Cincin dari masa lalu part 15

 

BAB 15

Setibanya di rumah Kang Narto, Ceu Ningrum rupanya sedang menyiapkan makan siang untuk kami bertiga. Sambil ngobrol dan sekali-kali melempar canda kami pun makan bersama dengan lahap. Dalam waktu dua minggu, aku sudah merasa cukup akrab dengan keluarga ini. Mereka sudah kuanggap kakak, dan mereka pun memperlakukanku tak ubahnya sebagai adik sendiri. Aku sudah melupakan kejadian tempo hari saat kumelihat keindahan tubuh Ceu Ningrum.

Obrolan ringan seputar usaha martabak pun kami perbincangkan. Strategi pemasaran baru belum memiliki dampak yang signifikan, meskipun sudah ada satu atau dua pelanggan yang pesan-antar.

Seusai makan aku dan Ceu Ningrum bersiap berangkat. Ia mengenakan celana panjang berbahan katun. Atasannya mengenakan kemeja bermotif batik yang dibalut jaket kulit. Perutnya yang membuncit membuatnya kelihatan seksi dan montok

Kami pun pamit kepada Kang Narto. Ceu Ningsih mencium tangan suaminya lalu duduk di belakangku.

“Mangga, kang.” pamitku sekali lagi.

“Iya. Hati-hati, Wa. Jaga kakakmu.” jawab Kang Narto.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku pun melajukan motorku dengan pelan karena banyak polisi tidur. Kubiarkan Ceu Ningrum menempelkan kedua tangannya pada pinggangku sebagai pegangan. Motor pun memasuki jalan raya dan kupacu dengan kecepatan sedang. Akhirnya kami pun sudah meluncur menyusuri jalanan Cihanjuang, menuju stadion terkenal di kota ini. Karena sambil ngobrol, meski sekali-kali harus agak teriak agar saling bisa mendengar, akhirnya kami tiba di Soreang. Kami mampir sebentar untuk membeli air mineral, dan melanjutkan perjalanan.

Kini kami lebih banyak diam karena menikmati alam pesawahan yang menghijau indah. Jalanan yang berkelok, membuat Ceu Ningrum bukan hanya memegang, tapi sudah memeluk pinggangku. Ia seakan tak risih ketika kedua payudaranya menempel pada punggungku, ditambah tonjolan perutnya yang terasa mengganjal. Aku yang awalnya tidak berpikir macam-macam pun, mau tak mau terbawa suasana dan menikmati sentuhannya. Membayangkan bahwa yang sedang memelukku adalah wanita hamil, justru membuat pikiran dan perasaanku terlena. Pikiranku mulai ngeres saat membayangkan tubuh montoknya.

“Wa, berhenti dulu di depan. Aku capek.” Ceu Ningrum membuyarkan keasikan pikiranku sendiri.

“Iya, Ceu.” jawabku.

Kuputuskan untuk berhenti di depan sebuah gubuk yang sepertinya bekas warung. Kami sama-sama turun dan melepaskan helm masing-masing. Wajah dan leher Ceu Ningrum nampak basah oleh keringat, seksi kusaksikan.

Karena pintu gubuk terkunci dan tidak ada tempat duduk, aku mencoba mengitarinya. Ternyata di bagian belakang ada bangku panjang yang nampak nyaman untuk bersantai sambil menikmati hamparan sawah di bagian bawah

“Di belakang ada bangku panjang, Ceu.” ucapku sambil mengambil tasnya dari atas motor.

Kami pun duduk bersisian sambil meneguk air mineral masing-masing. Indahnya pemandangan membuat kami saling diam dan lebih asik menikmati apa yang kami lihat. Kulepaskan jaketku agar bisa lebih menikmati sepoi angin yang menerpa. Kuhirup nafas panjang-panjang seakan menghirup keindahan semesta; sejenak pikiranku melayang ke kampung halaman.

“Inget kampung atau inget pacar?” colekan dan suara Ceu Ningrum membuyarkan nostalgiaku.

“Hehehe.” aku hanya terkekeh sambil melirik ke arahnya.

Sorot mata kami bertemu pandang, ia seakan sedang menyelidikiku.

“Ditanya malah ketawa,” senyumnya semakin menggoda.

“Inget kampung, Ceu.” jawabku.

“Oh iyah, kampungmu dekat dengan Sawer ya? Sekali-kali ajak ceuceu dan Kang Narto ke sana atuh. Sekalian kenalan dengan ibumu.” ucapannya membuatku sedikit terkejut.


“Kok Ceu Ningrum tahu Sawer?” aku tak bisa menahan rasa penasaranku.


“Halah.. kamu itu. Tahu atuh.. kan terkenal dengan kopinya. Lagian penuh legenda, banyak tulisannya di internet.” jawabnya sambil kembali meneguk air minumnya.




Aku mengamini ucapannya dalam hati. Tapi aku tetap tidak menyangka bahwa Sawer bisa seterkenal itu, sampai Ceu Ningrum yang adalah wanita biasa pun bisa tahu. “Eksis juga dia,” aku membatin saat tahu bahwa ia sering berselancar di dunia maya.




“Hubungannya dengan ibu?” gumamku.


“Iiih.. kamu tuh ya… kamu kan udah kami anggap sebagai adik sendiri, jadi gak ada salahnya kalau kami kenal ibumu dan saling bersilaturahmi.” sebuah jembelan di pipi membuatku meringis sekaligus terkekeh. Galak juga ternyata dia.


“Iya ceu, iyaaa. Sakiit..!” aku mengeluh saat ia semakin keras menjembelku.




Tiba-tiba kami merasa begitu dekat. Sambil menyenderkan kepalanya pada bahuku, ia bercerita tentang keluarganya dan juga keluarga Kang Narto, yang sebetulnya sudah kutahu dari cerita Kang Narto sendiri dalam obrolan di sela jualan. Ceritanya terhenti saat smartphone-nya berbunyi. Ia pun beranjak meraih tas dan mengeluarkan smartphone-nya.




“Hallo, kang.”


“Udah nyampe mana, mah? Lancar kan perjalanannya?”




Rupanya Ceu Ningrum memasang mode loud speaker, dan yang menelpon adalah suaminya.




“Belum. Nih adikmu kecapean, jadi minta berhenti dulu. Ni kami lagi istirahat di pinggir sawah.” Lima belas menit lagi juga nyampe kok.” jawabnya.


“Eh kok aku? Ada juga Ceu Ningrum yang minta berhenti, tuh kang.” aku menyela dan menyahut pembicaraan.


“Iiih.. bohong, kang.” Ceu Ningrum protes.


“Hahaha. Kalian itu.. yaudah.. hati-hati di jalan dan salam untuk bapak dan ibu.”


“Iya.” jawab kami bersamaan.


“Adonannya udah beres semua, kang?”


“Udah kok. Ini sedang dimasukkan ke dalam gerobak.”


“Oh yaudah atuh. Akang jangan lupa makan. Jangan kebanyakan merokok. Jangan jelalatan pas jualan.”




Mendengar ocehan Ceu Ningrum, bukan hanya Kang Narto yang tertawa, tapi aku juga. Ia hanya melotot ke arahku sambil mengakhiri pembicaraan.




“Sekarang giliran kamu yang cerita.” jawabnya sambil pura-pura cemberut.


“Cerita apa?”


“Ya keluargamulah. Aku kan udah cerita.”


“Eh.. iya..”




Kuceritakan sedikit tentang kedua orangtuaku, dan kehidupan kami di kampung. Sialnya, aku malah keceplosan menceritakan kedekatan dengan almarhumah, sehingga membuat Ceu Ningrum makin penasaran dan banyak bertanya.




Rasanya berat untuk menceritakannya, lagi-lagi aku harus dibawa pada ingatan akan masa lalu yang menyakitkan.




“Ingat spion, Ja. Orang nyopir saja selalu melihat ke depan, melihat ke belakang mah sekali-kali saja lewat spion untuk memastikan bahwa keadaan aman. Tapi karena kamu masih belajar nyopir, ya baik juga sih banyak-banyak melihat ke belakang.” Kata-kata itu kembali terngiang. Ucapan seseorang yang kukenal sekaligus tak kukenal.




Kini bukan Ceu Ningrum yang menyenderkan kepalanya, melainkan aku. Kubuka kembali ingatanku, dan kuceritakan masa laluku untuk kedua kalinya, setelah sebelumnya bercerita pada Maya. Rasanya mataku terasa panas, meski tidak ada air mata yang keluar. Malah bukan aku yang terisak, tapi Ceu Ningrum.




Tik tok! Tik Tok!




Kami saling membisu di akhir ceritaku. Aku hanya memandang jauh melewati hamparan sawah, menyeberangi liukan sungai, melewati bukit, sampai pada kaki langit. Sejenak aku terpaku pada gumpalan awan putih, yang seakan membentuk siluet kepala harimau. Aku mengerjap dan menarik nafas panjang sekedar menyadarkan diri dari halusinasiku sendiri. Tapi memang benar, awan itu membentuk wujud harimau. Mengagumkan!




Kesadaranku kembali kepada Ceu Ningrum saat kurasakan tangannya menyelinap di antara kancing kemejaku, jarinya mencari-cari sesuatu. Kubiarkan tingkahnya, sambil menunduk.




“Jadi ini cincin itu?” tanyanya lirih, dan aku hanya mengangguk.




Ceu Ningrum mengeluarkan cincin dari balik bajuku, dan menunduk.




Cuuup!!!




Ia menciumnya cukup lama. Aku terkejut melihat apa yang ia perbuat. Sikapnya persis seperti apa yang dilakukan oleh Maya di kamarku kala itu.




“Ceu Ningrum ngapain?”


“Berdoa.”


“Doa apa?”


“Rahasia!”




Bahkan dialog ini pun kembali terulang. “Betapa banyak orang yang menyayangimu dan berdoa bagimu, sayang.” batinku. Aku tidak tahu apa yang menjadi isi doa Ceu Ningrum, aku hanya menduga saja bahwa ia berdoa bagi keselamatan jiwanya.




Mata kami kembali saling bertatapan, spontan kuusap sisa air matanya, sementara ia masih menggenggam bandul kalungku.




“Aku pinjam kalungnya biar nanti kamu tidak terbawa suasana.” ucapnya sambil mencoba meraih rantai kalung pada leherku. “Tenang saja.. aku tidak akan mengambilnya kok, nanti kalau sudah mau pulang aku kembalikan.” ia seakan menangkap keraguanku.


“Tapi kenapa, Ceu?” aku masih bingung.


“Dengar, ya adikku yang ganteng! Kita kan bakal kondangan ke pernikahan, aku gak mau pas kondangan kamu malah inget masa lalu lagi.” jawabnya dengan enteng. Ia seakan tahu, bahwa aku selalu enggan untuk datang kondangan ke pernikahan.




Meski begitu, alasannya terdengar aneh bagiku, pakai kalung ini atau tidak, kalau ingat masa lalu ya ingat saja. Tapi tidak ada salahnya mengikuti nasihatnya, siapa tahu memang membantu. Setelah sekian tahun sejak kepergian Maya, untuk pertama kalinya kalung ini terlepas dari leherku.




“Pake saja atuh kalo gitu mah cincinnya, Ceu.” kata-kataku keluar begitu saja, saat ia mau mengalungkan pada lehernya.


“Eh.. emang boleh?”


“Ya gapapa atuh, nanti juga kan dikembalikan.” ucapku lagi.




Aku juga heran mengapa bisa berkata seperti itu, semuanya seakan mengalir begitu saja. Ada dorongan halus untuk mengatakannya di luar kendaliku. Kuambil kembali kalung dari tangannya, lalu kulepas kaitannya.




Tanpa niat modus atau maksud jelek apapun, aku pun memasangkan cincin ini pada jari manisnya, bersisian dengan cincin perkawinannya dengan Kang Narto. Ukurannya cukup pas.




“Kamu kayak sedang melamar kekasihmu saja.” celetuknya sambil terkekeh.


“Kan biar jadi kakak-adiknya sah.” ucapku sekenanya.




Kami pun tertawa bersama. Ada kebahagiaan kecil yang saling kami bagikan dalam tawa kami, tanpa sadar tangan ini masih saling menggenggam. Tiba-tiba waktu seakan berhenti begitu saja, suasana menjadi begitu hening. Tak ada suara alam, tak terdengar suara kendaraan yang berlalu lalang.




Sesaat kami saling terpaku. Sepertinya Ceu Ningrum pun merasakan hal yang sama. Mata kami saling pandang teramat dalam. Sorot matanya berubah, binar sayangnya berbeda. Bukan lagi pancaran seorang kakak pada adiknya, tapi lebih pada tatap syahdu seorang kekasih. Pun pula aku melakukan hal yang sama, rasaku berbeda.




Perasaanku berdesir, dan jantungku berdetak lebih kencang. Entah siapa yang memulai, tangan ini mulai saling meremas. Kulihat wajahnya sedikit memerah sambil menggigit bibir bawahnya. Nafasnya nampak tersengal.




“Aaaah.” desahnya.




Itu membuatku sadar, segera kulepaskan genggaman tanganku dan aku mengerjap beberapa kali. Aku seakan baru kembali dari alam mimpi, meski jelas-jelas peristiwa singkat ini nyata adanya.




“Kke.. ke.. napa, Ceu?” tanyaku.


“Aku pengen pipis.” jawabnya, wajahnya mengernyit antara kebelet dan rasa bingung akan apa yang baru saja terjadi.




Dengan cepat ia berdiri dan menuruni jalan setapak menuju tepi sawah. Aku tahu, itu ia lakukan agar terlindung dari pengendara yang lewat. Tapi tidak dariku. Jarak kami hanya sekitar lima meter saja.




Hatiku terkesiap dan jantungku berdebar kencang saat Ceu Ningrum tanpa peduli memelorotkan celana panjang sekaligus dengan celana dalamnya. Aku hanya bisa melongo dengan pandangan nanar ketika ia berjongkok dengan cepat. Pinggulnya membulat lebar tanpa noda.




Seeerrr! Srrrrr!! Cuuurrr!!!




Suara air kencingnya menyembur deras. Meski tidak bisa melihat, tapi suaranya memenuhi pendengaranku. Ada desahan lega yang terdengar dari mulut Ceu Ningrum, ia tidak tahu kalau aku pun sedikit mendesah sambil tetap terpaku pada pinggulnya yang nampak sedikit bergetar-getar karena semburan air seninya. Penisku menggeliat tanpa kuminta.




“Wa, tolong ambilin tissue di dalam tas.” suaranya menyadarkanku.




Dengan gelagapan dan tangan bergetar segera kubuka resleting tas tangannya. Setelah kutemukan apa yang ia minta aku segera menuruni jalan setapak, mendekatinya. Perasaanku semakin tidak karuan saat bokong itu terpampang semakin jelas. Ia mengangkang begitu lebar karena bulatan pada perutnya.




“Ii.. ini, Ceu.” aku tak bisa mengendalikan getaran suaraku.




Seperti tidak peduli akan kehadiranku, ia meraih tissue dari tanganku dan mengambil beberapa lembar isinya. Ceu Ningrum pun menunduk untuk membersihkan kemaluannya, bokongnya sedikit terangkat membuatku hanya bisa melongo. Aku mendadak bego melihat semua pemandangan ini.




Ia yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri mendadak terlihat beda hanya dalam beberapa menit ini. Tak sedikit pun terbayang akan norma yang ada, yang ada hanyalah gairah yang meletup-letup.




“Iiih… Wa.. Wa.. aku… aaah…” tiba-tiba Ceu Ningrum merintih. Tubuhnya bergetar hebat.


“Ceeeeuu!!!” spontan aku berseru saat tubuhnya hampir terjengkang.




Aku yang memang sedang berada di belakangnya segera menahan tubuhnya agar tidak terhempas. Aku merangkulnya dari belakang, sementara ia menggelepar kejang. Tubuhnya terdorong ke belakang, menekan tubuhku sehingga aku hampir kehilangan keseimbangan. Kujatuhkan diriku dengan hanya bertumpu pada kedua lutut agar bisa menahan tubuh Ceu Ningrum.




Aku benar-benar dibuat kalut karena bingung dan birahi saat ia mengangkat kedua pahanya sementara tangannya masih menempel pada celah kemaluannya, tissue yang ia pegang sudah basah. Meski aku tidak bisa melihat bibir vaginanya, tapi jembutnya yang rimbun membuatku benar-benar kalap dan gelap mata.




“Wa, aku.. aku.. oooh.. kenapa ini? Gaaaak kuaaat!!” ia memekik.




Tanpa kendali dan seakan tidak peduli padaku yang sedang memeluknya, tiba-tiba tangannya menggosok kemaluannya sendiri. Tubuhnya bergetar-getar hebat. Terlalu cepat gerak tangannya, terlalu beringas ekspresi wajahnya.




Aku benar-benar nanar saat bisa melihat bibir kemaluannya untuk pertama kalinya. Tissue yang tadi dipakai untuk membersihkan vaginanya sudah hancur karena cairan.




Gerakannya makin cepat, ia benar-benar seperti lupa diri. Gerakan erotisnya membuatku tanpa sadar meremasi kedua payudaranya, penisku terasa sakit karena terjepit celana dalam. Tindakan tanganku membuat Ceu Ningrum kian blingsatan.




Seeeer…!!! Croooot!!! Craaaat!!! Craaaaat!!!




Tiba-tiba kemaluannya menyemburkan cairan beberapa kali. Saking kuatnya menyembur, air kencing dan cairan orgasmenya memancur kencang, menyirami tangkai dan bulir-bulir padi. Tubuhnya mengejang hebat, dan suaranya melengking.




Kami berdua sama-sama tersengal. Ia merasakan puncak kenikmatan melalui squirt hebat, sedangkan aku tersengal karena nafsu menyaksikannya. Cukup lama ia mengejat-ngejat sementara tanganku masih meremasi payudaranya.




Akhirnya tubuhnya terkulai lemas. Pinggulnya ambruk di atas rumput. Menimpa bekas air seninya sendiri.




“Ceu, kenapa jadi tiba-tiba begini?” aku yang pertama sadar dari keadaan, meski nafsuku sudah sampai ubun-ubuh.


“Uuuuuh…” ia mengerang merasakan sisa orgasmenya.


“Maafkan aku, Wa. Aku sendiri tidak tahu kenapa bisa begini. Tadi.. tadi pas aku menyentuh kemaluanku tiba-tiba aku terangsang hebat.” jawabnya. Matanya berkaca-kaca dan peluh membasahi wajahnya.


“Yaudah… Ceu Ningrum benerin dulu celananya. Itu basah semua.” jawabku. Meski bicara tentang celana, tapi mataku tetap terpaku kemaluan, juga jembut basahnya. Celananya sendiri memang basah karena semburan air seni dan cairan orgasmenya.




“Masih lemes.” jawabnya pelan sambil mendongak.




Mau tidak mau kami saling pandang. Sorot matanya begitu sayu di balik genangan air matanya. Sambil tetap menahan kepalanya dengan tangan kananku, tangan kiri mengusap wajahnya yang berpeluh. Kuusap pula air matanya yang mulai meleleh. Ia memejamkan mata. Ia tidak tahu, betapa menderitanya aku karena nafsu dan gairah, tapi aku mencoba bertahan.




“Wa, kamu juga terangsang?” ia bertanya pelan saat menyadari tonjolan di balik celanaku.




Matanya terbuka kembali dan aku mengangguk meng-iya-kan. Cukup lama kami bepandangan. Ia berbeda di mataku, rasa ini juga terasa asing. Sayang ini bukan rasa antar saudara, apalagi kami adalah saudara ketemu gede. Aku tiba-tiba menginginkannya.




Kukecup bibirnya. Ajaib! Ia membalasnya. Malah Ceu Ningrum yang lebih ganas melumat dan langsung meneroboskan lidahnya. Nafsunya seakan bangkit kembali, tenaganya mendadak pulih.




Melupalah kami! Lupa pada status, lupa pada lingkungan sekitar. Lupa kalau kami sedang berada di alam terbuka dengan kendaraan berseliweran di atas kami. Bukan hanya ciuman ini yang semakin dalam, bukan hanya pagutan penuh birahi yang kami bagikan, tapi tangan kami juga sudah saling meremas.




Ia begitu jalang saat meloloskan celananya yang sudah melorot sampai pergelangan kakinya. Tubuh bawahnya benar-benar polos dengan perut membuncit; begitu menggairahkan. Aku begitu liar saat menurunkan celanaku sampai sepaha dan lekas menarik dan melumat bibirnya. Aku terjengkang di atas rumput, ia terbenam pada tubuhku, sementara bibir kami saling enggan berpisah.




Perutnya terasa mengganjal, tapi kemaluan kami sudah menempel dan saling gesek. Lembab kurasakan. Lembut rasa sentuhannya. Batang penisku berdenyut-denyut. Aku mengeram, ia merintih. Aku mengeluh, ia mendesis.




Aku kehilangan akal sehatku, Ceu Ningrum kehilangan kealiman dan keanggunannya. Yang ada hanya birahi yang sama-sama kami kobarkan dalam setiap lumatan, remasan, gesekan, dan juga lenguhan. Tak jarang ia juga mengerang tanpa peduli pada keadaan sekitar.




Didorongnya dadaku sampai terhempas di atas rumput. Tak sabar digenggamnya penisku dan dikocoknya pelan. Kami sama-sama mengerang saat ia mencucukan ujung penisku pada bibir vaginanya yang sudah banjir. Kuusapi perutnya yang buncit dan merambat naik dari sela bajunya. Tak sabar kuangkat behanya ke atas, dan kuremas payudaranya yang besar. Putingnya begitu tegang menempel pada telapak tanganku.




Aksiku membuatnya merintih gelisah. Perlahan ia menurunkan pinggulnya, membuat penisku terasa begitu ngilu memasuki lubang sempit dan lembek. Kedutan-kedutan dinding vaginanya seakan menghisap penisku agar segera masuk.




Sleeeep!! Sleeeep!!




Aku mendesis sambil mengeraskan remasanku pada bukit kembarnya, sementara ia berhenti untuk menarik nafas panjang beberapa kali. Wajahnya yang tengadah membuat buliran keringat pada lehernya terpampang. Sangat indah dan seksi.




Sleeeep!!! Bleeeesss!!!




“Aaaaarrghhh!!” kami sami-sama mengerang.




Penisku amblas sepenuhnya, terasa ngilu dan geli oleh kedutan-kedutan dan olesan pelumasnya. Tubuh Ceu Ningrum melengking ke belakang, membuat perutnya makin membusung. Sigap kutahan tepian bawah ketiaknya agar tidak terjengkang.




Setelah saling menyesuaikan perpaduan kelamin kami. Ia mulai menggoyang perlahan. Nafas kami sama-sama menderu, dan keringat mulai mengucur. Kuangkat tubuhku sampai terduduk dan ia merangkul leherku. Kecupan singkat kami lakukan, lalu ia segera membenamkan wajahnya pada bahuku. Goyangan kami yang semakin intens membuat kami tak sanggup berciuman lama.




Penisku muncul tenggelam di dalam vaginanya. Ia mengangkat, aku menyusul; ia menekan, aku menyambut. Meski licin oleh pelumas birahinya, tetap saja terasa sempit dan nikmat. Kuremas kedua bokongnya dan kubantu supaya mempercepat goyangannya.




“Uuuuuh… sayaaang!!!” ia mulai meracau.


“Mmmmmhhh…” balasku sambil mengimbangi goyangan pinggulnya.




Sejenak ia tidak memompa, tetapi memutar dan menggoyang pinggulnya, membuat penisku bagai dipelintir.




“Aaaah… eeeh… teruuus.. aaah.” ia semakin tidak terkendali.


“Ceuuu… sayang…” aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Semuanya terlalu nikmat, dan pertahananku hampir jebol.




Tapi sebelum ejalukasiku datang, Ceu Ningrum sudah menjerit duluan. Pompaannya semakin cepat. Ia mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi membuat kemaluan kami terlepas, tubuhnya bergetar. Perih kurasakan saat ia menggigit pundakku.




“Aaaaaarggghhh.. bucaaaat!!!” pekiknya.




Crrriiiiit!! Creeet!!! Srrrrr!!!




Orgasmenya menyembur membasahi perut dan selangkanganku. Squirt! Tubuhnya bergetar hebat, bertumpu sepenuhnya padaku. Merasa kecewa karena orgasmeku tertunda, terdahului olehnya, aku segera meraih batang penisku dan susah payah memasukan pada lubangnya. Tubuhnya yang kelejotan membuatku kesusahan, tapi akhirnya menemukan juga apa yang kucari.




Cleeeep!!! Blessss!!!!




“Aaaarggghhh… Ampuuun!!!”




Kuabaikan jeritannya. Nafsuku sudah kadung di ubun-ubun. Kutahan pinggul dan tubuhnya yang berontak. Kugoyangkan pinggulku sendiri sambil mengeram. Tubuhku sudah benar-benar bermandikan keringat. Jantungku berdetak kencang seiring hentakan-hentakan pada kelamin kami.




“Sayaaang… aku….” aku mengeram tanpa mampu melanjutkan ucapanku.




Penisku rasanya membengkak karena desakan sperma yang siap memuncrat. Kupercepat kocokanku, dan kini diimbangi oleh goyangan kencang Ceu Ningrum.




“Lagiiiii!!! Uuuuh… aaaah… hiks….” rintihannya membuatku limbung.




Seeeeeer!!! Creeet!!! Crooottt!! Crooot!!!




Spermaku menyembur berulang-ulang, seiring desiran cairan orgasme Ceu Ningrum. Cairan kami beradu. Seluruh sendi-sendi tulangku terasa rontok saat mengejat dan merasakan remasan kuat dinding-dinding vaginanya. Batang penisku bagai dihisap dan diperah!




Aku terjengkang ke belakang, diikuti oleh tubuh Ceu Ningrum yang bergetar hebat.




Ploooop!!




Kemaluan kami terpisah diiringi lenguhan panjang.




Seeeer!!!! Suuuur!! Cuuuurrrr!!!




Nikmat dan ngilu belum berakhir saat isi vaginanya tertumpah, aku dikencingi oleh squirt yang kedua kalinya.




Kesadaranku seakan hilang, tubuh kami terkulai dengan nafas yang tersengal.




“………..”




Adalah raungan keras RX King di jalanan yang membuatku menggeliat. Kubuka mataku sambil menyentuh tubuh yang tekulai di atasku. Butuh beberapa detik untuk mengingat apa yang telah terjadi.




Gerak tubuhku membuat Ceu Ningrum membuka mata dan mengangkat wajahnya.




“Mmmmh…!! Ssshhh!!!” kami sama-sama mendesis saat gerakannya membuat kemaluan kami saling menggesek. Penisku yang sudah layu terasa sangat ngilu karena sentuhan becek vaginanya.




Sejenak sorot mata kami beradu. Tanpa kata kami saling menempelkan bibir dan mengecup lembut. Kali ini hanya ungkapan sayang yang saling kami berikan. Kecup dan kulum kami tidak lagi terbungkus nafsu. Bahkan keadaan kami yang setengah telanjang di alam terbuka, tak membuat kami enggan saling memisahkan diri. Terlalu indah momen ini untuk dilewatkan.




Adalah belaiannya pada wajahku yang membuatku sedikit tersadar. Kugenggam punggung tangannya, dan kusentuh cincinnya. Akal sehatku sedikit pulang, kesadaranku kembali datang. Dengan sangat perlahan, kucoba untuk melepaskan cincinnya. Ceu Ningrum hanya diam sambil mengamati aksiku.




“Kiyaaaaaa!!!!” jeritnya sesaat setelah cincin ini terlepas.




Ceu Ningrum segera bangkit sambil mendorong tubuhku. Dengan panik ia berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.




“Sirnaaa!!! Apa yang kita lakukan??” ia begitu panik, pun pula aku.




Dengan sigap segera kunaikan celanaku yang basah kuyup dan mengancingkannya. Tangisnya mulai terdengar.




“Kamu jahat, Wa. Jahaaat!! Kakak sendiri kamu nodai!! Hiiiiksss.” Caci dan tangisnya membuatku benar-benar sadar atas perbuatan mesum yang telah kami lakukan.




Dadaku terasa sesak saat bayangan Kang Narto yang begitu baik dan tulus mempercayaiku berkelebat, hatiku bagai teriris saat wajah kekasihku membayang. Aku telah mengkhianati mereka berdua.




Aku hanya bisa menangis tanpa air mata, tubuhku terguncang. Aku benar-benar telah berbuat laknat dan menjadi seorang pengkhianat. Adalah bayangan di atas kami berdua yang membuatku mendongak.




Deeegh!!!








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar