Cincin dari masa lalu part 13

 

BAB 13

“Yasudah, ya sayang. Aku udah sampe kampus nih.” kuakhiri percakapan telpon dengan Maya. Pagi ini aku ada kuliah Pengantar Akuntansi. Setelah menutup hape, aku langsung melangkah panjang menuju gedung fakultasku. Aku tidak mau terlambat, untuk memberi kesan baik kepada sang dosen yang katanya adalah dosen baru.

“Wa! Woooiii!!” sebuah suara berteriak memanggilku.

“Pagi, Kubus.” balasku kepada sosok Jakobus, teman sekelasku.

“Aeeh.. kau ini. Tak baiklah memanggilku seperti itu.” gerutunya dengan logat Floresnya.

“Wakakak.. sorry, bro. Tapi lebih keren kau dipanggil seperti itu.” jawabku cengengesan.

Keseruan kami bertambah saat kedua temanku yang lain, Karma dan Nurdin datang. Karma adalah anak seorang tentara pangkat menengah, namanya perpaduan dari kedua orangtuanya Kartasumitro dan Marwah. Sedangkan Nurdin adalah trah Wonosari yang lahir di kota ini, ayahnya seorang bintara dan ibunya guru SD.

“Sebatang dulu!” ajak Karma sambil mengeluarkan sebungkus marlbor merah.

Kubus dan Nurdin mencatut rokok miliknya, pun pula aku, setelah melihat jam pada hapeku terlebih dahulu. Masih ada sepuluh menit sebelum kelas dimulai. Sambil bercanda kami melangkah ke bawah pohon dan duduk sambil menikmati rokok masing-masing.

“Wa, cewek lu tuh.” ucap Nurdin tiba-tiba.

Aku mengikuti arah pandangan matanya, melihat sosok yang ia maksudkan. Nampak Nur sedang berjalan seorang diri sekitar sepuluh meter di depan kami. Aku yakin ia tahu keberadaanku di sini, tapi ia malah memasang tampang judes tanpa menengok sedikitpun.

“Antepin aja. Lagian siapa bilang dia cewekku? Aku udah punya.” ucapku pelan.

“Beneran lu gak punya rasa ke dia, Wa?” tanya Karma.

“Aku udah punya cewek, Ndul. Kan aku pernah bilang ke kalian.” jawabku.

“Wah.. bisa nih..” ia tiba-tiba bersemangat.

“Kau suka dia, kah?” Kubus penasaran.

Kerlingan tengil Karma membuat kami bertiga langsung meledeknya.

“Pepet, bro, sebelum keduluan. Waktu Ospek aja udah banyak kakak kelas yang modusin dia.” ucap Nurdin.

“Itu sudah. Menyesal kau nanti.” sahut Kubus.

Meskipun aku terlibat dalam percakapan ini, dan mulutku memberi semangat pada Karma untuk mengejar Nur, tapi diam-diam aku menyembunyikan rasa cemburu. Entah apa, arti rasa cemburu yang kumiliki ini.

Keasikan membicarakan Nur membuat kami lupa waktu. Adalah Kubus yang pertama kali sadar. Ia mengingatkan bahwa sudah waktunya jam kuliah, sambil berlari mendahului kami bertiga. Kami pun terburu berlarian menyusuri selasar fakultas yang menuju kelas kami pagi ini. Kami abaikan gerutuan beberapa mahasiswi yang hampir tertabrak, tepatnya pura-pura mau ditabrak oleh ketiga temanku.

Begitu kami berbelok ke arah kanan selasar yang menuju kelas, tanpa komando kami langsung berhenti dengan nafas yang tersengal. Bukan karena kelelahan yang membuat kami seperti ini, melainkan karena pemandangan di depan kami. Bagaikan gerakan slow motion, kami serempak mengerem langkah kami secara mendadak, tubuh kami sama-sama terpaku sambil melongo melihat seorang perempuan yang sedang berjalan di depan.

Mataku terpaku pada betis jenjang di bawah rok selutut berwarna hitam yang ia kenakan. Bunyi sepatunya seakan berderap seiring degup jantungku. Seirama dengan gerak pinggulnya yang nampak montok dan lebar. Pinggangnya yang ramping membuat pinggul itu terlihat mencolok. Indah dan menggiurkan.

Meski hanya melihatnya dari belakang, dari bahunya yang lebar aku bisa menduga ukuran payudaranya yang besar. Bagaikan terhipnotis aku dan ketiga temanku membuntutinya dari belakang tanpa suara, tiada percakapan. Kami sama-sama terpesona.




Tanpa sadar, kami tiba di depan kelas. “Kok ia masuk kelasku,” aku membatin penasaran. Adalah Kubus yang langsung sadar akan keadaan, bisiknya, “Teman sekelas kita dia rupanya. Kita liat dia sudah. Semoga bukan BMW.”




“BMW apaan?” Nurdin penasaran.


“Body Mengalahkan Wajah.”




Sahutan Kubus sontak membuat kami cekikikan; membuat si wanita menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kelas.




“Ujubuneeeeh!!!” hatiku beseru, entah memaki atau mensyukuri.




Ia adalah gadis yang semalam membeli martabak dan menghardikku. Matanya mengamati kami, dan berubah tajam saat melihatku. Wajah judes langsung terpasang, sementara ketiga temanku melangkah mendekatinya.




Tanpa kata, ia langsung memasuki kelas. Keributan di dalam pun seketika menjadi senyap. Aku yakin kaum lelaki langsung terpesona oleh parasnya.




“Selamat pagi, semuanya.” suara itu terdengar saat kami tiba di ambang pintu.


“Selamat pagi!” terdengar koor yang menjawab salamnya.




Lah..? Loooh..? Kok dia menuju ke meja dosen? Aku tergesa masuk mendahului ketiga temanku.




“Nama saya Callista Prasetyo. Saya adalah…” ucapannya terhenti saat melihat kami yang sudah tiba di depan whiteboard.


“Mau ngapain kalian?” nada suaranya berubah galak.


“Belajar, bu. Kami adalah mahasiswa kelas ibu.” jawab Nurdin.


“Keluar!”




Bukan hanya kami yang bengong mendengar hardikannya, melainkan juga teman-teman sekelasku.




“Tap.. tapi, bu.” aku tergagap.


“Kalian terlambat!”


“Aeeh.. tidaklah, bu. Ibu juga kan baru masuk. Peraturan kampus, mahasiswa tidak boleh masuk kalau terlambat sepuluh menit.” Kubus membela diri, tapi matanya jelalatan, sama sepertiku.


“Itu aturan kampus!” jawabnya makin judes. “Tapi aturan kelas saya beda, yang masuk di belakang saya sudah dianggap terlambat.”


“Bu, maaf yah.. tapi..” Karma mulai beragurmen.


“Kalian keluar! Atau kelas hari ini dibatalkan.” potong sang dosen.


“Batalkan saja, bu.” sebuah suara menyahut dari barisan bangku paling belakang.




Pemilik suara adalah Kemod, salah satu temanku yang memiliki nama asli Kemal Diandra. Ia menatap kami sambil tersenyum tengil. Maniak bokep yang satu ini pasti senang kalau tidak ada kuliah.




Suasana kelas menjadi sedikit gaduh mendengar celotehannya, sementara Bu Callista nampak marah.




“Baik kalau begitu, kelas hari ini ditiadakan.” ia kembali meraih laptop dan tasnya, dan melangkah menuju pintu, melewati kami berempat.




Suara riuh pun semakin terdengar. Aku yang sadar akan keadaan langsung mencegah Bu Callista.




“Bu.. bu.. maaf, kami mengaku salah karena datang terlambat. Biar kami saja yang pergi, ibu lanjutkan mengajar.” ucapku sambil berdiri kaku untuk menghalangi langkahnya.




Sorot mata Bu Callista semakin tajam menatapku. “Jangan sok jadi pahlawan, kamu. Mahasiswa mesum!!”




“Kupreeeet!!!” spontan hatiku memaki.




Kekagumanku pada kecantikannya seketika hilang, terganti oleh emosi karena ia membawa-bawa kejadian kemarin malam.




“Bu!! Maaf yah.. ibu profesional donk. Jadi dosen gak usah baper, bu.” kata-kata itu mengalir begitu saja membuat warna mukanya berubah merah.




Jangankan sang dosen dan seisi kelas yang kaget mendengar ucapanku, aku sendiri pun kaget mendengar ucapanku sendiri.




“Kamu!!” ia menahan amarahnya sambil menunjuk mukaku.




Sikapnya membuatku semakin kehilangan respect. Hilang sudah semua kekagumanku pada paras dan kemolekan tubuhnya.




“Profesional, bu!” ucapku sekali lagi.




Tanpa melihatnya lagi aku langsung membalikan badan meninggalkan kelas. Langkahku panjang menuju halaman disusul oleh ketiga temanku.




“Anjriiit.. wanian maneh!” seru Karma.




Aku hanya mendengus kesal sambil menyusuri lorong. Kami kembali ke tongkrongan di bawah pohon sambil menghisap rokok masing-masing. Tema pembicaraan pun bercampur antara kecantikan si dosen dan sikapnya yang menyebalkan.




Tak lama kemudian sosok Kemod muncul. “Heeh.. tak ada kuliah, kah?” Kubus menyambutnya.




“Ada. Tapi aing diusir.” jawabnya kalem.




Kemod pun cerita bahwa Bu Callista mau melanjutkan mengajar setelah bernegosiasi dengan Nur sang ketua kelas dan teman-temannya. Ia akhirnya mau mengajar dengan syarat Kemod harus keluar karena ia tersinggung oleh celetukkannya. Aku pun langsung mengambil kesimpulan, sepertinya gadis cantik yang baik dan ramah hanyalah Maya. Nur aku tahu sendiri sifatnya, dan sekarang daftar gadis cantik nyebelin semakin bertambah dengan dosenku yang satu ini.




Kami sempat saling emosi, tapi akhirnya sadar bahwa ini adalah hari pembebasan, hari tidak ada kuliah. Setelah menghabiskan berbatang rokok, kami pun bubar. Aku memutuskan untuk tidak ikut nongkrong bareng mereka di rumah Karma karena mau ke percetakan di dekat alun-alun.




Jam dua belas siang urusanku pun selesai. Bukan hanya membuat stiker, aku juga membuatkan sebuah spanduk kecil untuk dipasang di bagian bawah gerobak martabak Kang Narto.




Sambil duduk di dalam angkot aku berbagi kabar dengan Maya dan menceritakan kekesalanku pagi ini. Bukan Maya namanya kalau tidak bisa membuat hatiku luluh, dengan lembut ia menghibur dan menenangkanku. Hari ini kami kembali tidak bisa saling bertemu karena ia kuliah sampai sore.




Aku turun di Jl. Gatsu dan jalan kaki ke daerah Kalidam, menuju rumah Kang Narto. Sudah beberapa kali aku ke sana untuk membantunya menyiapkan dagangan. Aku juga sudah cukup akrab dengan Ceu Ningrum, istrinya yang kini sedang hamil muda. Usia kandungannya sudah tiga bulan jalan.




“Punten, Kang, Ceu…” salamku di depan pintu.


“Mangga, siapa ya?” tedengar Ceu Ningrum yang menjawab.


“Sirna, Ceu.”


“Oh kamu toh. Masuk aja, Wa. Aku lagi di kamar mandi.”


“Iya, Ceu.”




Aku pun masuk ke dalam rumah kontrakannya yang kecil. Hanya terdiri dari ruang tamu, dapur, satu kamar tidur dan kamar mandi di belakang. Bahan-bahan adonan sudah menumpuk di atas lantai, tapi tidak kulihat Kang Narto, motornya pun tidak ada di depan rumah.




“Kebetulan kamu datang, ada yang mau aku omongin.” tubuhnya muncul dari arah belakang. Rambutnya basah tanda baru selesai keramas, bagian bawah ia hanya mengenakan sarung (milik suaminya), sedangkan atasnya ditutupi handuk. Sepertinya ia hanya mengenakan beha di balik handuk itu. Perutnya yang mulai membuncit nampak begitu seksi. Tubuhnya begitu montok, khas penampilan wanita hamil.




“Eh apa tadi, Ceu?” aku sadar dari ketertegunanku.


Kamu sih, malah bengong.” jawabnya sambil tersenyum. Ia seperti bangga kuperhatikan seperti itu. “Aku mau minta tolong.” lanjutnya lagi.kk


“Apa itu? Sok we kalo saya bisa mah.” jawabku sambil menatapnya. Aku cukup mengagumi parasnya. Di balik penampilannya yang sederhana, ia adalah tipe perempuan yang cantik dan manis seperti wanita Sunda pada umumnya.




“Minggu depan, aku mau pulang ke Ciwidey, tetanggaku hajatan. Kamu anterin aku yah, pulangnya minggu siang.” ucapnya sambil menatapku penuh harap.


“Loh, emang Kang Narto gak bisa nganterin, Ceu?” tanyaku.


“Nggaklah, si akang kan harus jualan. Kalau kamu yang jualan mah gak mungkin da kamunya juga belum bisa bikin adonan, jadi kamu saja yang nganter. Mau, kan?”


“Iya, Ceu.” aku menyanggupi.


“Nuhun pisan, ya Wa.” ia tersenyum senang.


“Ah.. Euceu mah kayak ke siapa ajah. Ya gapapa atuh, senang kalo saya bisa membantu mah.” jawabku, lalu aku bertanya: “Si akang lagi ke mana, kok gak keliatan?”


“Lagi beli tepung terigu ke pasar. Yaudah atuh aku mau ganti baju dulu.”


“Iya, Ceu.”




Mataku mengiringi tubuhnya yang beranjak ke dalam kamar. Pinggulnya begitu indah, juga punggungnya yang tidak terbungkus apapun. Hanya tali behanya yang nampak. Rupanya, ia hanya menutupi bagian dadanya dengan handuk, sedangkan punggungnya dibiarkan terbuka. Sangat mulus kulit itu, apalagi tetesan basah dari rambutnya membuatnya nampak begitu seksi.




“Gue masih mau lihat saat purnama nanti.” tiba-tiba aku teringat akan ucapan Cintung.


“Eh.. Sabtu nanti kan bulan purnama. Sabodo ah.. masa aku membatalkan janjiku pada Ceu Ningrum. Lagian apa yang dimaksud oleh Cintung juga masih belum jelas.” aku bergumam sendiri.


.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar