Cincin dari masa lalu part 16

 

BAB 16


KETIKA PURNAMA DATANG






Aku, Ceu Ningrum, dan kedua orangtuanya duduk melingkar di atas tikar ruang tamu. Kopi hitam dan kue pun terhidang di tengah kami. Abah Wiro dan Nyi Karti, orangtua Ceu Ningrum, menyambut dan menerimaku dengan hangat dan ramah. Rupanya Ceu Ningrum dan Kang Narto sudah pernah cerita tentangku sehingga mereka menyambutku layaknya anak sendiri. Mungkin karena mereka hanya memiliki anak tunggal yang membuat mereka seperti itu.




Tapi di balik kehangatan ini, ada yang aku dan Ceu Ningrum sembunyikan. Sejak kejadian persetubuhan kami, ia tidak mau berbicara denganku. Bahkan ketika ia menangis panjang, ia tidak mau kusentuh sama sekali. Kalau kini kami nampak saling akrab, itu hanya kamuflase belaka. Bahasa tubuhnya bahkan menunjukkan sikap yang tidak betah. Pun pula aku. Rasanya ingin segera ditawari kamar untuk istirahat dan menyendiri.




Tapi apa daya, perjumpaan dan perkenalan pertama ini membuatku harus bertahan dan bercerita banyak hal.




Dari rumah tetangga yang hanya berjarak tujuh rumah, terdengar lantunan degung dan bingar keramaian. Mereka adalah keluarga yang mengadakan hajatan, pernikahan sahabat Ceu Ningrum yang bernama Rumiati dengan seorang pemuda dari desa sebelah.




Akhirnya waktu yang kutunggu pun tiba…




"Yaudah atuh, sekarang mah Nak Sirna istirahat dulu di kamar belakang.” ujar Nyi Karti, lalu ia melanjutkan, “Ning, kamu anterin ke kamarnya, ibu mau bantu-bantu lagi di tetangga.”


"Hatur nuhun, bu. Jadi ngerepotin.” jawabku sambil mengangguk sopan.


“Ya tidak repot atuh, jang. Tapi ya harap maklum kalau tempatnya seadanya, maklum di kampung.” sahut Abah Wiro.


“Tidak apa-apa, Bah. Saya juga pan orang kampung.”




Aku pun berdiri bersamaan dengan Ceu Ningrum. Ia mengantarku ke dalam, menunjukkan sebuah kamar yang bersebelahan dengan ruang makan. Wajah ramah dan hangatnya berubah masam saat kami kembali berdua. Ia sudah tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan kekecewaannya; mungkin juga penyesalan ada di sana.




Tanpa bicara, ia membukakan pintu kamar dan gerak-geriknya seakan menyuruhku masuk. “Kamar mandinya di mana, Ceu?” tanyaku sambil melewati tubuhnya.




“Di belakang.” teramat singkat dan dingin jawabannya.




Aku pun hanya mengangguk dengan kikuk, kuletakkan tasku di samping pintu dan merebahkan diri di atas dipan. Aku merasa cukup lelah. Entah karena pergumulan atau karena banyaknya pikiran yang membuatku seperti ini, tapi mungkin baik kalau aku berbaring barang sejenak. Melihatku langsung tiduran, Ceu Ningrum menutup pintu dari luar karena tadi kubiarkan tetap terbuka.




Rasa bersalah ini ada. Sesal cukup berkecamuk. Tapi bayangan tubuh mulus dan desahan binal Ceu Ningrum juga tetap tidak bisa hilang. Wajah-wajah orang yang kusayang berseliweran dalam benakku, tapi tubuhku berkhianat saat penisku meremang ketika mengingat kejadian di sawah tadi.




Belum lagi kejadian aneh sesaat setelah kami melepas nikmat. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat bayangan seekor harimau putih di dekat bangku tempat kami meletakkan tas dan helm. Entah keberanian dari mana saat itu, ketika aku berusaha mengejarnya sambil tergopoh membetulkan celanaku. Tapi ia hilang tanpa jejak, lenyap begitu saja.




“……”




Rupanya aku tertidur hampir sejam. Aku mengerjap saat mendengar suara adzan maghrib dari masjid. Musik dari rumah tetangga sudah tidak terdengar, hanya keriuhan dari ibu-ibu yang nampaknya sedang memasak, juga keramaian dari arah jalan. Aku pun bangkit sambil mengucek mata. Kukeluarkan handuk dan alat mandi dari dalam tasku. Terlihatlah celanaku yang basah dan tercium bau pesing. Untung aku membawa dua celana, sehingga tidak perlu bingung mencari ganti. Kuraih celana itu dengan maksud hendak kusampirkan pada sandaran kursi.




Tapi bau cairan Ceu Ningrum yang cukup menyengat malah membuatku pening. Pening karena gairah, kenikmatan tadi terbayang kembali.




Plaaaak!!!




Kutampar pipiku sendiri untuk membuat sadar diri. Ternyata rasa sesal dan ingatan pada orang-orang tersayang tetap tak mampu membuatku eling seperti sering diucapkan oleh Kang Narto. Pikiran jernih dan gairah seakan selalu berkelahi di balik dadaku; dan aku selalu kalah.




Lampu-lampu rumah sudah dinyalakan, tapi tidak terdengar ada kehidupan. Sepi! Aku melangkah menuju kamar mandi, melewati dapur. Aku sedikit mematung saat melihat Ceu Ningrum sedang siduru (menghangatkan badan) di depan tungku. Rambutnya basah tanda sudah mandi dan keramas. Sesaat mata kami beradu pandang, meski tidak ada senyum, tapi nampaknya ia sudah tidak lagi marah. Sorot matanya kembali memiliki sinar, tidak seperti sebelumnya yang menyembunyikan kelabu hatinya.




Kuurungkan niatku untuk mandi, kuputuskan untuk duduk di agas jojodog (bangku kayu) sebelahnya. “Abah dan ibu ke mana, Ceu?” aku berbasa-basi.




“Di tetangga.” singkatnya, namun tidak lagi ketus.


“Oooh..!!”




Aku hanya bisa bergumam karena bingung harus ngomong apa. Suasana tidak secair biasanya. Aku hanya diam sambil menatap bara api, sementara Ceu Ningrum memasukkan kayu bakar ke dalamnya. Asap pun mengepul.




“Ceu..!!”


“Wa..!!”




Panggil kami bersamaan. Dari sudut mataku terlihat ada senyum yang ia sembunyikan.




“Yang tadi..” kini kami saling melirik saat kami kembali mengucapkan hal yang sama.


“Aku minta, maaf.” aku mendahului.


“Ini salah, Wa. Tapi..” suaranya terputus, diganti oleh desahan nafasnya.


“Tapi apa, Ceu?”


“Gak tahu. Hiks..!!”




Tiba-tiba ia menyandarkan kepalanya pada bahuku. Aroma shampoo pun langsung tercium. Diusapnya air mata yang tiba-tiba meleleh. Rasa sayang dan sesal beradu menjadi satu. Dengan sedikit ragu, kutempelkan tanganku pada puhu lengannya; karena tidak ada penolakan, aku pun mulai mengusapinya.




Aku hanya terkesiap ketika tiba-tiba ia melingkarkan tangannya pada pinggangku. Kepalanya semakin terbenam.




"Maafkan ceuceu, ya wa, kalau udah jutek. Aku sangat shock. Tapi.. tapi.. aku tidak bisa melupakannya. Sangat.. sangat…”


“Enak?” kupret nih mulut.




Cubitan kecil kurasakan. Ia benar-benar sudah tidak marah lagi. Ada rasa lega kurasakan, aku seakan lupa diri, yang ada hanyalah wanita di sampingku. Kupindahkan tanganku pada pinggangnya dan mengelusi tepi perutnya yang membusung. Bukannya marah, ia malah memindahkan tanganku tepat di atas perutnya sambil mendesah halus.




“Kayak suami-istri aja.” pikirku. Tapi pikiran ini malah membuatku merasa bergairah.


“Kayaknya keponakanmu ingin ditengok lagi.” suara itu membuat jantungku berdebar. Meski terdengar malu-malu, tapi sudah cukup membuatku tahu apa yang ia maui. Entah aku harus senang atau takut mendengarnya, yang jelas ada yang menggeliat di balik celanaku.




Melihatku hanya diam, Ceu Ningrum tengadah. Sorot mata kami kembali beradu. Matanya begitu sayu. Bibirnya yang tebal tanpa make up digigit-gigit kecil. “Padahal kamu udah kuanggap sebagai adik sendiri, tapi kamu.. aaarhh…” ia kebingungan sendiri dalam bisikannya.




“Ya kalau adik-kakaknya ketemu gede tetep aja rasanya beda, Ceu.”


“Mesum kamu!” desahnya.


“Tapi suka kan aku mesumin?” aku mulai lancang.




Ceu Ningrum memanyunkan bibirnya dan langsung kekecup. Bagai tersengat, kami sama-sama bergetar halus. Sesaat bibir kami menempel kaku, sebelum akhirnya saling kulum. Dan… ciuman panas pun tak terhindarkan. Saling lumat, saling kecap, saling membelit, dan melilitkan lidah.




Nafasnya semakin tersengal ketika tanganku naik dan meremas halus payudaranya. Tak perlu latihan, tanganku begitu gesit membuka dua kancing dasternya dan tanganku menyusup masuk. Dari bawah behanya, langsung kucari putingnya yang memancung besar. Keras kurasakan. Kuusap-usap lembut dan kupelintir.




“Ssshhh.. Mmmh…” lenguhannya kian kerap.




Aku sangat tergiur melihat perutnya yang seksi membusung. Namun urung kuusap ketika ia mengembalikan tanganku pada putingnya. “Jangan dilepas,” manjanya.




Saling memeluk, saling mencium, saling meraba. Hanya bahasa tubuh ini yang kami berikan. Tiada kata yang saling kami ucapkan, kecuali lenguhan-lenguhan halus. Tiada bosannya kami seperti ini.




Namun semuanya harus diakhiri, saat kami mendengar pintu depan terbuka, dan ada suara langkah kaki di atas bale-bale yang berlantaikan papan. Sigap kami saling melepaskan diri. Ceu Ningrum langsung merapikan kancing dasternya, sedangkan aku berlari ke kamar mandi.




“Sirna, udah bangun Ning?”


“Sudah, bu. Lagi mandi.”


“Oh yaudah atuh. Kamu ambilkan dulu makan malam di sebelah, ibu tidak masak.”


“Iya, bu.”




Mendengar percakapan itu aku hanya bernafas lega. Segera kuloloskan pakaianku dan mengguyur tubuhku dengan air dari gayung. Sangat dingin, tapi cukup bisa meredam kepanikan dan gairah yang tertunda.




Aku keluar kamar mandi bersamaan dengan Abah Wiro yang masuk dari pintu belakang.




“Bah.” sapaku duluan.


“Dingin di sini mah, ya Wa?”


“Iya, Bah. Tapi seger kok.” jawabku.


“Kok rame banget, Bah? Ada pertunjukkan, ya?”


“Iya, malam ini ada dangdut-jaipong.” jawab Abah Wiro. Lanjutnya lagi, “Nanti kalau kamu mau nonton biar ditemani Ningrum aja ya. Abah dan si ibu juga ada sana, tapi bantu-bantu di belakang. Maaf nih.. jadi banyak ditinggalin.”


"Ya gapapa atuh, bah. Abah dan ibu jangan terganggy. Saya mah gak apa-apa ditinggal juga. Nanti saya ikutan nonton.” jawabku.


"Sae atuh. Kamu tenang aja di rumah dulu. Jaipongannya nanti bada isa.”


"Muhun, Bah.”




Abah Wiro mengambil sarungnya yang menggantung di atas bentangan tali rafia, lalu kembali keluar. Kusampirkan handukku di atas tali yang sama, lalu kembali ke kamar untuk menyisir rambut dan mengambil rokok.




Layar hapeku yang tergeletak di atas meja menyala pertanda baru ada pesan masuk. Nama Maya pun tertera.






From: Calon Nyonya




Yank, kok gak ada kabar? Malam ini gak bisa bobo bareng yah? Aku kangen.






Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Bukan karena isi WA-nya, tapi karena aku telah mengkhianatinya. Akal sehat dan gairah tidak bisa kompromi.




Kuputuskan untuk menelponnya. Suaranya begitu manja, seakan sudah lami kami tidak saling bertemu. Ia bercerita tentang aktivitasnya bersama Rad dan Lia, sementara aku menyampaikan perjalanan dan suasana di sini. Untuk pertama kalinya aku membohonginya dengan tidak menceritakan semua pengalaman hari ini.




“Kalau kita ditanya dan menjawab tidak sesuai yang sebenarnya, itu namanya bohong, Wa. Tapi kalau tidak ditanya dan kita tidak bilang, itu mah bukan bohong.” kata-kata Nurdin terngiang. Rasa bersalah pun sedikit berkurang, otakku begitu ruwet maka pembenaran yang salah pun kutelan mentah-mentah.




Meski begitu, baru kali ini aku merasa tidak cukup nyaman berbicara dengan Maya. Rasa bersalah ini, biar bagaimana pun tetap ada. Aku semakin menyayanginya, kangen mendengar rajuk dan manjanya, tapi sekaligus takut melukainya. Bimbang dan gamanglah yang kurasakan.




Aku bisa keluar dari kecamuk perasaanku sendiri, saat kudengar ada seseorang yang mengajak Maya makan. Obrolan pun kami akhiri dengan sebuah pesan untuk hati-hati dan ciuman jarak jauhnya. Kulakukan hal yang sama, sebelum akhirnya benar-benar menutup telpon. Lama juga kami bercengkrama, batang kedua rokokku sudah hampir habis.




Kuputuskan untuk duduk di luar rumah sambil menunggu Ceu Ningrum. Suasana di luar sangat ramai. Para penjual berjajar di pinggir jalan desa, dan orang-orang hilir mudik. Suara tetabuhan dan check sound dari atas panggung mulai terdengar. Namun belum juga aku menghisap rokokku kembali, Ceu Ningrum muncul memasuki halaman sambil membawa piring yang ditutupi daun pisang.




“Maaf lama, Wa. Tadi ngobrol dulu ama Rumi.” ucapnya sambil menaiki bale-bale rumah.


“Nggak apa-apa, Ceu. Nyantai aja.” jawabku.


“Yuks makan.”




Kami memasuki rumah dan duduk di atas tikar ruang tengah. “Cukup kan segini?” tanyanya sambil menyodorkan piring.




“Banyak ini mah.” jawabku saat melihat isi piring yang berisi nasi dan daging, juga sambel kentang.


“Biar kamu kuat.”




Matanya mengerling, bibirnya mengulum senyum. Aku hanya tertawa sambil menyantap makananku, sementara ia menuangkan air putih dan meletakan gelasnya di hadapanku.




“Ceu Ningrum gak makan?” tanyaku.


“Kenyang. Tadi ngobrol ama Rumi sambil nyemil kok.”




Mendengar jawabannya, aku menggeleng. Kusendok nasi dan kusodorkan padanya. Ia mengernyit sambil menatapku mesra.




“Aaa.” ucapku.




Ia pun membuka mulutnya dan menyantap suapanku. Caranya makan sambil tersipu membuatku gemas. Tak hentinya aku memperhatikannya. Akhirnya kami pun makan sepiring berdua. Karena aku sering memaksanya, ia mengambil piring dari tanganku, dan balik ia yang menyuapiku.




“Kayak suami-istri yah.” ucapku.




Ia menyodorkan suapan terakhir tanpa menjawab. Tapi kedua pipinya memerah. Ia semakin kelihatan berbeda. Tidak malu lagi menunjukkan kemesraan. Sikap cerewetnya juga hilang, berubah manja.




Cuuuup!!!




Ia mencium pipiku, lalu beranjak untuk menyimpan piring ke dapur. Ditepisnya tanganku yang hendak mencolek dagunya sambil memeletkan lidah. Aku hanya mendengus melihat tingkahnya, rasa hangat semakin menyeruak menguasai tubuhku.




Kusandarkan tubuhku pada dinding papan sambil menghabiskan isi gelas. Aku hanya memandangnya saat ia muncul kembali. Tapi ia tidak menghampiriku, melainkan langsung masuk kamar. Tak lama kemudian ia keluar, sambil membungkus bagian atas tubuhnya dengan samping (kain) batik.




Kusambut tubuhnya saat ia duduk di sampingku, tanganku langsung melingkar pada pinggangnya. Satu tangan kupakai untuk mengelus pipi dan tepi bibirnya. Hal yang sama ia lakukan pada kedua pipiku. Kami saling membelai sambil tak lepas menatap.




Cuuuup!!!




Kukecup bibirnya. Berpisah lagi. Saat aku akan mengecup untuk kedua kalinya, ia memejamkan mata. Kuhentikan wajahku untuk menggodanya. Matanya kembali terbuka, kutarik wajahku menjauh kembali. Senyum jahil kuberikan, sementara ia merengut. Aku mendekat lagi dan ia memejamkan mataku. Saat bibir ini tak juga tiba karena aku masih ingin menggodanya, ia kembali membuka mata.




Muuuuaaach!!!




Kali ini ia yang mengejarku dan langsung memberikan lumatan. Ciuman panjang dan dalam pun kami bagikan, meski tak disertai lilitan lidah. Kami sama-sama memiringkan wajah untuk memperdalam ciuman. Lumatan demi lumatan saling beradu.




Tanganku mulai mencari apa yang kumau, yaitu kedua payudaranya. Kubuka kancing-kancing atasnya, dan gundukan kenyal langsung kurasakan.




“Kok gak pake?” tanyaku sambil melepaskan ciuman.


“Mmmhhh… elus aja, jangan diremas.” ia tak menjawab pertanyaanku, tapi suaranya begitu serak dan basah.




Kuusapi putingnya yang tak terbungkus beha, karena ia tidak mengenakannya. Bibir kami kembali saling mengecupi dan berakhir dengan lumatan panjang. Sedangkan tanganku tetap bekerja seperti yang ia minta.




Hanya karena merasa kehabisan nafas yang membuat bibir kami terlepas. Dengan sedikit terengah, kami saling pandang sayu, dan ia membenamkan kepalanya dalam pelukanku. Ia seakan meredam gairah dengan mengurangi tempo. Ia bersikap hanya ingin dimesra dan dimanja.




Kukecupi kepalanya sambil tetap memainkan putingnya yang menegang. Ia sangat menikmatinya. Tidak banyak kata yang saling kami ucapkan, bahasa tubuh ini sudah cukup baginya. Sekali-kali ia tengadah minta dikecup keningnya, juga sekali-kali bibirnya. Telapak tangannya tak henti mengusapi dadaku dan sekali-kali memainkan kancing bajuku.




Kami larut dalam syahdunya pelukan dan ciuman, dalam sentuh dan belai; dan waktu pun beranjak malam. Suara pembawa acara sudah tedengar dari atas panggung, pertanda pertunjukan akan segera dimulai.




Dengan enggan kami saling melepaskan diri. Kurapikan rambutnya yang kusut, sementara ia merapikan kancing bajuku yang sama sekali tidak terlepas. “Liat-liat keluar yuks.” ucapnya.




Aku hanya mengangguk sambil berdiri. Tangan kami saling menggenggam, dan baru terlepas saat membuka pintu. Suasana sudah semakin ramai. Banyak tetangga dan kenalannya yang menyapa Ceu Ningrum sambil menanyakan usia kandungannya; tak lupa ia juga memperkenalkanku.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar