Cincin dari masa lalu part 20

 

BAB 20


AKHIR PERSELINGKUHAN








Dia malah sibuk pacaran.


Gonta-ganti pacar terus.


Callista, kakaknya.




Dia malah sibuk pacaran.


Gonta-ganti pacar terus.


Callista, kakaknya.




Dia malah sibuk pacaran.


Gonta-ganti pacar terus.


Callista, kakaknya.






Kata-kata itu terus terngiang. ‘Sibuk pacaran’ yang dimaksud oleh Bu Alya jelas bukan aku, tak sedikit pun tanda yang menunjukkan bahwa beliau tahu tentang hubungan kami berdua. Benarkah seorang Maya yang begitu manja, selalu minta ditemani tidur melalui telpon, juga begitu baik dan tulus di mataku, ternyata bermain api di belakangku? Lalu kenapa pula ia tidak pernah bercerita tentang Bu Callista? Padahal aku sudah sering kali berkeluh-kesah tentang dosenku yang satu ini, yang ternyata aku menceritakan itu semua pada adiknya sendiri.




Dia malah sibuk pacaran.


Gonta-ganti pacar terus.


Callista, kakaknya.




Aaaaargh!!




Berbagai tanya terus menghinggapi pikiranku, dan ada dua kenyataan yang membuat dadaku terasa sesak. Pertama, Maya kemungkinan selingkuh dariku, dan yang kedua, ia teah menyembunyikan identitas kakaknya dariku. Rasa penasaran ini kian menggumpal, kenapa Lia seakan berada di pihak Maya? Jelas ia tahu tentang Bu Callista, tapi seakan ragu untuk menyampaikannya secara langsung. Kemungkinannya, ia juga tahu tentang hubungan Maya dengan pria lain. Nur? Jangan-jangan ia juga sudah tahu tentang semuanya ini.




Aku hanya termangu di ujung gang, setelah Bu Alya mengantarku pulang. Mobilnya sudah tidak terlihat lagi, tapi kakiku seakan berat untuk melangkah. Rupanya tadi aku berjalan ke daerah yang belum pernah kukunjungi sebelumnya, yaitu daerah Cibeber. Adalah takdir yang mempertemukan kami saat ia pulang kunjungan dari sebuah panti sosial; kami dipertemukan dalam situasi yang mirip dengan peristiwa tujuh tahun lalu.




Aku sudah mengantongi nomor smartphone-nya pada secarik kertas, dan ia sudah menambahkan nomorku pada kontaknya. Meski hapeku ada di Nur, tapi aku sudah hafal nomorku sendiri. Begitu tahu aku jualan martabak, Bu Alya juga langsung meminta dan mencatat nomor Kang Narto dengan alasan agar suatu saat ia bisa memesan karena itu adalah makanan favoritnya.




Cukup lama aku mematung dengan pikiran yang tidak karu-karuan. Bagai orang dungu, aku malah menaiki sebuah angkot yang kebetulan menurunkan penumpang di depanku. Padahal aku tinggal berjalan memasuki gang untuk pulang ke kostan.




Duuuuk!!!




Kepalaku terjeduk kaca angkot saat mobil terguncang cukup kencang. Aku langsung sadar akan keadaan, dan celingukan melihat lingkungan sekitar. Angkot rupanya sedang menyeberangi rel kereta api; nampak beberapa penumpang memalingkan muka untuk menyembunyikan senyum karena benturan kepalaku barusan dan karena muka bodohku tentu saja.




Aku menarik nafas panjang sekedar untuk membuang beban yang menghimpit perasaanku. Hembusan pertama untuk menepis bayangan-bayangan kemesraanku dengan Maya selama ini, hembusan kedua membuang jauh-jauh pikiran tentang Bu Callista, dan hembusan ketiga untuk menyesali kegagalan kuliahku yang justru baru dimulai. Dengan mundur dari kuliah Bu Callista, praktis aku hanya mengikuti lima mata kuliah semester ini.




Aku hanya tersenyum kecut saat menyadari teori bodoh arti hembusan nafas ini. Mana bisa menghilangkan masalah hanya dengan menghembuskan nafas.




“Kiri.” aku meminta sopir untuk menghentikan angkot.




Kuputuskan untuk ke rumah Kang Narto saat mobil sampai di pertigaan ke Kalidam. Setelah membayar aku pun jalan kaki menuju ke rumahnya.




Nampak Kang Narto sedang duduk sambil merokok di depan rumah dengan hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet. Udara hari ini memang cukup panas.




“Wa! Tumben siang-siang udah nongol, eta beungeut (itu muka) kenapa?” ia langsung menyambutku dengan pertanyaan.


“Kang..” sapaku pendek.




Aku duduk pada kursi plastik di sampingnya, sambil mencatut rokok miliknya. Kang Narto hanya diam meski matanya tak pernah luput memperhatikan gerak-gerikku.




“Ada masalah apa? Sok atuh cerita. Awewe (cewek), nya?” akhirnya ia membuka suara setelah membiarkanku menghembuskan beberapa hisapan rokok.


“Ya gitulah, kang.” jawabku enggan.


“Ada siapa, kang?” tubuh Ceu Ningrum muncul sambil membawa secangkir kopi.


“Tuhh.. adikmu. Datang-datang jiga hayam katelo (kayak ayam tetelo).”




Sesaat sinar mata kami beradu. Ekspresinya berubah begitu melihat tampang kusutku.




“Kamu teh kenapa, Wa? Sakit yah? Atau lagi ada masalah?” cerewetnya kambuh.




Ia menyodorkan cangkir kopi pada suaminya lalu mengamati makin lekat. “Euceu mah bawel, aku juga mau donk dibikinin kopi.” jawabku. Aku menjawab begitu karena masih malas menceritakan apa yang sedang menggumpal dalam pikiran dan perasaanku.




“Yeee ari kamu. Bentar atuh, ceuceu ke warung dulu, gulanya habis.” jawab Ceu Ningrum.


“Sudah biar akang saja yang beli gula, sekalian mau beli rokok.”


“Iya sok atuh.”




Kang Narto langsung meninggalkan kami menuju warung yang berjarak hanya sekitar seratus meter dari rumah.




“Sinih.” Ceu Ningrum langsung menarik tanganku masuk ke dalam.




Aku hanya membuntuti untuk menuruti kemauannya. Kudorong pintu dengan kakiku sampai tertutup, walau tidak sungguh-sungguh rapat.




“Kenapa, sayang?” bahasanya sudah kembali ke panggilan khusus saat kami sedang berdua.




Hmmmmffff!!




Kupeluk tubuhnya erat. Perutnya yang kian membesar terasa begitu mengganjal. Seakan mengerti, Ceu Ningrum membalas pelukanku tak kalah erat. Satu tangannya dipakai untuk mengelusi rambutku. Kutumpahkan segala gundahku dalam pelukan ini, tanpa saling berbicara satu sama lain.




Sadar akan waktu kami yang singkat, Ceu Ningrum merenggangkan diri dan memegang kedua pipiku. Sorot matanya memancarkan kekhawatiran sekaligus memberi sedikit rasa nyaman. Bebanku pun sedikit berkurang.




Cuuuup!!!




Ia mengecup keningku lembut, tapi aku meminta lebih. Kucari bibirnya dan langsung mengulum. Ceu Ningrum membalasku sesaat, lalu mendorongku dengan lembut. Ia segera beranjak membuka pintu dan aku kembali ke luar.




Timing yang tepat. Begitu aku duduk, sosok Kang Narto sudah muncul di pengkolan depan rumah. Sedangkan Ceu Ningrum menunggu di ambang pintu. Aku dan Kang Narto hanya saling berdiam diri sambil meneruskan merokok dan menunggu Ceu Ningrum yang membuatkan kopi.




“Sok atuh cerita.” ujar Ceu Ningrum tak lama kemudian.




Kuraih cangkir kopi yang ia sodorkan dan meniupinya. Sedangkan Ceu Ningrum duduk di sampingku, tangannya mengusapi punggungku.




Maka kuceritakanlah semua pengalaman yang menimpaku dari pagi sampai siang ini. Tentang Bu Callista, Maya, juga perjumpaanku dengan Bu Alya, ibu mereka. Kang Narto dan Ceu Ningrum menyimak penuh perhatian dan simpati. Keduanya seakan sepakat untuk hanya berdiam diri dan membiarkanku mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada.




Desah nafas berat sama-sama kami hembuskan di akhir ceritaku. Cerita yang penuh kemarahan, kesedihan, sakit hati, bingung, juga rasa tidak berdaya. Tidak ada nasihat yang mereka sampaikan, tidak ada wejangan yang mereka berikan. Tapi aku tahu, mereka berdua ada untukku dan turut merasakan semua pergulatan batinku. Betapa sederhananya cara mereka memberi perhatian dan rasa sayang, tapi begitu sangat terasa, jauh melampaui nasihat-nasihat bijak kaum pandai dan orang pintar.




“Yaudah Ning, kamu siapkan makan siang gih.” ucap Kang Narto setelah cukup lama kami berdiam diri. “Hari ini kamu di rumah saja, gak usah bantu jualan, biar kamu menenangkan diri sekalian menemani kakakmu.” lanjutnya lagi penuh empati.


“Aku udah lebih plong, kok kang. Gapapa, aku ikut jualan aja.” jawabku sambil menatap punggung Ceu Ningrum yang masuk ke dalam.


“Halaaah.. daripada kamu banyak ngelamun dan malah kenapa-napa, mendingan di rumah saja. Urusan nganterin martabak mah gampang, nanti bisa minta bantuan tukang ojek di pangkalan.” jawab Kang Narto.


“…”




Perlahan tapi pasti, usaha martabak Kang Narto memang semakin maju. Omzet dagangan sudah meningkat dua kali lipat. Banyak orang yang memesan melalui delivery order walaupun masih dari sekitaran Cimahi. Ini adalah kabar gembira, tetapi sekaligus membuatku semakin keteteran dalam mengatur waktu antara kuliah, mengerjakan tugas, dan jualan. Memang, penghasilanku menjadi semakin besar, tapi tetap saja aku harus banyak begadang untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas kuliah di warnet. Kalau sedang banyak orderan, tak jarang kami meminta bantuan tukang ojek di pangkalan, meski dengan begitu untung kami berkurang karena harus membayar upah mereka.




Perlahan tapi pasti obrolan mulai beralih pada usaha martabak, membuat pikiranku sedikit terhibur dan teralihkan. Kang Narto sudah berencana untuk mengganti gerobak dengan yang lebih besar, sekaligus juga untuk mencari orang baru yang akan membantu.




Kami pindah ngobrol ke dalam saat Ceu Ningrum sudah selesai menyiapkan makanan. “Kang, gerobaknya biar kita yang cat sendiri saja.” ucapku sambil menerima piring yang Ceu Ningrum berikan. “Sekalian kita beri nama,” lanjutku lagi.




“Ya hayu saja.” jawab Kang Narto.


“Emang mau diberi nama apaan?” Ceu Ningrum ikut nimbrung.


“Martabak N & N”


“Naon artina?” Ceu Ningrum makin penasaran.


“Narto dan Ningrum.”




Untuk pertama kalinya, suasana menjadi cair kembali semenjak mendengar semua cerita sedihku. Kang Narto dan Ceu Ningrum terbahak sambil sambil pandang. Kemesraan yang sederhana kuperhatikan.




“Nanti labelnya kita buat juga pada dus martabaknya, jangan polos lagi seperti sekarang.” tambahku di akhir gelak tawa mereka.




Keduanya mengangguk setuju. Karena sambil ngobrol, tak terasa acara makan pun selesai, meski aku tidak selahap biasanya. Aku dan Kang Narto langsung menyiapkan bahan dagangan dan menaikannya ke atas gerobak, sementara Ceu Ningrum membereskan perabotan makan.




Setelah semuanya beres, aku membaringkan diri di atas lantai beralaskan tikar dan bantal yang diambilkan Ceu Ningrum dari dalam kamar, sementara mereka berdua ngobrol di depan rumah. Masih banyak waktu bagi Kang Narto untuk berangkat jualan.




Kini tidur adalah satu-satunya hiburan bagiku, karena dengan tidur aku bisa melupa dari segalanya. Ini memang sudah menjadi kebiasaanku sejak lama, sejak Maya kembali ke alam baka. Di saat orang lain tidak bisa tidur ketika sedang banyak masalah, sebaliknya aku malah bisa tidur berlama-lama; jika perlu, tidak usah bangun lagi sekalian. Sayangnya, aku masih saja terbangun.








BERSAMBUNG









Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar