BAB 27
SUATU SIANG DI RSP (2)
Kelopak mataku melebar dan mulutku terbuka. Seorang gadis cantik sedang berdiri kaku, ia juga tak kalah terkejutnya ketika melihatku.
Jeans biru ketat yang ia kenakan sangatlah indah, memamerkan paha dan kaki lenjangnya. Sedangkan bagian atas ia mengenakan baju ketat, sejenis t-shirt yang aku tak tahu namanya, maklum orang kampung. Ia seakan sengaja memamerkan perut langsingnya, sekaligus kedua payudara yang menggunung ketat. Bagian luar ia mengenakan blazzer tanpa dikancing. Sangat mempesona dan membuat mata terpana. Tapi bukan itu yang membuatku terpana… tapi sosoknya yang sangat tak ingin kutemui selama ini.
“Hei beib, kok bengong. Ayo duduk.”
Sapaan teh Rahma membuat aku dan Bu Callista tersadar dari sikap bengong masing-masing. Ya gadis ini adalah dosenku.
Sikap ramahnya berubah ketus ketika melihatku, senyumnya hilang, dan sinar matanya redup. Bahkan aku seakan melihat api kemarahan di sana.
"Bu!" Ucapku sambil berdiri dan mengangguk hormat. Sapaanku teramat singkat karena grogi sekaligus masih shock. Aku sangat tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini; lebih-lebih ia adalah temannya teh rahma.
Aku benar-benar mengalami kupret momen saat ia tak sedikit pun menjawab sapaan singkatku. Jangankan menjawab, selebihnya melirik pun tidak. Ia melangkah mendekati teh dan cipika cipiki. Teh Rahma menyambutnya meski nampak masih heran melihat perubahan raut wajahku juga ekspresi Bu Callista.
"Duduk, beib. Mau ngopi ngga?" Ujar teh Rahma sambil melirikku yang masih kaku berdiri. Ia nampaknya menangkap situasi awkward antara kami berdua, “Kamu kenapa, Wa? Calls? Kalian saling kenal?”
“Sama sekali tidak.”
“Bu Callista dosen saya, teh."
Jawaban kami bersamaan tapi tidak kompak. Dan.. njiiirrr… ia benar-benar tidak mengakuiku. Sebegitu bencinya kah? Dan.. kata-kata lanjutannya, yang membuatku semakin sakit hati: “Saya dosen kamu? Jangan ngaku-ngaku yah. Saya tidak punya mahasiswa tak tahu diri sepertimu.”
Aku mencoba menanggapi dengan tersenyum, padahal tanpa kedua gadis ini tahu, kedua tanganku sudah mengepal. Kalau saja aku tidak menghormati teh Rahma, aku pasti sudah meledak mengobarkan amarahku.
"Loh.. loh.." teh rahma semakin kebingungan. “Gelagatnya sih kalian saling kenal, secara kan Sirna kuliah di Unjani. Ini ada apa sebenarnya?”
“Sudahlah jangan dibahas lagi, lagian kamu kenal dia di mana sih, Ma? Kok bisa berteman ama dia?” ketus Bu Callista.
Kulihat teh rahma terbelalak, tapi sebelum menjawab, bu callista sudah melanjutkan ucapanya, "udah mah aku aku ke sini karena kesal dan mau mendamprat saudaramu, si Ariya, eh malah ketemu dia.”
“…”
Bukan karena tak punya nyali kalau aku hanya diam, tapi aku tidak mau membuat keributan di tempat yang menurutku sangat sakral, yaitu tempat usaha sebuah keluarga yang sangat kuhormati dan kukagumi. Walaupun, diam-diam aku menyimpan rasa heran karena aku dan Bu Callista sedang mencari orang yang sama.
"Teh Rahma, Bu Callista, saya permisi dulu.” pamitku pada keduanya, sebelum aku benar-benar terpancing emosi oleh sikapnya.
“Eh.. mau kemana, Wa? Tunggu dulu, katanya mau mencari Ariya. Palingan sebentar lagi juga dia ke sini.” jawab Téh Rahma. Sementara Bu Callista nampak sedikit terkejut saat mendengar kalau aku sedang mencari Ariya juga.
Lanjut Téh Rahma lagi, “Lagian kalian kenapa sih pada mencari orang yang sama? Ariya bikin ulah apa?”
"Hehe.. gak ada apa-apa, teh." Aku menjawab pertanyaanya sambil mencoba tersenyum. "Gapapa teh. Saya mah bisa lain kali aja.”
“Duduk kamu!!” suara ketusnya mendahului téh Rahma.
Aku terpaku mendengar perintah Bu Callista, selain berdebar karena emosi, kini jantungku juga semakin dag dig dug karena ia malah melarangku pergi.
"Hadeeuh… udah gak usah bikin ribut di sini. Kalian ikut aku!!”
Rahma semakin menangkap gelagat yang tidak beres.
“Rahma? Ini apa-apaan sih?” protes Bu Callista sambil berusaha menepis tangan Téh Rahma yang menariknya.
"Kalian ikut!!" Suara teh Rahma berubah tegas tanpa melepaskan tarikkannya, sementara aku bagai tersirep mengikuti kedua gadis di depanku.
Teh Rahma membawaku pada sebuah ruangan yang rupanya adalah ruang kerjanya. Aku dan Bu Callista duduk berseberangan di atas sofa, sedangkan sang pemilik ruangan hanya berdiri sambil menatap kami bergantian. Sikap manisnya berubah tegas dan penuh wibawa.
"Aku tidak tahu urusan kalian, yang jelas jangan pernah berbuat keributan di cafe ku. Sekarang kalau mau cakar-cakaran di sini silakan.” tegasnya.
Ucapannya sontak membuat Bu Callista balik mengomeli sahabatnya, kini aku mendapat tontonan gratis, melihat dua gadis cantik yang sama-sama kerasnya saling beradu omelan. Aku juga tidak menyangka kalau teh Rahma yang kuanggap lembut bisa seperti ini, bahkan seorang Bu Callista pun akhirnya bisa ia buat bungkam.
Teh Rahma kemudian melangkah ke arah meja kerjanya, mengangkat gagang telpon, dan memencet dua digit nomor.
“Rin, tolong kamu bawain dua cangkir kopi ke ruangan saya!”
“…”
Aku menunduk tanpa tahu apa yang harus kulakukan dan kuucapkan, sementara Bu Callista mendengus kesal pada sahabatnya, juga padaku.
“Ok, Calls. Sekarang kamu cerita. Ada apa sebenarnya?” ia menatap sahabatnya.
“Lu bener-bener nyebelin yah. Gue dan anak ini gak ada apa-apa. Ngapain juga berurusan dengan anak kampung.” gaya bahasa Bu Callista berubah. Ia nampak masih kesal, sedangkan hatiku sendiri mendadak panas.
“Aku juga orang kampung loh!!”
“Eh.. so.. sorry!”
Kulihat Téh Rahma menyembunyikan senyumnya, tanpa kutahu maksudnya. Yang jelas ia telah berhasil membuat Bu Callista merasa bersalah karena ucapannya.
“Kamu itu.. masih saja. Calls.. Calls..” ucapnya tanpa kumengerti maknanya yang tersirat. Tapi Bu Callista mendelik, mungkin ia sendiri yang tahu maksud dari ucapan itu.
“Kamu aja deh yang cerita, Wa. Susah ngarepin nona manja ini.”
“Rahma!!!” Bu Callista membentaknya, tapi tak diacuhkan.
“Wa?”
Teh Rahma, aku menarik nafas dalam, padahal aku sedang mencoba menyimak kata ‘manja’ yang ia ucapkan. Tapi yasudahlah... Bu Callista sudah tidak mengakuiku lagi sebagai mahasiswanya, kini aku tinggal mengamini saja.
"Bu callista itu mantan dosen saya teh.” kutekan suaraku supaya terdengar wajar. Kuabaikan pula wajah orangnya yang sedikit terbelalak dengan wajah memerah.
“Looh? Gimana sih? Kan kamu baru semester pertama, bukan?”
“Iya, téh. Tapi saya sudah mengundurkan diri dari mata kuliah beliau.”
Aku semakin berada di atas angin untuk menumpahkan kekesalanku secara halus. Kulihat Bu Callista sudah mau marah, tapi urung saat mendengar suara ketukan pada pintu.
“Masuk, Rin.” Téh Rahma seakan tahu sosok yang ada di balik pintu.
Benar saja, pelayannya datang sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi.
“Ini kopinya, bu.”
“Buat mereka.” jawabnya.
Aku dan Bu Callista hanya diam menunggu pelayan menaruh gelas di depan kami masing-masing.
“Makasih, ya Rin.”
“Sama-sama, bu. Saya permisi.”
Begitu pelayan meninggalkan ruangan…
"Oke. Aku mengerti." Teh Rahma sambil menyembunyikan senyum dari sahabatnya. “Rupanya ini adalah urusan antara dosen dan mahasiswanya. Jadi mahasiswa yang kamu maksud adalah Sirna, Calls?”
"eittt...!!" Teh Rahma menunjuk Bu Callista yang hendak ngomel dan melempar dengan bantal sofa, sedangkan aku hanya bengong karena kaget mendengar ucapannya barusan. Ternyata Bu Callista sudah cerita tentang keburukanku pada teh Rahma, jangan-jangan mungkin juga pada Maya.
"Sekarang." Ujar teh Rahma dengan suara tegas tapi senyumnya mengembang penuh arti, “Kalian selesaikan urusan kalian berdua. Dan ingaaat… jangan pernah meninggalkan ruangan ini sebelum kopi kalian habis.”
“Téhhh?”
“Rahmaaa!!!”
Tapi dengan cueks, Téh Rahma melenggang meninggalkan kami berdua, tanpa mengabaikan seruan kami.
Kami sama-sama mendengus kesal. Aku yang tidak ingin berlama-lama berada bersama makhluk galak ini, segera kuraih kopiku. Inginku hanya satu, segera meninggalkan ruangan ini dan lepas dari tatapan tajam dan wajah tak bersahabatnya.
Srupuuuut!!!
Gleeeek!!!
Oeeeeeek!!!
Byuuuuurrrr!!!
Hasssh… hasssshhhh…!!!
Kopiku menyembur ke atas lantai, dan sebagian lagi terkena meja. Lidah dan mulutku terasa terbakar oleh kopi panas yang kuteguk. Mataku seketika berair, lidahku terjulur.
Hasssh… hassssh….!!!
Segera aku berlari ke arah meja kerja Téh Rahma untuk mengambil air putih yang terletak di atasnya, aku sudah tak peduli kalau air ini milik gadis itu. Kukumur dan kuteguk sampai habis, meski tidak menghilangkan rasa terbakar, setidaknya bisa mengurangi rasa sakit dan perihnya. Lidahku seketika seakan mati rasa.
Siaaaal!!!!
Ternyata ulahku mendapat ledekan dari Bu Callista. Ia mengamatiku sambil menggigit tali tas tangannya, tubuhnya terguncang, dan matanya berair. Nampaknya ia menahan diri supaya tidak terbahak.
Sabodooo!!!
Segera kuraih berhelai-helai tissue pada meja sambil tetap mendesis kepanasan. Kubersihkan meja… kuambil lagi.. kubersihkan lagi.. tak ketinggalan juga lantainya. Kotak tissue pun habis setengahnya karena kupakai membersihkan bekas semburan, lalu kubuang bekasnya pada tempat sampah di pojokan, di belakang Bu Callista.
Sesaat, aku melihat sosok Bu Callista yang lain. Galak dan judesnya hilang, terganti oleh cekikikan yang tak mampu lagi ia tahan. Tubuhnya masih terguncang, meski sepertinya tidak lagi menggigit tali tas, melainkan menggantinya dengan tangan yang tertangkup pada mulutnya.
Jengkel, kesal, marah, malu, merasa diri dungu… semuanya bercampur menjadi satu. Aku kembali ke tampat dudukku sambil tetap mendesis kepanasan. Kini aku bisa melihat wajah Bu Callista yang memerah menahan geli, air matanya masih berurai. Aku yang merasa diolok-olok, segera menyingkirkan cookies dari pisin, dan menuangkan sisa air kopi ke atasnya.
Kulakukan semuanya dalam diam. Diri ini merasa begitu terhina oleh kekonyolanku sendiri juga oleh sikap Bu Callista, tapi aku mencoba stay cool meski lidahku terasa semakin mati rasa. Kutiup-kutiup isi pisin dan kuseruput sampai habis. Kuulangi lagi.. dan isi gelas pun habis.
Sikap dan caraku minum kopi tentu saja membuat Bu Callista hanya melihatku heran. Tawanya sudah hilang, terganti oleh sorot mata dan ekspresi yang sulit kugambarkan. Tapi ia seakan terpesona akan apa yang sedang kulakukan.
Sebetulnya aku pun terpesona oleh perubahan sikapnya, ia menjadi seorang Bu Callista yang berbeda, meski itu terjadi karena kebodohanku sendiri. Tapi entah kenapa aku merasa tengsin juga, lagi pula aku tidak mau urusannya menjadi panjang karena Maya.
“Saya permisi, bu.” pamitku sambil mengangguk.
“Heeh? Mau ke mana kamu?”
“Kopi saya sudah habis, jadi saya bisa pergi.” jawabku sambil berdiri dan meraih tas gendongku.
“Silakan!” jawabnya singkat sambil menyembunyikan senyum.
Sekali lagi aku mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Aku melangkah menuju café untuk pamitan kepada teh Rahma. Pikirku, aku bisa bertemu Ariya di lain waktu.
"Téh, aku pamit yah.” pamitku pada gadis yang sedang duduk sambil memainkan smartphone -nya.
“Eh? Kalian udah selesai? Cepet juga!”
“Hehehe.. kan kopiku udah habis,
“Lalu urusannya?”
Teh Rahma nampak mendesis kesal dan gemas.
“Kopinya Callista udah habis?”
Kujawab lagi dengan gelengan.
Gerak tangannya tegas, tapi senyumnya mengembang antara gemas dan jail. Tanganku dituntun kembali ke dalam ruangan kerjanya. Nampak Bu Callista sudah pindah duduk di belakang meja kerja teh Rahma. Aku masih melihatnya sedang senyam-senyum sendiri, sebelum akhirnya kembali bersikap jutek saat menyadari kehadiran kami berdua.
Rahma melirik ke atas cangkir kopi sahabatnya yang masih utuh. Ada dengus kesal, tapi senyumnya tetap mengembang.
“Kalian baru boleh keluar kalau kopi kalian sama-sama sudah habis. Punya Callista masih utuh, tuh.”
Rahma membuatku lemas. Ternyata siasatku hanya sia-sia, kini hanya tinggal berharap Bu Callista mau menghabiskan kopinya.
Anehnya, tidak ada ekspresi marah dalam diri bu callista saat mendengar perintah teh Rahma. Ia hanya mengerling sambil semakin membenamkan punggungnya pada sandaran kursi.
Kulihat daun pintu kaca yang kembali tertutup seiring hilangnya tubuh Téh Rahma yang pergi tanpa menunggu jawaban.
Kutatap Bu Callista, tapi ia seakan tidak peduli, malah mulai asik membolak-balik majalah yang tergeletak dari atas meja. Kuputuskan untuk mengambil dan memakan cookies-ku sekedar meredam lidah yang masih terasa terbakar. Lalu kuambil gelas kopi Bu Callista dari meja sofa dan menaruhnya di hadapan sang dosen. Kulakukan sambil tetap mengunyah. Entah kenapa, tak ada sedikit pun keinginan untuk jaim di hadapannya. Aku malah senang kalau membuatnya jengkel, dan bisa membenciku. Alasannya? Yasudah… gak perlu kujelaskan. Hati ini masih menyimpan rasa sakit, sekaligus rindu.
“Silakan diminum kopinya, bu.” aku yang merasa diacuhkan mengingatkannya. Aku sudah ingin segera pergi dari hadapannya.
“…”
“Bu? Maaf ini kopinya.” kali ini sambil duduk.
“…”
OK!! Fine!!! Seenaknya memarahi dan memaki, juga tanpa beban meledek dan mengolok-olokku dengan sikapnya. Aku tidak ingin membalasnya, aku sudah terlalu lelah menanggung beban perasaan dalam minggu-minggu ini, dan kini aku tidak ingin ditambah lagi dengan marah-marah untuk urusan yang tidak penting.
Akalku masih berfungsi, otakku naik pentium lagi. Maka kutarik cangkir dari hadapannya, dan kutuangkan isinya pada pisin. Biar aku yang akan menghabiskannya. Kutiup-tiup tuangan pertama, dan kuseruput sampai habis. Sikapku tentu saja mampu mengalihkan perhatiannya, ia menatapku lekat-lekat sambil mengernyitkan dahi. Ia tidak marah, tidak juga melarang; mulutnya bagai terkunci diam.
Kulakukan tuangan kedua dan kutiup-tiup lagi. Gleeek!!!
Tangannya lebih gesit dari padaku ketika ia mendahuluiku mengambil cangkir yang tinggal berisi kurang dari setengah. Ia meletakkan cangkir jauh dari jangkauanku, tanpa pula meminumnya.
Aku yang bermaksud membuatnya marah, setidaknya merasa keki, malah berbalik. Aku sendiri yang keki karena sikapnya. Aku lebih siap dimarahi daripada didiamkan seperti ini.
“Bu, kopinya diminum donk.” aku mencoba memelas.
“Kamu sebegitu bencinya pada saya, ya Wa?”
Aku mengerjap. Bukan hanya pertanyaan itu yang membuatku kaget, tapi juga nada suaranya yang berubah lembut. Serak-serak basah gimana gitu..! Coba gini terus, aku pasti jatuh cinta deh. Plakk!!! Kutampar pipiku dalam hati (gak boleh protes, bayangin aja gimana cara gamparnya).
“Bbbuu..” aku seketika menjadi kelu.
“Kenapa, Wa? Kenapa?” pertanyaannya pelan tapi penuh penekanan. Raut wajahnya berubah sedih, tidak ada lagi wajah galak seorang dosen bernama Callista.
Aku hanya menunduk tanpa bisa menjawab. Nyaliku yang selalu ingin melawannya tiba-tiba ciut.
“Kenapa, Wa?”
“…”
“Ternyata kamu pengecut. Kirain saya, kamu punya nyali besar.” dengusnya, ia nampak mulai kesal kembali karena sikapku yang hanya diam.
Kuberanikan diri untuk mendongak dan melawan tatapan matanya. Tapi aku kalah, aku kembali menunduk. Kalau sorot mata itu adalah sorot yang selalu ia pancarkan seperti ketika di kampus atau di café tadi, aku berani melawan; tapi sorot matanya yang sekarang aku tidak bisa. Terlalu sendu dan penuh kesedihan.
“Bbbu.. Bu Callista ke.. napa?” aku tergagap saat kulihat ia menitikkan air mata.
Bukannya menjawab, ia malah semakin terisak. Sikapnya tentu saja membuatku semakin salah tingkah. Aku hanya duduk mematung sambil menatapnya.
Bu Callista menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya kembali sambil menggeleng. Ia seakan menyembunyikan sesuatu, tanpa mau menyampaikannya. Diusap air matanya dengan tissue dan menatapku.
“Bu, maaf.. saya.. saya…”
“Besok siang kamu temui saya di kantor. Kamu selesai kuliah jam berapa?”
“Jam 10.40, bu.”
“Saya tunggu kamu, jam 11.00. Ingat, saya tidak suka dengan orang yang ingkar janji dan datang terlambat.”
“Tttaaapi saya kan belum janji, bu.”
“Kamu!!! Aaaargggh…”
Bu Callista seakan ingin meluapkan beban perasaannya. Ia seperti ingin marah, menangis, entah apa lagi.
“Iiya, bu. Besok saya datang jam sebelas.” aku tidak mau mencari perkara lagi. “Tapi aku mohon, habiskan dulu kopinya.”
“Kalau saya tidak mau minum?”
“Ya besok.. bes.. sok saya… gak jadi…” aku tersadar dan membatalkan ucapanku.
“Bilang aja gak mau jadi datang ke kantor saya. Jadi kamu mau memenuhi permintaan saya dengan syarat? Dengan minum kopi ini, iya?”
“…”
“Sinih..!”
“Eeeh??”
Saya hanya menatap tingkah Bu Callista dengan heran saat ia meraih pisin di hadapanku dan menuangkan isi kopinya. Yang lebih mengherankan lagi.. ia meminum kopi itu dari pisin.
“Bbbu, kopinya kan sudah dingin, lagian itu pisin bekas ssa...”
“Kamu ingin segera pergi dari ruangan ini, gak?”
“Iiya, bu.”
Siaaal!!! Aku benar-benar dibuat mati gaya oleh sikap dan ucapannya. Maka kupilih diam tanpa tahu lagi harus berbuat apa.
“Kenapa kamu mencari Ariya? Kalian berteman?” tanyanya sambil kembali menuangkan kopinya.
Sebetulnya caranya sangat lucu. Sungguh sangat kotaan, padahal aku sendiri masih kampungan. Tapi pertanyaan itu, membuatku abai pada apa yang sedang ia lakukan. Kini nasibku benar-benar menjadi pertaruhan: ia menjadi baik atau malah semakin membenciku. Dan aku memilih yang kedua. Sudah cukup aku berurusan dengan keluarganya, aku masih menyimpan luka karena kandasnya hubunganku dengan adiknya. Kalau nanti bukan hanya Maya yang membenciku, melainkan juga kakaknya dan mungkin kelak orangtuanya, itu akan lebih baik bagiku.
“Kenapa, Wa?”
“Saya tahu Ariya karena orangtuanya berasal dari tetangga kampungku, tapi kami tidak saling mengenal. Aku mencarinya karena ada urusan penting. Ada yang ingin kusampaikan berhubungan dengan…”
“Dengan?”
“Maya, adik ibu!”
Kini gantian, Bu Callistalah yang tersedak kopi, bedanya ia tersedak kopi dingin. Semburannya bahkan ada yang mengenai tanganku.
Aku mencoba meraih kotak tissue untuk membersihkan meja, tapi ia mencegah.
“Asal kamu tahu. Saya mencari Ariya karena Maya juga. Ia telah memutuskan adikku, sehingga membuatnya sedih dan mengurung diri di kamar. Aku tidak bisa menerima perlakuannya.” Bu Callista menjelaskan.
Tentu saja ucapannya membuat kepalaku mulai terasa pusing. Versi Lia, Mayalah yang memutuskan Ariya, tapi yang kudengar dari Bu Callista malah sebaliknya.
“Kamu sendiri? Apa hubungannya?”
“…”
“Wa?”
“Baiklah…” aku menarik nafas panjang. “Ariya dan Maya putus gara-gara aku. Makanya aku mencari Ariya untuk menjelaskan duduk perkaranya, sekaligus meminta maaf kepadanya.”
[POV Bu Callista: Jegeeeeerrrr!!!]
Aku sudah siap menerima interogasi, hardikan, cercaan, dan juga cacian dosenku ini, tapi…
"Téh, siapa yang nyari aku? Eeeh.."
Pertanyaan pemuda yang tiba-tiba membuka pintu -tanpa mengetuk- terhenti saat melihat sosok kami berdua. Ia nampak kaget, bukan karena aku tentu saja, tapi karena ada Bu Callista. Sedangkan aku dan Bu Callista memandangnya kaku. Ada kemarahan pada wajahnya, sedangkan aku ketakutan seandainya terjadi keributan. Dan penyebab dari semuanya sedang ada di sini, yaitu aku sendiri.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar