Cincin dari masa lalu part 14

 

BAB 14

GAIRAH YANG TAK DIKEHENDAKI

Selesai mandi, aku langsung turun ke dapur untuk membuat kopi. Rad dan Lia rupanya sudah lebih dahulu ada di sana, keduanya sedang membuat mie rebus. Sementara penghuni kost yang lain belum ada yang nampak, maklum mereka biasa bangun siang kalau Sabtu begini, kecuali yang dapat ship pagi di pabrik.

“Kamu jadi ke Ciwidey, Wa?” tanya Rad saat melihat kemunculanku.

“Jadi, nanti berangkat jam duaan.” jawabku. “Eh.. Li, bikin tiga donk mienya.”

“Enak ajah.. bikin sendiri lah. Lagian pagi-pagi udah ganggu aja.” gerutunya.

Lia nampak cemberut karena keromantisan-pagi mereka terganggu oleh kehadiranku. Aku tahu, meski kami satu kampus dan tinggal di bawah atap yang sama, tapi “quality time” seperti ini jarang didapatkan karena kesibukan masing-masing. Meski begitu, ia tetap mengambil bungkus mie tambahan dari dalam rak.

“Makasiiih.” godaku sambil mencolek dagunya.

Ia pura-pura cemberut. Tingkahnya membuat Rad mendekat dan memeluk Lia dari belakang; diciumnya kepalanya, membuat Lia tersenyum kembali dengan wajah bersemu merah.

“Cieeee.” ucapku sambil menyeruput kopi Rad.

Jadilah.. aku harus menyaksikan kemesraan mereka berdua di awal hari ini. Melihat mereka berdua, membuatku ingat Maya. Sudah seminggu ini kami tidak saling bertemu, meski tidak lepas saling berbagi kabar dan saling menelpon setiap malam. Betapa tidak, selain sibuk kuliah, aku juga harus mengatur waktu untuk mengerjakan tugas-tugas di warnet. Aku belum punya laptop sendiri, sehingga warnet adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan tugas kuliahku. Dan sore sampai malam aku harus membantu Kang Narto jualan.

“Bengong lu. Kangen Maya, ya?” tiba-tiba Rad menggeplak pundakku sambil mencatut sebatang rokok.

“Hmmm..” gumamku meng-iya-kan.

“Btw, Wa. Maya udah tahu belum kalo kamu udah jadi artis?” tanya Lia sambil menyiapkan mangkok.

“Udah.” jawabku pendek.

Dalam tiga hari ini aku memang mendadak ‘terkenal’ bukan hanya di angkatanku, tapi juga di kalangan kakak kelas. Penyebabnya apa lagi kalau bukan karena kelancanganku pada sang dosen baru. Bukan hanya aku yang menjadi buah bibir, tapi juga sikap galak dan jutek sang dosen sudah mulai dirasakan oleh para mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya. Sialnya, semester ini aku mengambil dua mata kuliah yang ia ajar. Banyak yang menentang atas sikapku, tapi juga banyak yang mendukung. Para penentangku tentu saja mereka yang mengagumi kecantikannya, dan pendukungku adalah para pemuja kebebasan yang tidak mau dikekang oleh jadwal dan tugas-tugas kuliah.

“Hat-hati, Wa. Jangan sampai kamu tidak lulus mata kuliahnya, makin panjang deh urusannya. Kasian ibumu yang udah banting tulang cari uang untuk biaya kuliah.” Rad mencoba bijak mengingatkan.

Aku hanya diam sambil menghisap rokokku. Rad sepenuhnya benar, aku harus lebih bisa menahan diri. Emosiku memang sering tidak stabil dalam banyak hal, termasuk urusan perempuan.

“Udah, gak usah bengong. Pada makan dulu, yuks.” Lia menyajikan mie rebus di atas meja.

Kami pun melanjutkan obrolan sambil sarapan. Aku sudah terbiasa dengan kemesraan mereka, sehingga tidak terganggu ketika mereka saling menyentuh bahkan saling menyuapi

“Rad, Li..” aku tiba-tiba teringat sesuatu.

“Yaap?” jawab Rad.

Keduanya menatapku.

“Kalian kenal Cintung?”

“Hah? Siapa tuh?” keduanya kompak menjawab.

“Looh? Kalian tidak pernah bertemu?”

Melihat Lia dan Rad hanya menggeleng, kujelaskan beberapa kali pertemuanku dengannya. Kuberitahu juga bahwa ia seperti bebas keluar-masuk kostan, juga omongan-omongan anehnya saat berjumpa denganku.

Adalah Rad yang nampak terkejut mendengar ceritaku, sedangkan Lia malah kebingungan. Meski begitu, keduanya mengaku tidak pernah bertemu dengan orang yang kumaksud.

“Sayaaang…!!” obrolan kami terhenti saat mendengar seruan seseorang yang sudah sangat kukenal.


“Sayang? Kok gak bilang-bilang kalau mau datang?” kaget dan senang kurasakan saat melihat sosok kekasihku.


“Kangeeen!”




Ia langsung meletakan tas kecilnya di atas kursi dan menghambur ke dalam pelukanku. Teramat erat pelukkannya kurasakan, dan aku membalasnya sambil mengusapi rambutnya.




“Ehem.. ada kami loh.” Lia berdehem.


“Bodo!” ucap Maya tanpa melepaskan pelukkannya.




Rad hanya tertawa, kulihat ia menggenggam tangan Lia seakan tak mau kalah memamerkan kemesraan.




Mata kami bertatapan saat ia mengangkat wajah, lalu kukecup lembut keningnya, membuat senyumnya mengembang.




“Fiuuuh.. panas.. panas…” seru Lia lagi.




Maya hanya tertawa menggemaskan. Ia pun mendekati sahabatnya dan memeluk Lia dengan erat sambil cekikikan. Melihat tingkah mereka berdua, aku dan Rad hanya tertawa. Rasanya persahabatan ini semakin sempurna saat melihat orang yang sama-sama kami sayangi begitu riang pagi ini.




“Kamu jadi berangkat jam dua?” Maya kembali menghampiriku.


“Jadi.” singkatku sambil menatapnya.


“Jahaaat!!” kedua pipinya menggelembung.




Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku tidak perlu membujuknya lagi, karena semuanya sudah kujelaskan di telpon tadi malam. Ia memang merajuk karena di saat week end pun aku tidak bisa memberi banyak waktu untuknya.




Kuraih pinggangnya dan kududukan di atas pangkuanku. Aku sudah tidak peduli pada Rad dan Lia. Kubiarkan kekasihku melahap mie-ku yang tinggal setengah, sambil sekali-kali menyuapiku. Kami berempat pun menyelesaikan sarapan, sambil berbagi mesra dengan pasangan masing-masing.




Maya pun sudah tak malu lagi saat menarikku menuju kamar, sambil mengusir Rad dan Lia yang mau mengikuti kami. Saling ledek pun kami bagikan, sementara mereka berdua lebih memilih nongkrong di bangku panjang di depan kamar Rad.




“Kangeeeen!!” Maya merajuk saat kami sudah berada di dalam kamar dengan pintu yang tidak ditutup rapat.




Kuraih tubuhnya dengan gemas dan memeluknya erat. Mungkin hampir lima menit kami seperti ini. Berpelukan tanpa saling mengucapkan sepatah kata pun. Tubuh kami melekat untuk mengabarkan rasa sayang, sementara di luar terdengar suara gitar dan nyanyian kedua sahabatku.




Perlahan tubuh kami bergerak dan saling melepaskan diri, diakhiri dengan berbagi senyuman. Kubimbing kekasihku untuk beranjak ke atas kasur. Dengan lembut kubaringkan tubuhnya sambil tak lepas saling berpandangan. Kukecupi wajahnya dan berakhir dengan mengecup bibirnya. Lenguh halusnya terdengar, dan kami pun hanyut dalam kuluman dan lumatan yang menggetarkan.




Puas berciuman aku pun membaringkan diri bersisian, tangan kami saling menggenggam. Cerita ringan pun saling kami bagikan. Sekali-kali kami saling membelai dan mengecup. Rajukan-rajukannya sering membuatku gemas, dan menghentikan ceritanya dengan melumat bibirnya. Sementara ketika aku yang bercerita, malah ia yang sering melumati bibirku.




Maya benar-benar begitu manja pagi ini. Ia seakan enggan berpisah denganku, walau itu sekedar berpisah sentuhan. Tapi di sisi lain, ia seakan menyimpan sesuatu yang selalu ragu untuk ia ungkapkan. Ketika kupancing pun ia selalu menghindar dengan memeluk atau mencium, sementara ketika aku diam, ia seakan mau bercerita meski selalu urung keluar dari bibirnya.




Tanpa terasa waktu pun beranjak siang. Suasana begitu sepi dan hanya sekali-kali terdengar suara penghuni kost di lantai bawah. Rad dan Lia pun sudah tak terdengar suaranya. Aku dan Maya mengakhiri kemesraan dengan ciuman panjang dan dalam, lalu berpelukan seakan enggan saling melepaskan.




Kusiapkan baju ganti dan jaket yang akan kubawa pergi, sedangkan Maya duduk di atas kasur sambul touch-up-make-up-nya. Tak lama kemudian, kedua sosok sahabatku muncul. Wajah mereka nampak lembab karena keringat tapi senyum mereka cerah. Aku hanya tersenyum penuh arti, tanpa berniat menggoda mereka.




Jam satu, kami berempat meninggalkan kostan. Kekasih dan kedua sahabatku sepakat untuk jalan-jalan dan nonton bareng di C-Walk. Mereka mengantarku sampai Kalidam, lalu kembali ke Baros karena mereka mau melewati jalan tol.




















BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar