Cincin dari masa lalu part 21


BAB 21

Mataku mengerjap saat ada yang mengecup bibirku lembut. “Bangun, sayang.” suara lembut Ceu Ningrum membuatku semakin sadar.

Kubuka mataku, “Kang Narto sudah berangkat, ceu?”

“Sudah dari setengah jam lalu.” jawabnya, lagi: “Kamu bangun dulu yuks, langsung mandi biar seger.”

Aku menggeliat di bawah tubuh Ceu Ningrum yang setengahnya menghimpitku dari atas. Rupanya tubuhnya hanya dibalut kain sarung yang diikat di antara celah payudaranya. Rambutnya yang digelung membuat leher jenjangnya terlihat indah dengan tiga lipatan seksi, khas wanitas dewasa. Pahanya terpampang putih karena kainnya tertarik ke atas, menggelembung di tengah perutnya. Gairahku meremang, meski masih ada kesadaran akan segala kebaikan yang telah Kang Narto berikan.

“Ceu Ningrum belum mandi?”

“Belum, kan nunggu kamu. Kita mandi bareng.”

Tak terasa aku menelan air liur, namun kutahan gejolak birahiku.

“Ceu, ada yang ingin aku bicarakan.”

“Bicaranya nanti, saja. Kita mandi dulu. Palingan kamu mau bilang rasa bersalahmu lagi, kan? Dan kita mengakhiri ini semua?” ia bisa menebak isi pikiranku.

Aku mengangguk, meski mataku selalu lekat pada paha putihnya. “Kita bicara nanti, aku janji ini yang terakhir. Kemarin ada Cintung kemari.”

“Heeh? Ceu Ningrum kenal Cintung?”

“Iiih.. udah dibilang nanti saja. Hayuuu.”

Ceu Ningrum berubah manja, wajahnya merengut. “Kamu buang dulu segala beban pikiranmu saat ini, sore ini hanya boleh ada aku.” manjanya lagi sambil menarik tanganku ke belakang.

Aku hanya mengikuti maunya, indah tubuhnya mengalahkan rasa penasaran yang ada. Kami masuk dalam kamar mandi layaknya suami-istri. Kutahan tangannya yang hendak membuka kain sarungnya. “Jangan dibuka dulu, Ceu Ningrum akan terlihat seksi kalau basah-basahan memakai sarung.”

“Nakal!” rengutnya.

Ia langsung menggelayut pada leherku dan bibirnya terbuka minta dihangatkan. Kuabaikan maunya dengan mengecupi kening dan kedua kelopak matanya. Tubuhnya semakin merapat saat ciuman lembutku menyusuri garis hidungnya, dan berakhir pada tepi bibinya. Ia semakin membuka mulut, tapi kuabaikan lagi. Sambil mulai meremasi bokongnya, bibirku berpindah pada daun telinganya. Kukecupi sambil memberikan dengusan-dengusan rangsangan yang membuatnya semakin blingsatan dan melenguh halus.


Ia menahan kedua pipiku, dan mengejar mulutku dengan tak sabar. Tapi sigap kutahan dengan telunjukku, membuatnya mendengus kesal. Nafasnya mulai tersengal.


Kuberi kode untuk diam, dan memisahkan pelukan. Kunyalakan air keran sekedar untuk jaga-jaga meredam suara erangannya. Lalu kuloloskan semua pakaianku dan mengaitkannya pada gantungan paku di balik pintu. Matanya berbinar sambil menggit bibir bawahnya. Aku ingin memancing birahinya. Di balik semua itu, semua beban dan dendam pada Maya seakan menemukan pelampiasannya pada wanita matang di depanku.


Kutepis tangannya yang mau meraih penisku yang mengangguk dan mendongak tegang. Kutahan dadanya dengan telunjukku yang hendak memelukku. Kuraih gayung dan kucidukan pada bak. Kuguyurkan pada kepala dan tubuhnya. Kuulang lagi.. dan lagi…


Tubuh Ceu Ningrum sudah basah kuyup. Ia bahkan bertingkah seperti anak kecil saat berjingkat-jingkat sambil mengusapi wajahnya yang basah.


Pemandangan itu begitu menggiurkan. Rambutnya yang semula digelung sudah terurai basah, lehernya mengkilap membuat lipatan-lipatan kecil pada jenjangnya semakin memberi aura kedewasaan. Dan yang membuatku meneguk air liur adalah bulatan perutnya yang terbungkus kain basah, juga kedua putingnya yang memancung di atas gundukan besar payudaranya. Sarungnya seakan mau melorot karena kucuran air yang meluruh, membuat belahan dadanya semakin terpampang. Di bagian bawah, kedua pahanya menggelempang dengan pori-pori yang nampak meremang seksi.


Sambil lekat melihat keindahannya, kuguyur tubuhku sendiri beberapa kali. Kesempatan ini dipakai oleh Ceu Ningrum untuk menyerbuku. Tubuhku terjejer sampai merapat ke dinding, dan kali ini ia berhasil menyentuh bibirku. Dorongan syahwat membuat kami langsung saling melumat, dengan kepala yang bergantian berputar untuk membagi ruang dan kenikmatan.


Desahan demi desahan semakin kerap seiring belitan lidah dan remasan tangan. Tanpa melepaskan pagutan, kudorong tubuhnya pelan dan kududukkan pada bibir bak mandi. Satu kakinya menjuntai dan satu lagi menginjak kursi plastik.


Kusingkap tepi-bawah sarungnya untuk menjilati vagina Ceu Ningrum yang dimahkotai jembut nan rimbun. Seringnya bergumul dengan Ceu Ningrum membuat naluriku terlatih untuk memuaskan perempuan, belum lagi koleksi bokep Nurdin yang sering kujadikan tontonan. Nafsuku langsung meledak saat melihat vaginanya yang mengucur basah oleh aliran air dari perut dan pusarnya.


Cleeeep!! Srrrruuuup!!!


Langsung kusosor dan kuhisap, kuemut dan kujilat. Tubuh Ceu Ningrum tersentak karena nikmat, erangnya pecah. Tangannya langsung meremas rambutku dengan keras dan gemas. Lidahku menyusuri bibir dalam vaginanya dengan tak hentinya meremas paha dan betisnya.


Tiba-tiba kedua telapak kakinya menjejak pundakku sambil mendesis dan tubuhnya melengking ke belakang. Sambil memindahkan jilatan pada klitorisnya, aku tengadah. Perutnya yang membusung dengan payudara yang menggantung membuat gairahku kian berkobar-kobar. Ia rupanya sudah menurunkan lipatan sarungnya sehingga kedua bukit kembarnya terpampang.


Kedua pahanya menghentak-hentak menjepit kepalaku, kakinya kian menjejak.


“Uuuuh… aaaahh… sayaaang…” rintihnya kian kerap saat tanganku meranggas dan meremas bukitnya. Sedangkan lidahku semakin liar menjelalahi klitoris dan lubang vaginanya yang berkedut dan mengempot.

“Aaaarrgh… ngewe aaah… Wa.. waa… iiiih.. ihhh… iiih..” erangannya semakin seirama dengan sentuhan bibirku dan getaran tubuhnya. Ia semakin meracau, kata-kata jorok pun mulai kerap terdengar.


Kusibak bibir kemaluannya yang tebal semakin lebar, kini jempolku yang menggelitik klitorisnya, sementara kutekuk lidahku untuk mencucuki pintu vaginanya yang kian berkedut. Kuabaikan semua gelinjang dan lenguhannya. Lidahku bagai tersedot ketika ia mengempot keras. Tubuhnya semakin menggelepar dan berkecipak dengan bunyi air yang tertumpah dari dalam bak.


Aku tahu, saat orgasmenya hampir tiba, dan memang ini yang kutunggu. Sebuah squirt yang hebat. Aku selalu terpesona saat melihat dia orgaesme.


Cluuppp!!!


Dengan cepat kuganti peran lidahku dengan jari tengah, kukelitik dinding-dinding lembutnya yang berkedut.


“Ih.. ih.. ihh..” rintihnya.


Tubuhnya tiba-tiba kejang dan berkejat-kejat bagai dialiri sengatan listrik. Matanya mendelik dengan bibir terbuka seiring keluarnya berbagai erangan.


Bibir vaginanya kian mengempot dan berdenyut, ada lelehan cairan kenikmatan yang membasahi jari dan mulutku.


Seeerrrr..!! Suuuuurr…!! Crooot!! Crooot… byuuuuurrr!!!


Puncak nikmat ia dapatkan sambil menyemburkan isi vaginanya. Wajahku basah, bau pesing langsung menghinggap. Ini membuatku limbung karena gairah.


Aku segera berdiri sementara vaginannya masih menyemprot-nyemprot kecil. Sigap kuraih tubuhnya yang kian melorot. Sementara satu tangan kupakai untuk membersihkan mukaku. Kuatur tubuh lunglainya supaya menungging bertumpukan tepian bak mandi. Kupelorotkan pula kain sarung yang melingkar di pinggangnya.


Kuabaikan permohonan ampunnya untuk meminta beristirahat. Segala beban pikiran, juga semua desakan syahwat sudah butuh pelampiasan.


Aku menunduk dan memeluknya dari belakang. Kuusapi perutnya yang membusung, juga kedua payudaranya yang menggantung. Di bagian bawah, penisku sudah menggesek dan mencucuk, bergetar mencari sarang. Gerakan tanganku, juga bibirku pada tengkuknya, membuat tak butuh waktu lama bagi Ceu Ningrum untuk kembali bergairah.


Tangannya meraih batang penisku dan mengocoknya sebentar, lalu diarahkan pada lubang yang seharusnya.


Cleeep! Cleeeep!!! Bleeeesss!!!


Ia mengerang, aku menggeram. Ia merintih, aku mendesis. Kata-kata saja tidak cukup untuk menggambarkan kenikmatan ini.


Teramat liar… aku langsung memompa dan menggenjotnya. Tiba-tiba semua kemarahan dan kekecewaan kembali meluap, beradu dengan birahi dan rasa nikmat. Kuabaikan rintihan dan permohonannya yang minta ampun.


Plok! Plok! Ploook!!


Kelamin kami beradu kian cepat. Remasan-remasan dan kedutan dinding vaginanya membuatku kian kalap, rasa geli saat kepala penisku menyentuh pintu rahimnya menjadikanku menggebu. Kali ini.. aku tidak bertahan lama. Aku kalah oleh emosi-emosi yang membuncah.


Penisku terasa kian mengembang seiring desakan lahar panas, bokongku terasa mengkerut dan kantong kemihku bagai menciut, tapi batangku berkejat-kejat bengkak.


Srrrrrr… cairan basah kenikmatan Ceu Ningrum kembali merembes.


Srrrrrr!!! Crrrrooot… crooot! Croooot!!


Kutembakkan spermaku bersamaan dengan desakan air seni dan kental-kenikmatan Ceu Ningrum. Teramat ngilu batang penis ini saat ejakulasi sekaligus dikencingi; menderas basah memijati kemaluan ini dan mengucur di antara selangkangan kami.


Dengan sisa kekuatan yang ada kupeluk tubuh Ceu Ningrum agar tidak ambruk dan terhempas. Jerit kami hilang, terganti sengal.


Entah berapa lama kami saling diam untuk menikmati sisa-sisa orgasme sebelum akhirnya menggeliat. Tubuhnya tertatih, dan kubantu supaya berdiri.


“Jahaaat! Kasaar!” ia merengut setengah mendesah.

“Maaf.” jawabku dengan rasa bersalah.


Kami tak melanjutkan pembicaraan. Kuguyur tubuhnya dan juga tubuhku, kemudian saling menyabuni. Kusampaikan rasa bersalahku dengan memandikannya secara lembut.


Selesai mandi dan saling mengeringkan badan kubimbing tubuhnya keluar dalam keadaan sama-sama telanjang. Bukannya meraih pakaian, ia malah membaringkan diri di atas kasur dan meraih tubuhku. Cumbu dan mesra pun kami lanjutkan. Kuperlakukan secara lembut sebagai ungkapan penyesalan.


Jadilah.. nafsu kami kembali datang, dan ia mendudukiku dengan batang penis yang kembali menancap pada lubang nikmatnya.


Ia memutar pinggulnya pelan sambil memandangku yang selalu terpaku pada buncit perutnya; sementara kedua tangan menggerayangi payudaranya.


“Kamu kuat, Wa?” tanyanya sambil sedikit meringis menahan nikmat.

“Uuuh.. ya kuat atuh ceu, ini kan masih nancep.” jawabku di sela lenguhan.

“Bukaan ih.. kalau kita mengakhiri semua ini, kamu kuat nahan gak? Entar kamu ketagihan, lalu nyari yang lain.” ia menjelaskan maksudnya sambil menghentikan goyangan.

“Jadi Ceu Ningrum setuju kita menyudahi ini?” kujentik putingnya, membuat ia meringis.


Obrolan sedikit terhenti saat ia menghentak pinggulnya membuat penisku tertanam maksimal.


“Aaah…” erang kami.

“Kan kamu sendiri yang bilang kalau ingin berhenti. Kita sudah membohongi Kang Narto yang begitu baik dan tulus.” jawabnya.

“Maaf.. aku tidak bisa menahan diri.”

“Ini bukan salahmu, ada yang memilih kita, mmh… aaah…, sang legenda segera kembali.”

“Aaah.. jangan digoyang dulu,” lenguhku. “Maksud Ceu Ningrum apa?”


Kelamin kami mulai berkecipak karena cairan pelumasnya.


“Kamu sudah bertemu Cintung? Ooooh… Enaak.. iiih…”

“Iyaah.. mmh… Ceu Ningrum kenal dia?”

“Ia datang dua hari lalu.”

“Siapa dia? Lalu maksudnya sang legenda?”


Ceur Ningrum mengabaikan pertanyaannya untuk menikmati gesekan-gesekan penisku pada dinding vaginanya. Matanya merem-melek sambil menggigit bibir bawahnya.


“Mmmmh… ssshhh….”

“Dia mencarimu untuk mengambil milik tuannya, sekaligus memilihmu untuk menghidupkan sang legenda. Aaah… ssshhhh…. itilku geliii.. iiihhh… kamu.. kamu… sssh… harus menemui seseorang di Kopi Sawaka.”


Kubiarkan ia mempercepat goyangannya sambil mencoba nyimak semua kata-kata di balik desahnya. Tapi aku semakin tidak mengerti.


“Siapa orang itu? Dan siapa Cintung sebenarnya? Mmmmhh…”

“Hanya itu pesan Cintung, dan ia langsung pergi begitu saja. Tapi… uuuhhh… ngganjel banget penismu, uuuh…” ia semakin gelisah memutar pinggulnya sambil meremasi buah dadanya sendiri, sementara tanganku tak henti mengelusi perutnya.

“Shhh.. tapi apa, Ceu?”

“Akan ada wanita lain yang harus kamu tiduri sebagai syarat. Aaah… uuuh….”


Aku urung bertanya saat Ceu Ningrum semakin tidak karuan menjemput nikmat. Kuimbangi goyangannya karena penisku sendiri sudah bersiap menyemburkan laharnya. Percakapan kami terhenti, terganti goyangan dan desahan.


Cleeep! Cleeep! Plooook!!


“Aaaargggh… Shhhh…” kami mengerang bersama dalam nikmat tak tertara.


Hening….!!!


Setelah menikmati sisa-sisa orgasme, kubantu Ceu Ningrum untuk membaringkan badannya di atas kasur, tanpa niat sedikit pun untuk saling membersihkan kemaluan yang sama-sama lengket oleh cairan kenikmatan. Kuelus perutnya bergantian dengan mengusapi kedua putingnya yang kian membesar seiring usia kehamilan.


Obrolan pun kami lanjutkan tanpa terganggu oleh desahan dan kesibukan di dalam selangkangan. Ia pun bercerita… sepulang dari warung, Ceu Ningrum disapa oleh seseorang bernama Cintung. Ia meminta supaya kami mengakhiri semuanya ini, karena aku sendiri sudah susah diingatkan. “Otak si Sirna terlalu mesum,” begitu katanya.


Ceu Ningrum mengaku bahwa Cintung memiliki pesona yang ia sendiri tidak bisa menggambarkannya, bahkan membantah pun tidak bisa. Tapi pesan keduanya jelas, bahwa ia adalah seseorang yang diutus untuk membangkitkan kembali ‘sang legenda’ dan menyuruhku untuk menemui seseorang di RSP, sebuah perusahaan yang meproduksi Kopi Sawaka. Siapa legenda itu dan siapa orang yang harus kutemui, Cintung tidak menjelaskan dan memilih segera pergi.


“Kita saling menjaga, ya Wa.” lirih Ceu Ningrum sambil memiringkan badan menatapku.

“Iya, ceu. Maafkan aku.”

“Kita tidak perlu saling meminta maaf. Mungkin benar kata Cintung, ini hanya sarana untuk menghidupkan ‘sang legenda’ itu.”

“…”

“Sekarang kamu fokus menyelesaikan urusanmu dengan Maya dan dosenmu. Tidak ada salahnya juga untuk menjalankan pesan Cintung dengan datang ke Kopi Sawaka.”

“Iya, ceu.” jawabku pendek.


Ucapannya Ceu Ningrum yang menyebut nama Maya membuatku teringat kembali tentangnya. Rasa bersalah karena telah mengkhianatinya muncul, rasa kesal dan kecewa karena ia telah membohongiku kembali datang, dan kenyataan bahwa ia adalah adiknya Bu Callista membuatku pusing.


Cing cangkeling manuk cingkleung cindeten.


Hape Ceu Ningrum berbunyi. Ia pun bangkit dan mengangkatnya.


“Hallo, kang.”

“…”

“Ada. Baru bangun dan selesai mandi.”

“…”

“Iyah, aku sampaikan.”

“…”

“Iya. Akang juga jangan lupa makan.”

“…”

“Daaah.”


“Wa, kamu disuruh ke alun-alun oleh Kang Narto.” ceu Ningrum menyampaikan pesan suaminya.

“Ada apa, ya ceu? Tadi katanya gak usah ke sana.”

“Ada pesanan penting, katanya. Gak tahu deh.. kamu ke sana aja gih.”

“Iya, deh.”


Aku pun bangkit. Sejenak kamu berdiri berhadapan sambil saling memandang. Tubuh polos kami kembali berpelukan, dan saling memberi usapan pada punggung.


Kulihat Ceu Ningrum menitikkan air mata saat tubuh kami merenggang. Kukecup keningnya, dan kuusap air matanya. Keindahan perselingkuhan ini tidak ingin berakhir, tapi kami harus mengakhiri demi orang yang telah dengan tulus mencintainya, juga mempercayai kami.


Ciuman panjang saling kami berikan. Lalu beranjak untuk mengenakan pakaian masing-masing.


Setelah berpamitan, kupacu motor Kang Narto menuju alun-alun. Belum ia jelaskan maksudnya, tapi aku diminta untuk datang segera. Sempat khawatir kalau Kang Narto tahu akan apa yang baru saja kulakukan dengan istrinya, tapi dari nada pembicaraan mereka sepertinya tidak ada gejala itu. Tak lama kemudian aku pun tiba…


“Kang.” ucapku sambil turun dari motor.

“Nah.. akhirnya kamu datang juga. Punten pisan, akang minta tolong anterin pesanan. Kamu udah baikan, kan?” sambut Kang Narto.

“Iya, kang. Daripada dipikirin, mending besok aja aku bicarain langsung dengan Mayanya.” jawabku. Tanyaku, “Emangnya tukang ojek di pangkalan gak ada yang bisa bantu nganterin, kang?”

“Bukan gak ada, tapi ini pesanan khusus. Katanya ia sudah nelponin kamu tapi tidak pernah diangkat. Ia pesan martabak, tapi hanya mau kamu yang nganterin.” Kang Narto memberi penjelasan.

“Euleuh.. siapa kitu?” heranku sambil melihat tiga kotak martabak yang sudah ia siapkan.

“Bu Alya. Kamu anterin ke Setra Duta, nih alamatnya..”


Deeegh!!!




BERSAMBUNG

Posting Komentar

0 Komentar