BAB 17
Halaman rumah tempat hajatan yang ditutupi bentangan terpal sudah tidak mampu menampung tamu undangan dan penonton; meluber sampai ke tengah jalan. Melihat banyaknya orang, Ceu Ningrum urung menuju ke area pertunjukkan. Ia melangkahkan kakinya menyusuri jalan sebaliknya, sementara aku hanya membuntutinya di antara lalu lalang dan kerumunan warga yang sedang jajan.
Kami pun tiba di jalanan sepi yang membelah bentangan sawah dan kolam-kolam ikan milik warga. Tangan kami kembali berpautan, dan hanya terlepas ketika ada sorot lampu motor di kejauhan. Aku tidak bertanya tujuan kami, karena berdua di tempat sepi adalah inginku. Pikiran nakalku langsung muncul saat kulihat sebuah saung di tengah sawah. Lokasinya cukup jauh dari jalan.
Tanpa minta persetujuan, aku langsung menariknya keluar dari jalan dan menyusuri pematang sawah. Ceu Ningrum sempat mengamati keadaan sesaat, setelah memastikan tidak ada yang melihat, ia pun membuntutiku. Sambil berpegangan tangan, kami membelah bentangan sawah yang padi-padinya sudah berbulir. Langkah ini tidak terhalang, karena cukup terang oleh sinar bulan.
Saung sawah yang kami tuju hanya berdinding setengah bilik di ketiga sisinya, sementara bagian depan dibiarkan terbuka. Setengah alasnya berbentuk bale-bale bambu. Kuhamparkan tikar yang terlipat dan kami pun duduk bersisian. Ia mengeratkan kainnya karena udara cukup dingin, tanpa kata ia pun memelukku.
Kubalas pelukannya dengan erat sambil memandang ke kejauhan. Menyadari bahwa pemandangan cukup terang, aku pun tengadah. Purnama bersinar dihiasi kemerlip bintang. Suasana ini semakin syahdu seiring alunan musik di kejauhan.
Purnama lalu dia masih di sini
bersamaku melukis kisah ini
tapi kini ke mana dia?
Kasih, aku tak mampu tanpamu.
Kurindu purnama lalu
Berpayung kabut asmara
Hingga kini masih kurasakan
Meski kini kau tlah sirna.
Kecup lembut di keningku
Nafas cintamu cintaku
Semakin dalam rinduku mendera
Kala kulihat purnama.
Hening di ujung malamku
Berselimut sepi kumerindukanmu
Memendam rindu aku di sini
Menanti cintamu kembali
Pedih hatiku tersayat rindu
Terbayang kenangan saat bersamamu.
Kala purnama menghampiriku
Tak tertahan linang air mata
Semakin dalam rinduku pendam
Wahai purnama berilah aku terang.
Purnama!!!
Senandung menghelas rindu syahdu
dari mata hati dan batinku gejolak rindu marak beradu
setelah semusim purnama telah berlalu
kini kelopak purnama telah banyak menunggu
apakah pancar sinarmu tetap untukku?
Hening di ujung malamku
Berselimut sepi kumerindukanmu
Memendam rindu aku di sini
Menanti cintamu kembali
Pedih hatiku tersayat rindu
Terbayang kenangan saat bersamamu.
Kala purnama menghampiriku
Tak tertahan linang air mata
Semakin dalam rindu kupendam
Wahai purnama berilah aku terang.
Purnama!!!
Purnama saat kauhadir membawa cinta
kuharap kau tak pergi membawa luka
kau tak mungkin kugenggam
kau tak mungkin selamanya menetap
tapi setidaknya kau pasti akan kembali
kembali bersamaku di sini.
Purnama!!!
Alunannya membuat aku dan Ceu Ningrum semakin saling memeluk erat. Aku menunduk untuk memandang wajahnya yang sudah terlebih dahulu menatapku. Matanya begitu sayu, bibirnya nampak bergetar karena dingin dan menahan kerinduan. Gurat-gurat dewasa pada wajahnya membuatnya nampak seksi dan menggoda, rambutnya tergerai dan memancarkan aura bersinar karena terpaan purnama yang menerobos melalui celah atap yang berlubang.
“Purnama Sirnawa.” bisiknya. “Malam ini, jangan ada yang lain. Hanya aku dan kamu.” lanjutnya.
Bagai tersirep, aku hanya mengangguk. Kukecup keningnya, kukabarkan rasa sayang yang tiba-tiba menggumpal. Kukecup pula kedua kelopak matanya yang terpejam. Kedua pipinya, dan kedua tepi bibirnya. Ia meminta lebih, bibirnya terbuka. Saling berbagi kulum pun kami lakukan.
“Ning..” bisikku. Bahkan aku memanggilnya tanpa menambahkan embel-embel “ceu” lagi. Padahal usianya enam tahun di atasku.
Kuabaikan tatapannya yang merajuk. Kulepaskan kalungku dan melepas bandulnya. “Malam ini hanya ada kita berdua,” kata-kataku meluncur begitu saja. Dengan lembut kupasangkan cincinku pada jari manisnya lalu mengecupnya lembut.
Ia menolak saat hendak kupeluk. Didorongnya dadaku pelan sambil tersenyum senang sekaligus nakal. Aku hanya mengikuti maunya. Ceu Ningrum berdiri menjaga jarak dariku, lalu melepaskan kainnya. Dibuka kancing-kancing atas dasternya. Gerakannya seakan lambat saat mataku tak sabar melihat isi daster yang sedang ia loloskan. Kedua tangannya terlepas dan daster ini meluncur begitu saja. Tidak sepenuhnya karena menyangkut pada perutnya, tapi mataku nanar melihat kedua payudaranya yang menggantung besar. Meski sudah menyentuh dan meremasnya, tapi baru kali ini aku bisa melihatnya secara langsung. Kedua putingnya yang tegang sangat menantang dan menggairahkan.
Tangannya mulai mendorong dasternya ke bawah, dan perutnya yang buncit terpampang. Sangat seksi dan indah. Ia biarkan dasternya mengumbyuk di atas tanah. Tubuhnya kini tinggal menyisakan celana dalam berwarna hitam. Senyum nakal ia berikan. Tangannya mengusapi kedua payudaranya, lalu turun ke atas perutnya.
Seketika ia menunjukku yang akan merangkulnya, matanya mendelik. Aku hanya bisa menahan hasrat sambil kembali duduk. Nanar aku memerhatikan setiap gerakkannya ketika ia menyelipkan jemarinya ke dalam celana dalamnya. Perlahan tapi pasti segitiga itu melorot dan terlepas seutuhnya. Bayangan hitam bulu kemaluannya membuatku meneguk air liur.
Ia memberi kode padaku untuk berdiri. Ia membuka kancing-kancing kemejaku tanpa membolehkanku meyentuhnya.
Pluk!! Dilemparkannya di atas bale-bale. Ia mendongak sebentar sebelum membuka ikat pinggangku. Senyumnya semakin nakal. Gairahku menggelegak, hasratku seakan mau meledak saat melihatnya yang malam ini berbeda sama sekali. Seksi dan binal!
Aku hanya bisa menarik nafas panjang saat penisku mendongak bebas. Kuangkat kakiku bergantian saat ia meloloskan celana panjang dan celana dalamku bersamaan. Kini kami sudah sama-sama bugil. Kami seakan kembali ke masa purba saat bertelanjang di tengah alam.
Kami berdiri mematung berhadapan, hanya sorot mata yang bertautan.
Plaaaak!!!
Ia menamparku. Sorot matanya berubah jalang. Nafasnya mulai tersengal.
Plaaaak!!!
Ia menamparku lagi lebih keras.
Aku malah semakin bergairah karena ulahnya. Aku benar-benar tersirep oleh keindahan tubuh dan tingkah binalnya. Manjanya berubah menjadi garang. Dadanya turun naik dengan nafas yang kian tersengal.
Plak! Plaaaak!!!
Huffft!!! Kutahan tangannya ketika ia hendak menamparku yang ketiga kalinya. Dengan sekali hentakan aku berhasil menarik tubuh dan memeluknya. Kulit kami bersentuhan, perutnya mengganjal, dan batang penisku terselip di celah selangkangannya.
Ganas dan liar kami saling berciuman. Kepala kami saling memutar bergantian. Sikap liarnya membuat tubuhku terdorong dan terduduk di tepi bale-bale. Ia langsung mendudukiku tanpa melepas lumatan. Lidah kami langsung saling membelit, dan gerakan tubuhnya semakin tak terkendali.
Aku mengimbanginya sedikit gelagapan, kuraih dan kuremas apapun yang bisa kusentuh dari tubuhnya. Sementara kemaluan kami sudah saling menggesek, vaginanya langsung becek. Ia menaikan kakinya dan melingkari pinggangku saat ciumanku turun pada lehernya yang mulai lembab. Mulut dan bibirku sampai pada apa yang kumau. Kujilati permukaan payudaranya, dan kulahap putingnya bergantian.
Ceu Ningrum hanya merintih sambil merunduk memeluk leherku. Ia menggigit-gigit kecil pundak belakangku sambil kedua tangan tak hentinya meremasi rambutku. Tubuhnya semakin gelisah, dan pinggulnya mulai bergoyang menambah tempo tekanan dan gesekan kelamin kami.
“Aaaahhh…!! Ngewe.. uuuh…” erangannya vulgar dan kasar.
Ucapannya membuat gairahku semakin berlipat. Rakus kukenyoti kedua putingnya bergantian sambil meremas kedua pinggulnya yang gempal-lebar. Ia mengangkat pinggulnya, dan aku beringsut semakin ke dalam bale-bale. Kami seakan saling tahu apa yang pasangan mau.
Kakiku menjuntai, sementara tak sabar ia mengangkat pinggulnya kembali dan mengarahkan penisku pada lubang vaginanya. Tubuhku bergetar saat kepala penisku menyentuh gerbang lembut dan basah. Nafas kami seakan terhenti saat jagoanku sudah menemukan lubangnya.
Cleeeep!!!
Gairah! Nafsu! Iseng! Semua beradu. Tanpa aba-aba kutekan pinggulnya ke bawah dengan keras. Penisku amblas seketika. Perih kurasakan saat melesak sampai pintu rahimnya. Ceu Ningrum memekik karena kaget. Rambutku dijambaknya keras.
“Bangsaaat!!” erangnya.
Ia benar-benar menjadi Ningrum yang tidak kukenal. Sangat kasar dan binal! Seakan mau balas dendam, ia memainkan dinding-dinding vaginanya meremasi batang penisku. Enak! Ngilu! Belum lagi ditambah olesan cairan-cairan vaginanya yang merembes seakan memberi pijatan halus.
Tanpa komando, tubuhnya langsung bergoyang. Ia memompa dan aku menyodok. Ia bergoyang aku memutar. Desah, erang dan kata-kata vulgar makin kerap kudengar; membuatku semakin bergairah. Hawa dingin berubah panas, peluh pun mengucur membuat tubuh kami mengkhilap karena keringat.
Tak perlu waktu lama, Ceu Ningrum menjerit, dengan gerakan tak terkendali. Ia menggigit pundakku, mencakar punggungku, menghentak pinggulnya. Daaan… tanpa peduli pada keadaan, suaranya terdengar melengking seiring kejatan-kejatan tubuhnya. Remasan dinding vaginanya semakin kuat. Srrrr… Srrrr…. ia orgasme panjang. Getaran tubuhnya sangat memabukkan. Diam kaku sesaat, lalu terkulai lemas.
Kuberi waktu baginya untuk beristirahat. Kulihat purnama semakin beranjak, menuju titik vertikal dunia atas dan dunia bawah. Dengan teknik yang tak pernah kupelajari, aku memutar tubuh Ceu Ningrum dan membaringkannya di atas bale-bale. Kakinya menjuntai lemah. Erangan-erangan ia berikan saat kelamin kami bergesekan karenanya.
Kini aku bisa menggauli Ceu Ningrum sambil memandang setiap lekukan tubuhnya yang seksi. Helaian rambut yang menumpang pada wajah berkeringatnya membuatku semakin bernafsu, belum lagi bulatan kedua payudaranya dengan kedua puting menantang, juga perutnya yang menggunung. Kuusapi perutnya sambil mulai memompa penisku, kuremas dan kupilin-pilin puting payudaranya sambil menyodok. Reaksinya luar biasa, tenaganya seakan pulih seketika.
Ia membalas sodokan dan goyanganku. Kedua kakinya melingkar pada pinggang belakangku, membelit kuat saat kusodok, sedikit mengendur saat kucabut. Sekali-kali ia memindahkan kakinya dengan kedua telapak menjejak tepian bale-bale. Aku mengerang nikmat, saat lubang vaginanya terasa kian menyempit dan menjepit. Meski banyak cairan yang mengalir, tapi kayuhanku kian berat karena penisku semakin lama semakin membengkak.
Sensasinya sangat menggetarkan saat Ceu Ningrum mulai menggelepar, sedangkan aku berusaha membawanya pada kenikmatan yang ia nantikan. Kurasakan penisku terdesak oleh semburan kuat. Setelah menghentak kuat berulang kali, segera kecabut penisku dan melangkah mundur.
“Aaaahh… Uuuuh… iiiiih….” pekik dan rintihnya mengabarkan puncak birahi.
Srrrr…!! Creeet..!! Creeeeet!!!! Cuuuurrr..!!
Ceu Ningrum terkencing-kencing, memancur tinggi seiring kejatan-kejatan pinggulnya. Aku begitu terpesona, dan nanar melihatnya. Penisku memancung bergetar, terdesak oleh gairah yang semakin tinggi.
Bagai punya tenaga lebih, kuraih dan kuangkat tubuhnya yang terkulai lemah dengan bibirnya yang tak henti mendesis dan merintih.
Kupaksa supaya ia berdiri di atas lantai tanah sambil memeluknya dari belakang. Koposisikan tubuh lemasnya supaya menungging dengan menjadikan tepian bale-bale sebagai tumpuan kedua tangan. Tanganku mencengkeram kuat pinggangnya yang berkali-kali mau ambruk, lalu kusodok kembali vaginanya. Sensasinya sedikit berbeda, penisku tercengkeram lebih kuat. Kini bukan hanya ia yang mengerang-erang, tapi aku sudah tak tahan meredam geraman.
Perpaduan kelamin kami bekecipak, desis dan rintih saling menyahut. Kata-kata vulgar saling bersahutan. Bagai kalap, aku terus memompanya. Kenikmatan ini sudah tak terkata dan tak mampu kugambarkan. Penisku terasa panas dan kian membengkak seiring lahar panas yang mendesak-desak. Ceu Ningrum kembali kejang-kejang dan menggelepar. Kali ini aku tidak peduli, kenikmatan ini sudah tak terkira.
Maka ketika ia menjemput nikmat dengan squirt keduanya, aku tak menghentikan sodokan-sodokanku. Semburan orgasmenya menciptakan sensasi tersendiri pada penisku. Penisku beradu dengan semburan-semburan deras, dan aku terus mengebor lubang beceknya. Bunyi kecipak semakin kerap. Aku sudah tak peduli pada jeritan-jeritan minta ampunnya, aku tak mau tahu dengan vaginanya yang terkencing-kencing. Aku terus memompa dengan semakin kuat seiring derasnya air seninya yang mengalir, membasahi kaki kami berdua.
Aku benar-benar limbung saat penisku dicengkeram dinding-dinding vaginanya. Geli-nikmat saat kusodok dalam, dijemput semburan air seninya yang menggelikan, dihantar kucuran air kencing saat kutarik keluar.
Aku mengeram. Aku mengerang. Kini aku yang tak tahan menahan teriakan, aku bagai melolong saat penisku menyemburkan isi panas kantong kemihku. Menyembur, menembak dinding rahimnya. Seluruh dayaku runtuh, tenagaku sirna. Penisku berkejat, dihisap, diremas, diperah.
Yang kutahu, aku masih bisa menahan tubuhnya yang hendak ambruk dan mengangkatnya ke atas bale-bale. Aku juga masih bisa melihat sesosok harimau putih yang menjilati vagina dan tubuh Ceu Ningrum. Tapi aku terlalu lemah, dan aku.. sudah tidak ingat apa-apa lagi.
“………………”
https://t.me/cerita_dewasaa
“Kamu sudah pulang, sayang!” suara itu terlalu merdu kudengar.
Segera aku mengerjap dan mencari sumber suara. Tapi tidak ada siapapun kecuali tubuh polos Ceu Ningrum yang terkulai di sampingku. Sudah pasti bahwa suara wanita itu bukanlah Ceu Ningrum, tetapi seseorang yang lain. Dengan tubuh polos segera aku menuruni bale-bale untuk mencari pemilik suara. Tapi yang ada hanya hamparan sawah yang diselimuti kegelapan. Suara-suara binatang malam bersahutan, sementara tak terdengar lagi keriuhan pertunjukan di kejauhan pertanda sudah tutup panggung.
Aku tergadah melihag purnama yang sudah beranjak ke tepi barat ditemani sisa gemintang yang berkelip “Mungkin cuma mimpi,” aku bergumam sendiri sambil kembali ke dalam saung.
Perlahan aku mendekati tubuh polos Ceu Ningrum. Seakan ada dorongan untuk melepas kembali cincinnya, dan memasangkan pada rantai yang tetap terkalung. Kini cincin ini sudah kembali menggantung pada leherku.
“Ah sayaaang…” Ia mendesah saat kucium bibirnya sambil menyentuh payudaranya.
Kukecupi bibirnya. Wajahnya yang baru bangun dari tidur sungguh sangat kusukai.
“Ning, sayang…”
“Sssh…sssh… iya?”
“Bangun yuks. Udah hampir subuh.”
“Lemeeesss!” rajuknya.
Ia sudah kembali menjadi cue ningrum yang kukenal. Haaapp!!! Kami berciuman kembali. Lidah kami langsung membelit dan menggelitik, air liur pun saling terbagi. Kuremas kedua payudaranya, membuatnya makin gelisah. Putingnya yang sangat keras kugosok dengan telapak tangan, sementara jariku-jariku tetap meremas.
Kukilikitik kedua telinganya bergantian dengan lidahku. “Aaaaarghhh… sayaaang… oh… geli aaah…” Ia mendesah sambil meraih penisku dan mengocoknya. Kuturun ke lehernya dan kujilati.
Jadilah kami kembali berpacu dalam birahi. Bedanya, kali ini penuh kelembutan dan kemesraan. Tidak ada lagi sisi liar, selain keinginan untuk saling memuaskan. Hanya dalam satu ronde, kami sama-sama orgasme.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar