Cincin dari masa lalu part 22

 

BAB 22

TITIK PATAH

Aku hanya mematung di depan sebuah rumah berlantai dua yang cukup megah. Kupastikan lagi bahwa ini adalah rumahnya Bu Alya sesuai dengan alamat yang tertera pada kertas di tanganku. Semua tanya belum terjawab, tapi kini aku sudah menyaksikan kenyatan baru yang membuatku merasa tak berkutik. Maya ternyata berasal dari keluarga yang sangat kaya, ia telah mengelabuiku dengan penampilannya yang cukup sederhana. Memang ia selalu menemuiku dengan naik mobil, tapi aku tidak mengerti dengan tipe dan jenis kendaraan, jangan-jangan mobil yang sering dia pakai pun adalah mobil mewah.

“Ayahnya adalah pengusaha besar di kota ini, Wa. Kalau tidak salah ada hubungannya juga dengan kerajaan Keluarga Sawer.” Kalimat itu kembali terngiang, kata-kata yang pernah diucapkan oleh Lia dan Rad.

Mengapa Maya membohongiku? Atau memang aslinya ia adalah orang sederhana yang tidak memamerkan kekayaan orangtuanya? Kalau melihat kebaikan Bu Alya, bisa jadi Maya mewarisi darah ibunya yang sederhana dan baik hati.

Lalu kalau memang benar Bu Callista adalah kakaknya Maya, mengapa ia berprofesi sebagai dosen, yang gajinya tidak seberapa jika dibandingkan dengan bekerja pada perusahaan ayahnya? Mengapa ia tidak mau meneruskan perusahaan orangtuanya? Atau, apakah karena mereka memiliki saudara lain yang mendampingi ayahnya di perusahaan?

Ahhh… apapun itu… aku telah salah bergaul, dan memacari orang yang levelnya berpuluh lipat di atasku. Aku tidak pantas berada dalam lingkaran ini, dan aku tidak mau mencari penyakit yang malah akan membuat Maya mendapat masalah di kemudian hari. Apalagi kalau Bu Callista menggunakan power ayahnya, maka habislah nasibku.

Kukuatkan hatiku, dan kulajukan motorku pelan menuju ke depan pintu gerbang. Mendengar suara motor yang datang, seorang satpam langsung keluar dan mendekatiku.

“Selamat malam, pak. Betul ini rumah Bu Alya?” sopan aku memberi salam sambil membuka helm-ku.

“Betul. Mas siapa yah?” tanya lelaki paruh baya tersebut, yang memiliki nama Karta pada label namanya.

“Saya Sirna, pak. Mau nganterin martabak pesanan ibu.”

“Oh sebentar, mas.”

Tanpa menunggu jawaban dan membukakan gerbang, ia langsung masuk kembali ke dalam pos. Kulihat ia meraih gagang interkom. Bersamaan dengan itu, sorot mobil menyilaukan mataku. Segera kudorong motorku supaya lebih ke pinggir. Lega juga, saat mobil ini bukan mobil Maya atau Bu Callista, bukan pula mobil Bu Alya.

Terdengar suara klakson untuk memanggil satpam yang nampaknya masih bicara melalui interkom. Tak dinyana, kaca mobil depan-kiri turun, tanda dibuka oleh penumpangnya. Mau tidak mau aku penasaran dengan sosok yang ada di dalamnya, perhatianku tidak lagi kepada pak satpam yang sedang terburu membuka gerbang.

Deeeeghhh!!!

Aku hanya bisa melongo saat sosok Maya muncul dari balik kaca jendela. Ia pun tidak kalah kagetnya, matanya terbelalak. Sesaat kami hanya saling pandang, tubuhku seakan kaku, pun pula dia. Keadaan ini, membuat Maya tidak sadar bahwa tangannya masih digenggam oleh seorang pemuda di balik kemudi; menumpang pada pahanya. Yang lebih membuatku kaget adalah pemuda itu.. seseorang yang kukenal, meskipun mungkin ia tidak mengenalku

Teramat sesak dada ini. Kini yang menghantui pikiranku bukan lagi sekedar bayangan, tapi sebuah kenyataan. Teramat pahit kurasakan.

Mobil pun bergerak masuk, saat gerbang sudah terbuka lebar. “Terima kasih, pak.” ucapan si pemuda pada pak Karta membuat aku dan Maya tersadar. Refleks ia menarik tangannya dari genggaman pemuda di sampingnya tanpa menutup kembali kaca mobil, sementara aku hanya bisa mengangguk seakan memberi hormat.




“Nak Sirna disuruh masuk oleh ibu.” suara satpam menyadarkanku yang masih mematung sambil melihat mobil yang memasuki pekarangan.


“Eh.. ada apa, ya pak? Saya hanya mengantar martabak kok.” jawabku gugup.


“Ndak tahu, nak. Ibu hanya bilang begitu. Lagian ibu juga tidak menitipkan uang pada saya.”




Menyadari bahwa di depan rumah Maya turun dari mobil dan melangkah ke arah kami, aku segera mengambil kantong martabak dari motor dan menyerahkannya kepada satpam. Aku belum siap bertemu Maya, terutama aku tidak siap seandainya terjadi keributan di depan pemuda itu. Seseorang dari keluarga yang sangat kusegani.




“Maaf, pak. Saya harus pergi lagi karena sedang banyak orderan.” ucapku terburu.


“Eh.. nak… tapi ini uangnya bagaimana?”




Kuabaikan pertanyaan pak satpam, segera kupasang helmku dan menaiki motorku.




“Sirnaaaa!!”




Kuabaikan sosok yang berlari mengejarku, kulajukan motorku dengan cepat. Tanpa terasa ada jentik air mata yang menetes, meski dadaku tersesak oleh rasa marah dan cemburu.








https://t.me/cerita_dewasaa








Di jalan Baros, tak jauh dari rel kereta api, ada sebuah taman yang bernama Taman Kartini. Dulu taman ini menjadi tempat orang berbuat mesum, tapi setelah ditata oleh pemerintah kota kini sudah menjadi tongkrongan yang ramah bagi setiap warga. Belakangan, taman ini menjadi tempat favoritku untuk menyendiri.




Seperti malam ini, aku duduk tercenung di atas bangku panjang tengah taman. Tadi aku hanya menemui Kang Narto sebentar untuk menyerahkan uang martabak, tentu saja dengan memakai uangku sendiri. Atas seijinnya, aku pun langsung pergi dengan menggunakan motornya. Kini aku ada di sini… di taman ini.




Aku tidak enak hati karena tidak menemui Bu Alya..


Aku kecewa dan marah pada Maya..


Aku sungkan pada pemuda itu dan menyesal telah membuat Maya mengkhianatinya dengan kujadikan sebagai pacarku..


Aku juga tahu diri akan jurang kelas sosial ekonomi di antara aku dan Maya..




Tapi aku juga manusia yang punya perasaan.. sakit hati menguasai diri.




Semua perasaan tidak nyaman ada di balik dadaku. Belum juga hari berganti, banyak pengalaman yang mengganggu sejak tadi pagi. Namun apa dayaku, yang bisa kulakukan hanyalah berdiam diri, meratapi kesialan-kesialan dan juga kecerobohan yang telah kuperbuat.




Kuraih kalungku, seperti biasa kulakukan saat sedang menghadapi masalah seorang diri. Tapi kalung itu tidak ada, sudah terganti oleh kalung yang Cintung berikan. Aku hanya mendesah, sedikit menyesal mengikuti kemauan Cintung dan meninggalkan kalung cincin itu di dalam laci mejaku. Kini yang kugenggam hanyalah siung harimau ini…




Tiba-tiba ada rasa hangat yang menjalari tubuhku saat menggenggamnya. Perasaan-peraan negatif ini tidak hilang, tapi aku serasa lebih tegar menghadapinya. Tanpa melepaskan tanganku dari siung ini, aku mencoba mengingat semua perjalanan sejak hari pertama kedatanganku ke kota ini.




Pikiranku nafak tilas pada apa yang telah kulalui dalam hampir dua bulan ini. Nur.. Maya.. Ceu Ningrum.. Bu Callista.. Bu Alya… Cintung… semuanya kukenang. Kuingat pula semua pengalaman, perjumpaan, juga percakapan yang pernah terjadi atau saling kami ucapkan satu sama lain.




Satu kesimpulanku: pikiran bisa jauh lebih jahat dari pada kenyataan. Mungkin ada sisi lain di balik galak dan judesnya Bu Callista, mungkin ada alasan di balik permainan Maya, mungkin ada alasan di balik kebohongan Lia dan Nur. Daripada sibuk berpikir dan terbawa emosi oleh pikiranku sendiri, mendingan aku mengajak mereka berbicara. Kalau isi pikiran negatifku memang salah, itu yang diharapkan. Tapi kalau apa yang kupikirkan memang benar dan sesuai kenyataan, yasudahlah… aku bisa apa… meski akan terasa semakin menyakitkan.




Satu lagi, aku tidak bisa menumpahkan semua kesalahan kepada Maya. Apa yang kulakukan dengan Ceu Ningrum, bisa jadi lebih parah daripada yang Maya perbuat. Anggap saja ini sebagai karma, meski aku tak terlalu mempercayainya. Apapun itu.. aku harus mengakhiri hubunganku dengan Maya. Bukan karena permainan yang ia lakukan di belakangku; bukan karena perselingkuhanku dengan Ceu Ningrum karena aku tidak menyesalinya, walaupun kami sudah sepakat untuk saling mengakhiri. Tapi aku harus melakukannya demi keutuhan keluarga Maya dan demi ketenanganku sendiri. Status sosial kami sangat berbeda, perjodohan ini tidak mungkin; aku hidup di dunia nyata, bukan ftv. Satu yang semakin menguatkanku… aku tidak ingin mengecewakan pemuda itu, dengan cara merebut Maya darinya.




“Haaaah!!!” kuhembuskan nafasku setengah berteriak. Kuputuskan untuk segera pulang dan tidur karena besok masih ada kuliah…




Kedatanganku ternyata disambut oleh Nur, Lia, dan Rad yang sedang menunggu di halaman, padahal hari sudah hampir lewat tengah malam. Ketiganya nampak gelisah, bahkan Nur kelihatan mondar-mandir tidak tenang.




Ada ekspresi lega di wajah mereka saat melihatku, meski binar marah dalam diri Nur tidak bisa ia sembunyikan. Kuparkirkan motor di bawah tatapan mereka.




“Belum pada tidur?” tanyaku tiis.




Plaaaak!!!!




Nur menjawabnya dengan sebuah tamparan keras. Matanya melotot dan wajahnya berubah galak. Adalah Lia yang menenangkannya, sementara Rad hanya diam.




“Dari mana kamu? Dicari ke tempat jualan tidak ada. Di rumah Ceu Ningrum dan teman-temanmu juga tidak ada.” cecar Nur dengan sangat ketus.


“Maya sampai nelponin kami terus dari tadi. Ia mencarimu.” tambah Lia.


“Aku lapar, belum makan malam.” jawabku sambil masih mengusapi pipiku.


“Aku beliin nasgor dulu ke depan, ya.” Rad sangat mengerti aku, kami memang sudah bersahabat sejak kecil.


“Gak usah!!” cegah Nur galak.




Tapi lain ucap, lain sikap. Ia menarik tanganku dengan sedikit dihentak dan membawaku ke dapur kost-kostan.




“Lia, kamu rebus air dan buatkan kopi.” tegas Nur setibanya di dapur, lalu tanpa permisi ia meninggalkan kami bertiga.




Lia tidak menjawab, tapi tetap melakukan yang Nur suruh. Kucatut rokok yang Rad sodorkan dan langsung kusulut. Tidak ada percakapan di antara kami, meski sorot kelegaan semakin terpancar dari keduanya. Inilah persahabatan… melihat sahabat ada dan baik-baik saja, itu sudah cukup.




Tepat di hisapan terakhir rokokku, Nur kembali muncul sambil membawa sepiring nasi hangat lengkap dengan sayur, sambal dan seekor ikan goreng. Nasinya masih mengepul pertanda baru diambil dari rice cooker.




“Nih, kamu makan dulu.” suaranya sudah tidak segalak tadi.


“Banyak banget, Nur. Ini mah…”


“Kamu habiskan! Kalau nggak, awas kamu..!!”




Nur mengancamku walau ada senyum yang ia sembunyikan. Aku hanya mengangkat bahu dan menyantap isi piring. Nur menuangkan air putih dan menyodorkannya, tak lama kemudian Lia pun membawa kopi panas untukku dan Rad. Jadilah.. aku makan di bawah tatapan diam mereka bertiga.




Hanya pelototan Nur yang sekali-kali terlihat saatku mau menghentikan makan, karena porsinya yang kebanyakan. Dengan terpaksa, aku pun menghabiskannya walau perutku terasa penuh karena kenyang. Senyumnya tersungging di akhir suapan terakhirku.




Setelah meneguk air putih, kuseruput kopi seduhan Lia dan kembali mencatut sebatang rokok. Nur mencuci piring sementara Lia mengangkat telpon melalui hapenya yang bergetar.




“Huuumm…”


“…”


“Udah, ni baru selesai makan.”


“…”


“Yaudahlah, say. Kamu tidur dulu. Nanti aku bilangin.”


“…”


“Ya kan kamu tahu sendiri kalo hapenya dipegang Nur, dan sekarang habis batere.”


“…”


“Iya.. iya…”


“…”


“Ya itu mah dosa lu, jangan bawa-bawa aku donk. Hiihiii..”


“…”


“Iya.. iya.. maaf. Udah kamu tidur aja. Bye.”


“…”




Kliik!!




“Maya.” ujar Lia tanpa diminta. Tanpa dibilang pun, aku sudah menduga siapa orang yang ada di seberang telpon.


“Udah ah. Aku kenyang dan ngantuk banget. Tidur dulu ya..” ucapku sambil berdiri dengan rokok masih menempel di sudut bibirku.




Buuuuk!!


Rad menggeplak pundakku.




Pletaaaak!!


Lia menjitak kepalaku.




Dan yang paling menyakitkan, cubitan Nur di pinggangku.




“Aaauuuwww!” teriakku.


“Rasain!! Ampun gak?” hardik Nur dengan suara tertahan.


“Iya.. iya ampun.”




Setelah mendengar jawabanku, cubitannya pun terlepas meninggalkan rasa perih.




“Sekarang kamu cerita, tadi kamu diapain oleh Bu Callista? Kenapa langsung kabur dan meninggalkan kami di kantin?” Nur sudah tidak sabar menginterogasiku yang sepertinya sudah dipendam dari tadi.


“Ehemmm…” aku berdehem sambil menggelembungkan asap rokok.


“Itu nanti.. ada yang lebih penting.” gumamku, lalu kataku lagi, “Nur, tolong kamu jelaskan kenapa kamu bisa WA-an bareng Maya? Sejak kapan kamu dekat dengan dia?”


“Dan kamu Li.. tolong kamu jelaskan, kenapa kamu menutupi status Maya dariku?”




Bagaikan serangan balik, kini malah Nur dan Lia yang salah tingkah.




“Ini ada apaan sih?” Rad yang sekarang kebingungan.


“Kamu dengerin aja, Rad. Nanti kita akan tahu sendiri.” jawabku. “Nur? Li? Tolong kita saling terbuka, jangan rusak persahabatan kita dengan kebohongan.” kali ini nadaku kubuat tegas.




Adalah Nur yang terdengar menarik nafas dalam. Katanya, “Maya menemuiku pas kamu jualan. Ia memintaku untuk menyapamu lagi, dan sejak itu kami jadi dekat dan sering kontak.”




Belum aku menjawab, Nur balik menyerangku, “Lalu kenapa kamu cerita ke Maya kalau.. kalau…”




“Kalau…??” aku, Lia dan Rad meminta kelanjutan cerita Nur yang terhenti. Aku sebetulnya sudah tahu arah pembicaraan. Tanpa sadar aku tersenyum jail, membuat Nur mendelik.


“Gak jadi.” ketusnya.


“Jadi gini, Rad, Li.. Nur itu marah ke aku gara-gara waktu itu masuk kamarnya dan…”




Hmmmmfffff!!!




Mulutku langsung dibekap Nur dengan keras, membuatku gelagapan. Cepat aku memberi kode ke Lia, dan nampak dimengerti olehnya. Lia segera membantu melepaskan tangan Nur sampai terlepas. “Dan.. melihat Nur lagi telanjang.” aku tak menyia-nyiakan kesempatan.




Lia hanya melongo, sementara aku dan Rad tertawa, meski tertahan agar tidak membangunkan penghuni kostan. Wajah Nur merah padam, tangannya kembali menyambar pinggangku. Segera kutahan dan kugenggam.




“Itu benar, Nur?” Lia kepo.


“Ukuran berapa, Wa?” tanya Rad.




Buuuukk!!!


Pletaaaak!!!




Kali ini Rad yang menjadi korban. Aaah… semua beban ini rasanya semakin berkurang saat melihat keseruan ini. Tanpa sadar.. tangan ini masih menggenggam Nur, dan ia tidak protes sedikit pun.




Suasana cukup kacau, saat Lia merajuk dan Rad harus kerja keras membujuknya. Sementara aku dan Nur malah saling meremas, mukanya masih memerah.




“Eeeh..” ia seakan sadar, dan menarik tangannya, untung Lia dan Rad tidak melihat.




Kali ini Lia menggantikan posisi tempat duduk Rad, sementara kekasihnya berdiri sambil memeluknya dari belakang.




“Lalu?” tanyaku lagi pada Nur, setelah suasana kembali tenang.


“Yaudah gitu aja.. Maya itu baik tahu..” jawabnya.


“Setelah itu? Kamu tahu apa lagi tentang Maya?”


“Ya gak ada, kami hanya berteman biasa, dan setelah itu kami hanya bertemu sekali, itu pun hanya sebentar.”


“Kamu tahu hubungan Maya dengan Bu Callista?”


“Maksudnya?”




Nur malah balik bertanya. Sikapnya sudah membuktikan kalau ia tidak tahu. Kini saatnya aku mendapat penjelasan dari Lia.




“Li..!!” kali ini aku menatap Lia, membuat ia mendesah.


“Maaf.” ujarnya sambil mengusapi lengan Rad yang melingkar di bawah lehernya.


“Aku sudah tahu semuanya, Li. Aku hanya butuh penjelasan darimu.” ucapku lagi.




Kini suasana jadi serius, dan Rad menarik kursi kosong dan duduk di samping Lia. Gadis itu membaringkan kepalanya pada bahu Rad dan mulai bercerita…




“Maafkan aku, Wa. Nur… Sayang… maafkan aku.” Lia memulai penjelasannya. “Bu Callista adalah kakaknya Maya.”


“Lia?”


“Sayang?”




Nur dan Rad berseru mendengarnya. Keduanya terperangah seakan tidak percaya. “Begitulah adanya, maaf kalau selama ini aku tidak bilang ke kalian. Itu karena Maya yang minta.” ujar Lia.




“Wa..” lanjutnya, kali ini sambil memandangku dengan perasaan bersalah, “Alasan kenapa aku dan Maya menyembunyikan ini, nanti kamu tanya sendiri ke Maya yah. Aku udah janji ke dia untuk gak cerita soalnya.”




Aku hanya mengangguk mendengarnya. Kebenaran bahwa Bu Callista dan Maya adalah kakak-beradik, itu sudah cukup bagiku. Aku tidak terlalu berminat pada motif kebohongan yang ada di baliknya.




“Satu lagi, Li. Tolong kamu jujur.”


“Mmm.. maksudmu, Wa?” Lia tergagap.


“Kenapa kamu gak bilang kalau Maya sudah punya pacar? Itu terjadi sebelum denganku atau sesudah denganku?”




Pertanyaanku bukan hanya membuat Nur dan Rad yang kaget, tapi Lia pun terperanjat. Kupasang tampang biasa, aku hanya butuh penjelasan. Apakah Maya memang punya pacar atau tidak, aku sudah mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kami. Keluarga kami tidaklah sepadan.




“Aku janji, aku tidak akan membuat persahabatan kalian rusak gara-gara ini.” tegasku saat Lia kelihatan salah tingkah dan bingung.


“Yank?” Rad ikutan tidak sabar. Sikap mesranya berubah, ia melepaskan pelukannya pada Lia.


“Hiks.. hiks…” Lia malah menangis.


“Aku mohon, Li.” ujarku.




Lia mendongak sambil bercucuran air mata, sementara Nur dan Rad hanya mematung menunggu jawaban.




“Maaf, Wa.. hiks… Maafkan aku. Hiiiks… Maya memang sudah punya pacar sebelum bertemu denganmu.” jawabannya membuat Nur dan Rad terperanjat, sedangkan Lia menutupi mukanya sambil segukan.


“Kenapa kamu tidak bilang dari awal, Li? Kenapa kamu membiarkan Maya membohongi Sirna?” tanya Rad dengan suara yang ditekan. Bahkan ia tidak menyebut kekasihnya dengan panggilan ‘sayang’. Sikap Rad membuat Lia semakin menangis.




Aku menggeleng sambil memelototi Rad yang nampak marah, membuatnya hanya mendengus berat. Sedangkan Nur tiba-tiba mengambil telapak tanganku dan meremasnya tanpa bisa berkata apapun.




“Kamu tidak usah takut, Li. Aku bisa menerimanya. Ini sudah cukup bagiku, kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Sisanya biar aku sendiri yang akan menyelesaikannya dengan Maya.” ucapku sambil menyulut sebatang rokok.


“Aku tidak apa-apa.” kataku lagi sambil membalas tatapan Nur yang nampak sedih.


“Rad, Lia tidak salah apa-apa.” ujarku pada sahabatku yang mematung kesal.


“Hiks.. Maaf.” Lia berkata sambil mendongak melihat ke arahku, lalu menatap Nur dan Rad bergantian; dan menunduk lagi. Ada sorot kecewa pada mata sahabatku, tapi ia hanya diam dan mengecup kepala Lia setelah kuberi kode untuk menenangkannya.




Suasana mendadak hening, hanya isak tangis Lia yang terdengar di dalam dada Rad. Kuhisap rokokku dalam-dalam, membuat Nur terbatuk karena asapnya. Tapi ia tidak protes, kali ini ia seakan sedang turut merasakan kekecewaan di balik dadaku. Tangannya tetap menggenggam.




Setelah rokokku habis, aku berdiri mendekati Lia dan Rad. “Li, sudahlah.. aku tidak apa-apa. Udah yah.. kamu gak usah nangis dan merasa bersalah seperti ini.”




Tanpa Lia tahu, kutepuk bahu Rad. Ia tampak mengerti, dieratkannya pelukan pada tubuh Lia. “Yank, sudah yah. Sirna gak apa-apa, aku juga gak marah kok.” ujarnya, tapi Lia malah semakin menangis.




“Ni udah hampir jam dua. Ngobrolnya dilanjut besok saja, makasih ya untuk kalian semua.” ucapku sambil menepuk bahu Rad dan Lia. Kupandang juga Nur yang selalu lekat melihat gerak-gerikku. Ada bahasa yang tak terkata, seakan ia meminta waktu untuk berdua. Aku hanya mengangguk untuk meng-iya-kan permintaan diamnya.




Atas permintaanku, Rad mengajak Lia berdiri dan mengantar dia menuju ke kamarnya. Gadis itu pun menurut, lalu menatapku dengan penuh perasaan bersalah. Kuberikan senyumku sambil menepuk-nepuk bahunya. “Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah!” ucapku.




“Makasih, Wa. Makasih.” Lia mengangguk sambil meraih pergelangan tanganku.


“Apa pun yang terjadi, kita tetap bersahabat. Demikian juga kamu dengan Maya.”


“Kalian juga, kamu dan Maya.” jawab Lia.


“Aku usahakan.” tegasku, meski aku sendiri tidak yakin dengan apa yang kuucapkan.




Aku dan Nur menatap punggung mereka berdua yang beranjak meninggalkan dapur. Kuturuti maunya ketika ia menarik tanganku menuju ke halaman rumah induk; tak lupa ia juga mematikan lampu dapur dan menutup pintunya.




Kami duduk di atas lantai teras sambil mengamati langit tanpa bintang. Cuaca cukup dingin sehingga Nur mengusapi betisnya. Segera kubuka jaketku dan kupasangkan pada lututnya. Nur hanya diam sambil melirikku, ekspresinya sangat sukar kutafsirkan.




“Kamu beneran gak apa-apa, Wa?”


“Hmm..” gumamku.




Pertanyaannya sangat sederhana tapi menyentuh lubuk hatiku. Aku manusia, aku lelaki, aku anak muda… setegar-tegarnya penampilan luar, hatiku terluka cukup dalam. Kesedihan dan kekecewaan ini bisa kusangkal di depan orang lain, tapi tidak di hadapan diriku sendiri. Nur sepertinya tahu itu, tangannya berpindah mengusapi punggungku sambil tetap menatap kosong ke depan.




“Kamu yakin mau memutuskan Maya? Kalau kamu mau, aku yakin kamu bisa mempertahankannya. Feeling-ku, Maya itu orangnya baik, hanya kita gak tahu kenapa ia bisa berbuat seperti itu.” ujarnya pelan. Tak ada keraguan dari ucapannya, walaupun ia sepertinya berharap aku melalukan sesuatu yang berbeda dari ucapannya.


“Aku yakin, Nur. Masalahnya tidak semudah itu, ada yang lebih rumit yang melatar-belakangi keputusanku.”


“Bu Callista?”


“Bukan!”


“Ceu Ningrum?”




Deeegh!!!




Tubuhku mendadak kaku, nafasku seakan berhenti padahal jantungku berdetak lebih kencang.




“Maafkan kalau aku lancang, Wa. Aku membuka hapemu.” Nur seakan tahu kebingunganku. Lanjutnya lagi, “Kamu boleh marah atas kelancanganku.”




Entahlah.. aku harus marah atau biasa saja. Yang jelas aku hanya menggeleng sambil menghembuskan nafasku. Tak terasa dadaku kian sesak dan mataku terasa panas.




“Makasih.” ucapnya sambil menyenderkan kepalanya pada bahuku. Tangannya melingkar melalui pinggang belakang. Maka kutumpangkanlah pipiku pada kepalanya, mataku kian panas dan ada desakan yang hendak meledak.


“Gak usah malu. Keluarkan, Wa. Aku juga siap mendengarkan kalau ada yang mau kamu ceritakan.” Luar biasa peka gadis ini, sifat galaknya sama sekali tak terlihat; berubah menjadi lembut dan penuh perhatian.




Pertahananku runtuh… air mataku menetes, dan dari mulut ini mengalir begitu saja cerita tentang semua kejadian hari ini. Tentang Bu Callista, Bu Alya, bahkan ketika kucerita tentang Ceu Ningrum, aku menceritakan semuanya dari awal, ketika dalam perjalanan ke Ciwidey.




Nur hanya diam mendengarkan, walaupun aku yakin ia sangat kecewa saat mendengar aku membatalkan dua mata kuliah Bu Callista. Ia juga hanya diam saatku bercerita tentang Ceu Ningrum, padahal ia seperti menyembunyian kekecewaan dan kemarahan.




Bercerita tentang Ceu Ningrum, mau tidak mau aku harus kembali ke masa lalu ketika ia menanyakan lebih lanjut tentang cincin. Terpaksa aku pun menceritakan asal-usul cincin itu dan kembali ke peristiwa pahit senja itu. Inilah kali ketiga aku membuka kembali peristiwa pahitku, setelah sebelumnya aku bercerita kepada Maya dan Ceu Ningrum. Rasanya memang berbeda, aku tidak sesedih dan sesakit sebelumnya. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Cintung tentang kiasan kaca spion. Aku mulai bisa berdamai dengan luka, justru ketika aku berani mengingat serta membukanya lagi dan lagi.




Kini malah bukan aku yang menangis, melainkan Nur. Tanpa sadar, wajahnya sudah terbenam di balik dadaku. Semuanya terjadi begitu saja dan serba spontan.




Tik tok! Tik tok!




Nur nampak kaget saat tangisannya reda. Dengan cepat dan salah tingkah, ia langsung melepaskan diri.




“Makasih, ya Nur.” ucapku sekedar mencairkan suasana.


“Untuk?”


“Kamu mau mendengarkan aku, dan kamu tidak marah.”


“Siapa bilang gak marah?”


“Pokoknya makasih.”


“Hmmm…”




Ada senyum yang ia sembunyikan.




“Aku tidak tahu tentang arti semuanya ini, tapi aku percaya pada ceritamu tentang Ceu Ningrum. Aku hanya minta jangan sakiti hati perempuan, Wa; baik itu Ceu Ningrum, Maya, atau siapapun. Aku yakin, ada maksud lain di balik semua peristiwa ini.” ucapnya, suaranya terdengar tulus tapi juga serius.


“…”


“Kalau memang kamu memilih untuk putus dengan Maya, bicarakanlah secara baik-baik. Dan…” Nur menarik nafas berat. “Baca lagi semua legenda tentang Sawer. Aku saja yang jauh tahu, masa kamu yang tetangga kampung tidak tahu? Siapa tahu semuanya ini ada hubungannya.”


“…”




Meski diam, semua yang dikatakan Nur ada benarnya. Kuhela nafasku dalam-dalam. Banyak persoalan yang harus kuselesaikan. Meminta maaf kepada Bu Alya, menyelesaikan urusanku dengan Maya, juga mencari seseorang yang dimaksudkan oleh Cintung melalui Ceu Ningrum. Bu Callista? Yasudahlah.. lihat saja apa yang akan terjadi, toh aku sudah tidak akan ikut lagi mata kuliahnya.




Tiba-tiba kepalaku terasa pening, dan ingin segera membaringkan diri.




“Nur, aku capek. Pengen tidur.” ucapku sambil merenggangkan kedua tangan.


“Yasudah.. kamu tidur dulu, besok aku bangunin.”


“Makasih, Nur.”




Kami pun sama-sama berdiri, tak lupa Nur mengambil hapeku dari kantong celana pendeknya dan mengembalikannya padaku.




“Kamu tidak sendiri, Wa. Ada teman-temanmu di sini.” ucapan tulus Nur membuatku terharu. Mungkin ia mau bilang ‘ada aku’, tapi ia memilih mengatakannya dengan menggunakan bahasa yang lebih umum. Kuanggukkan kepalaku sebagai ucapan terima kasih. Kulangkahkan kakiku, tapi…


“Wa!”




Aku menoleh.




“Jangan bikin aku khawatir lagi, kalau pergi ngasih kabar.”




Cuuuuuppp!!!


Deeeegh!!!




Aku hanya bengong sambil melihat punggung Nur yang berlari ke dalam rumah. Tanganku mengusap pipi bekas ciumannya.




Setelah tubuhnya menghilang di balik pintu, aku pun melangkah menuju kamarku. Aku sudah terlalu lelah dan tidak bisa berpikir lagi. Lampu kamar Rad sudah menyala, pertanda ia sudah kembali ke kamarnya. Kubuka pintu kamarku sendiri dan mematung di ambang pintu.




Sorot mataku menyapu kasur dan seisi kamar dengan tatapan kosong dan perasaan hampa. Semua ingatan tentang kemesraanku dengan Maya, serta semua gelayut manjanya, seakan kembali nyata. Dadaku terasa sesak saat mengingatnya. Aku sungguh tidak menyangka kalau ada kepalsuan di balik semua sikap yang ia tunjukkan, sekaligus rasa bersalah teramat besar pada pemuda yang selama ini menjadi kekasihnya.




Fiiiuhh!! Inilah akibatnya kalau terlalu menaruh harapan tinggi pada masa depan, padahal hubungan kami belum seumur jagung.




Kuputuskan untuk tidur di kamar Rad, dan memintanya supaya ia yang tidur di kamarku; dan aku lupa men-charge hapeku.






BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar