Cincin dari masa lalu part 24

 

BAB 24

Tik tok tik tok!

Matahari sudah tenggelam dengan menyisakan sedikit bias merah. Aku hanya bisa terpaku memandangnya. Batinku bergetar mendengar cerita Maya, hatiku menangis menyimak semua kejujurannya. Haruskah aku benar-benar mengakhiri kisah cintaku bersamaan dengan gelapnya langit yang akan turun sebentar lagi?

“Maafkan aku, Wa. Aku telah mengecewakanmu dan membuatmu terluka untuk kedua kalinya. Aku yang seharusnya menyembuhkan lukamu, malah semakin membubuhkan cuka. Aku… aku sangat menyesal.. tapi itu aku lakukan karena aku benar-benar menyayangimu.”

Rasanya aku ingin segera merokok. Tapi aku masih menghargai gadis di hadapanku ini, meski kalau pun aku melakukannya, ia pasti tidak akan keberatan.

“Asal kamu tahu, Wa. Hiks.. hiks…”

Tiba-tiba tangisnya kembali pecah dan tubuhnya terguncang. Aku hanya bisa mematung tanpa bisa berbuat apa-apa. Kubiarkan ia menangis, padahal hatiku sendiri bagai teriris.

“Kemarin malam.. hiks…” Maya bisa menguasai dirinya. “Aku janjian dengan Ariya dan ngajak dia ketemu di café milik tantenya, dengan maksud aku mau jujur padanya. Jujur bahwa ada laki-laki lain di hatiku. Dan itu adalah kamu…!! Hiks… Kemarin malam, aku bermaksud mengakhiri hubunganku dengan Ariya!!!”

Nada suara Maya meninggi saat mengucapkan kalimat terakhir. Sedangkan aku hanya bisa meremas tangan sendiri yang terasa dingin dan kaku.

“Tapi.. belum juga aku menyampaikan maksudku pada Ariya, mama nelpon dan memaksaku pulang. Mama bilang ia sudah membuat kejutan karena ada yang mau datang ke rumah. Ariya pun mengantarku tanpa tahu apa yang sedang bergejolak dalam hatiku; bahkan ia pun seperti tidak curiga kalau aku berniat mengakhiri hubungan kami. Dan aku melihatmu.. kejutan yang mama maksud ternyata adalah kamu. Hiks… hiks…”

Kali ini Maya menangkupkan kedua telapak tangan untuk menutupi wajahnya. Aku bagai pria paling payah di muka bumi ini saat hanya mematung, tanpa berbuat apapun. Entah mengapa, untuk beranjak dari kursi ini pun aku merasa berat.

“Jadi kamu tidak pernah cerita pada keluargamu kalau pacaran denganku karena sudah ada Ariya?” malah bibir ini yang meminta kepastian.

Maya mengangguk sambil membuka kedua tangan dan mengusapi air matanya. “Tapi bukan hanya itu.. hiks.. ada alasan lain..”

“Dan itu adalah ayahmu atau kakakmu?” aku mencoba menebak; Maya mengangguk.

“Ayahmu tidak akan setuju karena aku hanyalah anak kampung? Atau karena kakakmu yang tidak akan setuju?” aku mencoba mengeluarkan isi pikiranku.

Kali ini Maya hanya diam mematung. Tatapan kosongnya tertuju padaku.

“Dengar, Wa.” Maya mencoba menguasai diri. “Papah mungkin tidak akan setuju seperti katamu, tapi aku mohon, kamu jangan berpikir hal jelek tentang papah. Papahku akan melakukan apapun demi kebaikanku dan Kak Callista. Ia akan mengikuti pilihan dan keputusan kami sejauh demi kebahagiaan kami anak-anaknya.”

“Lalu?”

“Kak Callista!!!”

“Karena sikapku di kampus, kamu takut Bu Callista antipati dan menentang hubungan kita?”

Maya menggeleng. Ia beranjak dari duduknya dan berdiri di tepi pagar balkon café. Rambut dan bajunya berkibar diterpa semilir angin malam. Senja sudah berlalu dan berganti gelap.

“Kak Calls punya masa lalu yang buruk sama sepertimu. Kekasihnya meninggal dalam pelukannya di rumah sakit karena kecelakaan. Kejadian naas itu terjadi, saat mereka baru jadian, atau sehari setelah wisuda sarjana mereka.”




Aku tercekat mendengarnya, ternyata ada masa lalu pahit di balik sikap jutek dan galak Bu Callista.




“Asal kamu tahu, ia juga punya kalung cincin sepertimu. Cincin yang dipasangkan kekasihnya tiga jam sebelum kecelakaan itu terjadi.”




Jiwaku bergetar mendengarnya. Aku pun berdiri dan menjejeri Maya sambil menerawang jauh. Aku sangat tidak menyangka dan seakan tidak percaya terhadap apa yang baru kudengar dari cerita Maya.




“Sejak itu, ia berubah. Kak Calls menjadi pendiam dan pemurung. Ia selalu dingin pada siapa pun, khususnya kaum lelaki. Padahal aslinya kakak sangat manja. Seiring perjalanan waktu, ia mulai ke sifat aslinya, tapi itu hanya terjadi di rumah, di depan papa, mama, dan aku. Di luar ia tetap seorang yang keras dan judes.”


“Untuk membuat Kak Calls melupakan kekasihnya, papa mengirimnya ke Aussie untuk melanjutkan S2. Tahun ini ia baru lulus dan langsung mengajar di kampusmu. Papa dan mama sebetulnya tidak setuju kakak menjadi dosen, mereka ingin agar kakak menjadi penerus papa di perusahaan…”


“Tapi Kak Calls memaksa dengan alasan: ketemu banyak orang akan membuatnya lebih berkembang, lebih bisa membuka diri. Tapi itulah sifat dia.. seperti yang kamu tahu… Satu yang tidak kalian tahu, kebaikan dan ketulusan hatinya.”




Rasa bersalah dan sesal pun menyeruak dalam hatiku. Sikap kerasnya telah kulawan dengan keras pula, padahal itu hanyalah ungkapan bawah sadar Bu Callista untuk menutupi luka hatinya.




“Maaf!” aku berkata lirih. “Tapi apa hubungannya denganku, dengan kita?”


“Kamu adalah lelaki pertama yang menjadi bahan cerita Kak Callista sejak peristiwa pahit itu.”


“Mmak.. sudmu?”


“Kakak tidak pernah mau cerita tentang cowok. Bahkan mendengar curhatku tentang cowok pun ia nggak mau. Tapi sejak ketemu kamu, ia jadi sering membicarakanmu. Memang ia mengungkapkan kekesalannya tentangmu, tapi hampir setiap hari ia ngomongin kamu. Dan aku sering melihat Kak Calls senyum-senyum sendiri.”




Jegeeer!!!




“Aku tidak mau bilang tentang kita karena aku takut kalau kakak sedang jatuh cinta padamu, aku takut kehilanganmu; tapi aku juga tidak mau mengecewakan kakak, aku ingin kakak bahagia kembali.”




Aku hanya bisa mendengus mendengarnya. Otakku seakan beku dan tidak bisa berpikir apa-apa. Aku memang sempat marah pada Maya karena ia membohongiku, tapi kini kemarahanku berganti sedih dan haru saat mendengar ketulusan cintanya; sebuah rasa yang ia pendam sejak pertemuan pertama di masa kecil dulu. Di sisi lain, cerita tentang Bu Callista membuatku bertambah pusing. Disadari atau tidak, sikapku di kampus telah menambah luka di hatinya.




“Aku sayang kamu, Wa. Sangat…!! Maafkan aku kalau sudah membuatmu terluka.” desah Maya tanpa berani memandangku.




Kata-kata itu terdengar tulus dan penuh penyesalan, membuatku semakin merasa tidak berdaya. Ia mungkin salah ketika menjadikanku sebagai selingkuhannya, tapi cinta tulus yang ia punya tidak bisa dipersalahkan. Caranya mungkin juga salah, tapi ia tidak pernah menyangkal rasa sayang itu, dan bahkan rela memutuskan hubungannya dengan Ariya. Sementara aku? Aku tidak menyangkal rasa sayangku, tapi di belakangnya, aku telah melakukan hal jauh lebih buruk. Perbuatan mesumku dengan Ceu Ningrum pun muncul, bergantian dengan wajah Ariya.




Aku terlalu hanyut dalam pikiranku sendiri, membuat tak sadar kalau Maya sudah membalikkan badan dan menatapku lekat.




“Apakah masih ada kesempatan untukku, Wa?” pertanyaannya membuatku mengerjap dan menoleh ke arahnya. Mata kamu saling menatap. Ada harap di sana, tapi bimbang di hatiku. Ada ketulusan di sana, tapi ketakutan yang kumiliki. Ada penyesalan di sana, tapi kemarahan yang kumiliki, marah pada diriku sendiri.




Maya menghela nafas panjang saat melihatku hanya mematung bingung.




“Aku sayang kamu, May. Tapi…” tenggorokanku seakan kering saat mau melanjutkan ucapanku, sedangkan Maya urung tersenyum saat mendengar kata ‘tapi’ yang tercetus dan menggantung.




Aku hanya menggeleng sambil mendesah dalam-dalam. Maya seakan tahu apa yang hendak kuucapkan, ia menunduk dengan air mata yang kembali berlinang.




“Maaf kalau aku telah membuat kamu terluka, Wa.”


“Jangan minta maaf, May. Kalau kamu minta maaf terus-terusan, itu malah akan membuatku terluka.” akhirnya aku bisa bersuara kembali.


“Aku sayang kamu. Sangaaat!!! Tapi aku sudah tidak bisa, May. Bukan karena kamu, tapi… karena.. karena aku sendiri dan Ariya.”


“Maksudmu?”


“Pertama Ariya. Dia adalah anggota keluarga besar Sawer yang sangat kami hormati, walaupun kami berasal dari kampung yang berbeda. Aku tidak mau menjadi orang yang merusak dan mengusik kebahagiaan keluarga ini. Jasa mereka terlalu besar untuk seluruh warga desa.” Aku tengadah menatap langit sambil mengeratkan rahang, kukuatkan hatiku sendiri, “Jangan kecewakan Ariya. Sayangilah dia."


“Tapi…”


“Aku mengerti, May. Soal hati dan perasaan tidak bisa dipaksa. Tapi kamu coba pikirkan perasaan yang akan Ariya derita ketika tahu kamu selingkuh denganku? Almarhum ayahnya, walaupun ayah angkat, dan juga almarhumah tantenya, sangat menganggungkan ketulusan dan kesetiaan. Ia bersama seluruh keluarganya pasti mewarisi darah itu. Lalu apa yang akan terjadi, ketika kesetiaan itu dibalas pengkhianatan?”


“…”


“Ok. Kalau kamu memang tidak sungguh-sungguh menyayanginya, itu hakmu untuk membicarakannya, dan mengakhirinya secara baik-baik. Tapi ada yang lebih besar dari itu… dan itu adalah aku.”




Kuajak Maya untuk kembali duduk pada kursinya. Setelah kembali saling berhadapan, kulanjutkan alasanku, “Aku tidak sebaik yang kamu pikirkan, May. Jangan kamu buang energimu hanya untuk mencintai dan memikirkanku.”


“Wa???” Maya nampak tersulut emosi.




Kuabaikan ekspresinya, “Kamu lihat sikapku pada kakakmu.. kamu lihat sikap pengecutku saat kemarin malam pergi begitu saja.. dan.. dan.. asal kamu tahu, May…”




Kukepalkan kedua tanganku dengan erat, kupejamkan mataku sambil menahan nafas. Dan kuhembuskan setelah yakin pada apa yang akan kukatakan.




“Aku telah selingkuh di belakangmu. Aku sudah tidur dengan wanita lain.”




Tubuh Maya berubah kaku, tangannya mengepal, matanya terbelalak, dan bibirnya bergetar. Sikap diamnya membuat aku semakin punya keberanian untuk melanjutkan ucapanku. Aku sudah siap dimaki, aku sudah siap dibenci. Cinta Maya terlalu tulus, dan aku tidak mau itu jatuh pada orang yang salah sepertiku.




“Jadi.. sebaiknya kita akhiri semua ini, May. Mumpung belum lama kita jadian, mumpung sakit ini belum terlanjur besar. Merasakan sakit dan luka sekarang mungkin akan lebih baik, daripada nanti, ketika cinta kita sudah semakin dalam…”


“Kkkaaa.. kamu bohong, kan Wa? Ini semua tidak benar, kan? Bohong, kan???” Maya berusaha meyakinkan diri akan semua yang ia dengar dariku.




Aku menggeleng, membuat ekspresinya berubah datar. Kesedihannya berubah kecewa, ada binar marah dan benci yang berkelebat dalam sorot matanya.




“Lihaaat..! Karena cintamu padaku, kamu rela melepaskan Ariya dan menanggung resikonya, May. Buat apa? Kamu ibarat membuang permata yang kamu punya, dan mengambil kotoran yang tak ada faedahnya.”




Plaaaakkk!!!




“Ben.. ci…!! Aku benci kamu, Wa!!!!”




Maya langsung berdiri dan menampar pipiku.




Sakit hatiku mendengar kata-kata itu, lebih menyakitkan dari tamparannya, tapi ini semua kulakukan agar ia tidak menyesal mencintaiku. Ia harus membuatnya berhenti menyayangiku, walaupun caranya harus seperti ini.




“Kalau kamu tidak percaya. Kamu bisa tanyakan hal ini pada Nur. Tapi jangan kamu pikir bahwa aku telah tidur dengannya. Tidak! Aku tidur dengan wanita lain, dan Nur tahu itu.”


“Tega kamu, Wa!!” Maya terlihat begitu marah. “Aku memang telah menjadikanmu sebagai selingkuhanku, aku tahu itu salah. Tapi itu kulakukan karena aku tidak bisa menyangkal perasaanku sendiri. Aku benar-benar mencintai kamu, dan punya niat baik untuk memutuskan hubunganku dengan Ariya…”


“Tapi meski aku bermain api, aku selalu menjaga kehormatan tubuhku. Aku selalu berpikir bahwa diriku hanyalah milikmu. Tapi kamu?? Enak yah jadi lelaki!! Kalaupun kamu gak bilang, aku tidak akan tahu. Tapi kami? Tidak banyak lelaki yang mau menikahi perempuan yang sudah tidak perawan. Brengsek kamu!!!”




Maya begitu geram. Ia melangkah untuk meraih tasnya. “Satu hal yang harus kamu tahu, Wa. Kak Callista sebenarnya punya rasa padamu. Kehadiranmu membuat cintanya tumbuh kembali. Itulah sebabnya aku ragu-ragu untuk mengajakmu main ke rumah. Aku takut ia merebutmu dariku. Memang...”




Nafas Maya tersengal karena sedih dan marah.




"Aku pernah berpikir untuk rela melepasmu seandainya kalian memang berjodo, tapi setelah mendengar pengakuanmu, aku akan menjadi orang pertama yang melindungi kakakku dari perbuatan mesum dan bejatmu!! Camkan itu!!!”


“Apakah kita tidak bisa mengakhiri semua ini dengan baik-baik, May? Kamu dengarkan aku dulu…”


“Nggaaaak!!! Tak ada yang perlu dibicarakan lagi!! Kamu egois, Wa!!”


“Baik!!”




Aku mencoba tersenyum. Padahal selain sedih dan terluka, aku juga tersulut emosi mendengar ucapan Maya yang mengatakan bahwa aku bejat dan egois. Wanita memang selalu benar, dan lelaki yang selalu salah. Gampang lupa pada kesalahannya sendiri, dan mudah mengingat dan mengungkit kesalahan orang lain, sekecil apapun itu. Sudahlah…!!!




“Terima kasih!!” Aku dan Maya mengatakan hal yang sama. Bedanya, Maya sambil mendengus marah, sedangkan suaraku teramat datar.




Aku mematung sesaat untuk melihat punggungnya yang meninggalkanku dengan cepat. Kusulut rokokku dan kembali duduk.




Untuk pertama kalinya, mataku berkaca. Sedih dan luka… Kesal dan marah… sesal dan patah… bukan atas apa yang telah ia perbuat.. bukan atas apa yang telah kulakukan.. tapi karena aku telah kehilangan orang yang sangat kusayang. Kehilangan kekasih untuk yang kedua kalinya, dua gadis berbeda, tapi memiliki nama yang sama.




Prok! Prok!! Prok!!!




Sebuah tepuk tangan membuatku mendongak dan tersadar dari lamunanku. Sosok Cintung berdiri dengan senyum menyeringai.




“Lu hebat, Wa, gua bener-bener kagum dan bangga.”




Wuuuuuttt!!!




Kuayunkan tinjuku untuk menghantam dagunya. Sikap dan ucapannya membuatku meledak. Semua perasaan yang menghimpitku kini menggumpal menjadi satu bernama marah. Pemicunya adalah manusia ini, yang tiba-tiba datang dan ngomong seenaknya tanpa beban.




Wuuussh!!!


Pukulanku hanya memakan angin.




Tubuhnya seketika menghilang. Aku hanya bisa tersengal sambil terhuyung. Tatapan mataku kabur, sementara banyak mata dari dalam café yang menatapku heran.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar