BAB 19
DI SUATU HARI YANG BERNAMA SELASA...
Selasa oh selasa… Sebuah hari dimana aku harus kuliah yang diajar Bu Callista, sama seperti hari senin kemarin. Aku harusnya sedikit bersyukur karena jadwal dua mata kuliah dia tidak di hari yang sama, tapi tetap saja, betapa beratnya aku menghadapi senin dan selasa. Dan inilah kisahku.. di hari selasa ketiga sejak purnama malam itu.
Seperti biasa aku duduk di kelas pada barisan paling belakang, paling pojok. Ini semacam tahta yang tak berani diduduki oleh siapapun. Bangku ini sudah dikhususkan untukku dan hanya boleh diduduki olehku. Siapa yang mengkhususkan? Terjadi begitu saja!
Ketiga temanku yang datang belakangan duduk agak jauh dariku, meski masih dalam satu barisan. Penyebabnya adalah karena sudah ada Nur dan kedua sahabat dekatnya yang menjejeriku. Ini pun sudah menjadi kebiasaan. Setiap mata kuliah Bu Callista, Nur selalu tidak mau jauh dariku. Ia seakan benar-benar mau mencegahku berbuat onar terhadap sang dosen. Ketua kelas duduk di belakang, memang tidak lazim, tapi begitulah adanya saat ini.
Gadis di sebelahku ini memang unik. Ia sudah kembali mau berkomunikasi denganku; kami sudah akrab kembali. Tak jarang aku dan Nur berangkat dan pulang kuliah bersama. Sekali-kali ia juga datang ke tempatku jualan, dengan alasan mampir, walaupun sepertinya itu hanyalah sebuah alasan. Di balik semua itu, sikapnya masih angin-anginan. Kadang perhatian, kadang jutek, tak sedikit juga galak.
Drrrrt! Drrrrt!!
Hapeku bergetar.
From: Ceu Ningrum
Kuliah yang rajin biar keponakanmu bangga. Pulangnya mampir ke rumah, ceuceu lagi ngidam jus alpukat.
Dengan gesit kubalas pesannya.
To: Ceu Ningrum
Stock habis, alpukatnya masih muda-muda. Gak enak dibikin jus. Encer…!!
Send. Segera kukantongi kembali hapeku sambil menyembunyikan senyum, bersamaan dengan sosok sang dosen yang memasuki kelas. Salam pagi pun terdengar yang dijawab riuh seisi ruangan. Kecuali aku tentu saja, ngapain membalas sapaannya. Aku malah memikirkan Ceu Ningrum, erangannya selalu menggema di dalam benakku. Squirt-nya, yang konon hanya terjadi saat bercinta denganku, senantiasa terbayang-bayang.
Sejak kejadian malam itu, entah sudah berapa kali kami melakukannya lagi di rumahnya. Dan ini sudah melewati minggu ketiga perselingkuhan kami.
Drrrrt! Drrrrt!!
Hapeku bergetar lagi. Kurogoh kantong celanaku untuk melihat isi jawaban Ceu Ningrum. Ternyata bukan dari dia…
From: No Name
Kalau lu bisa menghentikannya, lu udah gua anggap lulus, dan gua baru akan menemui lu lagi.
Aku hanya mengernyit membacanya. Jangankan nama, nomor identitas pengirimnya pun tidak ada. Otakku berputar memikirkannya. Ia seakan tahu perselingkuhanku dengan Ceu Ningrum, dan sepertinya kami pernah saling bertemu.
"Kupret!"makiku dalam hati saat memikirkan sebuah nama. Orang yang sejak sore itu tidak pernah menampakan bulu hidungnya lagi.
“Apa ruginya kalau kamu tidak pernah datang lagi?” sungutku lagi dalam hati.
Drrrrt!!!
Hapeku bergetar lagi bersamaan dengan panggilan Bu Callista yang sedang mengabsen. Ia memang tidak pernah mengedarkan absensi untuk ditandatangani, tapi memanggil mahasiswa satu per satu seperti yang sekarang sedang ia lakukan.
“Purnama Sirnawa.”
From: No Name
Lu pasti rugi.
“Monyet!”
“Apa kamu bilang?” bentak Bu Callista, sementara suasana yang tadinya tenang tiba-tiba menjadi riuh.
Aku hanya melongo mendengar bentakannya. Gumaman memenuhi seisi kelas; tak sedikit mata yang melirik dan memandangku, sebagian hanya menunduk bersiap mendengar hukuman yang akan kuterima.
“Ma.. maaf, bu. Mm.. maksud saya ini. Aku sedang membaca WA.” aku tergagap sambil mengangkat hapeku seolah mau menunjukkan isinya.
“Omonganmu sangat tidak sopan, seperti tidak pernah mengenyam pendidikan!”
“…” tapi hatiku berkata, “Makanya aku kuliah di sini, bu.”
“Kamu tahu kan aturan di kelas saya kalau tidak boleh memainkan handphone saat kuliah. Kamu…”
“Saya siap keluar, bu.” aku memotongnya.
Segera aku berdiri sambil meraih kertas-kertasku dan memasukkannya ke dalam tas. Aku sudah malas berdebat dan tidak mau emosiku jadi terpancing.
“Tidak usah!!” Bu Callista terlihat berusaha meredam emosinya. “Kamu boleh mengikuti kelas saya, tapi setelah ini kamu temui saya di kantor!”
“Terima kasih.” ucapku spontan.
Heran juga ia tidak mengusirku. Aku pun kembali duduk di bawah lirikan kesal Nur. Sementara suasana kelas tiba-tiba terasa mencekam. Setelah menarik nafas panjang, Bu Callista melanjutkan mengabsen.
Berbagai makian kuucapkan dalam hati. Baru juga membayangkan yang enak-enak dengan Ceu Ningrum, semuanya menjadi rusak gara-gara pesan misterius dari orang yang kuduga adalah Cintung. Akibatnya, aku langsung menerima sarapan bentakan pagi ini.
Bu Callista mulai mengajar tanpa sedikit pun kuperhatikan. Kalau bukan karena Nur, mungkin aku tidak akan pernah ada lagi di kelasnya. Aku masuk mengikuti mata kuliahnya hanya sekedar untuk menyenangkan Nur tanpa punya niat sedikit pun untuk menyimak. Aku datang ke kelas sekedar untuk setor muka dan berdiam diri menunggu jam mengajarnya selesai. Tidak pernah ada salam dan sapa antara aku dan Bu Callista, tapi bahwa ia tidak mengusirku dari kelas, itu sudah cukup bagiku. Bahkan aku cukup beruntung, kejadian barusan tidak membuatku terusir.
Karena bosan, aku mencoba mencari kegiatan baru. Biasanya aku hanya menggambar atau oret-oretan membuat cerita pendek, tapi kejadian barusan membuatku tidak punya inspirasi apapun. Maka kuputar pandanganku menyapu seisi kelas. Tak ketinggalan gadis di sebelahku yang nampak khusyuk menyimak dan mencatat.
Merasa kuperhatikan, ia melirikku. Ekspresi kesal masih nampak, tapi pipinya bersemu merah, dan keningnya sedikit mengkerut. Meski begitu, ia tidak melakukan protes apapun, sedikit saja membuat keributan maka singa betina di depan pasti akan mengaum. Kupakai kesempatan ini untuk selalu mengamati wajah manisnya. Ia semakin jengah, tapi hanya mematung diam. Bahkan konsentrasinya nampak mulai buyar.
Aku mendengus halus ketika penyakit mesumku kembali muncul. Ada yang paling cantik di depan, tapi memikirkannya saja aku sudah muak. Otak mesumku hanya berlaku untuk orang-orang yang baik hati. Penyakitkah ini?Hadeeeuh!!
Saat bu callista melihat ke arah layar infocus yang tersambung dengan laptopnya, keisenganku juga kambuh. Aku memiringkan kepala sambil memberi kode pada Nur. Ia nampak mengerti dan mendekatkan telinganya.
“Kamu cantik,” bisikku. Nur nampak mematung, tangannya meremas pensil yang ia pegang.
“Sayang aku sudah punya pacar, yang lebih cantik.” kalimat terakhir hanya kuucapkan dalam hati.
Tangannya bergerak untuk mencubit pahaku, tapi sigap kutangkap. Sesaat aku menggenggam pergelangannya, bahkan kutahan saat ia akan kembali menariknya. Ia memelototiku. Nur nampak benar-benar kesal, sementara aku hanya tersenyum jail sambil kembali melepaskan tangannya.
Dari pada semakin ngawur, aku mencoba melihat ke depan, sekedar melihat layar. Dari sudut mataku, Nur mengeluarkan hape secara sembunyi-sembunyi dari dalam tasnya, lalu mengetik sesuatu. Hapeku tidak bergetar, padahal aku sangat berharap ia menulis pesan untukku. Eh…
Drrrrt! Drrrrt!!
From: Calon Nyonya
Jangan nakal, yank!! Kamu bilang apa ke Nur?
Kini aku yang kaku. Mereka tidak pernah bilang kalau berteman, dan sama-sama memiliki nomor kontak. Ada senyum kemenangan yang terulas pada bibir Nur, digigit bibir bawahnya untuk menahan tawa. Suasana terbalik. Kini aku yang keki karena ulah Nur.
Belum juga aku membalas pesan Maya, hapeku sudah berpindah ke tangan Nur dan masuk ke dalam tasnya. Gerakannya sangat gesit. Senyum kemenangan semakin terlihat, sementara aku hanya bisa mendengus kesal.
Kulihat jam pada pergelangan tangan Nur, aku hanya bisa menghela nafas saat kelas masih dua puluh tujuh menit lagi. Penantian yang panjang untuk bisa menginterogasi Nur. Sementara suasana kelas sudah mulai cair saat terjadi diskusi, Bu Callista memberi kesempatan kepada para mahasiswa yang mau bertanya.
Iseng, kutuliskan berbaris goresan pada kertas loose leaf milikku.
Pelajaran ibu sama sekali tidak menarik, terlalu formal. Yaah.. mungkin karena ibu dosen baru kali yah. Saya maklum. Tapi baiknya ibu membuka pertanyaan kapan pun, agar bisa semakin memperdalam materi. Kalau model gini mah kayak seminar, membuat mahasiswa bosen.
Sirnawa.
Belum juga aku melipat kertas, ada tangan gesit yang meraihnya.
Srrrrttt…! Kresek!! Kresek!!!
Kertasku sukses dirobek dan diremas-remas. Kutatap tampang datarnya yang tetap menatap ke depan. Seolah tidak terjadi apa-apa. Sumpah!! Aku bagai terpenjara tanpa bisa berkutik apa-apa. Meski begitu, seneng juga bisa ngisengin dia untuk kedua kalinya.
Aku merasa lega saat Bu Callista menyampaikan tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Bukan karena tugasnya yang membuatku senang, tapi itu pertanda bahwa kuliah sudah mau berakhir. Kalau tugas mah sabodo! Aku tidak pernah mengerjakannya.
Ia memang selalu memberi tugas di setiap akhirnya kuliah. Mengikuti dua mata kuliah dia berarti harus mengerjakan dua tugas setiap minggunya; beneran terasa mengikuti pelajaran saat sekolah dulu dimana guru selalu memberi PR. Padahal dosen lain palingan hanya memberi tugas satu paper sebagai syarat mengikuti ujian.
“Kuliah selesai, selamat pagi.”
Mendengar kalimat itu, aku merasa sangat lega. Segera kumasukkan buku dan ballpoint-ku ke dalam tas. Sebagian mahasiswa langsung meninggalkan ruangan, sebagian lagi masih duduk sambil menunggu Bu Callista keluar.
Begitu tubuh sang dosen menghilang meninggalkan ruangan, tiba-tiba….
“Huuuuh!!!”
Bukkk!!!
Pletaaaak!!!
Teman-temanku langsung menyorakiku. Pujian dan salut, ledekan, dan candaan bernada caci bagai tawon yang memenuhi genderang telingaku. Timpukan kertas dan jitakan langsung juga mendarat, tapi yang paling menyakitkan adalah cubitan Nur.
“Ampuuun, Nur.” aku merintih disertai gelak tawa dan ledekan teman-temanku yang semakin menjadi.
“Kamu tuh!! Inget janjimu, Wa!!” geram Nur.
Mereka begitu seru mem- bully-ku, sementara aku teraniaya. Malaikat itu bernama Aruna…
“Sudah.. sudah… kasian kan Sirna!” ucapnya sambil menarik tangan Nur yang sedang memelintir kulit pinggangku.
“Cieeeee!!!” suara koor terdengar, disambung gelak tawa.
“Arunaaa.. kamu baik banget sih. Makasih yaaa.” ucapku sambil merentangkan tangan untuk memeluknya.
Buuuukkk!!! Heeeeekkk!!!
Sebuah pukulan sukses mendarat pada perutku.
“Nuuuurrr!!! Arrrgh….!!!” aku terhuyung.
Kembali Aruna membantuku, sementara yang lain malah tertawa puas. Kupret memang mereka semua. Keriuhan berhenti saat Kubus berkata, “Ini baru pemanasan teman, setelah ini kau habis sudah di kantornya Bu Callista.”
Ucapannya menyadarkanku kalau aku harus menghadapnya. Ekspresi galak Nur pun berubah khawatir, gelak tawa semua teman menjadi ekspresi tegang.
“Tenang, Wa, kalau sampai kamu dihukum biar kami ikutan maju.” darah tentara dalam diri Karma keluar.
“Sudah..!! Cepetan kamu temui Bu Callista.” Nur berkata. “Karma, kamu gak boleh ngomong kayak gitu. Jangan memperkeruh suasana.”
Mendapat hardikan dari kecengannya, Karma langsung diam. Beberapa teman mulai meninggalkan kelas, menyisakan aku dan ketiga sahabatku, juga Nur dan kedua sahabatnya.
“Nur..” ucapku, “Kok kamu bisa tahu nomor Maya?”
“Maya siapa sih?” Aruna kepo.
“Sirnaaa!!! Cepetan temuin Bu Callista!” Nur nampak kehilangan kesabaran.
“Tapi…”
“Kalau kamu tidak menemuinya sekarang, aku laporin ke Maya nih.”
“Nur.. please… jangan, Nur.”
“Makanya cepetan temuin sana!”
“Iya.. iya.. tapi janji dulu.”
“ Ya tergantung… cepetan sana!”
Aku pun bergegas meninggalkan kelas, rasanya Nur lebih menakutkan kalau sedang marah daripada Bu Callista sendiri.
“Kami tunggu di bawah pohon, Wa.” seru Nurdin.
“Di kantin!” ralat Nur.
Kuabaikan mereka, aku segera melangkah menuju kantor dosen. Setelah menemukan tulisan “Callista Asna Husein” pada pintu, aku langsung mengetuknya.
“Masuk!”
“Permisi, Bu.”
“Duduk!”
“Makasih!”
Tak sedikit pun ia melirikku dalam sapaan singkat ini. Ia tetap fokus pada layar dekstopnya sambil sibuk mengetik. Aku hanya bisa diam menunggu sambil menatapnya, yang sedang duduk agak menyamping dari tempat dudukku. Aku sama sekali sudah kebal dengan manusia yang satu ini.
Namun, dengan posisi seperti ini aku jadi bisa mengamatinya secara lebih dekat. Cantik pasti, meski sikap judesnya membuat pesonanya luntur. Jantungku berdebar lagi, sama seperti dua pertemuan awal sebelum mengenalnya sebagai dosenku. Pikiranku mengatakan aku sangat tidak respect pada wanita ini, tapi jantungku berdegup lebih kerap. Yang membuatku mengernyit, adalah wajahnya.
"Kamu perhatikan bu callista baik-baik deh... harusnya kamu nydar tuh.." kata-kata Lia kembali terngiang. Padahal sudah cukup lama ia mengatakannya.
Deeeghh!
Ada wajah Maya di sana, terutama pada alis dan matanya, juga garis bibirnya. Bahkan kebiasaannya mengernyitkan dahi saat sedang serius seperti itu, sangat persis dengan kebiasaan Maya.
“Masih saja mesum kamu!”
Gerutunya membuatku mengerjap. Ia sudah membalikkan badannya, ia mirip sekali dengan Maya. Sikap antipatiku selama ini membuatku abai pada kemiripan mereka.
“Yank, kamu kok manja banget sih. Gemesin!” ucapku sambil mengucek-ucek poninya.
“Iiih.. enak ajah. Kakakku lebih manja tahuuu.” ucapnya sambil menggelembungkan kedua pipi.
“Heh? Kamu punya kakak? Kok gak pernah bilang?”
“Sekarang kan bilang. Nanti deh, aku kenalin. Sekalian ketemu mama dan papa juga. Aku udah cerita ke mama kalau kamu ada di Bandung.”
“Muaaach!”
"Tidak mungkin kalau bu callista adalah kakak pacarku. Maya bilang kalau kakaknya lebig manja. Lah ini.." aku mencari pembelaan akan prasangkaku sendiri.
“Purnama Sirnawa.” panggil Bu Callista yang melihatku masih bengong. Suara mesin printer semakin membangunkanku dari lamunan.
“Iya, bu. Maaf.” kubuang segala pikiranku tentangnya, kini urusanku adalah nasib kuliahku.
“Kamu baca dan tanda tangani ini.” Bu Callista mengambil kertas dari mesin printer dan menyodorkannya kepadaku.
Aku meraih kertas itu dan membaca tulisannya. Isinya surat pernyataan permintaan maaf atas sikap tidak terpujiku dan berjanji untuk bersikap lebih santun serta bersedia mengikuti mata kuliahnya dengan baik.
Aku Sirnawa. Membaca tulisan ini, aku bukan hanya tidak suka pada dosen di hadapanku ini, tapi sudah mulai membencinya. Kalau bukan karena janjiku pada Nur, entah kata-kata apa yang akan kusemburkan.
“Aku setuju.” ucapku singkat dan dingin. Kuraih ballpoint yang tergeletak di atas meja dan menandatanganinya.
“Saya permisi, bu.” ucapku lagi. Aku berdiri lalu membungkuk hormat yang kubuat-buat.
Bu Callista duduk mematung sambil melihatku heran. Mungkin ia tidak menyangka akan sikapku yang menyetujui begitu saja isi surat itu. Aku pun melangkah menuju pintu.
“Sirna!”
“Iya, bu?” kusembunyikan amarahku dengan mencoba tersenyum.
“Kalau kamu tidak setuju kita bisa membicarakannya dan mengadakan perubahan.”
“Kalau saya sudah menanda-tangani, berarti saya setuju, bu. Permisi!”
“…”
Tanpa meliriknya lagi, aku langsung melangkah panjang meninggalkannya. Aku bergegas menuju kantor TU.
“Pagi, mbak.” sapaku kepada Mbak Karyawati, salah seorang staff yang sedang bertugas.
“Pagi, mas. Ada yang bisa saya bantu?”
“Mau tanya, mbak. Apakah untuk semester ini masih bisa melakukan Perubahan Rencana Studi (PRS).”
“Bisa.. bisa… kan hari ini adalah hari terakhir.”
“Oh syukur deh. Saya minta formulirnya, ya mbak.”
“Emangnya kenapa, mas?” tanyanya sambil membuka file cabinet.
“Ada sedikit kesalahan, mbak. Semester ini saya tidak bisa mengambil banyak karena ada urusan yang lebih penting. Biasa.. urusan keluarga dan ekonomi.” bohongku.
“Oh.. gitu, ya mas? Sayang sekali, padahal hampir semua mata kuliah semester pertama adalah wajib, mas tidak bisa mengambil beberapa mata kuliah semester depan kalau ada mata kuliah yang belum diambil semester ini.” ujar Mbak Karyawati sambil
menyodorkan formulir yang kuminta.
“Hehe.. gakpapa, mbak. Biar saya ambil tahun depan saja.” jawabku.
“Ini yang harus meminta tanda tangan dekan, saya sendiri atau gimana?”
“Nanti langsung kembalikan ke TU saja, mas. Biar kami yang memintakan tanda tangan.”
“Makasih, mbak.”
“Sama-sama.”
Aku bergegas menuju ke bangku panjang depan TU dan mengeluarkan ballpointku. Kucentang daftar mata kuliahku semester ini, kecuali dua mata kuliah Bu Callista. Bu Callista punya cara, aku pun punya. Semoga tahun depan ia sudah ganti materi ajar, kalaupun masih harus oleh diajar oleh dia, setidaknya semester ini aku bisa bebas untuk tidak bertemu dengannya. Tanpa pikir panjang, aku pun segera menanda-tanganinya.
“Ini, mbak, sudah saya isi.” ucapku sambil mengembalikan formulir pada Mbak Karyawati.
Ia mengamati formulir yang kusodorkan, dahinya tiba-tiba mengkerut. “Kok yang dibatalkan mata kuliah Bu Callista semua, mas? Ini syarat untuk mata kuliah berikutnya, loh mas.”
“Mbak…”
“Iya, mas?”
“Semakin lama saya kuliah di sini, maka kita akan semakin sering bertemu.”
“Ah Mas ini, masih mahasiswa baru tapi sudah berani kurang ajar.”
Tidak ada ekspresi kemarahan pada wajahnya. "Aku sirna, aku punya pesona." kukutif kata-kata si kampret Cintung, meski hanya dalam hati.
Aku pun permisi pada Mbak Karyawati yang tersenyum malu-malu. Yeaaah… hanya dengan cara inilah aku bisa menghibur diri dan melupakan kejengkelanku pada Bu Callista. Lagipula aku sudah telanjur dicap mesum oleh readers.. Eh.. oleh teman-temanku. Maka mendingan mesum beneran daripada menjadi fitnah.
Kuputuskan untuk tidak menemui Nur dan teman-temanku yang sedang menunggu di kantin, kakiku melangkah meninggalkan kampus, juga dengan niat untuk mengambil jatah bolos kuliah Bahasa Inggris siang nanti.
https://t.me/cerita_dewasaa
Tubuhku lengket karena peluh dan debu. Setegar-tegarnya penampilan luarku, tetap saja kejadian pagi ini membuat pikiranku kacau. Ada misteri yang disembunyikan oleh Maya dan Nur. Keduanya bisa saling memiliki nomor kontak handphone adalah sesuatu yang sangat ganjil, padahal setahuku mereka tidak pernah bertemu secara langsung kecuali pada saat Maya kecelakaan di atas tangga. Tapi kalau melihat dari gelagat pesan WA tadi, mereka sepertinya sudah cukup akrab.
Bukan hanya itu, Maya dan Lia pun seakan menyembunyikan hal lain lagi. Lia sudah memberi kode keras, tapi aku baru menyadarinya hari ini. Benarkah Bu Callista adalah kakak, atau setidaknya saudara Maya? Tetapi kenapa Maya tidak pernah menyampaikannya? Siaal!! Mengontak Maya pun aku tidak bisa karena hapeku masih dipegang Nur.
Puncaknya adalah sikap Bu Callista sendiri. Aku sangat tidak bisa terima dengan perlakuannya terhadapku, kalau bukan karena janjiku pada Nur, entah apa yang sudah kulakukan. Bahkan sekarang pun, aku bimbang atas keputusanku untuk membatalkan mata kuliahnya. Itu hanya akan membuatnya merasa menang. Aku terlalu cepat mengambil keputusan, terlalu terbawa emosi sesaat yang tak mampu kuluapkan di hadapannya. Kini yang rugi adalah aku sendiri, dan kalau ibu tahu, pasti ia akan kecewa.
Ditambah lagi bunyi pesan WA yang sepertinya dikirimkan oleh Cintung. Ia yang seakan telah berperan menjerumuskanku pada hubungan terlarang perlendiran, kini malah memintaku untuk menghentikannya.
Semuanya datang bersamaan. Serentak! Hanya dalam hitungan jam, dan terjadi di bawah atap yang sama; juga di hari yang sama.
Aku hanya bisa melangkah dan melangkah; berpikir keras sambil menyusuri trotoar jalanan tanpa arah.
Tiiiiiitttt!!!
Tiba-tiba bunyi klakson mobil memekakan telinga. Aku hanya melongo saat sebuah mobil meluncur ke arahku. Rupanya aku menyeberangi jalan tanpa waspada pada situasi jalanan.
Aku hanya mematung. Bukannya menghindar, aku hanya terpaku. Seketika aku hanya memejamkan mata ketika mobil itu semakin dekat.
Bukan hanya klakson yang kudengar tetapi juga bunyi rem. Aku sudah tak bisa menghindar. Nafasku tersengal, duniaku seakan hening. Aku menunggu.. dan menunggu… bayangan wajah ibu melintas, almarhumah, Maya kekasihku, Bu Callista, juga Nur. Tapi benturan itu tak kunjung tiba…
Yang kudengar hanyalah sahutan istighfar. Ada tangan yang memegang dan mengguncang bahuku.
“Ya ampuuun, nak. Kamu tidak apa-apa, nak?” suara itu terdengar panik penuh keibuan.
Perlahan kubuka mata. Jarak tubuhku hanya tinggal beberapa senti saja dari moncong mobil, juga dari ibu ini yang menatapku dengan panik. Sementara dari dalam mobil turun seorang lelaki dengan wajah pucat pasi.
Aku masih terpaku saat wanita ini melepaskan pelukannya lalu menatapku penuh kekhawatiran.
“Alhamdullilah!” ucapnya lega.
“Kamu ‘nggak kenapa-napa, kan nak?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk sambil mengamati mereka satu per satu. Dengan tangan bergetar kuterima botol air mineral yang ia ambil dari dalam tasnya, dan aku langsung meneguknya.
“Maafkan saya, pak, bu. Saya tidak hati-hati.” ucapku.
“Kami yang minta maaf karena terlalu ngebut.” jawab si ibu. “Kamu tuh, Pur, saya kan sudah bilang untuk hati-hati,” gerutunya kepada pria berbaju batik.
“Maaf, bu.” jawab si pria dengan wajah yang masih nampak pucat.
“Namamu siapa, nak?” tanya si wanita lagi.
“Sirna, bu.” jawabku sambil menunduk.
“Nama ibu Alya, ini Pak Pur, sopir kami.” wanita yang bernama Alya itu memperkenalkan diri, juga pria di sampingnya.
“Bu Alya?”
“Nak Sirna?”
Kami seakan sadar pada peristiwa de javu ini. Ia adalah orang yang sama yang hampir menabrakku di desa tujuh tahun yang lalu. Ia adalah ibunya Maya…!!
Bu Alya langsung menarikku ke pinggir jalan, sementara Pak Pur memindahkan mobil agar tidak menghalangi jalan. Kuamati situasi sekitar, jalanan cukup sepi dan aku tidak tahu daerah ini.
“Ya ampuuun, nak. Kamu sudah besar sekarang. Oh iya.. kamu seumuran Maya ya.” Bu Alya mengamati tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Hehee.. iya, bu. Gak nyangka kita bisa ketemu lagi, dan situasinya selalu sama. Maafkan saya sekali lagi, bu. Saya kurang hati-hati.” jawabku.
“Kamu itu selalu bikin ibu spot jantung saja. Hehehe… Kok bisa kamu ada di Bandung, nak? Eh iya.. ibu ingat sekarang, Maya pernah cerita kalau kamu kuliah di Unjani. Ibu udah minta untuk ngajakmu main ke rumah, tapi belum juga tuh. Dia malah sibuk pacaran.”
Deeeeghhh!!!!
“Oh.. Maya udah punya pacar, ya bu? Ia gak pernah cerita ke saya. Hehe…” entah kenapa aku bisa menutupi kegugupanku.
“Hehehe.. anak ibu dua-duanya memang aneh. Kakaknya gak mau pacaran, tapi adiknya gonta-ganti pacar terus. Kapan atuh kamu main ke rumah biar bisa kenalan juga dengan Callista.”
“…”
Pandanganku berkunang-kunang.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar