BAB 26
Seorang security menyambutku saat memasuki gedung berlantai dua dengan tulisan RSP di atasnya. Inilah kunjungan keduaku, bedanya, saat itu aku tidak ikut masuk dengan Nur. Wajah-wajah hangat dan ramah langsung terlihat, bukan hanya dari para pegawai, tetapi juga para pengunjung yang cukup ramai.
Kusapukan pandanganku untuk mengamati seluruh isi ruangan. "Ini mah bukan pabrik kopi, tapi mini market." batinku sambil melihat-lihat panjangan berbagai jenis kopi yang dikemas dengan sangat menarik. Meski semua kemasan berlabel “Kopi Sawaka” tapi isinya berupa berbagai jenis produk kopi yang berasal dari pelosok negeri ini, baik itu kopi bubuk maupun bijian. Ada satu blok khusus yang berisi deretan etalase yang memajang produk kopi dari Sawer dengan tulisan “Original Sawer” di bawah label utamanya.
Sejenak fokusku untuk mencari Ariya teralihkan pada daya tarik berbagai jenis produk kopi yang terpajang. Kususuri setiap barisan etalasenya, kukunjungi setiap gang dan sudutnya. Pada dinding-dinding toko, terpajang bingkai-bingkai foto yang berisi berbagai quote dari sang pendiri. Semacam kata-kata bijaksana yang pernah ia ucapkan atau ia tuliskan, juga beberapa cuplikan puisi.
Aku terus berkeliling sampai akhirnya tiba di ujung tangga. Penasaran akan petunjuknya yang memajang tulisan “Gallery and Café”, aku pun menaiki anak tangga. Rupanya lantai dua terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah gallery dan ruangan-ruangan kantor, dan bagian kedua adalah café tempat para pengunjung menikmati secangkir kopi sambil menikmati pemandangan jalanan.
Gallery lebih berupa museum mini yang semuanya berkaitan dengan kopi. Ada banyak bingkai yang memajang sejarah Sawer dan sejarah Kopi Sawaka; juga kekhasan kopi dari berbagai daerah yang ada di negeri ini. Terpajang pula bingkai-bingkai foto yang menampilkan mesin penggilingan Kopi Sawaka dari sejak alat giling pertama yang sangat sederhana sampai yang tercanggih sekarang.
Di blok lain, tepampang bingkai besar yang memuat foto lima orang pemuda dan seorang gadis yang sudah kukenal, walaupun mereka mungkin tidak mengenalku. Sebuah foto jadul dengan pakaian khas pemuda desa. Di sekitarnya ada juga foto-foto aktifitas mereka saat memetik, menjemur, dan menggiling kopi; juga beberapa foto yang menampilkan kebersamaan mereka di dalam sebuah saung dan pendopo. Semuanya dipajang secara menarik dengan keterangan-keterangan kecil di bawahnya.
Di seberangnya, sebuah bingkai besar memajang kemesraan dua sejoli yang sedang berpelukan mesra. Si pemuda memeluk bahu dan pinggang gadisnya, sedangkan tangan si gadis melingkar pada leher pemudanya. Sorot mata mereka beradu mesra dengan wajah yang dekat seakan hendak saling memberikan ciuman.
Tanpa terasa aku tersenyum melihatnya. Sebuah senyum kagum dan bangga, sekaligus perih karena aku tidak bisa seperti mereka. Cintaku selalu kandas, patah di saat sedang puncak mesra.
Dan waktuku tak lama
semoga bisa bermakna
untuk semesta yang menua dan renta.
Begitulah sebuah quote yang tertera pada bagian bawah bingkainya.
Kubaca dan kubaca lagi.. kuulang seakan mencoba meresapi maknanya. Tanpa terasa ada perasaan hangat yang menjalar di sekujur tubuhku. Mereka adalah orang-orang sederhana yang menjadi besar karena cita-cita dan persahabatan; karena cinta dan pengorbanan.
Sejenak pikiranku melayang, mengenang kampung halamanku sendiri. Aku harusnya bisa berbuat banyak untuk Ewer, seperti apa yang telah mereka lakukan untuk Sawer. Tapi apa? Baru karena urusan percintaan saja, aku sudah patah, menyerah kalah.
“Bangkit, Wa. Bangkit!!!” aku menyemangati diri sendiri.
Aku melangkah ke sisi lain. Kini bukan hanya foto yang kulihat, tapi juga alat giling kopi asli yang pernah mereka pakai ketika memulai usaha, juga mesin giling generasi kedua dan ketiga buatan tangan mereka. Pada dinding sekitarnya, ada berbagai pernak-pernik yang pernah dipakai oleh sang pendiri. Sudah almarhum tentu saja, karena ia meninggal muda.
“Mamaaah…” suara anak kecil memecah keheningan dan keasikanku.
Seorang gadis kecil berseragam SD berlari menghambur ke dalam pelukan seorang wanita yang kukenal. Dibelakangnya seorang anak gadis, berseragam putih-biru, tergopoh mengejar adiknya yang berlari.
“Udah pulang, sayang?” jawab ibunya.
Ia berjongkok sambil menyambut pelukan si bungsu, dan juga kakaknya. Aku tertegun melihat kemesraan mereka. Kecupan kasih sayang pun diberikan di atas dahi mereka masing-masing.
“Kakak dan adek udah makan?”
“Belom.” jawab si kecil sambil menggeleng-geleng menggemaskan.
“Yaudah kita makan bareng ayah di resto aja, ya.” jawab ibunya sambil tersenyum.
“Kak ‘Nji gak ke sini bareng, sayang?” tanyanya kepada si sulung.
“Kak ‘Nji pulang sore, mah. Nanti dijemput Kak Ariya.”
Mendengar nama Ariya disebut, jantungku berdebar kencang. Sementara ‘Nji’ yang dimaksud pasti adalah Rinjani, putri sulung Pak Jaka dan Bu Mayang. Ia adik kelasku di SD dulu, begitu aku mulai sekolah SMA, ia masuk SMP. Kemudian ia melanjutkan SMA di Bandung; konon di sebuah sekolah elite kota ini. Perhitunganku, ia sekarang sudah duduk di kelas tiga, atau tahun terakhir mengenakan seragam putih abu-abu.
“Kak ‘Nji jarang ngajak maen adek lagi.” si kecil merajuk.
“Hihihi.. kakakmu kan udah kelas tiga, sayang. Nanti juga kalau kamu udah SMA pasti sibuk, gak mau nemenin mamah lagi di kantor.”
“Nggak!” jawab si kecil singkat sambil menggeleng-gelengkan kepala; terlihat sangat menggemaskan.
Si wanita pun berdiri sambil menggendong anak bungsunya dan mecium pipinya. Sementara sang kakak mengambil tas adiknya dan mengantarkannya masuk ke dalam sebuah ruangan, yang nampaknya adalah kantor wanita itu.
“Om Ardan mana, mah?” tanya si kecil.
“Om kan lagi pulang ke Sawer, sayang.”
“Berarti nanti pulangnya ama oma, yah? Oma ke Bandung, kan mah?”
“Hihi.. kamu kangen oma, ya sayang? Nanti abis makan, adek telpon oma biar mau ke Bandung. Kalau adek yang nelpon pasti mau. Kamu kan cucu kesayangannya.”
“Asiiiik…”
Aku hanya terpaku menyaksikan kemesraan ibu dan anak tersebut. Rasa kangen pada ibuku sendiri tiba-tiba menyeruak.
Merasa gemas dengan anaknya, ia menggoyang-goyang si kecil dalam gendongannya, membuat tubuhnya sedikit memutar. Sorot mata kami pun bertemu.
Bagai ada aliran magnet, kami berpandangan cukup lama. Aku kaku karena sungkan, sedangkan ia terpaku entah karena apa. Ia seperti sangat kaget melihatku, kedua bibirnya nampak terbuka.
“Ayo, mah.” tiba-tiba anak sulungnya nyamperin.
“Eh.. iyah sayang. Sebentar…” ia melangkah mendekatiku sambil tetap menggendong anaknya. Sorot matanya tak henti mengamatiku, membuatku salah tingkah.
“Mungkinkah ia mengenalku?” aku membatin.
“Selamat siang, bu Mae.” aku menyapanya duluan sambil membungkuk hormat.
“Eh.. kamu tahu nama saya? Kenal di mana?”
“Mamah ayooo..” si kecil merajuk, membuat aku urung menjawab.
“Adek bareng kakak dulu ya. Mamah mau ada urusan dulu ama omnya ini.” jawabnya sambil menurunkan si kecil. “Kak, ajak adikmu. Nanti mamah nyusul,” katanya kepada anak sulungnya.
“Iya mah. Ayu dek.”
“Gendooong!!”
“Iiih manja. Adek jalan aja.”
“Gak mauu. Gendong kakaaaak!!”
“Iiiih… iya.. iya.. yaudah ayo. Udah SD juga…!!” gerutu kakaknya.
Aku tersenyum melihat tingkah kedua kakak-beradik tersebut, sedangkan ibunya hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Mereka lucu, ya bu.” ucapku saat mereka meninggalkan kami.
“Hehehe.. iya, selalu rame kalau di rumah.” jawabnya. “Eh.. kamu…” ia yang kembali sadar akan keberadaanku kembali berujar, tanpa melanjutkan ucapannya, lalu mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Sadar akan kebingungannya, aku pun berkata, “Saya berasal dari Ewer, bu, jadi saya tahu ibu. Kalau ama pak haji dan bu hajah mah kami sudah saling mengenal.”
“Oalaah.. pantesan. Maaf yah, saya malah gak kenal. Tapi…”
“Tapi apa, bu?”
“…”
“Kamu siapa?”
“Perkenalkan, nama saya Sirna, bu.” jawabku sambil mengulurkan tangan.
Bagai ada aliran listrik yang menyertai sentuhan tangan kami. Bu Mae semakin terbelalak, sementara aku kebingungan sendiri. Tangan ini pun tidak terlepas selama beberapa detik lamanya.
“Maksud saya tadi bukan namamu, tapi… eh..” ia sadar, lalu melepaskan tangannya.
“Iya.. iya maaf, Nak Sirna.” ia semakin gugup.
Sikapnya membuatku heran dan kebingungan sendiri.
“Kita ngobrol di dalam saja.”
“Tapi bu..!”
“Ayo..!!”
Ia mendahuluiku memasuki kantornya. Aku hanya mengekor dengan salah tingkah, sikap Bu Mae benar-benar membuatku bingung. Kami memasuki sebuah ruangan yang cukup luas dengan dua meja kerja di dalamnya.
“Silakan duduk, Nak Sirna.” ucapnya, mempersilakanku duduk di atas sofa. Kami pun duduk berhadapan.
“Kamu siapa, nak?” tanyanya. Sebuah pertanyaan yang sama dengan sebelumnya.
“Mmmak.. sud, ibu? Nama saya Sirna, bu. Purnama Sirnawa.” jawabku.
“Duh.. gimana ya jelasinnya?” Bu Mae kebingungan sendiri.
“Ayah saya (alm) Warsito, dan ibu saya bernama Riniasih.” aku mencoba menebak maksudnya.
Hanya desahan kecil yang Bu Mae lakukan saat mendengar penjelasanku; wanita cantik menjelang usia berkepala empat ini nampak kebingungan sendiri.
“Oke. Nak Sirna ada di sini sekedar main, belanja, ngopi, atau…?”
“Saya mencari Ariya, bu.”
“Kamu kenal dia?”
“Kalau saya sih kenal, tapi kalau Ariya sendiri sepertinya gak kenal aku.”
“Looh..?”
“Maaf, bu. Saya hanya ada perlu aja dengannya.”
Obrolan kami terhenti saat smartphone -nya berdering.
“Iya, ayah?”
“…”
“Sebentar ya. Aku ada tamu dulu. Ayah makan duluan aja bareng anak-anak.”
“…”
“Suruh mereka makan, dan kalau Ariya datang jangan suruh pulang dulu. Ada temannya yang nyari.”
“…”
“Ayah!! Apaan sih? Malu didengar anak-anak.”
“…”
“Tahu ah..! Udah ayah sana makaaan!”
“…”
“Iya. Sebentar lagi ya.”
Kliiik!!
“Maaf, ya. Anak-anak sudah menunggu ibu makan. Kamu ikut makan bareng kami yah.” Bu Mae menatapku penuh harap. Wajahnya sedikit merona, yang kuduga akibat digoda oleh orang yang barusan menelpon. Siapa lagi kalau bukan Pak Raka, suaminya.
“Maaf, bu, saya sudah makan. Saya tunggu Ariya di café saja sambil ngopi.”
“Hehehe…”
“Bu? Maaf kok…?”
“Ibu tahu kamu belum makan. Tapi yasudah kalau gak mau menerima undangan ibu.”
Mukaku terasa panas, mungkin memerah karena malu. Ia bisa tahu kalau aku berbohong.
“Tapi ibu minta nomor handphone- mu. Boleh?”
Hati dan mulutku ingin bertanya maksud Bu Mae meminta nomorku, tapi wanita ini memiliki aura yang seolah bisa mempengaruhiku. Aku hanya bisa mengangguk sambil menyebutkan nomorku dengan sedikit terbata-bata. Aku begitu luluh oleh kharisma yang ia miliki, lembut tapi berwibawa, keibuan tapi juga tegas. Di samping itu.. ia sangat sensual... Hadeuuuh.. ingin rasanya aku menampar pipi sendiri.
Setelah mencatat nama dan nomorku pada smartphone-nya, Bu Mae mengamati wajahku sekali lagi. Sorot matanya seakan sedang menyelidiku, tajam dan dalam, sementara aku hanya bisa mematung bingung.
“Gak mungkin…!” gumamnya.
“Apa, bu?”
“Eh.. ngg.. nggak… maaf. Yasudah ibu nyusul anak-anak dulu ya. Kamu kenal Rahma, kan.”
“I.. iya, bu, kenal.”
“Dia adalah HRD sekaligus manager pemasaran di sini, jadi nanti kamu bisa ketemu dia di café. Sekarang harusnya sudah ada sih, soalnya ia biasa makan siang lebih awal.”
“Mmakasih, bu.” jawabku sopan.
Aku dan Bu Mae meninggalkan ruangannya, aku melangkah ke café, sedangkan ia berjalan menyusuri sisi lain gedung yang sepertinya punya akses langsung ke resto di sebelah.
Sesaat aku merasa seakan ada yang sedang memperhatikan punggungku, siapa lagi kalau bukan bu Mae, tapi aku terlalu sungkan dan takut dianggap kurang ajar kalau berbalik dan ketahuan memperhatikannya juga. Maka aku terus melangkah menuju ke arah café.
Setibanya di pintu masuk café yang berdinding kaca, aku sedikit tertegun ketika melihat seorang gadis seumuran Bu Callista yang sedang ngobrol akrab dengan para pelayan. Cantik seperti biasa, juga ramah dan dekat dengan siapa saja.
Aku mendekatinya dan mengangguk sopan saat ia melihatku." Siang, teh, apa kabar?” Sapaku sambil mengulurkan tangan.
“Hai.. ini... sebentar.. sebentar. Kamu adik kelasku, kan?”
“Hehe.. iya téh .. saya…”
“Sirna.” ucap kami berbarengan.
"Téh Rahma masih inget aja. Apa kabar, téh?”
“"a ampuun. Baik..!! Kamu sendiri gimana? Kuliah atau kerja di Bandung?”
Ia masih saja cerewet seperti biasanya; namun sikapnya tidak mampu menyembunyikan keanggunan dan kecantikan yang ia miliki. Sorot mata dan senyumnya selalu meneduhkan, dan membuat perasaan para pria berdesir. Ia sungguh-sungguh mewarisi wajah dan sifat ibunya, juga almarhumah sang kakak.
“Aku baik téh. Sudah dua bulan di Cimahi, kuliah di Unjani.”
“Oalah.. di kampung bertetangga, di kota juga. Hihihi…”
“Iya, téh, hehe.”
Teh Rahma mengajakku duduk di salah satu sudut café. Kami duduk berhadapan, sambil sekali-kali kuperhatikan wajahnya. Dulu saja sudah cantik, apalagi sekarang setelah mengenal dandan dan merawat diri.
“Kamu mau minum kopi apa, Wa?”
“Ikut tétéh aja deh, aku gak ngerti. Tapi yang jelas kopi Sawer.” jawabku sopan.
“Yaudah aku pesankan kopi andalan di sini.” jawabnya sambil melambaikan tangan pada seorang pelayan.
“Bikinin kopi satu, Rin, untuk masnya.”
“Baik, bu. Kopi apa ya?”
“Kopi SSS aja, jangan pake gula.”
“Siap, bu.” ia mengangguk, katanya kpadaku, “Tunggu sebentar, ya mas.”
“Makasih, mbak.”
Sambil menunggy pesanan, aku dan teh Rahma pun saling berbagi cerita sambil mengenang saat-saat sekolah di desa dulu. Tak lama kemudian kopi pun datang, lengkap dengan cookies di atas pisin.
Setelah dipersilakan, aku pun menyeruputnya. Sangat lezat, kopi terenak yang pernah kuminum. Sangat jauh dengan rasa kopi yang diseduh oleh Hansip Pasar saat nongkrong malam-malam di Baros. Maklum di sini harga satu cangkirnya saja sudah lima puluh ribu, sedangkan yang diseduh di pasar hanya kopi sachetan. Semoga saja teh Rahma tidak memintaku untuk bayar.
“Gimana? Suka?” tanya Téh Rahma.
“Mantap, téh. Pake banget..!” jawabku jujur.
“Ini andalan kami, Wa, racikan warisan almarhum.”
Aku mengangguk pelan, lalu menyeruput kembali kopiku. Aku sudah tahu orang yang ia maksud, tapi tidak ada nada sedih di sana, melainkan ucapan kebanggaan dengan sorot mata berbinar dan senyum yang mengembang.
Setelah tegukan ketika, tiba-tiba aku merasa lebih relax, pikiranku lebih tenang, dan beban perasaan yang selama ini menghimpit menjadi lebih lega. Efek kopi ini kah? Entahlah.. yang jelas aku sangat menikmati rasanya.
Setelah saling diam sesaat, aku pun mulai menyampaikan maksudku datang ke sini.
"Téh, aku sebetulnya ke sini nyari Ariya.” kutatap wajah cantiknya, “Ia suka ke sini gak, ya téh"
“Eh... Ariya yah? Harusnya sih jam segini udah datang.” Sambil celingukan, “Tapi mungkin masih makan di resto.”
“Atau aku telpon dulu aja ya.”
“Eh.. gak usah teh, biar aku tunggu saja. Gak penting-penting banget sih, cuma ingin ketemu aja.” aku memotongnya.
“Oh.. yaudah kalau gitu mah .” ia meletakkan kembali smartphone-nya.
'Téh Rahma gak makan siang?”
“Nanti saya mah, masih nunggu temen.” jawabnya. Berarti tebakan Bu Mae salah, karen Téh Rahma belum makan.
“Nanti kamu makan bareng aku yah,” lanjutnya lagi.
“Eh.. nggak, téh . Saya mah nunggu di sini aja.”
“Tenang aja, aku yang bayar kok. Hihi..”
“Bukan itu, té, hehe..” aku tersipu saat ia seakan tahu isi kepalaku, lalu aku berbohong, “Saya mah udah makan tadi.”
“Bohong berarti lapar loh…”
“Beneran tétéh..!!” aku memelas.
“Yudah..” jawabnya sambil menatapku dan memberikan senyum indahnya.
“Wa, aku minta nomor hapemu, donk.”
“Eh.. iya téh"
Dengan gugup kusebutkan nomorku, sedangkan jari lentiknya lincah menyentuh layar smartphone- nya.
“Aku misscall yah.”
Aku hanya mengangguk sambil mengeluarkan hapeku. “Udah masuk, teh."
Tik tik! Tik tok!
Kami saling diam seolah kehabisan kata. Malah saling menyibukan diri masing-masing. Sekali-kali kulirik paras cantiknya. Sampai…
“Hai, beib…!!”
Serempam aku dan teh Rahma mendongak. Aku yang duduk membelakangi si pemilik suara segera memutar badan ke belakang dan...
Jedeeer!!!
Kelopak mataku melebar dan mulutku terbuka. Seorang gadis cantik sedang berdiri kaku, ia juga tak kalah terkejutnya ketika melihatku.
Jeans biru ketat yang ia kenakan sangatlah indah, memamerkan paha dan kaki lenjangnya. Sedangkan bagian atas ia mengenakan baju ketat, sejenis t-shirt yang aku tak tahu namanya, maklum orang kampung. Ia seakan sengaja memamerkan perut langsingnya, sekaligus kedua payudara yang menggunung ketat. Bagian luar ia mengenakan blazzer tanpa dikancing. Sangat mempesona dan membuat mata terpana. Tapi bukan itu yang membuatku terpana… melainkan sosoknya yang sangat tak ingin kutemui.
“Hei beib, kok bengong. Ayo duduk.”
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar