Cincin dari masa lalu part 18

 

BAB 18


KONFLIK KEDUA DAN PERUBAHAN NUR








Aku menggeliat di dalam selimut, mataku mengerjap karena sorotan sinar matahari yang menerobos melalui celah gorden jendela yang tidak tertutup rapat. Kulihat hapeku untuk melihat petunjuk waktu. Mati! Rupanya semalam aku ketiduran saat telponan dengan Maya sampai hapenya habis batere.




Aku benar-benar kelelahan. Sepulang dari Ciwidey, aku langsung membantu Kang Narto jualan sampai jam sepuluh malam. Kasian juga kalau membiarkan dia jualan sendiri dua malam berturut-turut. Malamnya langsung menemani Maya tidur, tepatnya (mungkin) Maya yang menemaniku tidur.




Sebetulnya jam delapan aku ada jadwal kuliah Mikro Ekonomi yang diajar oleh Bu Callista, tapi sejak kesan buruk saat Kuliah Pengantar Akuntansi, aku jadi malas untuk mengikuti kuliahnya. Sabodo! Mendingan istirahat daripada melihat sikap judesnya yang semakin terkenal di kalangan mahasiswa.




Segera kucharge hapeku. Kuputuskan untuk membuat kopi ke bawah sambil menempelkan sebatang rokok tanpa menyulutnya.




“Lu gak kuliah, Wa?” sambut Cintung di depan pintu dapur.


“Pagi, Tung.” jawabku. Otakku masih belum pulih dari rasa kantuk.


“Siang. Udah jam 10 kali, Wa.” jawabnya.


“Hmmm….!!” gumamku. Tapi hatiku berkata, “Sudah siang juga ternyata.”


“Lu, gak kuliah?” tanyanya lagi sambil mengamatiku yang sedang menyalakan kompor untuk merebus air.


“Nanti jam dua belas.”


“Pagi ini?”


“Bolos! Males!”


“Karena Bu Callista?”




Deeegh!!




Aku seakan baru bangun dari mimpi. Aku sadar bahwa aku sedang ngobrol dengan manusia aneh bernama Cintung, dan yang semakin mengherankan, ia tahu nama dosenku.




“Kok kamu…”


“Hahaha… udahlah, Wa. Masih belum peka juga?” ia seakan sedang mencelaku. “Ingat tiga papagon Sunda, Wa. Kamu sedang belajar yang pertama. Cintai dan jalani apa yang kamu benci karena itu mungkin adalah milikmu, dan ikhlaskan yang kamu cintai karena itu bisa jadi malah milik orang lain.”




Aku mengernyit untuk mengingat tiga papagon yang ia maksud, tapi tak sedikit pun muncul dalam ingatanku. Kucoba juga untuk menyimak isi nasihatnya, masih susah kupahami. Anehnya, lidahku sering kelu saat berada di hadapannya. Untuk bertanya pun aku sering tidak bisa.




“Contoh kecil..” Cintung tidak peduli pada kebingunganku. “Kamu pakai ini, walaupun kamu tidak menyukainya, ingat jangan pernah kamu lepaskan dalam situasi apapun.” ia menaruh sebuah kotak kecil di atas meja. “Dan kalungmu itu, meski kamu menyayanginya, lepaskan. Kamu hanya boleh memakainya saat purnama.”


“Udah, gua mau jalan dulu, ada urusan.” ia seakan tahu aku hendak membantahnya. Tanpa menghiraukanku, ia langsung ngeloyor, meninggalkanku yang terbengong.




Mungkin sekitar lima menit aku hanya mematung bingung. Mengambil kotak yang ia taruh pun tidak. Adalah air yang mendidih dalam ceret yang membuatku sadar. Segera kulanjutkan menuang kopi dan menyeduhnya dengan air panas. Kunyalakan juga rokokku dari api di atas kompor.




Aku duduk sambil mengaduk kopi. Kuhisap rokokku beberapa kali, sebelum membuka isi kotak itu. Ada perasaan aneh yang mengaliri debar jantungku saatku mengamatinya. Dengan ragu segera kubuka isinya, sebuah bungkusan kain putih. Kuambil kain itu dan kubuka lipatannya.




“Kupret!” dengusku.




Hanya sebuah kalung sederhana yang talinya terbuat dari anyaman kulit pohon. Tapi bandulnya memang unik, berupa siung harimau atau macan. Aku tidak tahu persisnya. Aku tidak terlalu tertarik dengan kalung ini, tapi entah kenapa aku seakan tidak bisa menolak untuk mengenakannya. Kulepaskan pula kalung cincin pertunanganku dengan Maya di masa lalu dan memasukkannya ke dalam kantong celanaku. Semuanya serba terbalik, kini tanganku yang mengendalikan otakku.




Ada rasa hangat yang menjalari sekujur tubuhku. Lemas dan pegal-pegalku pulih seketika, dan rasa lelahku hilang. Meski begitu, pikiranku tetaplah mampet; tidak bisa berpikir jernih. Semuanya serba membingungkan.




Aku hanya bisa termenung sambil menyeruput kopi dan rokokku. Bahkan suara langkah kaki yang mendekat tak menarik minatku.




“Sirnaaa!!! Ngapain kamu??”




Suaranya lantang dan penuh kemarahan. Aku mendongak, dan hanya melongo melihat sosok sang pemilik suara. Ajaib!! Meski penuh nada marah, ini adalah sapaan pertamanya setelah seminggu lebih mendiamkanku. Dia adalah Nur.




“Aku..”




Kuurung menjawab. Hanya tanganku yang bergerak untuk menunjukkan rokok dan kopiku.




“Kenapa gak kuliah?” tanyanya dengan nada suara masih tinggi. Aku hanya diam, masih shock dengan keajaiban ini. Bahkan ketika ia masuk dan mendekat aku hanya diam.




Plaaaak!!!




“Kenapa gak kuliah?” bentaknya.




Aku meringis sambil mengusapi pipiku yang ia tampar dengan cukup keras.




“Jawab!”


“Eh.. anu aku bangun siang. Capek banget.”


“Capek atau karena males kuliah Bu Callista?”


“Dua-duanya.”




Huuuufff!!




Kali ini aku berhasil menangkap tangan Nur yang hendak kembali menamparku. Kugenggam pergelangannya.




“Kamu udah gak marah, Nur?” pertanyaanku terdengar bego.


“Heeeh??? Kamu pikir yang sedang aku lakukan ini apa??”


“Maksudku.. maksudku…”


“Brengsek kamu! Pokoknya siang ini kamu harus masuk kuliah!!”




Aku tahu, yang ia maksudkan adalah kuliah Bahasa Inggris jam dua belas siang nanti.




“Mikir, Wa. Tujuan kamu datang ke sini itu untuk kuliah. Jangan kecewakan ibumu.” ia masih marah sambil menepis tanganku yang rupanya dari tadi masih menggenggam pergelangannya.


“Iya.. iya.. kamu kenapa, sih?” gerutuku. “Aku tuh capek banget, kemarin pulang dari Ciwidey langsung kerja. Baru pulang jam sebelas.”


“Ya itu resikomu. Tujuanmu ke sini kan untuk kuliah.” bantahnya sengit.


“Jadi kamu pulang dulu hanya untuk mengingatkanku dan menjemputku kuliah, Nur?” aku mulai menggodanya.


“Eh…!!” ia nampak salah tingkah. “Buruan mandi, awas kalau bolos lagi!” ia berhasil menutupi kegugupannya. Matanya melotot, lalu tanpa permisi meninggalkanku menuju rumah induk.




Meski harus mendapat dampratan dan tamparan, bibirku tetap menyunggingkan senyum. Kemajuan besar bahwa ia mau berbicara lagi denganku, dan di balik sikapnya, ia hanyalah menyembunyikan sikap peduli dan perhatiannya.




Kuhabiskan kopiku dan kembali ke dalam kamar. Kuputuskan untuk mandi. Tak terasa aku membersihkan diri sambil bersiul-siul senang. Begitu kembali ke kamar, sudah ada semangkuk bubur ayam yang masih mengepul. Ada sambel di pinggirnya, juga kerupuk di atasnya.




Aku hanya menyeringai senang. “Kamu sudah kembali, Nur,” batinku. Dengan cepat aku berganti pakaian dan menyantap sarapan-telatku. Sambil makan, kubuka hapeku. Ada begitu banyak pesan WA yang masuk. Dari Maya, Ceu Ningrum, Bu Ratih, Rad, juga teman-teman kampusku yang ngoceh karena aku tidak masuk kelas pagi. Dari semuanya, aku hanya membalas pesan WA Maya.




Tak perlu menunggu waktu lama, panggilan video call pun masuk darinya.




Kutekan tombol “yes” dan langsung menunjukkan sendok berisi bubur di depan mulutku.




“Sayang kok baru sarapan? Gak kuliah? Dari tadi kok hapenya mati?” ia langsung cerewet menggemaskan.


“Muuuach.” jawabku.


“Cieeeeee!!” langsung terdengar keriuhan, dan wajah teman-temannya yang tak satupun kukenal muncul di layar.




Sedikit keributan terjadi dan layar video menjadi gelap. Tak lama kemudian wajah Maya kembali muncul, rupanya ia menjauh dari teman-temannya.




“Maaf ya, semalam aku ketiduran. Capek banget. Ni hapeku baru dicharge.”


“Iyah, gapapa. Kok tumben makan bubur, yank?”


“Tahu gak ini dari siapa?”


“Sapah?”


“Nuuuur!”


“Hah? Kok bisa? Gimana ceritanya?”


“Satu-satu atuh nanyanya, cemburu yaaa?”


“Nggak iiih.”


“Bener?”


“Beneran.”


“Serius?”


“Se.. se.. rius.”




Nada suaranya menurun dan wajahnya ditekuk.




“Hahaha. Kamu gemesin banget, sih yank. Jadi gini ceritanya…”




Kusampaikan kisahku baru saja ketika Nur tiba-tiba datang dan memarahiku karena tidak masuk kuliah. Dan selesai mandi, sudah ada semangkuk bubur ayam di mejaku.




“Ooooh..”


“Muuuach.”


“….”


“Cieeee wajahnya merah tuh. Cemburu atau kangen?”


“Nggak!”


“Bener?”


“Beneran.”


“Serius?”


“Aku kangeeen!!”




Aku tertawa melihat tingkah gadisku. Kalau lagi bersama pasti aku sudah mendekapnya sambil mengucek-ucek rambutnya.




“Iya, aku juga kangen. Eh.. beneran kamu gak cemburu ama, Nur?”


“Nggak. Aku percaya ke kamu.”




Ucapannya membuatku tercekat, padahal aku telah mengkhianati kepercayaannya dengan apa yang kulakukan dengan Ceu Ningrum dua hari kemarin. Rasa bersalah pun kembali hinggap, meski begitu mulutku berkata beda…




“Makasiiih.”


“Tapi siang ini kamu ke kampus, kan? Jangan bolos lagi.”


“Iyah.”


“Muuuaach.”




Setelah saling melepas kangen, meski hanya melalui video call, Maya pun menutup telponnya. Rupanya ia sedang makan di kantin bareng teman-temannya sambil menunggu jam kuliah kedua.




Sepintas aku melihat ada bayangan orang yang menjauh di depan kamarku, tapi kubiarkan karena kupikir adalah tetangga kamar. Kulanjutkan makanku dengan lahap, lalu kusiapkan perlengkapan kuliahku dan memasukkannya ke dalam tas gendong yang selalu menjadi andalanku ketika berangkat ke kampus.




Drrrrt! Drrrrt!!




Hapeku kembali bergetar.




“Iya, Nur?”


“Ayo berangkat!”


“Eh… kan baru jam sebelas.”


“Cepetan!!”




Klik!




Fiuuuuuh!! Daripada ia mendiamkanku lagi, lebih baik aku mengikuti maunya. Segera kuraih tasku, juga mangkuk bekas bubur. Dengan langkah panjang, aku menuruni tangga. Sebentar aku mampir ke dapur untuk mencuci mangkuk. Kulakukan dengan serba terburu.




Kulihat Nur sedang menungguku di depan rumah, motornya sudah dinyalakan. Oh iya.. Sekarang, Nur selalu menggunakan motor matic bibinya saat pulang-pergi ke kampus.




“Makasih buburnya, Nur. Enak banget.”


“Ya enaklah, orang makannya juga ada yang nemenin.”




Degh!!




“Berarti orang yang tadi adalah Nur,” batinku. Suara ketusnya sudah membuktikan bahwa bayangan di depan kamarku tadi adalah ia sendiri.


“Hehehe…” aku terkekeh sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.


“Eh.. iyah.. maaf.” ujarku saat ia tak menerima mangkuk yang kusodorkan.




Segera aku berlari ke dalam rumah untuk menaruhnya. Di ruang makan ada Bu Ratih yang sedang menggendong dan menyusui Lintang sambil mengelap meja.




“Hai ganteng.”


“Pagi, Bu.”


“Siang.”




Kami pun sama-sama terkekeh. Kembali kugaruk kepalaku.




“Makasih buburnya, ya bu.” ucapku sambil melirik gundukan payudaranya yang sedang diemut Lintang.


“Kok bilang makasihnya ke ibu? Ke Sari donk.”


“Eh iyah.. ke ibu juga. Kan keponakan ibu.”


“Hahaha… ada-ada saja kamu. Yaudah sana berangkat. Entar si Sarinya ngamuk lagi.”


“I.. iya bu. Mari…!”


“Iya. Awas di kampus jangan jelalatan. Liat susu ibu-ibu aja kayak gitu, apalagi liat payudara cewek kampus.”


“Eh.. Bb.. Bu, ma…”


“Udah sanah!”




Dag dig dug aku meninggalkannya, kembali kepada Nur yang sudah berdiri di samping motor.




“Kamu yang nyopir.” suaranya masih ketus.


“Siap, boss!”


“Buruan!!”


“Iya.. galak amat, sih.”




Harusnya aku ngomel saat ia memukul lenganku dengan keras, tapi aku teramat senang melihat perubahan sikapnya. Setelah ia duduk, aku pun melajukan motor keluar halaman dan menyusuri gang.




Tak sampai sepuluh menit kami pun tiba. Masih banyak waktu sebelum kuliah mulai, membuatku bingung untuk mencari kegiatan, sementara tak satu pun temanku yang kulihat. Kuparkirkan motor, dan menyerahkan kuncinya pada Nur.




“Makasih.”


“…”


“Pulangnya aku nebeng lagi, ya.”


“…”




Nur langsung meninggalkanku tanpa menjawab, tapi aku masih melihat seulas senyum yang ia sembunyikan.




“Makasih lagii..” teriakku sambil melihat punggungnya yang semakin menjauh.




Sejenak aku celingukan untuk mencari teman-temanku, bahkan di markas bawah pohon pun mereka tidak ada. Kuputuskan untuk duduk di sana sambil merokok dan mencari tahu keberadaan mereka. Namun baru dua langkah kakiku bergerak, aku langsung membalikkan badan dan merubah arah. Sosok yang tak kuhendaki tiba-tiba muncul keluar dari gedung.




“Tunggu!”




Sial!! Ia memanggilku. Terpaksa aku berhenti dan menengok ke arahnya. Sebenarnya dia itu cantik, tapi sejak kejadian pagi itu aku benar-benar tidak menaruh respect padanya.




“Pagi, bu. Ada yang bisa saya bantu?”


“Kenapa tadi kamu tidak masuk kelas saya?” ia langsung bertanya judes. Tidak ada keramahan di sana.


“Saya.. saya…”


“Dasar tukang telat! Pemalasan!” penghakiman tanpa dasar itu meluncur begitu saja dari bibirnya.


“Bu, saya itu bukan malas, tapi…”


“Apa? Tapi telat bangun? Males kuliah saya? Habis begadang sambil ngecengin cewek yang beli martabak? Macet? Basi alasan seperti itu!”


“Njiiiirrrr tuh mulut!”


“Maaf, bu. Tapi…”


“Kamu harusnya inget.. eh siapa namamu… aaah.. siapapun…” ia memotong, “Ingat perjuangan orangtuamu yang sudah bersusah payah mencari uang untuk biaya kuliahmu.”


“Kupret.. justru yang membuatku telat bangun adalah karena mencari uang.” tapi sebelum kata-kata ini keluar, ia sudah nyerocos lagi. “Ingat ya, saya bisa tidak meluluskan kuliahmu kalau pemalasan seperti ini. Saya tahu semua mahasiswa saya.”




Mendengar hardikannya, emosiku langsung meluap. Kalau saja bukan sedang berhadapan dengan seorang perempuan, aku pasti sudah memakinya. Jika perlu, duel sekalian.




“Bu!!” aku sudah benar-benar geram. Bentakanku membuatnya sedikit terkejut, tapi apa peduliku. “Apa ibu bilang? Ibu kenal semua mahasiswa ibu? Nama saya saja ibu tidak tahu. Ibu sudah mementahkan teori ibu sendiri.”


“Kamu…!”


“Daaan…” kali ini aku yang memotongnya. “OK. Fine, bu, kalau ibu tidak meluluskan kuliah saya. Saya tidak rugi apapun. Tapi saya akan selalu ingat, bahwa peng-or-ba-nan o-rang tu-a sa-saya sia-sia karena seorang dosen bernama Bu CAL-LIS-TA!”




Kutinggalkan tubuhnya yang mematung. Wajahnya merah padam entah karena apa. Apa peduliku, sikapnya semakin membuatku muak di pertemuan kedua ini.




“Tunggu…!!!”


“Apalagi sih, bu? Ibu masih belum puas memarahi saya? Sok mangga…! Silakan…!”


“Saya tidak akan pernah melupakan sikap kurang ajarmu.” ia mencoba meredam amarahnya.


“Dan saya tidak akan pernah melupakan sikap ibu.”


“Kamu…!! Aaaargggh….!!!”




Ia betul-betul kelihatan marah. Ia pikir aku tidak emosi apa? Kulanjutkan langkahku sementara ia berjalan ke parkiran dengan langkah dihentak keras.




Buuuuk!!!!




Kudengar ia membanting pintu mobil. Apa peduliku, aku bergegas tanpa arah. Kuabaikan banyak mata yang melihat dan mendengar pertengkaran kami. Rupanya kaki ini membawaku ke kantin. Kuputuskan untuk duduk di salah sudut yang sepi. Aku benar-benar emosi pada yang baru saja terjadi. Kusulut rokokku dan menghisapnya dalam-dalam. Hampir semua sosok yang memasuki kantin melirik ke arahku, mungkin mereka adalah orang-orang yang tahu kejadian di parkiran barusan. Bodo!!




“Nih kamu minum dulu. Cari penyakit saja!”




Tiba-tiba seorang gadis meletakkan gelas jus di hadapanku. Kutengadah dan melihatnya.




“Nur.” gumamku dengan tampang datar.




Kuabaikan ia yang duduk di hadapanku dengan sorot mata yang tajam. Tak kupedulikan pula dua temannya, teman sekelasku juga, yang duduk mengapitnya.




“Minum!” nadanya tegas tapi sudah tidak segalak tadi.




Aku hanya mengangguk sambil meneguk isinya sampai tersisa setengah, kuhisap kembali rokokku.




“Liat aku!”




Aku memandang Nur yang menatapku tajam, kulirik Aruna dan Dewi di sampingnya. Semuanya sedang memandangku, tapi hanya Nur yang memiliki sorot mata sangat tajam.




“Mulai sekarang, aku tidak mau mendengar keributan apapun antara kamu dan Bu Callista!” ucapnya tegas. “Kamu yang harus mengalah, ingat dia adalah dosen di sini.”


“Tapi Nur.. dia itu…”


“Tidak ada tapi-tapian. Awas kamu!”




Aku hanya mendengus kesal mendengar ancamannya.




“Janji?”


“Iya!”


“Iya apa?”


“Iyaaa, aku janji!!”




Untuk pertama kalinya aku melihat Nur tersenyum; sebuah senyum yang tidak lagi ia sembunyikan. Entah sengaja atau tidak ia meraih tangan kiriku dan menggenggamnya. Sikapnya membuat hatiku melunak, emosiku pada Bu Callista langsung reda.




“Eheeem.” deheman Aruna dan Dewi membuat Nur bagai tersengat, ia menarik kembali tangannya dengan cepat.


“Cie.. cie.. ada yang merah tuh.” Dewi yang memang terkenal ceriwis langsung meledek Nur sambil menunjuk pipinya.


“Apaan, sih?” jawab Nur malu sambil menyubit lengan Dewi.




Sikap salah tingkah Nur terselamatkan oleh kedatangan ketiga sahabatku, Karma, Nurdin, dan Kubus. Mereka berlarian ke arah kami.




“Hei kawan, benarkah semua itu?” Kubus langsung menanyaiku sambil tersengal.


“Apaan, sih?” jawabku tiis.


“Jadi emang bener?” tanya Karma tak sabar.


“Gila, Wa.. Gilaa.. ini mah cari penyakit namanya. Gimana kalau sampai Bu Callista ngadu ke dekan?” Nurdin ikutan mencecar.


“Kau mati sudah.. ia pasti mengadu juga ke jenderal.” Kubus membumbui dengan menyebut rektor universitas.


“Sudah.. sudah..!! Kalian ini malah bikin suasana makin ribet!” bentak Nur.




Sementara ketiga temanku diam, Dewi malah nyerocos menceritakan keributanku dengan sang dosen. Rupanya ia melihat kami dan langsung melaporkannya pada Nur yang sedang di perpustakaan. Kini, mereka malah pada ribut sendiri, sementara aku hanya mengamati ulah teman-temanku sambil merokok. Lucu juga melihatnya, membuat kejengkelanku pada orang yang menjadi objek pembicaraan perlahan memudar.




“Tapi Sirna bukan korban pertama, kaaan.” Aruna menambahkan cerita.


“Iya betuuul.” seru mereka. Hanya aku dan Nur yang diam.




Rupanya dua hari lalu, ada juga kakak kelas yang dimarahi Bu Callista karena telat mengumpulkan tugas. Ia langsung merobek kertas tugas di depan kelas dan mengusir sang mahasiswa keluar. Mendengar semua itu, membuatku semakin kehilangan simpati.




Di tengah keseruan obrolan, ada hal yang sama yang aku dan dan Karma lakukan: memperhatikan Nur. Aku tahu kalau temanku yang satu itu menyukainya, sedangkan aku lebih pada kagum karena perubahan sikapnya yang tiba-tiba kembali perhatian. Di sisi lain, bukan aku tidak tahu, kalau diam-diam Aruna juga sering curi-curi pandang memperhatikanku.




Kuhabiskan sisa jus pemberian Nur, lalu melangkah tanpa permisi.




“Heiii.. kemana, lu?” seru Karma.


“Ke kelas. Males dengerin ocehan kalian.”




Mereka pun menghambur mengejar dan menjejeriku. Ada senggolan kecil yang Nur berikan sambil menyembunyikan senyum. Seperti kebetulan, tapi aku cukup tahu kalau itu memang disengaja.








https://t.me/cerita_dewasaa








“Dalam segala usaha, yang miskin akan kalah oleh yang kaya, yang kaya akan kalah oleh yang beruntung. Tapi beruntung pun ada kadaluwarsanya. Di atas semuanya itu, sang pemenang adalah mereka yang mau bekerja keras. Jadilah orang yang terakhir.”




Soreku disambut ceramah Cintung. Manusia satu ini tiba-tiba muncul di depan kamarku, saat aku mau berangkat ke rumah Kang Narto. Ia seakan tahu kecamuk pikiranku selama mandi tadi, yang memikirkan usaha Kang Narto yang tak kunjung maju. Bentuk baru penjualan kami belum membuahkan hasil.




“Kamu akan menjadi orang yang membawa keberuntungan. Tapi ingat, tanpa disertai kerja keras itu semua tidak ada artinya.” setelah berkata demikian, ia pun pergi begitu saja.


“Eh.. Tung, makasih.” teriakku.




Tapi tubuhnya keburu hilang ke bawah tangga. Aku hanya bisa geleng-geleng sambil menutup dan mengunci pintu. Inilah kemunculannya yang kedua hari ini, tapi identitasnya masih misterius dan sikapnya tetap saja membingungkan. Kata-katanya memang bijak, tapi kelakuannya yang datang dan pergi tanpa diminta tetap saja menjengkelkan.




“Mau berangkat, Wa?” sapa Nur yang sedang menyapu teras.


“Eh kamu, Nur. Iyah… rajin nih.” jawabku sambil menggodanya.


“Apaan sih?” ia kembali memasang muka cemberut.


“Jangan cemberut, Nur. Bahaya…!!”


“Bodo! Emang bahaya apaan?”


“Menurut suami ibuku, dulu ia semakin sayang pada istrinya karena sering cemberut.”




Nur hampir tertawa mendengar ocehanku yang gak penting, tapi ia langsung menahan diri dan memelototiku.




Wuuuush!!




Sapu di tangannya tiba-tiba melayang hendak menimpaku.




Hufff!!!




Dengan sigap aku menggerakkan badan, dan menangkap gagang sapu.




“Galak amat sih.” gerutuku. Tapi dalam hati, aku mengagumi gerakkanku sendiri yang sangat gesit.




Kukembalikan sapu pada Nur yang mendelik kesal karena gagal membuatku mengaduh kesakitan. “Nur, aku seneng deh. Kamu gak diemin aku lagi.” ucapku tulus.




Nur hanya diam. Diraihnya gagang sapu yang kusodorkan dan melanjutkan pekerjaannya.




“Nur..!!”




Tapi dia hanya diam. “Yaudah deh, aku pergi yah.” pamitku, dan ia masih tak menjawab.




Aku hanya mengangkat bahu melihat sikapnya, lalu melangkah meninggalkan halaman. Ketika sudah sampai di gang, langkahku terhenti…




“Wa!”


“Iya, Nur?”


“Hati-hati!”




Mungkin inilah senyum terindahku hari ini. Kuberikan untuk seorang Nur sambil mengacungkan kedua jempol tangan. Langkahku terasa ringan di bawah senyumannya yang masih nampak malu-malu.




Di ujung gang, aku bertemu dengan Lia yang baru pulang dari kampus. Ia dan Rad memang sangat aktif dalam kegiatan himpunan mahasiswa.




“Hai, Li. Gak bareng Rad?” aku menyapanya duluan.


“Hai.. nggak, dia udah pulang dari tadi kok, tapi ada urusan dulu ke Bandung. Mau ke jualan?”


“Iya. Bye, Li.”


“Eh bentar…” Lia menarik tanganku.


“Tadi kamu ribut lagi ama Bu Callista, ya?” lanjut Lia.


“Eh.. kok tahu?”


“Iyalah… gosipnya langsung nyebar. Secara Bu Callista kan mendadak jadi artis karena kecantikan dan kejudesannya, dan hanya kamu yang berani membantah dia.”




Aku hanya garuk-garuk kepala mendengarnya. Kata Lia, “Sebaiknya kamu hati-hati, Wa. Bisa berabe kalau.. eh…”


“Kenapa, Li?”


“Nggak. Sorry.. sorry…”


“Ada apaan, sih?’


“Itu.. hmm.. kamu gak nyadar, gitu?”


“Nyadar apaan, sih? Kok jadi aneh gini?”


“Kamu perhatikan Bu Callista baik-baik deh… harusnya kamu nyadar tuh…”


“Lia??”


“Hihihi… jangan galak-galak, aku aduin ke Rad nih.” Lia cekikikan sambil memeletkan lidah. Lanjutnya, “Pokoknya kalo pas kuliah kamu perhatiin deh.”




Tanpa permisi ia menyolek jidatku lalu melangkah memasuki gang.




“Liaaa??”


“Gak denger!!”


“Kupret!!!”




Plaaaak!!!




Aku menampar pipiku sendiri saat sadar kalau mataku hanya fokus pada bokongnya yang bergoyang dalam balutan jeans ketat. Aku hanya bisa mengutuki pikiran mesumku sendiri yang datang dan pergi tanpa bisa kukontrol.




Aku menyeberangi jalan untuk menunggu angkot. Kukeluarkan hapeku yang bergetar. Kang Narto.




“Hallo, Kang.”


“Iya, Wa. Akang udah di alun-alun nih.”


“Yaudah aku langsung ke sana saja kalau gitu.”


“Jangan! Justru kamu harus ke rumah dulu.”


“Looh..? Emangnya ada apaan?”


“Ari kamu gimana, Wa. Ya ambil motor atuh, nanti kalau ada yang delivery order gimana?”


“Oh iya, kang. Hehehe… siap komandan. Meluncur ke TKP.”


“Hahaha… buruan.”


“Siap!”




Kliiik!




“Yaoloooh… kenapa godaan ini tidak hilang-hilang. Ceu Ningrum, aku datang untuk menengok keponakan.”










BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar