Cincin dari masa lalu part 23

 

BAB 23

PATAH

Sinar wajahnya redup, kelopak matanya menggelayut yang disamarkan oleh pulasan makeup. Senyumnya yang coba ia sunggingkan terlihat hambar. Tak ada rajuk manja, tiada senyum menggoda, apalagi gelayut pelukan. Pesonanya seakan sirna, terbungkus rasa sesal, takut, dan sedih yang ia sembunyikan.

Suasana hati kami tidak seindah merahnya langit senja di ufuk barat sana. Hari-hari penuh manja sudah hangus, terhapus teriknya kota Bandung sepanjang siang tadi. Terkoyak oleh sebuah permainan asmara yang belum terungkap maksud dan makna di baliknya.

Aku dan Maya duduk di sebuah café di kawasan Sersan Bajuri. Kami sengaja memilih tempat yang cukup private, dengan hamparan perbukitan dan sunset yang menjadi pemandangan. Semesta seakan sudah mengatur pertemuan ini, niatku untuk mengakhiri kisah cinta kami terjadi di akhir hari.

Lamunan dan suasana kaku antara aku dan Maya terusik oleh kehadiran seorang pelayan yang mengantar minuman dan cemilan yang kami pesan. Aku mencoba tersenyum dan mengucapkan terima kasih, sedangkan Maya pura-pura menikmati mata merah semesta di kejauhan

“Kalau sudah siap untuk memesan menu utama, tinggal panggil kami saja, ya mas.” ujar sang pelayan ramah.

“Makasih, mbak.” singkatku.

Pelayan pun mengangguk, lalu beranjak sambil meletakkan baki di atas dadanya.

“Minum dulu, May.” aku mencoba mencairkan suasana. Aku seakan asing mendengar suaraku sendiri yang tidak lagi memanggilnya ‘sayang’.

Maya mengangguk lalu menyeruput jusnya tanpa selera.

“May, aku sungguh-sungguh mohon waktumu sampai semuanya tuntas kita bicarakan. Sebelum kita selesai saling berbicara, jangan ada yang pergi, apapun yang terjadi.” aku mengawali pembicaraan. Aku tidak mau kisah kami terjadi seperti di film-film ketika banyak masalah tidak terselesaikan dan hanya menimbulkan salah paham, karena salah satu pihak, entah si cewek atau si cowok, pergi begitu saja.

Meski Maya hanya diam, tapi aku menangkap niat baik dalam dirinya. Ia menyetujui permohonanku dalam heningnya.

Melihat Maya masih saja kelu, aku berinisiatif untuk mengawali obrolan dengan menceritakan pengalamanku sepanjang hari kemarin, minus perselingkuhanku dengan Ceu Ningrum tentu saja, karena waktunya belum tiba. Aku menekankan beberapa kalimat saat menyayangkan bahwa aku harus mengetahui hubungan antara Maya dan Bu Callista dari orang lain, bukan dari Maya sendiri. Aku juga mengaku kecewa saat tahu bahwa Maya sudah punya pacar.

Kuminta Maya untuk tidak menyelaku. Aku hanya ingin menyampaikan semua uneg-unegku, entah ia mau mendengarkan atau tidak. Aku ingin semua beban ini diungkapkan. Nanti pada saatnya… giliran ia yang berbicara dan aku mendengarkan.

“Kamu tahu, May…” kutarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya kembali dengan bibir sedikit bergetar. “Kamu adalah gadis pertama yang membuatku jatuh cinta lagi, sejak tunanganku meninggal.”

“Sebelum hari kemarin, aku hampir yakin bahwa kamu adalah jodohku dan akan menjadi pendamping hidupku sampai kita sama-sama renta dan kembali ke alam baka. Ternyata aku terlalu naif dan bodoh yah..” aku tersenyum getir dan terkekeh ketir.

Maya menunduk tanpa berani menatapku. Bola matanya mulai berlinang.

“Aku hampir yakin bahwa cincin itu akan menjadi milikmu dan akan selalu melingkar selamanya pada jarimu.” aku mencoba tegar saat mengatakannya. “Tapi semesta sepertinya punya rencana.. entah apa… sampai semuanya terjadi begitu saja. Aku tahu siapa Bu Callista, aku bertemu mamamu, dan juga aku tahu kalau kamu membohongiku.”

“Kamu jangan salah, May. Aku tidak menimpakan semua kesalahan ini padamu. Sebaliknya, peristiwa kemarin membuatku bercermin pada diriku sendiri, membuatku sadar bahwa jalan hidupku di belakangmu jauh lebih menjijikan daripada kebohongan yang kamu sembunyikan.”

Maya terperangah dan menatapku marah. Ia marah bukan karena aku mengecap dia sebagai pembohong, tapi karena menyebut diriku sendiri ‘menjijikan’. Ah sudahlah.. dia belum tahu apa yang kumaksud. Hanya karena aku menggeleng yang membuat Maya diam. Lelehan air matanya semakin kerap.




Melihatnya begitu rapuh, hatiku benar-benar ikut tersakiti. Aku terlalu menyayangi gadis ini. Aku mencintainya tanpa embel-embel mesum, sementara di belakangnya, aku telah berbuat mesum tanpa embel-embel cinta. “Aku sayang kamu, May. Sangat sayang…” gemuruh perasaanku mengatakannya, tapi mulut ini kukunci agar tak terucap.




Tanpa Maya tahu, kugenggam bandul kalungku yang menggantung di balik t-shirt yang kukenakan. Dengan berbuat seperti ini, aku seakan memiliki kekuatan baru dan tidak mudah larut dalam emosi-emosi yang meletup di dalam hatiku.




“Hubungan kita yang belum genap dua bulan, namun sudah berhasil mengikis kesedihan dan keterpurukan yang merongrongku selama setahun terakhir. Tapi…”


“Sayang! Hiks.. hiks…” Maya memotongku. Entah spontan atau sengaja ia memanggilku seperti itu. “Hiiks… aku mohon, dengarkan aku dulu. Aku.. aku…”




Aku diam sambil menatapnya. Kubiarkan ia mengungkapkan emosi-emosinya dalam tangisan sebelum ia mampu berkata-kata. Ingin rasanya aku menggantikan tangannya untuk mengusapi air matanya yang mengalir, dan memberikan dadaku sebagai sandaran kepalanya. Tapi kulawan semuanya, aku tak ingin ikatan perasaan kami semakin dalam dan bisa memperunyam masalah di sekitar kami.




“Huuuh…! Haissssh…!” Maya seakan menyemangati dirinya sendiri.




Diusapnya air mata dengan sedikit kasar, lalu memandangku. Baru kali ini kami saling tatap cukup lama. Aku mencoba tersenyum, sementara ia menggigit bibir bawahnya untuk menguatkan diri. Isaknya mulai terhenti meski air mata masih meleleh.




“Nama pemuda itu adalah…”


“Ariya.” aku ikut mengucapkan nama itu bersama Maya. “Ariya Putra Sawer,” lanjutku sambil mencoba tersenyum ketika melihat matanya terbelalak.


“Huuuuh… Kamu… arrgh….” Maya menyembunyikan salah tingkahnya dengan mendengus dan mengerang.


“Minum dulu.” aku mencoba mencairkan suasana, padahal hatiku begitu tersakiti. Akibatnya, bukan Maya yang minum tapi aku sendiri yang menyeruput jusku.




Karena bingung dan dilanda rasa bersalah, Maya mengubah awal ceritanya…




“Purnama Sirnawa.” ucapnya sambil memalingkan tatapan kosongnya ke kejauhan. “Tujuh tahun yang lalu aku mengenal pemilik nama itu. Seorang bocah lulusan SD dengan peniti terkait menggantikan kancing atasnya yang terlepas. Lucu, lugu, tapi baik hati. Meski pemalu, bola matanya selalu berbinar.”


“Namanya selalu kutulis dalam buku harianku, wajahnya selalu terbayang setiap sebelum tidurku. Aku belum mengenal cinta saat itu, tapi sejak remaja aku tahu bahwa aku sedang jatuh cinta pada bocah yang tak pernah bisa kutemui lagi.”




Aku terkejut mendengarnya. Kusembunyikan kegugupanku dengan meraih naget yang terhidang dan mengunyahnya.




“Aku mencoba melupakannya, tapi tidak bisa. Aku mulai pacaran sejak kelas tiga SMP, bahkan kamu tahu, selama SMA aku pacaran tiga kali.”


“Setiap naik kelas, ganti pacar.” aku memotongnya.




Celetukanku membuat kami terkekeh. Tawa kecil yang lahir dari rasa getir dan pahit. Matanya mendelik.




“Aku putus nyambung karena aku tidak menemukan seseorang yang memiliki bola mata seperti bocah itu. Mimpiku hanya satu, yaitu bertemu lagi dengannya. Naif yah… tapi begitulah.. kita sama-sama naif, bukan?”


“Sampai suatu hari, Lia, sahabat terbaikku, memperkenal Rad yang sudah menjadi pacarnya.” lanjut Maya. Ia mendesah sebentar sebelum melanjutkan, “Betapa bahagianya aku saat tahu Rad berasal dari Ewer, dan lebih bahagia lagi saat ia bilang punya sahabat bernama Sirna. Aku bahagia Wa… hiks… bahagia banget.”




Kubiarkan Maya mengusap air matanya yang kembali menetes.




“Harapan untuk bisa bertemu denganmu membuatku tak sabar mengajak Lia ikut Rad liburan ke Ewer. Tapi semuanya tidak terlaksana, karena mereka berdua sangat aktif di kampus; sampai-sampai libur pun tidak bisa pulang. Aku kecewa. Sampai…”




Maya berhenti sebentar untuk meneguk minumannya. Sejenak mata kami bertemu pandang; aku berpaling, ia menunduk.




“Sampai kabar itu datang dari Rad. Kamu akan kuliah di Cimahi. Hiks… kamu tahu gak, Wa? Aku bahagia banget. Banget.. banget…!!” Desah nafasnya begitu berat, “Tapi.. hiks.. di saat yang sama.. sudah ada Ariya di hidupku.”


“…”








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar