BAB 25
SUATU SIANG DI RSP...
Waktu itu berwajah ganda. Ia linear, lurus, dari detik.. menit.. jam.. dari hari.. minggu.. bulan.. tahun.. dari lahir.. tua… mati. Tapi ia juga adalah lingkaran tanpa ujung, dari senin sampai senin lagi, dari pagi dan pagi lagi. Ada senja yang berulang, pun pula malam dan siangnya.
Aku hidup di antara keduanya. Aku berjalan dalam alur waktu linear menuju masa depan, sekaligus hidup dalam perasaan-perasaan yang terulang dalam lingkarannya. Bangun, pergi kuliah, kerja, ngerjain, tugas, dan pulang. Rutinitas yang terjadi setiap hari. Dan… Selalu ada perasaan dan kenangan yang terulang setiap memasuki kamar di akhir hariku. Ada rasa kosong di awal pagiku ketika terjaga. Terus terulang… Butuh waktu bagiku untuk terbiasa hidup tanpa menelpon dan tidur dengan Maya. Butuh waktu untuk melupakan semua kenangannya, dan menerima kenyataan bahwa ia bukan siapa-siapaku lagi. Saling berkabar pun tidak.
Tapi waktu juga bergerak maju. Aku harus menjalani hari-hariku. Mengalami proses sebuah fase dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Rutinitasku sama, perasaan-perasaanku juga tetap saja, tapi aku harus terus melangkah. Kehilangan Maya bukanlah hal yang mudah bagiku. Keputusan dan tekad bulat yang telah kubuat semata-mata demi kebaikan Maya dan keluarganya, juga Ariya yang berasal dari keluarga yang seluruh warga desa hormati, meski itu harus kulakukan dengan menyangkal perasaanku sendiri. Biarlah aku menjalani hidupku dengan perasaan tersakiti. Biarlah aku menanggung rapuhku di bawah peneguhan ketiga sahabatku, juga Kang Narto dan Ceu Ningrum.
Dan inilah minggu keduaku sejak aku dan Maya putus…
Kupandang wajah Lia dengan tatapan kosong; sekali-kali kulirik Rad dan Nur yang mengamati ekspresiku begitu mendengar kabar dari Lia. Siang ini kami sedang duduk di kantin, sebuah kesempatan langka untuk bisa berkumpul di kampus.
"Maya sudah putus dengan ariya, Wa." ucapan Lia barusan membuatku benar-benar kehilangan kata-kata untuk diucapkan. Terlalu mengejutkan. Terlalu menyesakkan… Apalagi begitu tahu bahwa keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka datang dari Maya sendiri. Mayalah yang memutuskan Ariya.
“Kamu tahu alasannya, yank?” Rad menjadi penyalur rasa penasaranku.
Kulihat Lia menggeleng, lalu jawabnya, “Maya tidak bilang. Sejak putus dengan Sirna, ia jarang mau cerita lagi padaku.”
“Idem.” sahut Nur
Mendengar ucapan mereka, aku jadi ikut merasa bersalah, spontan bibirku mengucap, “Maafkan aku, ya Li. Ke kamu juga, Nur.”
“Ehhh…?” jawab mereka bersamaan. “Kok minta maaf ke aku, Wa?” Lia bingung.
“Hooh.” sahut Nur.
“Iya, gara-gara aku, persahabatan kalian jadi renggang. Maaf…” sesalku.
“Halaah.. Sudahlah, Wa. Maya memang gitu, tapi percayalah itu tidak akan lama… Aku sudah sangat kenal karakternya. Ia hanya butuh waktu. Ni buktinya… semalam ia menelponku dan curhat kalau sudah putus dengan Ariya, walaupun ia sama sekali tidak mau membicarakanmu.”
Aku menarik nafas panjang mendengarnya. Aku tidak keberatan kalau Maya membenciku, tapi kenapa ia tetap memutuskan Ariya?
“Waaa!!!” tiba-tiba Nur memekik seakan baru mengingat sesuatu. Mata beningnya berbinar memandangku. “Ariya!!” serunya lagi.
“Maksudmu?” tanyaku, sementara Rad dan Lia hanya mengernyit keheranan.
“Jangan-jangan… fiuuuh ini tanda, Wa.” ucap Nur. Kata-katanya terputus karena ia meneguk teh manisnya untuk membasahi kerongkongan. “Jangan-jangan.. yang dimaksud oleh Ceu Ningrum adalah Ariya.”
“Lalu kenapa Ariya?” otakku tiba-tiba turun pentium.
“Ya gak tahu. Mungkin kamu harus ngaku dan minta maaf.. atau mungkin…”
“Bentar!” Lia memotong, “Ini sebenarnya ada apa sih?”
Pikiranku berkecamuk memikirkan ucapan Nur barusan sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan Lia.
“Wa..? Nur..? Apa hubungannya dengan Ceu Ningrum?” tanya Lia lagi.
“Eh.. maaf.. maaf, Li. Ngg.. gak ada apa-apa, Li.” Nur nampak sadar bahwa Lia memang tidak tahu kisah hidupku di belakang Maya, juga tentang pesan Cintung yang disampaikan melalui Ceu Ningrum.
Kupandang Rad yang nampak hanya diam. Sikapnya membuatku yakin bahwa ia tidak pernah membocorkan curhatku pada kekasihnya. Kutatap Nur yang salah tingkah karena telah keceplosan. Kuperhatikan pula Lia yang kebingungan menunggu jawaban.
“Li..” akhirnya aku bersuara. Kutarik dan kuhembuskan nafasku dalam-dalam, “Aku percaya ke kamu. Mungkin ada baiknya kamu juga tahu karena kamu adalah pacar Rad, dan sahabat kami. Kamu udah jadi bagian dari kami. Tapi aku mohon, jangan pernah mengatakan semuanya ini pada Maya.”
“Wa!!” Rad memotong pertanda keberatan.
Kulihat Nur menunduk. Aku meyakinkan Rad dengan menggeleng, lalu kataku, “Benar kata Nur. Mungkin yang dimaksud Cintung adalah Ariya. Kalaupun bukan, tak ada salahnya kalau aku datang dan mengaku sebagai biang keladi atas putusnya hubungannya dengan Maya. Aku terlalu menghormati keluarga ini.”
“Nur..” kali ini aku berkata kepada gadis itu, “Kamu dan Rad tolong jelaskan ke Lia, aku akan ke RSP untuk mencari Ariya.”
“Wa, aku ikut! Biar Rad aja yang jelasin.” ucap Nur sambil meraih pergelangan tanganku yang hendak beranjak.
“Kamu di sini aja, Nur. Biar aku menyelesaikannya sendiri.”
Nur hanya mendengus tanda tidak setuju dengan keputusanku.
“A.. aku.. tidak apa-apa kok kalau ada yang kalian sembunyikan.” tiba-tiba Lia merasa bersalah.
“Kamu punya hak untuk tahu, Li, tapi juga punya kewajiban untuk merahasiakannya.” ucapku sok diplomatis.
“Dah ya.. aku pergi dulu.” pamitku sambil menyantelkan tas gendong pada pundakku.
Rad meninju bahuku. Nur menatapku penuh khawatir, sedangkan Lia malah salah tingkah karena bingung.
“Kamu bawa motorku aja.” ujar Nur sambil mencari kunci motor dari dalam tasnya.
“Gak usah, Nur. Aku ngangkot aja, lagian aku masih butuh waktu untuk menyendiri. Setidaknya aku bisa menenangkan diri selama di angkot.”
“Kamu tuh..” dengus Nur, “Yaudah.. kamu hati-hati dan jangan lupa ngabarin aku.”
“Aku dan Lia nggak?” goda Rad.
Ucapan Rad sukses membuat kedua pipi Nur memerah, tapi ia selalu punya cara untuk menyembunyikan kegugupannya dengan memasang wajah jutek.
Kutepuk bahu ketiga sahabatku, lalu melangkah meninggalkan kantin. Setibanya di halaman kampus…
“Woooiii, Wa.” Karma berlari ke arahku.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Aku ada urusan dulu ke Bandung. Mana si Kubus dan Nurdin?”
"Ah payah mereka mah. Abis kuliah langsung kabur aja, gak tau dah mau pada kemana. Ni aku mau ngajak kamu nongkrong, malah mau kabur juga.” sungutnya.
"Sorry . Besok-besok lagi aja deh.” jawabku.
Karma langsung menghalangi langkah dan menahanku.
“Wa, Nur di mana?”
“Aku gak lihat. Di perpus kali ama Aruna dan Dewi.”
Aku berbohong karena aku tidak mau Karma menganggu obrolan ketiga sahabatku di kantin.
“Yaudah deh, aku cari ke sana. Tapi…” Karma nampak berpikir.
“Apa lagi?” aku mulai tak sabar.
“Kamu beneran gak suka dia, kan? Gak pacaran, kan? Kok akhir-akhir ini kalian selalu bersama terus.”
Ucapan Karma membuatku kaget, tapi segera kusembunyikan. Sejak aku putus dengan Maya, Nur memang menjadi lebih perhatian. Ia seakan tidak mau jauh dariku. Bukan apa-apa… ia adalah orang pertama yang selalu menghiburku dan memastikan bahwa aku baik-baik saja. Di balik semua itu, aku sendiri tidak tahu perasaannya yang sesungguhnya, sama seperti aku sendiri tidak tahu perasaanku. Hati dan pikiranku masih dibayangi Maya.
“Kagaklah.. Dah sana cari dia.” jawabku.
“Mantap.”
Karma mengacungkan kedua jempolnya, lalu bergegas menuju gedung perpustakaan. Aku memandang punggungnya sampai menghilang, dengan sedikit rasa cemburu yang berdesir.
Kutepis pikiranku sendiri, dan kembali fokus pada tujuanku. Aku jalan kaki meninggalkan kampus.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar