melebihi TS), yaitu seorang Ariya Putra Sawer, putra angkat sang pendiri perusahaan ini. Meski seumuranku, ia nampak sangat berkharisma. Sosoknya tegap, dan sorot matanya tajam.




Ariya sepertinya bisa menguasai diri lebih dulu daripada aku dan Bu Callista. 




“Maaf, saya gak tahu kalau ada tamu.


"Rahma mana, ya kak?” tanyanya pada Bu Callista.


“Kamu masuk, Ar. Kita bicara.” jawab Bu Callista sambil berdiri dan berjalan ke arah sofa.




Aku pun berdiri dan mendekati Ariya sambil mengangguk, dan mengulurkan tangan. “Apa kabar, kang Ariya?”




“Maaf, dengan siapa yah?”


“Hehe.. saya Sirna, dari Ewer, jadi saya tahu akang.”


“Oalaaah.. dari Ewer toh.” sikap Ariya berubah hangat dan menyambut tanganku dengan erat.


“Ariya saja. Gak usah akang-akangan.”


“Hehe.. iya Ar.”




Perkenalan kami tidak berlangsung lama, mengingat ada Bu Callista di ruangan ini dan sudah duduk di atas sofa.




“Kalau gitu, saya permisi dulu, Ar. Kalau ada waktu setelah ini, saya tunggu di café, saya ada perlu denganmu.”


“Oke.. wajib nungguin, secara leluhur kampung kita sama.” jawabnya hangat. Lalu sapanya kepada Bu Callista, “Kak, udah lama di…”


“Sirna, kamu tidak usah pergi! Duduk di sini!”




Bu Callista memotong ucapan Ariya, membuat pemuda itu nampak heran. Aku bukan heran, tapi ketakutan, karena sudah bisa menebak maksud gadis itu.




Kami pun duduk melingkar. Aku dan Bu Callista berhadapan seperti tadi, sedangkan Ariya duduk di atas sofa panjang. Sejenak kuamati Ariya, yang sedang fokus pada Bu Callista, tak sedikit pun aku melihat kesedihan di sana; tidak seperti orang yang baru diputuskan oleh pacarnya. Tapi entahlah…




Rupanya sikap tenang Ariya dibaca juga oleh Bu Callista, kini malah ia yang kelihatan gugup. Suasana berubah, seakan Ariyalah yang menjadi raja dalam ruangan ini.




“Ada apa, yah kak?” Ariya memulai pembicaraan.




Bu Callista nampak menarik nafas panjang untuk menenangkan diri dan mengendalikan emosinya. “Ini tentang Maya.” jawabnya singkat.




Ariya nampak tidak kaget mendengarnya, walaupun ia sedikit menarik nafas dalam.




“Hmmm..!” gumam Ariya. “Lalu apa hubungannya dengan Sirna?”


“Ada!” tegas Bu Callista. “Tapi itu nanti. Begini Ar…”




Bu Callista menghentikan ucapannya. Sikap galaknya kalah oleh pengaruh tenang dan berwibawa pemuda ini. “Sejak kamu memutuskan hubungan dengan Maya, adikku mengurung diri terus di kamarnya. Aku.. aku.. tidak suka pada siapapun yang menyakiti hati anggota keluargaku. Aku tidak peduli siapa kamu, aku tidak peduli kamu adalah bagian dari keluarga yang menjadi rekan bisnis papaku, aku tidak peduli pada kedekatan keluarga kita dan juga persahabatanku dengan Rahma…”


“Intinya?” potong Ariya. Wajah tidak suka mulai terpancar.




Aku kagum karena dua hal menyaksikan percakapan ini. Pertama, aku kagum pada pesona seorang pemuda belia yang begitu berkharisma sehingga membuat harimau betina ini kehilangan taringnya. Kedua, aku juga kagum pada perubahan sikap Bu Callista, yang berani mengungkapkan kekecewaannya tanpa luapan emosi seperti biasanya. Tapi aku juga takut dan gentar… ujung pembicaraan pada akhirnya pasti bermuara padaku.




“Intinya, Ar, aku tidak suka kamu menyakiti hati adikku, dan asal kamu tahu, aku sangat marah atas sikapmu. Kedua…” Bu Callista menghentikan ucapannya karena melihat perubahan raut muka Ariya.


“Kedua, aku mau mengingatkanmu, jangan pernah menyakiti hati perempuan. Cukup.. Maya saja yang terakhir.”




Air mata Bu Callista mulai berlinang karena menahan emosi yang tidak bisa ia luapkan, sementara Ariya sendiri menarik nafas dalam sambil mengerutkan dahi.




“Kak Callista sudah bicara dengan Maya dan tahu alasannya mengapa kami putus?”




Pertanyaan Ariya sukses membuat Bu Callista diam. Ia tidak menyadari kalau air matanya sudah mengalir, dan akhirnya ia pun menggeleng.




Menyaksikan semuanya itu, otakku naik pentium lagi, dan berhasil mengalahkan ketakutan-ketakutanku. Aku langsung bisa mengambil kesimpulan atas apa yang sedang terjadi di antara mereka. Aku merasa tidak adil kalau pihak Ariya yang dipersalahkan, tetapi juga tidak tega melihat Bu Callista yang bisa malu karena kebodohannya sendiri.




“Maaf Bu Callista, kamu juga Ar, kalau aku lancang.” aku sudah bertekad untuk menyampaikan kebenarannya.




Kini dua pasang mata teralih kepadaku, membuatku gugup sesaat tapi berhasil kukuasai.




“Ini bukan salah Ariya, atau juga Bu Callista.” tegasku. “Penyebab semuanya ini adalah aku, itulah sebabnya aku mencari Ariya ke sini.”




Ada sorot mata berbeda yang Ariya pancarkan, sedangkan Bu Callista nampak terbelalak.




“Aku tidak mengerti, Sir. Tolong jelaskan.” ucap Ariya.


“Jangan panggil ‘Sir’, Wa saja.”


“Oke, Wa, tolong kamu jelaskan.”


“Suatu malam, aku datang nganterin martabak pesanan Bu Alya ke rumahnya, dan di pintu gerbang aku melihat Maya pulang diantar oleh kamu, Ar.” aku mencoba mengulur cerita untuk menyiapkan mental. “Sejak saat itulah aku tahu kalau Ariya dan Maya pacaran. Kenapa aku kenal Bu Aliya itu nanti menjadi cerita berbeda, mungkin Bu Callista sudah tahu, mungkin juga tidak.”




Melihat Bu Callista hanya diam, kuteruskan ceritaku, “Besoknya aku dan Maya bertemu di Sersan Bajuri untuk membicarakan hubungan kami. Karena…”




“Karena?” keduanya nampak tidak sabar.


“Karena.. karena… aku dan Maya pacaran!! Dengan kata lain, aku dan Maya bermain api di belakang Ariya. Aku telah merebut Maya dari Ariya. Jadi Bu Callista jangan menyalahkan Ariya. Bukan dia yang memutuskan Ariya, melainkan pihak Maya sendiri. Jadi…”




Plaaaakkk!!!!




Ariya menepuk jidatnya sendiri. Raut wajahnya berubah sambil menatap tajam ke arahku. Sekelebat ada binar kemarahan, tapi hal itu tidak berlangsung lama, ia kembali tenang meski nafasnya sedikit tersengal.




Sedangkan Bu Callista melotot dengan mata memerah. Bibirnya bergetar tanpa mampu mengeluarkan kata-kata apapun. Nafasnya tersengal dan kedua telapak tangan mengepal.




“Ar, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu kalau Maya adalah pacarmu. Aku sangat menyesal, dan sejak dua minggu lalu, aku dan Maya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kami sudah memutuskan hubungan kami.” aku memecah keheningan yang seakan mencekam. “Tapi aku mohon, jangan salahkan Maya. Ia tidak salah, ada alasan yang tidak bisa aku jelaskan sekarang di depan Bu Callista.”




“Aku sudah tahu. Kita bicara setelah ini.” gumamnya datar.


“Bu, aku yang salah, bukan Ariya. Aku mohon maaf kalau telah membuat kekacauan ini. Maaf juga kalau telah membuat ibu kecewa dan marah.” aku menyampaikan permohonan tulusku. Kuucapkan dengan jujur, walau sakit ini tetap ada, karena biar bagaimana pun rasa sayangku pada Maya tidak bisa hilang begitu saja.


“Bajingan kamu, Wa!!!” nada itu terdengar penuh amarah yang ditekan. Ia kembali menjadi seorang Callista yang galak dan jutek.


“…”




Melihatku hanya diam tanpa berani membalas tatapannya, Bu Callista terlihat semakin emosi. Ariya yang bisa membaca keadaan langsung berkata, “Kamu keluar dulu, Wa, tunggu aku di café. Biar aku bicara dulu dengan Kak Callista.”




Aku sungguh tidak menyangka seorang Ariya bisa setenang ini. Ia nampak begitu tegar dan bisa mengatasai situasi perasaannya, juga situasi yang sedang terjadi di antara kami bertiga.




“Tidak bisa!!” pekik marah Bu Callista. “Seenaknya aja pergi. Urusan kita belum selesai!!”




Aku urung beranjak dari tempat dudukku dengan perasaan tidak karu-karuan.




“Kamu benar-benar tidak tahu diri, Wa….”




Aku benar-benar menjadi satu-satunya pihak yang bersalah di hadapan Bu Callista. Bahkan ia seakan menganggap Ariya tidak ada. Kata-kata pedas terus mengalir memenuhi genderang telingaku. Hanya karena Ariyalah yang membuatku tidak melawan, lagi.. aku tidak berani membuat keributan yang lebih besar di tempat ini. Sikap tenangnya membuatku semakin sungkan.




Kini aku malah sibuk dengan isi pikiranku sendiri, daripada mendengarkan caci dan maki Bu Callista. Aku berusaha membuat diriku kebal untuk sakit hati dan memberikan perlawanan.




“Dasar bocah kampung. Tidak tahu diri.. kamu harusnya ngaca. Apa yang bisa kamu lakukan untuk Maya? Membahagiakannya? Dengan apa? Materi tidak punya, attitude juga minus. Aku heran.. siapa sih yang melahirkanmu…”


“Cukuuuup!!!!”




Ariya membentak Bu Callista.




Braaaak!!!!


Aku menggebrak meja.




Aku tidak tahu alasan Ariya tiba-tiba meledak seperti ini. Suaranya menggema memenuhi seisi ruangan. Aku sudah tidak sanggup melihat mereka berdua. Aku hanya tersengal menahan amarah… aku telah gagal menahan emosi, aku telah bersikap kurang ajar dengan cara menggebrak meja. Tapi itu terjadi begitu saja... Aku telah sekuat tenaga membuat hatiku kebal mendengar hinaannya, tapi kalimat terakhir Bu Callista membuatku lepas kontrol.




Sakit!!! Hati ini terlampau sakit mendengar ia menyinggung ibuku, walaupun itu ia ucapkan secara tersirat. Harga diriku terasa diinjak-injak. Kini aku hanya bisa marah dan menangis dalam hati, menyimpan semua kesakitan ini. Kalau saja aku tidak menghormati Ariya, mungkin bukan hanya menggebrak meja, tapi aku sudah melabraknya habis-habisan. Nafasku tersengal dengan tangan terkepal.




“Maafkan aku, bu. Gara-gara aku harga diri ibu ikut diinjak-injak. Bahkan aku tidak bisa melawan saat kita diperlakukan seperti ini.” tanpa sadar aku bergumam sambil mengeratkan urat wajah agar air mataku tidak keluar.




Mendengar gumamanku, Ariya bagai terhenyak. Kudengar Bu Callista tiba-tiba menangis entah karena apa.




“Kak!!” suara itu terdengar dalam dan bergetar.


“Kakak harus ingat, saya dan keluarga besar saya berasal dari kampung. Apa salah kalau kami lahir di kampung? Apa dosa? Aib?” kata-katanya sukses membuat Bu Callista semakin menangis.




Mungkin wajahnya juga pucat-pasi mendengar nada marah Ariya, tapi melirik wajahnya saja aku sudah tidak sudi.




"Kakak bilang attitude sirna minus? Lalu attitude kakak sendiri yang berkata seperti itu apa, kalau tidak mau dibilang minus? Aku sebetulnya tidak mau mengungkit tentang Maya… yang telah selingkuh di belakangku.. tapi kenyataannya memang begitu, bukan? Itu attitude apa??" 




Suaranya berubah lebih tenang dan penuh wibawa, walau kutahu itu semua muncul dari rasa marah dan sakit hati.




“Ar..” gumamku. Aku tidak mau orang yang masih kusayangi dicap jelek olehnya. “Sudah Ar.. aku yang salah. Aku minta maaf.”


“Aku tunggu di luar, Ar.”




Aku sudah tidak sanggup menahan rasa marah dan terhinaku oleh semua ucapan Bu Callista. Juga tidak mau mendengar nama Maya yang malah balik dipersalahkan. Maka tanpa menunggu jawaban Ariya, aku berjingkat meninggalkan ruangan, tanpa sudi melirik Bu Callista sedikit pun.




Sesampainya di depan ruangan, pertahananku runtuh. Kelopak mataku seakan pecah saat air mata ini menderas begitu saja. Bahkan tarikan nafas dalam yang kulakukan berulang-ulang tak mampu membendungnya.




Aku hanya bisa menutup wajahku dengan kedua tangan sambil bersandar pada sebuah pilar. Badanku berguncang.




“Sirna, kamu kenapa?” sebuah suara memanggilku.




Melihatnya, aku langsung menghambur dan memeluknya erat. Tangisku pecah dalam pelukannya. Aku tak peduli pada stigma sebagai lelaki rapuh dan cengeng yang mungkin akan kuterima, aku hanya ingin meluapkan semua rasa ini. Kupeluk tubuh gadis ini dengan begitu erat, tanpa memedulikan teh Rahma yang tergesa menghampiri kami.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar